SERULING GADING : JILID-05
“Diajeng Muryani, aku berjanji bahwa kalau andika sudah menjadi selirku, Aku tidak akan mencari selir lain lagi! Nah, bagaimana kalau pertandingan ini ditiadakan saja dan andika menjadi selirku secara suka rela?”
“Enak saja! Andika sudah kalah satu kali, dan pasti akan kalah lagi dalam pertandingan kanuragan ini dan tidak dapat pula memenuhi syarat ketiga. Hayo, mulai dan seranglah, kalau memang andika seorang laki-laki yang gagah!”
Hati Ki Demang Wiroboyo merasa panas juga mendengar tantangan ini. Tantangan yang bernada meremehkannya itu diucapkan Muryani di depan hampir semua penduduk Pakis yang saat itu berkumpul di situ. Dengan gaya yang gagah dia menggulung lengan bajunya yang panjang sampai ke atas siku, kemudian sambil tersenyun dia pun melangkah maju mendekati gadis itu dan berkata,
“Nah, andika mulailah lebih dulu, diajeng. Aku sudah siap untuk menerima pukulanmu. Ini dadaku, andika boleh memukul sesuka hatimu. Aku tak akan membalas, sebab aku tidak sampai hati untuk memukulmu. Tidak tega melihat kulitmu lecet!”
Dan dengan gaya menantang dia membuka kancing bajunya sehingga kulit dadanya yang bidang itu tampak. Dada itu memang tampak kokoh kuat dengan otot-otot yang menonjol.
Muryani mengerutkan alisnya. Dia menjadi marah karena merasa dipandang ringan dan diejek. Tentu saja dia tidak mau menerima tantangan seperti itu. “Ki Demang Wiroboyo, kalau aku menyerang dan andika tidak melawan, itu bukan pertandingan adu kanuragan namanya! Kalau aku menang, hanya akan menjadi buah tertawaan orang! Aku tidak sudi menang karena andika mengalah, apa lagi aku tidak ingin membunuhmu.”
“Ha-ha-ha-ha! Membunuhku dengan pukulanmu? Aha, jangan khawatir, diajeng! Aku tidak akan mati, bahkan lecet sedikit pun tidak. Ketahuilah bahwa aku menguasai aji kekebalan yang membuat kulit dadaku tidak akan terluka oleh bacokan senjata tajam. Apa lagi kalau hanya pukulan tangan, lebih-lebih tanganmu, diajeng, tentu akan terasa nyaman sekali di dadaku, seperti dipijati saja, ha-ha-ha!”
Ki Demang Wiroboyo tertawa dan banyak penonton ikut tertawa karena mereka percaya benar akan ucapan itu. Untuk menaklukkan hati para penduduk, Ki Demang Wiroboyo itu pernah memamerkan kekebalannya dengan meminta pembantunya membacok-bacokkan golok kepada badan bagian atas yang bertelanjang. Jangankan terluka, tergores pun tidak dada dan punggung itu!
Muryani menjadi semakin panas hatinya. Akan tetapi dia menahan diri. Bagaimana pun juga dia tidak ingin membunuh orang itu, juga tidak ingin memperoleh kemenangan tanpa dilawan. “Hemm, begitukah? Kalau begitu, aku ingin menguji sampai di mana hebatnya aji kekebalanmu. Kerahkan aji itu sekuatnya dan coba sambutlah pijatanku yang nyaman ini, Ki Demang! Nah, bersiaplah. Satu, dua, tiga... hiiaaattt...!”
Muryani sengaja memberi waktu bagi demang itu untuk mengerahkan aji kekebalannya. Ki Demang Wiroboyo segera mengerahkan aji itu dan menahan napas untuk menyambut jari-jari tangan mungil yang menotok ke arah dadanya itu. Dadanya mengembang menjadi sekeras besi. Jari-jari tangan Muryani menotok perlahan saja, namun diam-diam Muryani mengerahkan Aji Bromo Latu (Pijar Api Bromo), suatu aji tenaga sakti dari perguruan silat Bromo Dadali.
Para penonton sudah siap untuk menertawakan apa yang dilakukan gadis itu. Dada yang kebal dari Demang Wiroboyo itu hanya disentuh seperti itu oleh jari tangan yang mungil itu? Menggelikan! Paling-paling hanya akan terasa geli seperti digelitik!
