SERULING GADING : JILID-06
Bulu tengkuk Parmadi agak meremang walau pun waktu itu masih pagi. Dia tahu bahwa tempat itu disebut daerah Penggik dan Tamansari yang terkenal sebagai daerah angker. Hanya penduduk daerah Lawu yang sudah biasa dan hapal betul akan keadaan daerah itu yang berani memasuki daerah ini sampai daerah Pringgondani karena menurut dongeng rakyat, orang sering kali kalap (tersesat) di daerah itu dan tidak dapat menemukan jalan keluar. Banyak orang yang sudah menjadi korban mati kedinginan dan kelaparan, juga ketakutan, dan mayat mereka ditemukan di daerah itu.
Akan tetapi Parmadi sudah mengenal daerah itu, maka dia mendaki bukit yang rimbun itu dengan tenang walau pun hatinya agak berdebar karena suara suling itu sangat aneh, apa lagi terdengar keluar dari daerah yang dikeramatkan oleh penduduk pedusunan di daerah Pegunungan Lawu itu.
Setelah melalui hutan lebat, akhirnya dia sampai di sebuah tempat terbuka dan di tengah-tengah tempat yang ditumbuhi banyak rumput hutan itu terdapat sebuah batu besar. Dia berhenti melangkah dan memandang ke arah batu itu seperti orang terpesona.
Sesudah kini menemukan orang yang memainkan suling seperti itu di tengah hutan yang terkenal angker itu, timbul keraguan dalam hatinya. Manusiakah orang yang duduk di atas batu besar sambil meniup suling itu?
Dan anehnya, setelah dia berada dekat, dalam jarak belasan meter, dia mendengar suara suling itu mendayu-dayu seperti tadi, tidaklah nyaring sekali. Akan tetapi bagaimana dapat dia dengar dari puncak bukit lain yang jaraknya cukup jauh? Dia berdiri mematung, masih memikul keranjangnya dan memegang sabitnya, seperti terpesona.
Kakek itu tidak mirip manusia biasa. Manusiakah dia, ataukah sebangsa siluman makhluk halus? Kalau manusia, usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Rambut, alis, jenggot dan kumisnya sudah putih semua, putih mengkilap seperti benang sutera perak.
Rambut putih itu panjangnya sepundak. Wajah tua itu masih kelihatan segar. Sepasang matanya bersinar lembut namun tajam penuh wibawa dan penuh pengertian Pakaian yang menutupi tubuhnya yang sedang agak kurus itu pun sederhana sekali. Hanya merupakan kain putih yang membelit tubuhnya, diikat dengan ikat pinggang putih pula.
Suling yang ditiupnya merupakan sebatang seruling putih kuning yang panjangnya kurang lebih setengah meter. Seruling itu mengkilap tertimpa sinar matahari yang mulai naik agak tinggi.
Perlahan-lahan suara suling itu berubah lirih hingga akhirnya berhenti sama sekali namun Parmadi seolah-olah masih mendengar gemanya berdengung di telinganya. Kini kakek itu memandang kepadanya, mulut yang tersembunyi di antara kumis dan jenggot putih itu tersenyum, sepasang mata tua yang bersinar lembut itu berseri.
Senyum dan pandang mata kakek itu seolah memiliki daya kekuatan untuk mengundang Parmadi sehingga seperti bukan karena kehendaknya sendiri, pemuda ini menggerakkan kakinya dan perlahan melangkah maju menghampiri. Setelah berada di depan batu besar yang diduduki kakek itu, Parmadi lalu berhenti dan memandang kakek itu dengan jantung berdebar tegang.
Dia sudah memperoleh pendidikan yang cukup dari Ki Ronggo Bangak, maka dia segera menurunkan pikulan keranjang rumputnya, melepaskan sabitnya, kemudian membungkuk sebagai penghormatan dan bertanya dengan sikap hormat,
“Maafkan pertanyaan saya, eyang. Apakah eyang ini seorang manusia ataukah bukan?”
Kakek itu mengangkat muka ke atas dan dia pun tertawa. Suara tawanya halus dan wajar. “Ha-ha-ha, orang muda yang lucu. Dengan dasar bagaimanakah andika bertanya apakah aku manusia atau bukan?”
“Maafkan saya, eyang. Keraguan saya bahwa eyang seorang manusia adalah keadaan eyang yang amat aneh. Pertama, tiupan suling tadi. Selain suaranya dapat mencapai jauh sekali, juga tembang yang eyang mainkan dengan suling tadi terdengar aneh namun luar biasa indahnya. Selain itu, bagaimana kakek yang sudah begini tua bisa mendaki sampai ke sini dan berada seorang diri di hutan yang terkenal angker ini?”
