SERULING GADING : JILID-04
“Oh... ya, terima kasih, paman.”
Keduanya mengambil jagung rebus yang sudah dikupas, kemudian makan jagung muda yang manis dan hangat itu.
“Saya pernah bertemu dengan diajeng Muryani... ehh, puteri Paman. Sungguh saya tidak pernah menyangka bahwa Paman yang selama ini saya kira hidup seorang diri dan tidak mempunyai keluarga, tahu-tahu mempunyai seorang anak perempuan yang sudah gadis dan... jelita itu.”
“Ah, Muryani hanya seorang gadis dusun yang bodoh,” Ronggo Bangak merendah walau pun di dalam hatinya timbul juga kebanggaan mendengar puterinya dipuji orang.
“Tidak, paman. Ia cantik jelita seperti bidadari dan juga pandai menunggang kuda. Melihat diajeng Muryani, timbul kekhawatiran di dalam hatiku kalau-kalau dia akan mendapatkan jodoh seorang pria petani dusun yang bodoh dan hidupnya melarat. Itu akan merupakan hal yang amat patut disayangkan dan saya tidak rela melihat dia menjadi isteri petani dan hidup melarat.”
“Maksud anakmas Demang bagaimana?” Ronggo Bangak bertanya meski dalam hatinya dia sudah dapat menduga ke arah mana percakapan itu tertuju.
Ki Demang Wiroboyo menghabiskan sisa jagungnya dan menaruh jagung di atas meja, kemudian mengguyur jagung yang masih tertinggal di dalam mulut dan kerongkongannya dengan air memasuki perutnya. Baru kemudian dia menjawab,
“Maksud saya... eh, Paman. Sejak bertemu dengan diajeng Muryani, saya merasa sangat sayang dan cocok dengannya. Sayang sekali kalau sampai dia dijodohkan dengan laki-laki petani dusun. Dia... dia pantas untuk menjadi... pendamping ehh, maksud saya, menjadi isteri saya.”
Ronggo Bangak tidak merasa terkejut atau heran, dia mengangguk-angguk dan sikapnya tenang saja. “Oh, jadi maksud anakmas Demang hendak meminang anak saya Muryani! Begitukah?”
“Benar dan tidak salah, paman. Saya ingin diajeng Muryani menjadi isteri saya, menjadi Nyi Demang. Saya ingin dia dihormati semua orang, ingin mengangkat derajatnya dan membahagiakan hidupnya, hidup mulia, dihormati dan serba kecukupan!”
“Hmm, akan tetapi maafkan saya, anakmas. Bukankah anakmas sudah memiliki seorang isteri dan dua orang isteri muda? Apakah wanita yang melayani anakmas masih kurang juga?”
“Ah, itu soal mudah, paman. Saya berniat untuk menceraikan dua orang isteri muda saya dan memulangkannya ke rumah orang tua mereka. Apa lagi mereka belum mempunyai anak.”
“Dan kelak anakmas juga akan menceraikan dan memulangkan Muryani kepada saya bila anakmas mendapatkan seorang isteri baru yang lebih muda dan lebih cantik?”
“Oooh... tidaaak ... tentu saja tidaaaak...! Saya akan menaikkan derajat diajeng Muryani, bahkan kelak sesudah mempunyai anak, dia akan saya jadikan isteri pertama! Saya akan membangun sebuah gedung untuk paman, dan memberi beberapa petak sawah ladang untuk paman. Kehidupan paman dan diajeng Muryani akan menjadi mulia, terhormat dan terjamin! Tentu paman menyetujui maksud saya yang amat baik ini, bukan?”
“Nanti dulu, anakmas Demang. Yang dipinang bukanlah saya, dan yang akan menjalani pernikahan bukan saya pula. Hal ini keputusannya berada di dalam tangan orang yang berkepentingan, dalam hal ini adalah anakku Muryani. Terserah kepadanya apakah dia dapat menerima pinanganmu ataukah tidak. Saya akan menanyakan pendapatnya dan keputusannya sekarang juga.”
Tanpa menunggu jawaban Ki Demang yang tertegun mendengar ucapannya, Ki Ronggo Bangak sudah menoleh ke arah dalam dan berseru memanggil anaknya. “Nini Muryani! Ke sinilah sebentar!”
