SERULING GADING : JILID-07


Para pemuda itu menjadi marah mendengar ini dan mereka juga merasa amat penasaran. Sejak lama para pemuda ini sudah merasa tak senang karena Ki Demang Wiroboyo telah merampas banyak gadis yang tadinya menjadi calon isteri mereka.

Mereka tidak berani bertindak karena maklum akan kedigdayaan demang itu. Akan tetapi semenjak demang mata keranjang itu dikalahkan Muryani, hati mereka menjadi tabah dan mereka melihat dengan girang bahwa tampaknya Ki Demang Wiroboyo sudah mengubah tabiatnya yang buruk. Kini mendengar bahwa Muryani hendak diganggu, mereka serentak menyatakan hendak membela Muryani!

Kemudian Parmadi minta kepada mereka untuk diam-diam mengamati rumah Muryani dan membelanya kalau Ki Demang Wiroboyo benar-benar melaksanakan niatnya yang jahat. Para pemuda itu menyanggupi, bahkan berita itu meluas sehingga sebagian besar para pria di dusun itu ikut siap siaga membantu Muryani dan mengeroyok para pengganggunya.

Setelah merasa puas dengan apa yang dia lakukan barulah Parmadi kembali ke kamarnya di dekat istal kuda. Akan tetapi dia selalu waspada, terutama pada malam hari karena dia menduga bahwa Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul yang tidak ingin dilihat orang ketika mengganggu Muryani, tentu akan melaksanakan niat jahat mereka pada malam hari.

Malam hari itu tidak terjadi sesuatu. Parmadi melihat bahwa Ki Demang Wiroboyo tidak meninggalkan rumah, demikian pula Surobajul malam itu berdiam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi pada keesokan harinya dua belas orang kaki tangan Ki Demang keluar dusun.

Diam-diam Parmadi memikul keranjang rumputnya lalu membayangi mereka. Dia melihat mereka menuju ke sebuah hutan di sebelah timur dusun dan mereka membangun sebuah pondok kayu di tempat yang sunyi itu. Setelah melihat ini, Parmadi kembali ke Pakis.

Hari itu dia tidak pergi ke hutan Penggik untuk menemui Ki Tejo Wening. Dia harus cepat kembali supaya dapat mengamat-amati kedua orang itu, yaitu Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul.

Setelah merawat kuda-kudanya dan merasa yakin bahwa siang hari itu dua orang itu pasti tidak akan berani mengganggu Muryani, Parmadi tidur. Dia harus dapat tidur di siang hari karena malamnya dia harus bergadang untuk mengamati mereka. Dia sudah tahu bahwa Ki Demang membangun pondok di hutan itu dan dia dapat menduga bahwa jika Muryani dapat ditawan, agaknya tentu akan dibawa ke pondok itu!

Membayangkan hal ini, dia mengepal tinju dengan hati panas. Akan tetapi hatinya sedikit terhibur kalau mengingat bahwa selain Muryani sudah tahu akan adanya bahaya dan telah siap siaga, juga banyak pria di dusun ini siap pula untuk membantu gadis itu.

Pada sore hari itu dia berhasil menyelinap keluar dan menghubungi para pemuda. Dengan girang dia mendapat keterangan bahwa hampir semua laki-laki Pakis telah siap membantu Muryani. Dia lalu mengatur bersama mereka bahwa kalau Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya melaksanakan niatnya dan menyerbu ke rumah Muryani, dia akan memberi tanda kentongan titir (bertalu-talu).

Malam hari itu Parmadi sudah bersiap-siap. Dia menyediakan sebuah kentongan bambu dan dia mengintai ke arah ruangan dalam di mana terdapat kamar Ki Demang Wiroboyo dan kamar Surobajul. Karena dua kamar itu terpisah maka dia merasa lebih penting untuk mengamati kamar Ki Demang Wiroboyo.