Namun mulut-mulut yang sudah siap untuk tertawa itu terbuka bersamaan dengan mata yang terbelalak. Mereka melihat Ki Demang Wiroboyo imenyeringai seperti menahan sakit dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, tangan kiri menekan bagian dada yang tadi tersentuh jari-jari tangan mungil itu!
Apa yang terjadi? Apakah Ki Demang Wiroboyo itu sengaja melucu, pura-pura kesakitan? Tak seorang pun mengetahui apa yang dirasakan pria itu.
Akan tetapi Ki Demang Wiroboyo sama sekali tidak berpura-pura. Dia merasa dadanya itu seperti ditusuk besi membara, panasnya menyusup ke dalam daging dadanya. Nyeri dan panas bukan kepalang! Tentu saja dia terkejut setengah mati dan diam-diam dia merasa heran akan tetapi juga mulai maklum bahwa gadis ayu merak ati yang berada di depannya ini sesungguhnya memiliki aji kesaktian yang sama kali tidak boleh dipandang ringan!
Dalam keheranan dan kekagumannya, dia menjadi semakin tergila-gila. Inilah wanita yang patut menjadi sisihannya. Bukan saja ayu manis merak ati, akan tetapi juga digdaya, tentu akan semakin memperkuat kedudukannya dan mengangkat namanya! Dia menahan rasa nyeri yang mulai menghilang itu dan memaksa diri tersenyum.
“Wah, ternyata andika benar-benar seorang gadis perkasa seperti Srikandi yang digdaya! Kalau begitu aku tidak akan khawatir lagi untuk bertanding denganmu. Mari kita bermain-main sejenak, diajeng Muryani!”
“Maju dan mulailah, Ki Demang Wiroboyo!” tantang Muryani dan ia pun sudah memasang kuda-kuda dengan gerakan Dadali Anglayang (Burung Walet Melayang). Pasangan kuda-kuda itu dilakukan dengan berdiri di atas jari-jari kakinya, berjingkat dengan sepasang kaki merapat, tubuh agak membungkuk dan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti sepasang sayap. Tampak manis, lucu dan juga gagah.
Para penonton mulai bertepuk tangan karena ucapan Ki Demang Wiroboyo tak membuat mereka dapat menduga bahwa pria itu tidak main-main dan gadis itu benar-benar seorang yang tangguh dan digdaya.
Tadi pada saat Muryani menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dada lawannya, Parmadi juga mengerutkan alisnya. Mengapa serangan gadis itu hanya menyentuh dada lawan, seperti main-main saja? Akan tetapi begitu melihat Ki Demang Wiroboyo meringis seperti kesakitan dan terhuyung ke belakang, hatinya mulai lega. Dia tahu bahwa gadis itu mempunyai kesaktian dan kini dia memandang penuh perhatian, mengharapkan gadis itu akan memenangkan pertandingan itu.
Maka, melihat banyak orang menyambut pembukaan gerakan silat gadis itu, dia menjadi gembira dan ikut bertepuk tangan. Sentuhan lembut pada pundaknya membuat Parmadi menoleh dan melihat bahwa yang menyentuh pundaknya adalah Ki Ronggo Bangak yang mengerutkan alis, dia menghentikan tepukan tangannya. Agaknya gurunya tidak gembira melihat ulah Muryani di atas panggung arena pertandingan itu.
“Ada apa, paman?” tanyanya kepada gurunya itu.
Parmadi menyebut paman kepada gurunya itu, sesuai dengan kehendak Ronggo Bangak sendiri yang tidak bersedia disebut Bapa Guru.
Ronggo Bangak menarik napas panjang dan menjawab lirih, “Aku khawatir kalau Muryani lupa diri, menewaskan Ki Demang Wiroboyo atau membuat dia terluka parah.”
Parmadi memandang kepada gurunya dan bibirnya mengembangkan senyum. Kalau ada orang lain mendengarkan ucapan guruya itu, dia tentu akan merasa heran sekali. Ronggo Bangak tidak khawatir bila puterinya terbunuh atau terluka, sebaliknya malah khawatir jika anak itu menewaskan atau mencederai lawan!
Dia mengenal baik siapa gurunya dan bagaimana watak gurunya. Orang yang suka akan keindahan, penuh kedamaian, tidak ingin merusak, tidak menyukai kekerasan dan selalu berbaik hati kepada siapa saja!