Terdengar jawaban gadis itu dari bagian belakang pondok itu. Tak lama kemudian Muryani muncul di ambang pintu memasuki ruangan itu, disambut pandang mata kelaparan dari Ki Demang.
“Duduklah, nini. Aku hendak membicarakan hal penting denganmu.”
Muryani duduk di sebelah ayahnya, berhadapan dengan Ki Demang Wiroboyo terhalang meja.
“Ada apakah, ayah?” tanyanya lirih.
Ki Wiroboyo memandang gadis yang menoleh kepada ayahnya itu dengan hati berdebar tegang. Gadis itu sedemikian dekat dengannya. Sekali menjulurkan tangan saja dia sudah akan dapat menyentuhnya. Dia pun dapat mencium keharuman bunga melati yang sedap. Beberapa kuntum melati terselip di antara sanggul rambut yang hitam agak berombak itu. Betapa manisnya!
“Begini, nini Muryani,” kata Ki Ronggo Bangak dengan sikapnya yang tenang. “Kunjungan anakmas Demang ini adalah untuk meminang dirimu menjadi isteri mudanya. Aku tidak dapat memberi keputusan karena hal ini terserah kepadamu yang akan menjalani. Karena itu aku memanggilmu ke sini agar engkau sendiri yang memberi jawaban dan keputusan kepada anakmas Wiroboyo.”
Muryani mengembangkan senyum tipis dan dia menoleh kepada Ki Wiroboyo yang juga memandang padanya. Ki Wiroboyo cepat-cepat berkata, “Diajeng Muryani, engkau akan kujadikan isteri mudaku yang tunggal sebab dua orang isteri mudaku akan kuceraikan dan kupulangkan kepada orang tua mereka. Jangan khawatir, walau pun engkau menjadi isteri mudaku akan tetapi engkau yang akan berkuasa di rumahku. Engkau akan hidup mulia, terhormat, dan serba kecukupan. Juga ayahmu akan kubangunkan sebuah gedung.”
“Ki Demang Wiroboyo,” kata Muryani dan suaranya terdengar lembut namun berwibawa. “Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa pria yang akan menjad suamiku harus memenuhi tiga syarat. Satu saja di antara tiga syarat itu tidak dapat dipenuhi maka aku tidak sudi menjadi isterinya. Kalau andika dapat memenuhi tiga buah syaratku itu, barulah aku bersedia untu menjadi isterimu.”
“Katakan apa tiga syaratmu itu, diajeng Muryani. Jangankan baru tiga, biar ada sepuluh buah syarat tentu akan kupenuhi semua. Engkau hendak minta apa pun, asalkan jangan minta matahari bulan dan bintang, tentu akan kupenuhi!” kata Ki Demang dengan girang. Apa sih permintaan seorang gadis dusun? Pasti dia akan mampu memenuhinya!
Gadis itu tersenyum dan Ki Demang Wirosobo merasa tenggelam dalam senyuman itu.
“Aku tidak minta harta benda, juga tidak minta kedudukan. Syarat-syaratku adalah, yang pertama, calon suamiku harus sanggup mengalahkan aku dalam menunggang kuda, juga dalam kanuragan bertanding kedigdayaan. Kedua syarat ini harus dilakukan di hadapan umum yang menjadi saksinya. Ada pun syarat ketiga baru akan kuberi-tahukan kalau dia mampu memenuhi kedua syarat pertama dan kedua itu!”
Ki Wiroboyo tercengang keheranan mendengar dua syarat yang sangat aneh itu, akan tetapi mulutnya menyeringai lebar pertanda bahwa dia. merasa girang sekali. Dia adalah seorang ahli menunggang kuda yang terpandai di seluruh Kademangan Pakis. Sepandai-pandainya Muryani menunggang kuda, seorang gadis mana dapat dibandingkan dengan dia?
Dan adu kanuragan, bertanding kedigdayaan? Hampir saja dia tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa. Ia adalah seorang yang bisa dikatakan otot kawat balung wesi, nora tedas tapa paluning pande sisaning gurindo (berotot kawat bertulang besi, tidak mempan senjata tajam buatan pandai besi). Bagaimana seorang gadis remaja yang berkulit halus mulus dan tipis seperti itu, akan mampu menandingi kedigdayaannya? Terkena sentilan telunjuknya saja akan terpelanting!