Akan tetapi sama sekali tidak tampak demang itu keluar rumah. Juga tidak ada gerakan dalam kamar Surobajul. Sampai jauh lewat tengah malam, agaknya kedua orang itu tidak meninggalkan rumah. Berarti mereka takkan melaksanakan rencana mereka pada malam ini, pikir Parmadi. Akan tetapi dia tetap melakukan pengintaian biar pun sambil melenggut karena kantuk.

Menjelang fajar, hawa amat dinginnya. Pada saat seperti itu, sedang pulas-pulasnya orang tidur. Suasana di dusun Pakis sunyi senyap. Hanya suara serangga dan kutu-kutu malam saja yang terdengar. Bulan sepotong kelihatan mengambang di angkasa, mendatangkan cahaya remang-remang dan mengubah pohon-pohon menjadi bayangan raksasa-raksasa hitam yang menyeramkan.

Parmadi yang sedang melenggut, mendadak membuka matanya dan sadar sepenuhnya. Memang dia tidak meninggalkan kewasdaannya sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya. Ia melihat Ki Demang Wiroboyo keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian indah seperti orang hendak pergi ke pesta.

Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, tidak tahu bahwa Parmadi membayanginya. Pemuda itu terus membayangi sambil membawa kentongan bambunya. Akan tetapi ketika mengikuti kepergian Ki Demang Wiroboyo, dia merasa heran karena pria itu tidak pergi ke arah tempat tinggal Muryani, melainkan keluar dari dusun.

Ketika melihat bahwa orang yang dibayanginya itu pergi menuju hutan di mana dibangun sebuah pondok, Parmadi menghentikan langkahnya. Dia teringat akan Surobajul. Kenapa warok itu tidak keluar bersama Ki Demang Wiroboyo? Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan Surobajul yang hendak menyerang dan menawan Muryani!

Membayangkan hal ini, cepat-cepat dia kembali ke kademangan dan dengan berindap-indap dia berhasil mengintai ke dalam kamar yang ditempati Surobajul. Dan betapa kaget rasa hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kamar itu sudah kosong. Surobajul tidak berada dalam kamarnya! Hal ini hanya ada satu kemungkinan. Jagoan itu tentu telah pergi untuk melaksanakan tugas menawan Muryani! Dan agaknya Ki Demang Wiroboyo tidak ikut menyerbu ke rumah Muryani, melainkan menunggu calon korbannya di pondok dalam hutan itu! Ah, betapa bodohnya dia tadi. Dia membayangi Ki Demang Wiroboyo dan tidak memperhatikan Surobajul.

Parmadi segera berlari secepatnya meninggalkan kademangan menuju ke rumah Muryani. Jalan pikiran dan dugaannya tadi memang benar, namun agak terlambat. Sesungguhnya semenjak tadi, sebelum Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, Surobajul menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela samping.

Hal ini dia lakukan dengan perhitungan agar jangan ada orang dalam rumah kademangan yang melihat dia keluar pada waktu lewat tengah malam seperti itu. Karena inilah Parmadi tidak melihat jagoan itu meninggalkan kamar.

Sesudah tiba di luar rumah, Surobajul disambut lima belas orang kaki tangan Ki Demang yang memang telah menanti di luar rumah. Tanpa mengeluarkan suara enam belas orang itu lalu berpencar dan menuju ke rumah Muryani.

Di luar rumah Muryani mereka berkumpul kembali dan sekarang mereka masing-masing mengeluarkan selembar kain hitam kemudian mengikatkan kain hitam itu menutupi muka dari hidung ke bawah. Karena kepala mereka diikat kain kepala, maka yang tampak hanya mata mereka.

Sesudah itu Surobajul memberi isyarat agar mereka semua menyiapkan senjata. Sepuluh orang segera mengeluarkan senjata tongkat panjang sedangkan lima orang mengeluarkan jala yang biasa dipergunakan untuk menjala ikan.

“Hati-hati, jangan sampai dia terluka parah apa lagi tewas. Kepung rapat dan tangkap dia hidup-hidup,” pesannya lirih.