Kakek itu turun dari atas batu. Batu itu cukup tinggi, setinggi pundak Parmadi. Akan tetapi kakek itu melompat turun dengan ringan sekali, seringan daun kering sehingga pada saat sepasang kakinya hinggap di atas tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ujung jubahnya berkibar ketika dia melompat turun.
Sesudah dia berdiri di depan Parmadi, pemuda itu mendapat kenyataan bahwa kakek tua renta itu berdirinya masih tegak dan ternyata bentuk tubuhnya cukup tinggi dan kurus.
“Orang muda, aku tidak merasa heran dengan keraguanmu. Tetapi yang mengherankan aku adalah sikap dan kata-katamu. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, maukah andika lebih dulu menjawab pertanyaanku?”
“Tentu saja, eyang. Silakan eyang bertanya, pasti akan saya jawab dengan sejujurnya dan sekuat kemampuan saya.”
“Andika membawa sabit dan memikul dua keranjang rumput. Jika dilihat dari pakaianmu juga menunjukkan bahwa andika seorang pemuda dusun. Apakah andika penduduk dusun di Pegunungan Lawu ini?”
“Benar sekali, eyang. Saya penduduk dusun Pakis dan bekerja sebagai perawat kuda Ki Demang dari Pakis.”
“Siapakah namamu, kulup?”
“Nama saya Parmadi, eyang.”
“Jagad Dewa Bathara...! Seorang pemuda desa yang miskin sederhana, penyabit rumput dan perawat kuda, tetapi namanya Parmadi dan tindak-tanduknya (pembawaaniya) penuh susila seperti Raden Permadi!” kata kakek itu.
Wajah Parmadi berubah menjadi merah mendengar pujian itu dan dia cepat mengalihkan perhatian dan percakapan tentang dirinya.
“Maaf, eyang. Eyang belum menjawab pertanyaan saya tadi.”
“Engkau bertanya bagaimana seorang tua renta seperti aku dapat berada di hutan gunung yang angker ini? Ketahuilah bahwa selama ini aku memang selalu berada di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tempat tinggalku adalah di mana kedua kakiku berpijak. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon beratap langit. Maka tidak aneh sama sekali jika hari ini aku berada di hutan gunung ini, Parmadi. Aku manusia biasa seperti juga andika, penuh kekurangan dan mungkin hanya sedikit kelebihan. Aku bukan makhluk halus, bukan kama wurung, bukan iblis atau siluman juga bukan dewa.”
“Akan tetapi tembang dalam suara suling eyang tadi...”
Kakek itu tersenyum dan kalau dia tersenyum wajahnya tampak semakin segar. “He-he-heh-heh, kalau tiupan sulingku dikendalikan oleh akal pikiranku, tentu yang andika dengar adalah tembang yang dikenal umum. Akan tetapi tiupan suling tadi keluar dari bimbingan jiwaku yang hanya akan dapat dikenal oleh jiwa, bukan oleh akal pikiran.”
Parmadi tertegun. Dia tidak mengerti, akan tetapi dia merasa tidak sopan bila harus minta penjelasan. Dari jawaban tadi dia berkesimpulan bahwa kakek ini seorang kelana yang amat aneh dan penuh rahasia. Dapat tiba di tempat itu dan pakaiannya masih putih bersih seperti tidak pernah menyentuh tanah dan tumbuh-tumbuhan. Dia mulai menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang. memiliki kepandaan tinggi, seorang yang sakti mandraguna dan arif bijaksana.
“Eyang telah mengetahui nama saya. Bolehkah saya juga mengetahui nama eyang yang mulia?” tanya Parmadi hati-hati agar tidak berkesan tidak sopan.
“Tentu saja boleh, kulup. Orang-orang menyebutku Ki Tejo Wening.” Kakek itu lalu duduk di atas sebuah batu yang tidak seberapa besar. “Duduklah, Parmadi, aku ingin bercakap-cakap denganmu. Kedatanganmu ke sini terpanggil oleh suara sulingku dapat kuanggap bahwa engkau berjodoh denganku. Nah, ceritakanlah keadaanmu. Siapa nama ayahmu?”
Parmadi juga duduk di atas batu, berhadapan dengan kakek itu.
“Ayah saya bernama Brojoketi, eyang.”