“Baik, aku terima kedua syarat itu. Dan apa syaratnya yang ketiga?” kata Wiroboyo.
“Syarat ketiga baru akan kukatakan kalau andika mampu memenangkan dua buah syarat pertama. Dan karena aku tidak memiliki kuda, maka untuk perlombaan menunggang dan membalapkan kuda, aku meminjam si Nogo Langking,” kata Muryani.
Ki Wiroboyo tidak merasa khawatir. Nogo Langking memang kudanya yang terbaik, akan tetapi dia masih memiliki kuda lain yang larinya juga hampir sama cepatnya dengan Nogo Langking. Dan perlombaan balap kuda bukan hanya tergantung dari kudanya namun juga banyak ditentukan oleh kemahiran penunggangnya.
“Baik, engkau boleh menunggangi Nogo Langking, diajeng Muryani. Akan tetapi agar adil, aku ingin bertanya lebih dahulu. Karena syaratmu ada tiga dan yang dua dipertandingkan, bagaimana kalau hasilnya sama kuat, yaitu menang satu kali dan kalah satu kali?”
“Kalau begitu, syarat ketiga yang menentukan.”
“Jadi berarti, jika aku menang dua kali berarti keluar sebagai pemenang dan boleh menjadi suamimu?”
“Begitulah,” kata Muryani sambil tersenyum.
Ki Ronggo Bangak yang mendengarkan percakapan itu bersikap tenang saja karena dia sudah maklum akan kemampuan puterinya. Hal ini memang sudah dibicarakan Muryani kepadanya. Puterinya itu memiliki rencana lain, bukan hanya sekedar menolak pinangan, melainkan juga hendak memberi hajaran kepada Ki Wiroboyo agar sifat buruk Ki Demang yang sesungguhnya adalah kepala dusun yang baik dan bijaksana itu dapat disembuhkan atau dihilangkan.
“Bagus, kapan pertandingan itu akan dilakukan?” tanya Ki Wiroboyo.
“Secepatnya, besok pagi juga boleh. Sekarang harap andika membuat persiapan dahulu. Beri-tahukan kepada penduduk agar besok pagi menonton dua pertandingan itu. Lomba menunggang kuda dilakukan dengan mengitari dusun Pakis satu kali, dimulai dari pintu gerbang sebelah selatan. Ada pun pertandingan kanuragan diadakan di lapangan depan kademangan agar disaksikan oleh penduduk.”
“Baik, akan kupersiapkan segalanya. Nanti aku akan menyuruh Parmadi mengantarkan Nogo Langking ke sini dan besok pagi kita bertemu di pintu gapura selatan. Sekarang aku akan pulang dulu mempersiapkan segalanya. Permisi, paman Ronggo Bangak.”
“Silakan, anakmas Demang. Dan maafkan kalau anakku mengajukan syarat-syarat itu.”
“Ah, tidak mengapa, paman. Memang sudah sepantasnya bila seorang gadis cantik jelita seperti diajeng Muryani memasang tinggi harga dirinya. Permisi, paman.”
Sesudah Ki Wiroboyo pergi, Ki Ronggo Bangak berkata kepada puterinya, “Nini, engkau bermain dengan api. Walau pun aku belum melihat sendiri, namun aku sudah mendengar bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang penunggang kuda yang mahir dan juga seorang yang digdaya. Engkau malah menantangnya untuk berlomba menunggang kuda dan bertanding kedigdayaan. Bagaimana seandainya engkau kalah dalam dua pertandingan itu?”
“Tidak mungkin, ayah. Andai kata aku kalah bertanding kedigdayaan, akan tetapi sudah pasti aku menang berlomba menunggang kuda. Aku sudah biasa berlomba balap kuda di Muria dan aku tahu benar bahwa si Nogo Langking itu merupakan kuda terbaik dari tujuh ekor kuda yang dimiliki Ki Demang. Kalau dia menunggang kuda lain, pasti dia kalah.”
“Kalau begitu berarti kedudukan akan menjadi satu-satu. Bagaimana kalau syarat ketiga dimenangkan olehnya?”
Muryani tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri. “Syarat ketiga tak mungkin dimenangkan oleh siapa pun juga kecuali kalau aku menghendaki dia menang.”