“Harap paman tenangkan hati. Saya sangat yakin bahwa adi Muryani bukan hanya telah mempelajari aji kanuragan, akan tetapi juga telah memiliki watak yang gagah dan adil lagi bijaksana.”
“Mudah-mudahan begitulah, Parmadi.”
Keduanya memperhatikan ke atas panggung. Melihat gadis yang menggairahkan hatinya itu telah membuat pasangan pembukaan yang indah, Ki Demang Wiroboyo tak mau kalah gaya. Dia berdiri dengan kedua kaki menyilang, lutut ditekuk, kepala ditundukkan namun kedua mata mengerling ke depan, dua tangan membentuk cakar harimau, tangan kanan dia angkat ke depan muka dan tangan kiri menempel di perut, mulutnya tersenyum.
“Diajeng Muryani, hati-hatilah dan sambut seranganku ini. Haaiiiiittt...!”
Tiba-tiba saja kaki kanannya melangkah ke depan dengan gerakan yang tangkas, tangan kanannya menyambar dengan cengkeraman ke arah muka Muryani sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah dada gadis itu! Tentu saja Ki Demang Wiroboyo sudah siap untuk mengubah cengkeraman itu menjadi belaian kalau tangannya berhasil menyentuh muka dan dada!
“Hyaaatt...!” terdengar seruan nyaring keluar dari mulut gadis itu dan tubuhnya menggeliat mundur, kedua tangan digerakkan masuk menampar kedua tangan lawan itu.
“Plak! Plak!”
Tangkisan itu membuat kedua tangan Ki Demang Wiroboyo terasa tergetar dan dia cepat-cepat mundur dua langkah dengan kaget sambil memasang kuda-kuda lagi, berdiri tegak dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Muryani sudah kembali memasang kuda-kuda seperti pembukaannya tadi.
Kembali penonton bertepuk tangan karena pertandingan satu gebrakan ini menunjukkan bahwa Muryani memang bukan wanita lemah dan ia tampak gagah sekali. Pertemuan dua pasang lengan tadi saja sudah membuat Ki Demang Wiroboyo makin tahu bahwa gadis itu memang memiliki tenaga yang kuat. Keduanya maklum bahwa mereka harus berhati-hati dan berusaha sekuat kemampuan mereka kalau ingin keluar sebagai pemenang.
“Eiiittt...!” kini Muryani balas menyerang. Gerakannya cepat bukan main, bagaikan seekor burung walet tubuhnya sudah menerjang ke depan, tangan kirinya menampar dengan jari terbuka ke arah pelipis kanan lawan.
Sambaran tangan yang kecil mungil itu mendatangkan angin yang terasa benar oleh Ki Demang Wiroboyo, maka dia pun cepat-cepat menarik tubuh atas ke belakang sambil mengangkat lengan kanan ke atas untuk menangkis. Akan tetapi pada detik berikutnya, Muryani menyusulkan tendangan. Kaki kanan dengan betis mamadi bunting yang berkulit putih mulus dan tertutup celana hitam sebatas lutut itu mencuat menuju sasarannya, yaitu perut lawan!
“Ehh...!” Ki Demang Wiroboyo terkejut dan cepat tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis, karena mengelak tidak akan dapat menghindarkan dirinya dari dari tendangan itu.
“Dukkk...!”
Lengan itu bertemu kaki dan akibatnya, tubuh Ki Demang Wiroboyo langsung terhuyung ke belakang. Diam-diam pria ini terkejut dan penasaran sekali. Dia tahu bahwa lawannya benar-benar tangguh, maka dia segera mengerahkan tenaganya dan menubruk ke depan, menggerakkan dua tangan untuk menyerang dari kanan kiri dengan gerakan menggunting ke arah kedua pundak gadis itu.
Kalau tadi dia menyerang hanya untuk meraba dan mengelus muka dan dada, sekarang serangannya benar-benar dimaksudkan untuk mengalahkan lawan. Pukulannya itu cepat dan kuat, tidak lagi ditahannya karena dia pun maklum bahwa kalau dia tidak bersungguh-sungguh, besar kemungkinan dia yang akan roboh dan kalah.
Menghadapi serangan itu, Muryani bersikap tenang saja dan gerakan tubuhnya yang amat cepat itu membuat dia dapat mengelak dengan mudah. Ia melompat belakang dan ketika serangan kedua tangan lawan itu luput dan lewat, ia pun menerjang maju dan membalas dengan serangan tangan kanan, menghantam dengan telapak tangan ke arah lambung lawan.