“Brojoketi? Dari mana ayahmu berasal dan di mana dia sekarang?”
“Ayah berasal dari Pasuruan, tetapi dia telah meninggal dunia di dusun Pancot, tidak jauh dari dusun Pakis. Pada waktu saya berusia sepuluh tahun, saya tinggal di dusun Pancot bersama ayah ibu saya. Akan tetapi pada suatu malam ayah dan ibu saya tewas dalam kamar mereka karena dibunuh orang, eyang.”
“Ahh, semoga Hyang Widhi mengampuni kita semua!” seru kakek itu. “Siapa pembunuh itu dan mengapa ayah ibumu dibunuh?”
Parmadi menggelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu, eyang. Yang saya ingat hanyalah pada saat saya memasuki kamar ayah ibu, ibu sudah tewas dan ayah juga tewas setelah meninggalkan kata-kata begini, 'membela Mataram sampai mati'.”
“Hmm, ayahmu yang bernama Brojokerti itu tentulah seorang yang setia kepada Kerajaan Mataram. Setelah engkau ditinggal mati kedua orang tuamu, lalu bagaimana?”
“Saya diajak oleh Ki Demang Wiroboyo ke rumahnya di dusun Pakis lalu diberi pekerjaan. Sampai kini saya menjadi perawat tujuh ekor kuda milik Ki Demang Wiroboyo, eyang.”
“Dan dia yang mengajarimu tentang tata-krama (tata susila)?”
“Bukan, eyang. Selama lima tahun ini saya mendapat pelajaran tentang sastra, seni, budi pekerti dan tata susila dari paman Ronggo Bangak yang tinggal di Pakis. Paman Ronggo Bangak ini berasal dari Demak, eyang. Eyang, pesan ayah dalam ucapan terakhir itu saya anggap sebagai pesan kepada saya supaya saya membela Mataram. Akan tetapi saya seorang pemuda lemah seperti ini, yang hanya mengerti sedikit tentang sastra dan seni, bagaimana mungkin saya dapat membela Mataram seperti dipesan mendiang ayah saya? Oleh karena itu, eyang, saya mohon sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang!” Setelah berkata demikian, Parmadi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada kakek itu. Nalurinya mendorongnya untuk berguru kepada kakek aneh ini.
“Parmadi, apakah engkau mengira bahwa untuk berbakti kepada nusa bangsa itu hanya diperlukan jasmani yang kuat dan kanuragan? Siapa saja dapat berbakti kepada nusa dan bangsa yang sama nilainya dengan memanfaatkan segala kemampuan yang dimilikinya. Semua orang dapat berjuang untuk Mataram, dalam bidang dan dengan cara masing-masing. Perjuangan bukan berarti hanya bertempur melawan musuh negara. Mendidik rakyat, memajukan kebudayaan termasuk kesusastraan dan kesenian, juga merupakan perjuangan yang nilainya tidak kalah besar.”
“Tetapi, eyang. Saya mendengar dari penuturan paman Ronggo Bangak bahwa Mataram masih menghadapi berbagai ancaman. Banyak kadipaten memberontak kepada Mataram, padahal Mataram ingin mempersatukan semua kadipaten untuk menghadapi musuh yang sangat berbahaya, yaitu kumpeni Belanda. Karena itu saya pikir Mataram membutuhkan banyak orang yang mempunyai kedigdayaan untuk menghadapi semua tantangan itu dan saya ingin sekali menyumbangkan tenaga saya untuk rnemenuhi pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang.”
“Jadi engkau bertekad untuk menjadi muridku, Parmadi?”
“Benar, eyang. Saya bersumpah untuk mentaati segala petunjuk dan perintah eyang, dan saya ingin ikut eyang ke mana pun eyang pergi, melayani eyang, mengabdikan diri pada eyang.”
“Hemm, agaknya Sang Hyang Widhi memang sudah menghendaki demikian. Tetapi aku hanya dapat mengajarkan cara meniup dan memainkan seruling kepadamu, Parmadi.”
“Apa saja yang eyang ajarkan, akan saya pelajari dengan taat dan tekun,” kata Parmadi dengan girang seolah-olah dia sudah melihat terbukanya sebuah pintu lebar yang akan membawa dia ke dalam kehidupan baru. “Saya akan mengikuti eyang ke mana pun eyang mengajak saya pergi.”