“Ehh? Apa sih syaratmu yang ketiga itu?”
“Syaratnya adalah bahwa pria yang akan menjadi suamiku haruslah orang yang kucinta! Dan aku sama sekali tidak mecintai Ki Wiroboyo!”
Ki Ronggo Bangak membelalakkan kedua matanya, kemudian dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau nakal, nini! Itu bukan syarat, tapi engkau mengakalinya!”
Muryani juga tertawa. “Kemenangan bukan hanya dapat dicapai dengan okol (kekerasan) melainkan juga dengan akal, bukankah begitu, ayah?”
Ki Ronggo Bangak mengangguk-angguk “Kuharap rencana usahamu untuk melenyapkan sifat buruk Ki Demang itu akan berhasil baik, nini. Memang sayang sekali kalau seorang pemimpin yang begitu baik mempunyai cacad seperti itu, suka menggunakan kekerasan memaksa seorang wanita untuk menjadi isteri mudanya.”
Tidak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Ki Ronggo Bangak tetap melanjutkan pekerjaannya mengukir patung.
“Kau lihat, Nini, itu mungkin Parmadi datang mengantarkan kuda.”
Muryani berlari keluar dan benar saja, Parmadi sudah turun dan menuntun kuda berbulu hitam itu. Muryani menghampiri dan merangkul leher kuda itu.
“Nogo Langking, sekarang engkau harus membantuku...!” bisiknya dekat telinga kuda itu.
“Muryani, aku disuruh Ki Demang megantarkan Nogo Langking kepadamu,” kata Parmadi sambil menyerahkan kendali kuda itu kepada Muryani yang menerimaya.
“Terima kasih, kakang Parmadi.”
“Muryani, benarkah apa yang kudengar dari Ki Demang? Engkau sudah menantangnya bertanding balap kuda dan adu kanuragan sebagai syarat perjodohanmu?”
“Benar, kakang. Pertandingan itu akan dilakukan besok pagi.”
“Wah, celaka sekali! Bagaimana kalau engkau kalah? Benar-benar celaka kalau begitu!” kata Parmadi khawatir.
“Ehh? Siapa yang akan celaka, kakang?”
“Aku... eh, tentu saja engkau! Engkau akan kalah dan engkau akan menjadi istri muda Ki Demang!”
“Kalau begitu kenapa? Aku yang menjalani kenapa engkau yang repot seperti kebakaran jenggot?”
Otomatis Parmadi meraba dagunya yang tanpa jenggot selembar pun. “Engkau adalah puteri paman Ronggo Bangak. Aku tidak rela kalau engkau menjadi isteri muda Demang. Dia seorang yang mata keranjang, tiada henti-hentinya mengejar wanita.”
“Jangan khawatir, kakang. Dia tidak akan mampu mengalahkan aku. Bukankah engkau sudah melihat sendiri kemampuanku?”
“Mungkin engkau akan menang dalam pertandingan kanuragan, akan tetapi engkau akan kalah dalam lomba balap kuda. Dia seorang yang pandai sekali dalam menunggang kuda, Muryani. “
“Aku lebih pandai dari pada dia, kakang. Kau lihat saja sendiri besok pagi.”
“Akan tetapi, mengapa kau lakukan semua ini? Tanpa mengajukan syarat ini pun, engkau bisa menolak pinangannya. Mengapa mesti bertanding dan ribut-ribut disaksikan semua penduduk?”
“Aku mempunyai rencana, kakang. Mehurut ayah, Ki Demang Wiroboyo adalah seorang pamong yang baik dan bijaksana, akan tetapi dia mempunyai sebuah cacad.”
“Benar, dia memang baik, akan tetapi sayang dia suka memaksa gadis atau janda untuk menjadi selirnya.”
“Nah, itulah sebabnya maka aku sengaja mengajukan syarat ini kepadanya. Aku hendak membuat dia menyadari cacadnya itu dan bertaubat.”
Parmadi menghela napas panjang. “Maksudmu baik, akan tetapi benar-benar berbahaya. Sudah delapan tahun aku bekerja pada Ki Demang dan aku sudah tahu benar dengan wataknya. Kalau dia berniat mendapatkan seorang wanita, dia akan menggunakan segala cara, kalau perlu dengan kekerasan. Dan dia mempunyai belasan orang pembantu yang juga menjadi pasukannya untuk menundukkanmu. Bagaimana?”