Demang Wiroboyo kembali menangkis dan sekarang kedua orang itu telah saling serang dengan serunya. Pertandingan berjalan semakin sengit, saling pukul, saling tendang dan membuat para penonton menjadi tegang.
Melihat kenyataan betapa Muryani benar-benar dapat melakukan perlawanan dengan baik, kini pasar taruhan menjadi ramai. Nilai Muryani naik pesat dan banyak penonton yang menjagoinya dengan taruhan tinggi!
Parmadi menonton dengan hati tegang dan penuh khawatir karena dari cara Ki Demang Wiroboyo memukul mau pun menendang, dia dapat menduga bahwa pria itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Biar pun Parmadi biasa bekerja keras dan memiliki tubuh yang kuat, namun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat.
Seperti juga para penonton yang berada di situ, dia merasa heran dan kagum bukan main melihat sepak terjang Muryani. Gadis remaja itu baru enam belas tahun usianya, belum dewasa benar, tapi mampu menandingi dalam adu kanuragan seorang jagoan yang telah matang dan terkenal digdaya seperti Ki Demang Wiroboyo! Hal ini tentu saja merupakan keajaiban bagi mereka.
Ada pun bagi Ki Demang Wiroboyo sendiri, kalau tadinya dia merasa heran, terkejut dan kagum sehingga hatinya semakin terpikat oleh gadis itu, kini dia merasa penasaran bukan main, juga khawatir. Dia merasa betapa beratnya melawan gadis itu dan yang membuat dia penasaran setengah mati adalah kalau mengingat bahwa lawannya itu hanya seorang gadis remaja.
Padahal sudah banyak jagoan kawakan yang kalah beradu tebalnya kulit kerasnya tulang olehnya. Bahkan dia pernah mengobrak-abrik gerombolan maling dan kecu (perampok) yang dipimpin Darto Gento di hutan Cemoro Sewu sehingga karena jasanya itu dia lalu diangkat menjadi Demang Pakis. Masakah sekarang dia harus kalah oleh seorang gadis remaja?
Kekhawatiran Ki Demang Wiroboyo menjadi kenyataan. Saking cepatnya gerakan tangan Muryani, dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kanan Muryani menyambar.
“Plakk!”
Tangan yang miring itu mengenai leher kiri Ki Demang Wiroboyo. Biar pun hanya sebuah tangan mungil yang menghantam lehernya, namun Ki Demang Wiroboyo mengaduh dan merasa seolah kepalanya disambar petir. Pandang matanya berkunang dan dia terhuyung ke belakang. Muryani menyusulkan tendangan kaki kiri ke arah perut lawan.
“Bukk...!”
Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Ki Demang Wiroboyo terlempar ke belakang dan... terjatuh ke bawah panggung! Luapan kegembiraan membuat para penduduk itu bertepuk tangan menyambut kemenangan gadis itu sehingga mereka lupa bahwa orang yang kalah itu adalah demang dusun mereka yang biasanya sangat mereka hormati karena demang itu, bagaimana pun juga adalah seorang penguasa yang adil dan baik.
Beberapa belas orang lelaki yang biasa membantu Ki Demang Wiroboyo cepat menolong majikan mereka. Ternyata Ki Demang Wiroboyo tidak terluka parah, hanya lehernya yang terasa nyeri dan kaku ditambah perutnya terasa mulas. Sebenarnya dia masih beruntung karena Muryani sengaja membatasi tenaganya pada saat menampar dan menendang tadi sehingga nyawanya tidak direnggut maut.
Dari atas panggung Muryani menghadap ke arah Ki Demang Wiroboyo yang telah bangkit berdiri di bawah panggung di mana dia tadi terjatuh.
“Ki Demang Wiroboyo, seperti kukatakan tadi, kalau andika kalah andika harus memenuhi permintaanku. Andika telah kalah dalam lomba balap kuda, kalah pula pada pertandingan adu kanuragan. Disaksikan oleh semua penduduk, andika telah kalah dua kali. Karena itu sudah sepatutnya andika mengaku kalah dan mulai saat ini kuminta agar andika tidak lagi mengulang perbuatan yang sudah-sudah, yaitu memaksa wanita untuk menjadi selirmu. Kalau andika tidak memegang janji, berarti andika seorang laki-laki yang tidak jantan dan aku pasti akan turun tangan menentang dan memberi hajaran sekeras-kerasnya. Mudah-mudahan kekalahan ini menjadi sebuah pelajaran yang baik yang akan menyadarkanmu dari kesalahan.”