Itulah siasat yang sudah direncanakannya bersama Ki Demang Wiroboyo, untuk dapat menangkap hidup-hidup gadis remaja yang digdaya itu. Sesudah semua siap, Surobajul memimpin kaki tangan itu menghampiri rumah Ki Ronggo Bangak.

Mendadak tampak dua orang muda meloncat dan menghadang enam belas orang yang memasuki pekarangan rumah Muryani itu. Mereka adalah dua orang pemuda dusun Pakis yang bertugas menjaga dan mengamati rumah itu seperti yang sudah diatur oleh Parmadi.

“Heii! Siapa kalian dan mau apa memasuki pekarangan orang?” bentak dua orang pemuda itu. Seorang di antara mereka membawa sebuah kentongan bambu.

Temannya, yang memegang sebatang sabit, melangkah maju untuk melihat lebih jelas siapa gerangan orang-orang yang memakai penutup muka itu. Akan tetapi Surobajul yang melihat gelagat kurang baik sudah cepat-cepat melompat ke depan dan tangan kanannya menggerakkan kolornya yang panjang. Sinar kuning menyambar ke arah dada pemuda dusun itu.

“Siuuuttt...! Bukkk!”

pemuda itu terjengkang dan terpental, kemudian roboh dan tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan teriakan. Melihat ini, pemuda yang kedua menjadi terkejut sekali. Cepat dia memukul kentongannya.

“Tung...! Tung...!”

Baru dua kali kentongan itu berbunyi, tubuhnya sudah disambar sinar kuning kolor itu dan dia pun roboh dalam keadaan tewas seperti temannya. Suasana menjadi sunyi kembali setelah terdengar bunyi kentongan yang hanya dua kali itu.

Akan tetapi suara gaduh yang hanya sedikit dan sebentar itu sudah cukup untuk didengar oleh Muryani yang memang telah berjaga-jaga. Ia mendengar suara kentongan dua kali itu dan suara gaduh di luar rumah. Ki Ronggo Bangak juga mendengarnya.

Muryani cepat mengikatkan ujung kainnya di pinggang kemudian dengan trengginas ia pun melompat keluar, senjata patrem terselip pada pinggangnya.

“Nini, ada apakah?” ayahnya mengejar dan bertanya.

“Tinggallah di dalam saja, ayah, di luar ada orang jahat!” kata Muryani dan dia pun sudah bergegas membuka pintu depan lalu berlari keluar.

Di dalam keremangan cuaca menjelang fajar itu ia melihat belasan orang berdiri di dalam pekarangan rumahnya dan ada dua orang pemuda dusun menggeletak di atas tanah.

“Bangsat-bangsat hina! Mau apa kalian memasuki pekarangan rumah kami?!” Muryani membentak dan melompat ke depan, sedikit pun tidak merasa gentar.

Akan tetapi seperti yang telah diatur sebelumnya, sepuluh orang yang memegang tongkat panjang bergerak maju mengepungnya dan serentak menyerangnya dengan pukulan dan tusukan tongkat.

Melihat para penyerangnya memakai kain penutup muka dan mengeroyoknya, Muryani menjadi marah bukan kepalang dan ia lalu mengamuk! Sebagai murid perguruan Bromo Dadali yang dibanggakan, gadis ini memiliki gerakan yang amat cepatnya seperti gerakan burung dadali (walet). Kecepatan gerakan dan keringanan tubuh inilah yang merupakan keistimewaan ilmu pencak silat dari perguruan Bromo Dadali hingga membuat para murid utamanya merupakan orang-orang yang tangguh.

Muryani yang telah menjadi ahli dan menguasai benar ilmu silat Bromo Dadali, bergerak cepat sekali. Karena marah dia sudah mencabut patremnya kemudian mengamuk. Walau pun dikeroyok sepuluh orang laki-laki yang bersenjata tongkat panjang, Muryani dapat berkelebatan di antara tongkat-tongkat itu dan tidak pernah tubuhnya terkena serangan tongkat.