“Kalau begitu, aku akan menghajar mereka semua sampai mereka jera dan tidak berani lagi memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.”
Pada saat itu Ki Ronggo Bangak keluar. “Ehh, engkau, Parmadi?” tegurnya.
“Benar, paman. Saya diutus oleh Ki Demang untuk mengantarkan kuda Nogo Langking ini kepada adi Muryani,” jawab Parmadi.
Muryani menuntun kuda itu ke pekarangan di belakang rumah dan menambatkannya di sana.
“Mari masuk dan duduk dulu, Parmadi.”
“Terima kasih, paman. Saya harus segera kembali karena masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya juga harus membantu Ki Demang yang sedang sibuk mengatur persiapan untuk pertandingan besok pagi.”
“Kalau begitu pulanglah, jangan sampai ditunggu-tunggu oleh Ki Demang.”
“Baik, paman. Permisi.”
Parmadi meninggalkan rumah gurunya dan bergegas pulang ke kademangan.....
********************
Berita tentang akan diadakannya pertandingan balap kuda dan adu kanuragan antara Ki Demang dan Muryani sebagai syarat perjodohan sudah tersiar di seluruh kademangan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sudah banyak orang berdatangan di pintu gapura dusun Pakis sebelah selatan dari mana balap kuda akan dimulai.
Laki-laki perempuan, tua muda bahkan kanak-kanak memenuhi tempat itu. Mereka ingin sekali menyaksikan pertandingan yang belum pernah mereka saksikan itu. Betapa aneh! Bayangkan, Ki Demang yang terkenal pandai menunggang kuda dan digdaya kini hendak berlomba menunggang kuda dan mengadu kedigdayaan melawan seorang gadis remaja!
Ki Ronggo Bangak berada di antara orang banyak itu dan dia segera bertemu dengan Parmadi. Tidak seperti Parmadi yang tampak gelisah, Ki Ronggo tenang-tenang saja. Hal ini adalah karena dia merasa yakin bahwa puterinya tak akan kalah karena adanya syarat ketiga itu.
Ketika terdengar derap kaki kuda, semua orang segera menengok dan mereka melihat Ki Demang menunggang seekor kuda berwarna coklat dengan kaki ‘pancal panggung’, yaitu keempat ujung kakinya berwarna putih. Seekor kuda yang kuat dan baik pula walau pun tidak sebaik si Naga Langking.
Ki Demang nampak gagah. Pakaiannya baru dan wajahnya berseri-seri seolah dia sudah merasa yakin akan kemenangannya. Setelah sampai di pintu gapura, dia memandang ke sekeliling dan melambaikan tangan kepada penduduk yang membungkuk sebagai tanda penghormatan kepadanya. Matanya mencari-cari Muryani yang belum datang.
Tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda. Semua orang menoleh dan mereka bergumam kagum ketika melihat Muryani datang membalapkan kudanya. Gadis itu kelihatan ayu dan perkasa seperti Woro Srikandi!
Ki Demang juga kagum dan senang. Alangkah akan bahagia dan bangganya mempunyai seorang isteri seperti Muryani. Masih muda, cantik jelita dan gagah perkasa!
Debu mengepul ketika Muryani menghentikan kudanya di hadapan kuda Ki Demang. Ia tersenyum kepada laki-laki itu dan bertanya, “Apakah andika sudah siap, Paman Demang Wiroboyo?” suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua orang.
Ki Demang Wiroboyo mengerutkan aisnya sambil menegur lirih, “Diajeng Muryani, jangan memanggil aku paman!”
Muryani tidak perduli seolah tidak mendengar teguran itu dan berkata lagi, “Apakah andika sudah siap? Kalau sudah, mari kita segera mulai dengan perlombaan ini.”
“Baik, aku sudah siap.” lalu Ki Demang Wiroboyo memandang ke sekeliling dan berkata nyaring sehingga terdengar oleh semua orang, “Saudara-saudara sekalian! Kalian menjadi saksi dari perlombaan ini. Aku dan diajeng Muryani akan berlomba balap kuda. Berangkat dari sini memutari Kademangan Pakis dan berakhir di sini lagi. Siapa yang datang di sini terlebih dulu sesudah mengelilingi dusun satu kali putaran, dia yang menang. Kalian yang menjadi saksi siapa yang akan keluar sebagai pemenang nanti. Kalian bersedia menjadi saksi?”