“Untuk sementara ini aku akan tinggal di tempat ini, Parmadi. Karena itu engkau tetaplah bekerja seperti biasa. Setiap hari, kalau ada kesempatan, engkau datanglah ke sini untuk belajar meniup seruling. Kelak, kalau tiba waktunya aku meninggalkan tempat ini, engkau boleh ikut bersamaku.”
Biar pun hanya dijanjikan akan diberi pelajaran meniup seruling, kepandaian yang sudah dimilikinya karena dia pun mahir sekali memainkan suling, akan tetapi hati Parmadi sudah sedemikian gembiranya sehingga berulang kali dia menyembah dan mengucapkan terima kasih.
“Parmadi, kalau sekarang engkau masih punya waktu, bantulah aku menebang beberapa pohon bambu untuk kubuat sebuah gubuk tempat berteduh kalau hujan turun.”
“Akan tetapi di sini tidak ada pohon bambu, eyang. Yang ada hanya pohon-pohon kayu.”
“Baiklah, gubuk kayu juga tidak apa-apa, bahkan lebih kokoh.”
Dengan gembira Parmadi lalu menggunakan sabitnya untuk menebang beberapa batang pohon kayu. Ia membantu kakek itu membangun sebuah gubuk sederhana sekedar untuk tempat berteduh kalau hujan turun.
Hari telah menjelang sore ketika gubuk itu selesai dibangun dan Parmadi segera berpamit lalu bergegas pulang ke dusun Pakis. Untung baginya, Ki Demang Wiroboyo sedang pergi keluar dusun sehingga dia tidak mendapat teguran atas keterlambatannya itu. Segera dia merawat kuda-kuda dalam istal kademangan itu.
Begitulah, sejak hari itu Parmadi setiap hari menggunakan kesempatan untuk menghadap gurunya di hutan Penggik. Di sana, sambil duduk di atas batu besar, Parmadi benar-benar menerima pelajaran meniup dan memainkan seruling!
Mula-mula dia sendiri membawa sebatang suling bambu. Ki Tejo Wening minta agar dia memainkan tembang-tembang Jawa. Parmadi memainkan hampir semua tembang dengan baik. Ki Tejo Wening mengangguk-angguk setelah dia menyelesaikan tiupan sulingnya.
“Semua itu bagus sekali, Parmadi. Akan tetapi semua tembang yang kau mainkan dengan suling itu dituntun oleh akal pikiran. Aku akan mengajarkan engkau, atau lebih tepatnya menunjukkan engkau tiupan suling yang tidak dikendalikan oleh akal pikiran, melainkan oleh jiwa.”
“Akan tetapi, bagaimana caranya itu eyang?”
“Caranya? Tidak ada caranya. Akan tetapi sang aku yang menguasaimu harus menyingkir lebih dulu. Sang aku yang mengaku-aku itu sesungguhnya bukan engkau yang sejati. Aku yang ingin ini ingin itu, ingin yang serba enak dan menyenangkan, hanyalah akal pikiran, badan dan nafsu yang berkumpul menjadi satu. Kalau semua nafsu tersingkir, kalau aku tidak ada lagi, maka jiwa akan bangkit, akan tersentuh kekuasaan Hyang Widhi seperti pada mula-mula kehidupan sebelum kekuasaan diambil alih oleh nafsu hati akal pikiran. Nah, tiupan suling yang digerakkan oleh jiwa yang bangkit itulah yang harus kau rasakan, Parmadi.”
Parmadi yang sudah banyak membaca kitab-kitab Weda pemberian Ki Ronggo Bangak, dapat menangkap maksud ucapan gurunya. Dia tahu sudah caranya orang bersamadhi, mengosongkan pikiran, mengheningkan cipta, berkonsentrasi dan sebagainya.
“Apakah yang eyang maksudkan itu dengan cara bersamadhi?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Bukan, kulup. Bukan samadhi. Bersamadhi memang baik untuk menenangkan pikiran. Akan tetapi bersamadhi tidak meniadakan aku, karena masih ada aku yang bersamadhi dan ada aku yang ingin mencapai sesuatu dengan cara bersamadhi itu.”
“Kalau bukan bersamadhi, apakah eyang maksudkan bersembahyang?”
“Juga bukan. Bersembahyang masih menujukan batin pada sesuatu dan ada permohonan dari si aku kepada sesuatu itu. Bukan, kulup, bukan samadhi dan bukan sembahyang.”
“Lalu apa dan bagaimana, eyang?”