Ki Demang Wiroboyo hanya mengangguk-angguk dan semua orang yang mendengarkan ucapan gadis itu makin terheran dan terkagum-kagum. Gadis remaja itu tidak hanya sakti mandraguna, namun juga bijak dan dapat memberi wejangan seperti seorang tua saja!
Muryani menuruni anak tangga panggung itu, menghampiri ayahnya lalu menggandeng tangan ayahnya. “Mari kita pulang, ayah.”
Akan tetapi Ki Ronggo Bangak mengajak puterinya menghampiri Ki Demang Wiroboyo. Setelah berhadapan, Ki Ronggo Bangak lalu berkata dengan ramah, “Anakmas Demang Wiroboyo, kalau anak saya Muryani dianggap bersalah, saya yang meinintakan maaf atas semua sikap dan kelakuannya terhadap anakmas tadi.”
Ki Demang Wiroboyo yang masih tertegun menghadapi kenyataan pahit bahwa dia kalah oleh Muryani, memandang kepada Ki Ronggo Bangak, kemudian beralih kepada Muryani yang tersenyum. Dia menggeleng kepala, menghela napas dan berkata, “Tidak ada yang bersalah, paman, tidak ada yang perlu dimaafkan.“
Ki Ronggo Bangak merasa lega dan berkata, “Terima kasih, anakmas Demang Wiroboyo.” Dia membungkuk memberi hormat lalu menggandeng tangan puterinya dan pergi dari situ, diikuti pandang mata para penduduk yang merasa kagum sekali kepada Muryani. .
Semenjak hari itu, kehidupan di dusun Pakis berjalan seperti biasa. Ki Demang Wiroboyo bersikap biasa, mengurus dusun dengan kepimpinannya sehingga para penduduk segera melupakan peristiwa dengan Muryani itu. Karena Ki Demang Wiroboyo bersikap tenang-tenang saja maka mereka menyangka bahwa urusan itu sudah selesai dan api itu sudah padam. Yang jelas, kini demang itu kehilangan kegarangannya terhadap wanita, tidak lagi mengejar-ngejar wanita. Agaknya dia memang sudah bertobat dan mentaati nasihat gadis remaja, Muryani.
Akan tetapi benarkah api itu sudah padam seperti dugaan semua penduduk dusun Pakis? Ataukah api itu masih membara dan ngureng (membara di bagian dalam) laksana api di dalam sekam yang sewaktu-waktu akan dapat menyala dan berkobar kembali.....?
********************
Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari pagi yang masih lembut menggugah pohon-pohon cemara dari tidur lelap, menyulap butir-butir embun di ujung-ujung rumput dan daun menjadi mutiara-mutiara yang berkilauan. Mutiara-mutiara pada ujung daun-daun cemara itu berjatuhan ketika ranting pohon itu bergerak karena dihinggapi kaki-kaki burung yang beterbangan dengan riang gembira, berkicau ria sebelum menunaikan tugas hariannya, yaitu pergi mencari makan.
Lereng-lereng Gunung Lawu di luar dusun Pakis itu sunyi bukan main. Orang-orang yang bepergian ke pasar yang berada di dusun lain tidak melalui lereng-lereng itu melainkan melalui jalan raya,.
Tapi tampak seorang pemuda berjalan seorang diri. Tangan kanannya memegang sebuah sabit dan di pundak kirinya memikul dua buah keranjang kosong. Pakaiannya sederhana sekali. Baju tanpa leher berlengan pendek dengan celana sebatas lutut. Semua berwarna hitam. Kepalanya dibelit kain ikat kepala dan kedua kakinya telanjang. Pemuda itu adalah Parmadi.
Seperti biasanya, sesudah pagi-pagi sekali tadi dia membersihkan istal kuda di belakang gedung tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo, berangkatlah dia sambil membawa pikulan keranjang rumput dan sebuah arit menuju ke lapangan rumput yang berada agak jauh di luar dusun Pakis, di sebuah puncak bukit.