Serempak para penduduk dusun itu menjawab dengan suara gembira.
“Bersedia...!”
“Diajeng Muryani, kita berjajar dahulu di sini dan bersiap-siap. Parmadi, ke sinilah engkau. Engkau yang aku tugaskan untuk menghitung sampai tiga. Pada seruan angka tiga, kita mulai perlombaan ini, diajeng.”
“Baik, Paman Demang!” kata Parmadi.
Dia segera mendekati kedua orang yang sudah duduk di atas punggung kuda masing-masing dalam keadaan siap. Kuda mereka berdiri berjajar dan mereka memegang kendali dengan tangan kiri. Ki Demang Wiroboyo memegang sebuah cambuk kuda, akan tetapi Muryani tidak memegang apa-apa.
Melihat ini Parmadi berkata lirih, hanya terdengar oleh Muryani dan Ki Demang Wiroboyo, “Adi Muryani, mestinya engkau membawa sehelai pecut untuk memberi semangat kepada Nogo Langking.”
Muryani tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak perlu, kakang Parmadi. Semenjak pertama belajar menunggang kuda sampai sekarang, aku belum pernah mempergunakan pecut.”
“Parmadi, jangan samakan diajeng Muryani dengan dirimu! Ia seorang puteri sejati, mana dia tega mencambuki kudanya?” kata Ki Wiroboyo, akan tetapi di dalam hatinya merasa girang karena dia semakin yakin akan kemenangannya. Dengan pecut pun gadis itu tidak akan mampu menandinginya, apa lagi tanpa pecut!
“Harap Paman Demang dan adi Muryani bersiap. Saya akan mulai menghitung: Satuuu... duaaa... tiga!”
Dua orang itu membedal kuda mereka. Seperti biasa, sebagai tanda tinggal landas, Nogo Langking mengangkat kedua kaki depannya ke atas, meringkik dengan nyaring sekali, kemudian melompat jauh ke depan dan meluncur bagaikan kilat cepatnya mengejar kuda pancal panggung yang sudah dikebut lebih dulu oleh Ki Wiroboyo.
Para penduduk dusun bertepuk tangan sambil bersorak dengan gembira. Mereka menanti munculnya dua orang pembalap itu dari sisi lain pintu gerbang itu dan memberi jalan yang longgar. Tampaknya penyakit taruhan sudah pula melanda Kademangan Pakis karena di antara mereka banyak yang mulai bertaruh!
Ki Wiroboyo terkejut juga melihat betapa Nogo Langking melesat dengan kecepatan kilat. Dia lalu menggunakan pecutnya untuk mencambuki kuda yang ditungganginya. Kuda itu merasa kesakitan dan melompat sekuat tenaga, berlari secepat keempat kakinya mampu bergerak. Ki Wiroboyo tertawa ketika kudanya melewati Nogo Langking yang ditunggangi Muryani. Gadis itu mengerutkan alisnya, kemudian membungkuk hampir menelungkup di atas punggung kuda sehingga mulutnya mendekati telinga Nogo Langking.
“Nogo Langking, engkau tidak ingin mengecewakan aku, bukan? Larilah, Nogo Langking. Lari dan kejarlah kuda di depan itu!” Ia menggunakan kedua kakinya menendang-nendang perut kuda dengan tumitnya sambil berbisik-bisik memberi semangat bagi Nogo Langking dengan suara yang merayu.
Terjadilah keanehan. Nogo Langking seolah mengerti akan rayuan penunggangnya, atau mengerti isyarat melalui tendangan tumit kaki yang halus itu. Dia langsung melompat dan berlari cepat sekali sehingga akhirnya bisa mengejar kuda yang ditunggangi Ki Wiroboyo, bahkan mendahuluinya!
Melihat ini Ki Wiroboyo semakin kuat mencambuki kudanya sehingga terdengarlah bunyi berdetak-detak. Kudanya mencoba untuk berlari lebih cepat lagi. Napas kuda itu memburu dan dari hidungnya keluar uap, dari mulutnya keluar buih.