“Anggap saja sebagai penyerahan. Menyerah kepada Hyang Widhi, berhentinya semua hati akal pikiran, seakan-akan mati di depan kekuasaan Hyang Widhi, penyerahan yang selengkapnya, lahir batin, penyerahan dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman, tanpa pamrih karena kalau ada pamrih berarti si aku masih bekerja. Kalau sudah begitu, jiwa akan terbebas dari cengkeraman nafsu badani dan akan bangkit dan bertemu dengan kekuasaan Hyang Widhi, dan memegang kendali sepenuhnya atas raga.”
Demikianlah, Parmadi digembleng oleh Ki Tejo Wening, dituntun untuk menyerahkan jiwa raga kepada Sang Hyang Widi sehingga kekuasaan Sang Hyang Widhi mulai bekerja dalam dirinya, membimbing dan memberi kehidupan baru kepada jiwa raganya. Mulailah Parmadi dapat merasakan apa artinya meniup seruling tanpa dikendalikan oleh hati akal pikirannya.
Mula-mula yang keluar dari tiupan sulingnya hanya satu nada saja. Akan tetapi lambat-laun gerak jiwanya menuntun raga menjadi lebih mantap, lebih teratur sehingga dari tiupan serulingnya terdengar lengking yang mulai berirama dan beraneka nada menjalin tembang yang aneh. Dia sendiri menyadari dan mendengar tiupan sulingnya yang terjadi di luar kehendak hati atau pikirannya, tanpa dia tahu apa artinya itu.
Setelah lewat berbulan-bulan, gurunya memberi penjelasan kepadanya. “Angger Parmadi. Ketahuilah bahwa tiupan suling bambumu itu dilakukan karena bimbingan jiwa yang mulai hidup dan di dalam getaran suara sulingmu itu terkandung kekuatan yang sangat dahsyat. Yang jelas, semua daya rendah, roh-roh jahat, akan runtuh dan melarikan diri mendengar suara tiupan sulingmu karena mengandung getaran yang amat kuat bagi mereka.”
Mendengar ini Parmadi merasa terharu dan berterima kasih. Dia berlatih semakin tekun di bawah petunjuk Ki Tejo Wening.
Semenjak Ki Tejo Wening tinggal di lereng Lawu itu maka daerah Penggik dan Tamansari semakin angker bagi seluruh penduduk di daerah pegunungan itu. Dari daerah itu sering kali terdengar suara melengking-lengking seperti suara seruling. Tetapi suaranya sangat aneh dan tembang yang dimainkan terdengar asing bagi semua orang. Karena itu muncul desas-desus bahwa suara itu tentulah para jin dan makhluk halus yang sedang menabuh gamelan! Tiada seorang pun berani memasuki daerah itu.
Biar pun telah berguru kepada Ki Tejo Wening, walau pun hanya berguru meniup suling, tapi Parmadi merahasiakan hal itu. Dia maklum bahwa kakek itu tidak ingin kehadirannya diketahui orang banyak, maka dia pun tidak pernah bercerita kepada siapa pun juga. Bahkan Muryani juga tidak tahu akan rahasia ini.
Sementara itu sikap Ki Demang Wiroboyo selama hampir setengah tahun ini baik-baik saja. Dia bertugas seperti biasa, mengatur kehidupan rakyat dusun Pakis dan selama itu dia tidak pernah mengganggu seorang pun wanita. Agaknya dia sudah bertobat.
Sikapnya terhadap Ki Ronggo Bangak dan Muryani, kalau dia bertemu dengan mereka, juga baik dan ramah seperti biasa. Akan tetapi, tanpa diketahui bahkan tidak disangka oleh siapa pun juga, diam-diam api penasaran dan dendam itu masih membara di dalam hati Ki Demang Wiroboyo.
Dia adalah seorang lelaki yang dikuasai nafsu birahinya. Biasanya wanita yang dipilihnya, tak peduli janda atau perawan, pasti akan dapat dimilikinya, baik dengan jalan halus mau pun kasar. Untuk urusan lain dia dapat bersikap adil, bahkan mengalah. Akan tetapi untuk urusan yang satu ini, karena semenjak muda sudah terbiasa bahwa setiap wanita yang ditaksirnya tentu akan didapatkannya, maka ketika dia bertemu Muryani dan tergila-gila kepada gadis itu, dia bertemu batunya.
Bukan saja dia gagal memilikinya, bahkan dia dibuat malu di depan penduduk Pakis. Dia dikalahkan dalam lomba balap kuda dan adu kanuragan. Dia merasa dipermalukan dan dia akan tetap merasa penasaran sebelum mendapatkan gadis itu yang harus bertekuk lutut kepadanya dan menjadi miliknya!