Di sana tumbuh rumput yang segar dan subur, yang tak pernah habis walau dibabatnya setiap hari. Agaknya pagi dibabat sore tumbuh kembali dan sore dibabat pagi tumbuh lagi. Bukit itu lumayan jauh dari dusun Pakis, sejauh perjalanan selama sekitar setengah jam. Akan tetapi tiada bosannya Parmadi berjalan melalui lereng-lereng itu setiap pagi karena pemandangan di situ amat indahnya, apa lagi di waktu matahari baru muncul. Hawanya sejuk segar dan tentu amat dingin bagi orang yang tidak biasa berada di situ, namun bagi Parmadi yang sudah terbiasa, terasa sejuk segar menyehatkan.
Akan tetapi pagi itu agaknya Parmadi tidak dapat menikmati keindahan dan kesejukan yang biasa dialaminya. Bahkan dia seperti tidak mengacuhkan atau tidak merasakan itu semua.
Dia tenggelam dalam lamunannya sendiri. Kedua kakinya bergerak melangkah otomatis ke arah yang menjadi tujuannya tanpa dia perhatikan lagi. Mula-mula dia membayangkan Muryani dan Ki Ronggo Bangak. Gadis yang luar biasa, selain cantik jelita, pandai, juga ternyata gagah perkasa. Hidup berbahagia di samping ayah tercinta. Sedangkan dia?
Dia seorang pemuda, seorang laki-laki, tapi tidak segagah gadis remaja itu. Dia hanyalah seorang tukang mengurus kuda, tukang menyabit rumput, kedudukan yang paling rendah. Dia pun seorang laki-laki yang lemah, seperti bumi dengan langit dibandingkan Muryani. Dan dia juga tidak seberuntung Muryani. Dia sudah tidak beribu-bapa, sudah yatim-piatu. Maka terkenanglah dia akan keadaan dirinya.
Dia membayangkan kembali keadaan dirinya. Dahulu, sebagai seorang anak dia hidup bahagia bersama ayah ibunya di dusun Pancot, sebuah di antara lereng-lereng Gunung Lawu. Seingatnya, ayahnya adalah seorang petani yang hidup sederhana namun mereka cukup berbahagia. Walau pun mereka hidup miskin dan sederhana, namun mereka tidak pernah kelaparan dan kehidupan di lereng gunung itu tenteram dan penuh kedamaian.
Dia masih ingat, ayahnya pernah bercerita bahwa ayah dan ibunya berasal dari Pasuruan, lalu membawanya pindah ke lereng Lawu ketika dia masih kecil. Ayahnya tidak banyak bercerita tentang kehidupan ketika masih tinggal di Pasuruan. Kemudian mala petaka itu menimpa keluarga mereka ketika dia berusia sepuluh tahun.
Ketika itu ayahnya berusia enam puluh tahun, akan tetapi ibunya masih muda, ketika itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ayahnya pernah memberi pelajaran dasar-dasar ilmu pencak silat kepadanya. Dia juga masih ingat bahwa agaknya ayahnya bersahabat dengan Ki Demang Wiroboyo dan dia melihat Ki Demang Wiroboyo itu sering berkunjung ke rumah mereka. Seingatnya Ki Demang itu sangat baik dan ramah terhadap mereka, terutama kepada ibunya.
Dan pada malam hari itu terjadilah bencana yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Dia hanya mendengar suara ribut-ribut dalam kamar orang tuanya. Dia tidur dalam kamarnya sendiri. Suara seperti terjadi perkelahian dan beradunya senjata tajam berkerontangan. Dia tak berani keluar kamar. Kemudian terdengar suara mengerang kesakitan, kemudian sunyi.
Sesudah agak lama, dia baru berani keluar kamarnya. Kamar orang tuanya gelap, maka dia membawa lampu dari kamarnya dan menuju ke kamar orang tuanya. Dan pintunya terbuka. Dia melangkah masuk dan... ayah ibunya sudah menggeletak di lantai kamar itu. Dia menjerit dan menubruk ibunya. Ibunya sudah tewas. Dia lalu menghampiri ayahnya. Ayahnya juga tewas setelah berkata lirih, “...membela Mataram sampai mati “
Parmadi menghentikan langkahnya. Dia menurunkan pikulannya kemudian duduk di atas batu. Renungannya terlalu mengasyikkan sehingga dia berhenti berjalan dan melanjutkan lamunan dan kenangannya sambil duduk di atas batu itu.
Dia tidak mengetahui siapa yang membunuh ayah ibunya dan mengapa mereka dibunuh. Tidak ada tanda-tanda yang akan dapat membuka rahasia itu. Lalu jenazah ayah-ibunya dikubur.