Ketika dua ekor kuda itu muncul, para penonton bersorak memberi semangat kepada jago masing-masing. Akan tetapi Nogo Langking sampai di pintu gapura beberapa detik lebih cepat dari pada kuda pancal panggung yang ditunggangi Ki Wiroboyo dan begitu demang ini menghentikan kudanya, kuda yang kehabisan tenaga dan napas itu terguling roboh.
Ki Wiroboyo dengan tangkasnya melompat turun sehingga dia tidak ikut terbanting jatuh. Muryani sendiri turun dari atas punggung kuda Nogo Langking dan mengelus-elus leher kuda itu.
Sambil tersenyum Muryani menoleh kepada Ki Wiroboyo kemudian berkata, “Bagaimana, Paman Demang, apakah engkau kini mengakui kemenanganku berlomba balap kuda?”
Wajah Ki Demang Wiroboyo berubah merah, kumisnya yang tebal bergoyang-goyang dan matanya terbelalak.
“Hemm, baiklah, dalam lomba kuda tadi aku mengaku kalah, diajeng Muryani. Akan tetapi kita masih ada sebuah pertandingan dan sebuah syarat lagi, bukan? Mari kita laksanakan pertandingan kedua, yaitu adu kanuragan dan sesuai perjanjian, kita lakukan di alun-alun depan kademangan.” Ucapan itu dilakukan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.
“Baik, paman. Mari kita pergi ke lapangan rumput di depan kademangan.”
Muryani menyerahkan kuda Nogo Langking pada Parmadi. Pemuda ini juga menuntun kuda pancal panggung yang sudah mampu berdiri lagi. Muryani dan Ki Demang Wiroboyo berjalan beriringan memasuki pintu gapura ini langsung menuju ke kademangan. Semua orang berbondong-bondong mengikuti mereka berdua.
Di lapangan rumput di depan kademangan itu Ki Wiroboyo telah mempersiapkan sebuah panggung yang terbuat dari papan dan cukup kokoh kuat. Memang dia sengaja membuat panggung itu supaya semua penduduk dusun akan dapat melihat dengan jelas ketika dia bertanding dengan Muryani nanti. Dia yakin benar, tidak ragu seperti ketika dia berlomba menunggang kuda tadi, bahwa dia pasti akan dapat mengalahkan Muryani.
Sesudah sampai di bawah panggung, dia lalu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang ke atas panggung yang tingginya sekitar satu setengah meter itu. Loncatan yang dilakukan dengan gaya yang cukup indah dan tangkas ini memancing tepuk tangan pujian dari penonton.
Ki Demang Wiroboyo berdiri di atas papan panggung, tangan kirinya bertolak pinggang, tangan kanan memelintir kumisnya yang seperti kumis Sang Gatutkaca itu, bola matanya mengerling ke sekelilingnya, mulutnya tersenyum bangga karena sambutan tepuk tangan para penduduk dusunnya dan dia sudah merasa setengah menang dalam pertandingan kanuragan yang akan diadakan ini. Lelaki berusia empat puluh tahun ini memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh kuat itu mengenakan pakaian yang sangat indah. Sebatang keris terselip di pinggang belakang.
Biar pun mereka sendiri sudah menyaksikan betapa ampuh pukulan tangan halus Muryani yang mampu memporak-porandakan bongkah batu besar, tetapi di dalam hati mereka, Ki Ronggo Bangak dan Parmadi merasa tegang dan khawatir juga menyaksikan kegagahan Ki Demang Wiroboyo.
Bagi Ki Ronggo Bangak, kekhawatirannya hanya tertuju kepada keselamatan puterinya dalam adu kanuragan saja karena dia yakin bahwa puterinya tidak akan menjadi isteri Ki Demang dengan adanya syarat ke tiga yang belum disampaikan dalam lamaran itu. Akan tetapi Parmadi yang belum mengetahuinya, merasa khawatir sekali kalau-kalau gadis itu akan kalah sehingga terpaksa harus menjadi isteri Ki Demang Wiroboyo.
“Diajeng Muryani, hayo naiklah ke atas panggung. Kenapa andika masih belum naik juga? Jika merasa takut, sudahlah kita tidak perlu bertanding, aku khawatir kalau-kalau kulitmu yang halus mulus itu akan lecet. Anggap saja aku menang dalam pertandingan kanuragan ini!” kata Ki Demang Wiroboyo kepada Muryani yang masih berada di bawah panggung.