Sungguh pun agak sulit pula baginya untuk dapat menanamkan patremnya yang kecil di tubuh para pengeroyok karena mereka semua bersenjata tongkat panjang yang membuat dia sukar untuk mendekat, akan tetapi kedua kakinya mencuat dan menyambar-nyambar dengan tendangan-tendangan langsung, menyamping, atau memutar.

“Heiiiittt...!”

“Dukk! Plakk!”

Dua orang pengeroyok terpelanting disambar kaki Muryani. Mereka dapat bangkit kembali akan tetapi yang seorang perutnya mulas dan yang seorang lagi kepalanya puyeng.

Dara remaja perkasa itu terus mengamuk. Ketika ada tongkat menusuk ke arah dadanya, dia miringkan tubuh, menangkap tongkat dengan tangan kiri, memutar dan menyentakkan dengan kejutan sehingga pemegang tongkat itu terpelanting.

“Hyaaattt...!”

“Tokk! Bresss...!“

Pemegang tongkat itu kena dihantam tongkatnya sendiri sehingga dia roboh terjengkang, kemudian tongkat itu dilontarkan Muryani sehingga mengenai dua orang pengeroyok lain yang berpelantingan. Dengan kepala benjol-benjol mereka bangkit kembali. Sepak terjang gadis perkasa itu membuat sepuluh orang pengeroyok yang bersenjata tongkat menjadi kewalahan, terdesak dan juga agak jeri.

Surobajul memberi isyarat dan lima orang yang memegang jala segera ikut maju. Mereka menebar jala-jala mereka ke arah tubuh Muryani. Gadis itu terkejut bukan main, mencoba untuk mengelak, akan tetapi karena yang menyambar adalah lima helai jala dari segala jurusan, ia tidak dapat menghindarkan diri lagi dan sehelai jala menyelimutinya.

Ia meronta dan menggunakan patremnya untuk merobek jala, akan tetapi empat jala lain menimpa dan membungkusnya. Muryani meronta-ronta seperti seekor ikan terperangkap jala.

Akan tetapi pada saat itu Surobajul sudah melompat dekat dan meringkusnya. Warok ini kuat sekali dan begitu diringkus, Muryani tidak mampu meronta lagi. Patremnya dirampas dan dengan tubuh masih terbungkus jala dia pun dibelenggu.

Pada saat itu Ki Ronggo Bangak menghampiri dan berkata dengan suaranya yang lembut tapi berwibawa, “Hei, kalian ini tentu orang-orangnya Ki Demang Wiroboyo! Apakah kalian tidak sadar bahwa kalian sudah melakukan kejahatan? Bebaskanlah puteriku atau kalian akan menderita hukuman Gusti Allah dan hukuman kerajaan!”

Akan tetapi sambil memanggul tubuh Muryani yang sudah tak berdaya itu, Surobajul cepat melompat dekat dan sekali kakinya diayun, tubuh Ki Ronggo Bangak tertendang roboh.

Pada saat itulah Parmadi yang berlari-lari tiba di situ. Begitu melihat di pekarangan rumah Muryani terdapat banyak orang yang mengenakan kain penutup muka, dia pun segera memukul kentongannya dengan gencar. Dia memukul kentongannya bertalu-talu sehingga membangunkan dan mengegerkan orang sedusun.

Mendengar kentongan ini, Surobajul lalu melarikan diri sambil memanggul tubuh Muryani. Melihat ini Parmadi cepat melempar kentongannya lalu berlari mengejar. Seperti apa yang diduganya, Surobajul membawa lari Muryani menuju hutan di luar dusun itu.

Parmadi terus mengejarnya. Warok jagoan itu berlari cepat bukan main sampai Parmadi terengah-engah mengejarnya dan dia tertinggal jauh.

Sementara itu fajar mulai menyingsing sehingga walau pun cuaca masih remang-remang, sekarang tidaklah segelap tadi. Matahari yang masih bersembunyi di balik puncak, mulai mengirim sinar terangnya.