Demikianlah, diam-diam ia mengutus seorang pembantunya untuk pergi ke Ponorogo dan memanggil Surobajul, seorang warok yang terkenal karena keberanian dan kesaktiannya. Warok Surobajul adalah seorang yang mau melakukan apa saja asal diberi imbalan uang banyak. Ki Demang Wiroboyo sudah mengenal watak sahabatnya ini, maka dia tidak lupa mengirimi hadiah yang berharga ketika mengundangnya.
Warok Surobajul tertawa bergelak dengan pongahnya ketika mendengar dari utusan Ki Demang Wiroboyo bahwa dia dimintai pertolongan untuk menundukkan seorang wanita! Biar pun utusan itu menceritakan betapa digdaya gadis remaja yang telah mengalahkan Ki Demang Wiroboyo itu, Surobajul tidak menjadi gentar.
Apa lagi hadiah besar menantinya di dusun Pakis. Melawan seorang jagoan pun dia tidak akan mundur kalau di sana ada imbalan yang besar dan dia tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang kaya dan tahu pula akan kelemahan sahabatnya itu yang tidak akan merasa sayang mengeluarkan harta bendanya untuk mendapatkan seorang wanita yang digandrunginya.
Pada suatu hari muncullah Warok Surobajul di rumah Ki Demang Wiroboyo, disambut dengan gembira oleh kepala dusun itu. Untuk menyenangkan hati sahabatnya dia segera menjamu sahabatnya itu dengan hidangan mewah. Disembelihnya seekor kambing dan beberapa ekor ayam untuk menjamu tamu yang hanya satu orang itu. Malam itu mereka berdua berpesta-pora sekenyangnya dan sepuasnya.
Setelah selesai berpesta makan, keduanya lalu duduk bercakap-cakap di ruangan tertutup sebelah dalam gedung Ki Demang Wiroboyo. Mereka duduk berhadapan dan Ki Demang Wiroboyo memandang sahabat yang menjadi tamunya itu dengan mata bersinar gembira dan penuh harapan. Paras Surobajul menjanjikan keberhasilan niatnya karena wajah dan perawakan warok ini memang mendatangkan kesan seorang yang kokoh kuat dan sangat menyeramkan bagi lawannya.
Anggota tubuh Surobajul ini serba besar, seperti raksasa. Tubuhnya tinggi besar dengan otot melingkar-lingkar seperti tambang di seluruh tubuhnya. Kaki dan tangannya panjang dan besar. Kepalanya juga besar, dengan muka yang kulitnya kemerahan dengan bercak-bercak hitam.
Rambut, kumis dan jenggotnya yang pendek seperti kawat hitam, kaku dan keras. Alisnya tebal melindungi sepasang mata yang melotot lebar, sepasang mata yang tampak selalu marah dan bersinar keras dan kejam. Hidungnya juga besar dan mbengol bulat, mulutnya menyeringai dan tampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi.
Usia raksasa berkulit hitam ini sekitar empat puluh lima tahun, Pakaiannya serba hitam dan dia berkalungkan sarung. Celananya terikat kolor (tali ikat pinggang) berwarna kuning sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir menyentuh tanah. Kolor inilah yang menjadi senjatanya yang ampuh luar biasa. Seperti kebanyakan para warok, kolor ini merupakan senjata pusaka bertuah yang sudah diisi tenaga sakti dengan bertapa.
Ki Demang Wiroboyo memandang kepada sahabatnya sambil tersenyum dan dia berkata, “Sungguh aku merasa gembira sekali bahwa andika mau datang berkunjung memenuhi undanganku, kakang Surobajul!”
Surobajul tertawa hingga ruangan itu tergetar oleh suara tawanya yang ngakak (terbahak) dan parau. “Ha-ha-ha. Seorang sahabat baik mengundang, kenapa aku tidak mau datang, adi Wiroboyo? Bukankah kita ini sahabat karib dan di antara kita berlaku ucapan: Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, susah sama ditanggung, senang sama dinikmati?”
“Andika benar sekali, kakang Surobajul. Jangan khawatir, jika andika dapat membantuku dalam urusan ini hingga berhasil bagi kemenanganku, aku tidak akan pelit untuk membagi sebagian hartaku kepada andika.”
“Ha-ha-ha, aku percaya dan tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang yang tahu menghargai bantuan orang lain. Nah, katakan, kesukaran apa yang sedang andika hadapi dan bantuan apa yang andika harapkan dariku?”