Muryani tersenyum dan dia lalu mendaki anak tangga untuk naik ke atas panggung, tidak meloncat seperti yang dilakukan penantangnya itu. Biar pun gadis itu hanya naik dengan cara melangkahi anak tangga, namun penonton yang tadi sudah dibuat kagum dengan kemenangannya berlomba menunggang kuda, menyambutnya dengan tepuk tangan, apa lagi mereka yang bertaruh di pihaknya.
Akan tetapi taruhan kali ini tidak seimbang. Para penonton yang bertaruh hanya memberi nilai setengahnya terhadap gadis itu. Sebagian besar dari para penduduk dusun Pakis, tentu saja sudah mengenal siapa Ki Demang Wiroboyo dan tahu akan kedigdayaannya. Mana mungkin seorang gadis muda jelita seperti Muryani walau pun pandai dan tangkas menunggang kuda, akan mampu menandingi kedigdayaan demang itu?
Yang bertaruh memegang Muryani bertindak nekat karena mengharapkan kemenangan sehingga mendapatkan bayaran ganda kalau gadis itu menang, sedangkan kalau kalah hanya membayar setengah jumlah itu. Mereka inilah yang menyambut naiknya Muryani ke panggung dengan gegap-gempita, seperti hendak memberi dorongan semangat kepada gadis yang dijagokannya.
Sekarang mereka telah berdiri saling berhadapan. Muryani menatap tajam wajah demang itu lalu berkata lantang dengan maksud agar terdengar oleh semua orang yang berada di sekeliling panggung dan yang kini diam untuk mendengarkan apa yang diucapkan oleh dua orang jagoan mereka.
“Ki Demang Wiroboyo!” sengaja Muryani tidak menyebut kakangmas atau paman. “Aku mendengar bahwa andika sebagai demang bersikap adil dan bijaksana terhadap penduduk Pakis. Hal itu bagus sekali dan aku merasa kagum dan berterima kasih kepadamu. Akan tetapi andika mengandalkan kekayaan dan kekuasaan untuk mendapatkan setiap wanita yang kau sukai dengan paksa. Hal inilah yang amat tidak baik dan karena watak andika inilah maka sekarang aku berdiri di sini untuk bertanding melawanmu. Sekarang dengarlah baik-baik, biar disaksikan oleh semua penduduk Pakis ini. Apa bila dalam pertandingan ini aku kalah olehmu, kemudian syaratku yang ke tiga juga dapat andika penuhi, maka aku akan bersedia untuk menjadi selirmu. Akan tetapi kalau andika kalah dalam pertandingan ini, berarti andika sudah dua kali kalah dan andika harus mengubah watakmu yang mata keranjang dan suka memaksa wanita menjadi selirmu.”
“Diajeng Muryani, bagaimana andika bisa melarang seorang pria, apa lagi pria itu seorang demang seperti aku, untuk mempunyai selir, berapa banyak pun yang dia kehendaki?” Ki Demang Wiroboyo membantah penasaran.
Para pria penduduk Pakis yang mendengar ucapan ini juga merasa betapa anehnya sikap gadis itu. Pada jaman itu, setiap orang pejabat, dari lurah ke atas, sudah pasti memiliki selir.
“Ki Demang Wiroboyo, siapa yang melarang andika memiliki selir? Meski andika memiliki seratus orang selir pun, aku tidak akan ambil pusing! Yang kutentang hanyalah caramu yang memaksa para wanita untuk menjadi selirmu, dengan mengandalkan kekayaan dan kedudukanmu! Kalau ada wanita yang mau kau jadikan selir, silakan. Tetapi kalau andika mempergunakan paksaan, maka terpaksa aku akan menentangmu mati-matian!”
Mendengar kata-kata gadis itu, para penduduk mengangguk-angguk setuju. Tak seorang pun di antara mereka setuju kalau anggota keluarganya dipaksa oleh demang itu. Kecuali, tentu saja, mereka yang memang merasa senang kalau ada anggota keluarganya menjadi selir Ki Demang Wiroboyo.....
Komentar
Posting Komentar