Parmadi mengejar terus dan setelah dia tiba di depan pondok baru, dia melihat Surobajul, kini tanpa penutup muka, sudah duduk di atas lincak (bangku bambu) di depan pondok. Muryani tidak tampak lagi dan pintu pondok itu tertutup.

Parmadi tak peduli. Ia berlari hendak menuju pintu pondok sambil berteriak-teriak, “Paman Demang ! Paman Demang...!”

Surobajul yang pernah melihat Parmadi sebagai perawat kuda, mengira bahwa pemuda itu merupakan pembantu Ki Demang. Dia menghadang dan bertanya, “Ada keperluan apakah engkau dengan Ki Demang Wiroboyo?”

“Ada keperluan penting sekali! Paman Deinang, harap keluar sebentar!” Parmadi hendak menghampiri pintu akan tetapi Surobajul menghadang dan melarangnya.

“Engkau tunggu saja di sini, tidak boleh masuk!”

Daun pintu pondok itu terbuka dan Ki Demang Wiroboyo muncul. Dia tadi sedang duduk di tepi bale-bale (dipan) di mana Muryani menggeletak telentang masih terbungkus jala. Dia mengamati perawan yang membuatnya tergila-gila itu dengan hati senang sekali.

“Akhirnya engkau jatuh juga ke dalam tanganku, Muryani manis...“ katanya.

Ia sudah mulai berusaha hendak melepaskan jaring atau jala yang menyelimuti gadis yang kedua tangannya sudah diikat itu ketika dia mendengar seruan Parmadi. Karena dia pun mengira bahwa Parmadi tentu datang membawa kabar penting baginya, maka terpaksa ia menunda niat mesumnya kepada Muryani dan dia membuka daun pintu lalu melangkah keluar.

“Engkau, Parmadi? Ada apakah engkau datang ke sini?” tanyanya.

Muryani mendengar ini dan tahu bahwa Parmadi berada di luar pondok, maka gadis itu berteriak, “Kakang Parmadi, tolong...!”

Parmadi menatap mata Ki Demang Wiroboyo dengan tajam. Selama kurang lebih delapan tahun dia memandang orang ini sebagai pengganti orang tuanya dan sebagai majikannya yang harus selalu dia taati. Kalau dia mau jujur, dia harus mengakui bahwa Ki Demang Wiroboyo bersikap baik padanya sehingga kehidupannya terjamin, tak pernah kekurangan sandang pangan. Akan tetapi baru sekarang dia melihat orang itu seperti melihat seorang penjahat yang harus ditentangnya. Dengan berdiri tegak dan sikap berani Parmadi berkata dengan lantang,

“Paman Wiroboyo, sadarlah akan perbuatan paman yang sesat ini! Bebaskan dan jangan ganggu Muryani, paman. Paman adalah seorang demang yang seharusnya melindungi warga dusunnya, bukan mengganggunya. Paman, saya mohon kepada paman, bebaskan adi Muryani dan jangan ganggu dia!”

Ki Demang hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah. Sepasang kumisnya yang sekepal sebelah itu bergerak-gerak dan kedua tangannya mengepal tinju. Kemudian tangan kanannya bertolak pinggang dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Parmadi.

“Bocah keparat tidak mengenal budi. Lupakah engkau bahwa selama bertahun-tahun aku memeliharamu? Inikah balasanmu? Apakah engkau ingin mampus seperti ayah ibumu?”

“Paman, saya hanya ingin mencegah dan memperingatkan agar paman tidak melakukan kejahatan. Paman adalah seorang yang baik, sayang kalau paman melakukan kesesatan ini...“

“Kakang Surobajul, bunuh bocah tak tahu diri ini!” bentak Ki Demang Wiroboyo dengan marah sekali.

Warok ini sudah biasa membunuh orang dengan darah dingin dan dengan mudah. Apa lagi sekarang harus membunuh seorang pemuda dusun yang tampaknya demikian lemah. Dia menyeringai, melangkah maju menghampiri Parmadi sambil memutar-mutar kolornya.