“Apakah utusanku belum menceritakan kepadamu, kakang Surobajul?”
“Hanya sedikit dan tidak terlalu jelas. Harap andika jelaskan duduk perkaranya. Siapakah itu perawan remaja bernama Muryani? Alangkah anehnya kalau ada seorang gadis dusun menolak untuk andika ambil sebagai selir. Orang macam apa sih perawan itu?”
Dengan jelas Ki Demang Wiroboyo bercerita tentang Muryani yang membuatnya tergila-gila namun yang menolak pinangannya, bahkan mengajukan syarat semacam sayembara di mana dia dua kali dikalahkan oleh gadis itu, dalam lomba balap kuda dan pertandingan adu kanuragan.
“Aku merasa dipermalukan sekali, kakang Surobajul. Aku merasa terhina telah dikalahkan olehnya di depan para warga dusun ini. Aku minta andika membalaskan kekalahanku ini dan juga menawan gadis itu untukku, agar ia dapat kumiliki.”
“Hemm, jadi andika benar-benar kalah olehnya? Ketika aku mendengar cerita utusanmu itu, aku sukar untuk dapat percaya. Macam apa sih gadis itu dan berapa usianya?”
“Gadis itu cantik manis merak ati, pendek kata dia seperti seorang dewi dari kahyangan tapi mempunyai kedigdayaan seperti Srikandi. Usianya sekitar enam belas tahun, kakang Surobajul.”
“Apa? Mustahil! Andika kalah melawan seorang perawan bau kencur berusia enam belas tahun? Jangan bergurau, adi Wiroboyo.”
“Aku tidak bergurau, kakang. Gadis itu benar-benar digdaya sekali. Kiranya hanya andika yang akan mampu mengalahkannya maka jauh-jauh aku telah mengundang andika untuk membantuku.”
“Hemm, apakah ayahnya yang sakti?”
“Tidak, ayahnya bernama Ki Ronggo Bangak, seorang seniman dan pemahat. Akan tetapi tadinya puterinya itu tinggal di daerah Demak dan baru beberapa bulan ini tinggal dengan ayahnya di sini.”
“Hmm, baiklah, adi Wiroboyo. Akan tetapi terus terang saja aku merasa malu sekali kalau ketahuan orang bahwa aku datang untuk bertanding melawan seorang perawan remaja berusia enam belas tahun! Kalau para warok di Ponorogo mendengar tentang hal ini, aku pasti akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan mereka!”
“Jangan khawatir, kakang. Balas dendam ini harus dilakukan dengan siasat karena aku pun tidak menghendaki orang-orang mengetahui bahwa untuk mendapatkan Muryani aku mempergunakan tenaga bantuanmu. Sebaiknya diatur begini...” Ki Demang Wiroboyo lalu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Surobajul dan berbisik-bisik dekat telinganya. Surobajul mendengarkan dan mengangguk-angguk sambil inenyeringai.
Dua orang itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi Parmadi terus mendengarkan percakapan mereka dari luar jendela ruangan itu yang tertutup. Semenjak raksasa hitam itu datang bertamu di kademangan dan melihat sikap serta gerak-gerik tuan rumah dan tamunya, Parmadi sudah merasa curiga dan bersikap waspada.
Setelah dua orang itu selesai berpesta makan minum kemudian memasuki ruangan yang tertutup, Parmadi menyelinap sambil mendengarkan percakapan mereka melalui jendela. Karena dia sudah lama menjadi seorang pembantu di kademangan dan sudah dipercaya, maka tak seorang pun yang mencurigai gerak-geriknya sehingga dia dapat mendengarkan percakapan kedua orang itu dengan leluasa.
Sayang sekali pada waktu Ki Demang Wiroboyo menceritakan rencana siasatnya kepada Surobajul, dia berbisik-bisik dekat telinga raksasa itu sehingga Parmadi sama sekali tidak dapat mendengarnya. Akan tetapi apa yang telah didengarnya tadi sudah cukup! Jelas raksasa itu akan membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya dari Muryani dan untuk menawan Muryani agar dapat dimiliki Ki Demang!
Karena merasa cukup dan khawatir kalau-kalau pengintaiannya ketahuan, Parmadi lalu menyelinap pergi dan malam itu juga dia bergegas pergi berkunjung ke rumah Ki Ronggo Bangak.