Ki Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat ayahnya juga datang melayat. Kemudian, karena dia tidak mempunyai sanak-kadang lain, Ki Demang Wiroboyo mengajaknya ke Pakis dan bekerja kepadanya, sebagai kacung kemudian sebagai perawat kuda sampai sekarang.
Parmadi merasa prihatin sekali. Merasa hidupnya tiada berguna. Ucapan terakhir ayahnya selalu berdengung di telinganya. “Membela Mataram sampai mati!”
Apakah maksudnya itu? Apakah ayahnya telah membela Mataram hingga dibunuh orang? Ataukah ayahnya berpesan kepadanya supaya dia membela Mataram mati-matian? Akan tetapi, kalau dia diharuskan membela Mataram, apa yang dapat dia lakukan? Dia hanya seorang perawat kuda, penyabit rumput. Dia bodoh, lemah, miskin. Apanya yang dapat dia andalkan untuk membela Mataram? Kalau saja dia memiliki kepandaian seperti halnya Muryani, tentu dia akan dapat melaksanakan pesan terakhir ayahnya itu!
Sekarang kebiasaannya hanya dalam seni memahat, membaca menulis, bertembang dan meniup suling. Apa gunanya itu untuk dapat membela Mataram? Dia pun belum pernah melihat Mataram. Apa yang dia ketahui tentang Mataram hanya dari cerita ayahnya.
Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai seluruh Nusantara. Menurut ayahnya, yang menjadi raja Mataram adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan berbudi bawa laksana, berjuluk Sang Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman atau juga disebut Sang Prabu Pandito Cokrokusumo, bahkan ada juga sebutan untuknya, yaitu Sayidin Panotogomo Kalifatullah! Ketika dia mengeluh kepada ayahnya bahwa nama itu terlalu panjang dan susah untuk diingat, ayahnya tertawa dan mengatakan bahwa pada umumnya Raja Mataram yang gelarnya amat panjang itu disebut Sultan Agung.
Dia harus mengabdi kepada Sultan Agung dan membela Mataram? Hanya lamunan. Tak akan mungkin terjadi. Tidak ada apa pun padanya yang dapat diandalkan. Dia hanyalah seorang penyabit rumput makanan kuda.
Parmadi menghela napas panjang, teringat akan kewajibannya. Dia lalu bangkit berdiri, mengambil aritnya, memikul keranjangnya dan melanjutkan langkah kakinya menuju ke bukit penuh rumput yang sudah dicapai hampir sampai di puncaknya.
Hatinya gundah, kecewa pada diri sendiri. Perasaan ini menimbulkan kemarahan kepada diri sendiri yang dianggapnya tiada berguna. Untuk melampiaskan kemarahannya, dia lalu menyabit rumput penuh semangat. Seakan-akan rumput-rumput itu yang menjadi musuh besarnya!
Sebentar saja dia sudah memenuhi dua keranjangnya dengan rumput hijau segar dan gemuk. Dia tadi bekerja keras sepenuh tenaga sehingga muka dan lehernya basah oleh keringat. Diusapnya keringat dari mukanya dengan bajunya.
Setelah dia berhenti menyabit dan berdiri di padang rumput puncak bukit itu, baru terasa olehnya betapa tiupan angin sangat menyejukkan. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara yang terbawa angin. Suara yang tidak asing baginya. Suara suling. Jelas itu suara suling. Dia mengenal benar suara tiupan suling. Akan tetapi lagu yang dimainkan suling itu aneh sekali, luar biasa. Tidak ada di antara tembang-tembang yang dikenalnya seperti itu. Bukan tembang Dandang-gulo, bukan pula tembang Pangkur, atau Kinanti. Juga bukan Asmorodono, Megatruh, Sinom, Pucung atau tembang lain yang dikenalnya.
Suara suling itu mendayu-dayu mengeluarkan tembang yang aneh, mengandung berbagai macam perasaan, terkadang merintih seperti Megatruh, terkadang indah menghanyutkan seperti Asmorodono. Belum pernah dia mendengar suling ditiup orang seperti itu.
Mengandung getaran yang menghisap kalbu, membuat Parmadi kadang merasa terharu, kadang merasa seperti dibawa melayang-layang. Dia tertarik sekali dan timbul keinginan kuat untuk bertemu dengan orang yang dapat memainkan suling sehebat itu.....
Komentar
Posting Komentar