Ketika Parmadi mengetuk daun pintu rumah sederhana namun indah karena bangunan itu dan pintu-pintunya dihias ukir-ukiran, yang membuka daun pintu adalah Muryani sendiri. Gadis itu tampak heran memandang wajah pemuda itu yang kelihatan serius.
“Eh, kakang Parmadi. Tidak sari-sarinya datang begini malam! Silakan masuk, kang!”
“Terima kasih, adi Muryani. Di mana paman Ronggo?”
“Ayah ada di dalam. Ada apakah, kakang? Tampaknya engkau mempunyai urusan yang penting sekali.”
“Memang penting sekali, Muryani. Ki Demang Wiroboyo mendatangkan seorang jagoan warok, namanya Surobajul. Tadi mereka bicara empat mata dan karena curiga aku lalu mendengarkan. Ternyata Surotbajul itu diundang untuk membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya darimu dahulu itu dan... dan... untuk menawanmu agar Ki Demang dapat memilikimu.”
“Jahanam keparat!” Muryani mengepal kedua tinjunya dan membanting-banting kakinya. “Akan kudatangi malam ini juga dan kuhajar mereka!”
Mendengar ribut-ribut itu, Ki Ronggo Bangak keluar dari dalam. “Ada apakah ribut-ribut ini? Ah, kiranya Parmadi yang datang. Ada apakah ini, Parmadi?”
Sebelum Parmadi menjawab, Muryani telah mendahului dengan gemas, “Coba ayah pikir! Si jahanam Demang Wiroboyo itu mengundang seorang jagoan warok untuk membalas dendam kepadaku dan untuk menawanku! Gila tidak itu? Ayah, aku akan pergi ke sana dan menghajar mereka malam ini juga!”
“Sabar dulu, Muryani. Benarkah ini, Parmadi?”
“Benar, paman. Saya mendengar sendiri pembicaraan mereka.”
“Sudah, aku mau pergi, ayah!” kata Muryani yang cepat berlari memasuki kamarnya lalu keluar lagi sambil membawa sebatang patrem (keris kecil) bersarung yang diselipkan di pinggangnya.
“Muryani, jangan terburu nafsu. Tenang dulu, nini!” seru ayahnya.
“Tidak, ayah. Sebelum mereka turun tangan, lebih baik kalau aku yang turun tangan lebih dulu!”
“Adi Muryani, harap tenang dulu. Pikirkan dengan matang. Jika engkau datang menyerbu ke sana, apa alasanmu? Engkau hanya mendengar dari aku, akan tetapi sama sekali tak ada buktinya. Apa buktinya bahwa mereka akan menyerang dan menawanmu?”
“Akan tetapi, bukankah engkau mendengar sendiri pembicaraan mereka, kakang.”
“Benar, akan tetapi itu bukan merupakan bukti. Mereka bisa saja menyangkal dan bahkan berbalik menuduh aku berbohong dan hendak melempar fitnah.”
Mendengar pendapat Parmadi ini, Muryani tertegun. Ia dapat melihat kebenaran pendapat itu. Dia pun menoleh kepada ayahnya dan bertanya lirih, “Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Apa yang dikatakan Parmadi itu memang benar sekali, Muryani. Mereka mengancammu, akan tetapi karena ancaman itu hanya didengar Parmadi seorang dan tidak ada saksi lain, tentu saja hal itu kurang kuat. Ancaman mereka itu merupakan rencana rahasia yang belum terbukti. Sekarang sebaiknya kalau kita menjaga diri, siap menghadapi ancaman itu. Engkau bersiap dengan kedigdayaanmu, dan aku akan nenghadapi mereka dengan nasihat. Kurasa omonganku masih cukup berwibawa terhadap Ki Demang Wiroboyo.”
Muryani mengangguk-angguk. “Baiklah, ayah. Aku akan bersiap siaga, dan kalau demang keparat itu berani datang ke sini dan tidak mau menuruti nasihat ayah, maka aku akan menghadapinya dengan patremku!”
“Kami minta bantuanmu, Parmadi. Kau amat-amatilah gerak-gerik Ki Demang Wiroboyo dan kalau dia hendak melanjutkan niat jahatnya menyerbu ke sini, harap engkau suka memberi tahu kepada kami agar kami bisa menjaga diri,” kata Ki Ronggo Bangak kepada pemuda itu.
Parmadi mengangguk dan dia segera mohon diri lalu meninggalkan rumah itu. Akan tetapi hatinya yang diliputi kekhawatiran membuat dia mengambil langkah lain.....
Komentar
Posting Komentar