“Bocah tak tahu diuntung, mampuslah kau!” bentaknya dan begitu tangannya bergerak, kolornya langsung menyambar, berubah menjadi sinar kuning yang menghantam ke arah kepala Parmadi.

Parmadi hanya dapat memandang dan tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut, ia jadi teringat akan pelajaran yang diterimanya dari Ki Tejo Wening tentang penyerahan diri kepada kekuasaan Hyang Widhi. Maka dia pun melepaskan semua pikiran, perasaan dan kemauan, membiarkan dirinya hanyut dan tenggelam dalam kepasrahan.

Kolor kuning itu menyambar dahsyat.

“Wuuuutttt...! Blarrr...!”

Terdengar suara keras dan kolor itu seperti menghantam dinding baja, terpental bahkan membuat Surobajul terbawa oleh tenaga pukulan yang membalik sehingga dia terhuyung!

“Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua !” terdengar suara tenang dan lirih penuh kedamaian.

Parmadi merasa girang sekali mendengar suara gurunya itu dan dia segera menoleh ke belakang. Benar saja. Kakek itu berdiri di belakangnya, kakek berambut putih berpakaian putih berselimut embun pagi tipis. Sekarang tahulah Parmadi mengapa pukulan warok ke arah kepalanya tadi tidak berhasil, membalik bahkan membuat pemukulnya terhuyung. Tentu gurunya yang telah melindunginya.

Surobajul terkejut, heran, penasaran dan marah bukan main ketika pukulan kolornya tadi membalik, bahkan membuat dia terhuyung. Dia tidak tahu apa yang sudah terjadi dan dia pun tidak mempedulikan kemunculan kakek itu. Dengan marah dia cepat menerjang maju dan memukulkan lagi kolornya ke arah dada Parmadi yang masih menoleh memandang gurunya.

“Alangkah kejamnya...!” Ki Tejo Wening berkata dan dia mendorongkan tangan kirinya ke arah Surobajul yang menyerang Parmadi.

Tiba-tiba ada tenaga dahsyat yang menyambut serangan Surobajul sehingga untuk kedua kalinya jagoan itu terdorong ke belakang. Pukulan kolornya membalik dan dia terhuyung-huyung. Kini tahulah dia bahwa kakek itu yang telah membantu Parmadi. Kemarahannya segera beralih kepada kakek itu.

“Babo-babo, keparat! Siapakah yang berani menentang Warok Surobajul dan mencampurl urusanku? Heh, kakek tua bangka. Siapa engkau?!” kata Surobajul sambil menghampiri kakek itu. Ki Demang Wiroboyo juga sudah menghampiri ketika melihat bahwa kakek itu akan menjadi penghalangnya.

“Siapa aku tidaklah penting. Yang terpenling, kalian berdua harus ingat bahwa apa yang kalian lakukan ini merupakan perbuatan yang jahat. Sang Hyang Widhi melihatnya dan pasti tidak merestui kejahatan kalian dan akan menghalanginya. Karena itu kalian berdua sadarlah dan hentikan perbuatan jahat ini.”

“Kakang Surobajul, cepat kita bereskan dua orang pengganggu ini!” kata Ki Demang Wiroboyo dengan tak sabar dan dia pun sudah mencabut kerisnya.

Karena mereka berdua menduga bahwa kakek itu yang agaknya memiliki kesaktian, maka mereka berdua menyerang kakek itu dengan cepat. Kolor kuning di tangan Surobajul menyambar kepala dan keris di tangan Ki Demang Wiroboyo menghunjam ke arah ulu hati kakek itu.

Ki Tejo Wening hanya berdiri tersenyum dan kedua matanya setengah terpejam. Parmadi mellhat dengan mata terbelalak dan hatinya penuh ketegangan dan kekhawatiran. Dua buah senjata ampuh itu menyambar dahsyat. agaknya dalam detik yang sama, kepala itu akan pecah dihantam kolor dan ulu hati itu akan menjadi sarung keris. Hampir Parmadi tidak dapat menahan kengerian hatinya.

Tetapi terjadilah hal yang tidak disangka-sangkanya yang membuat hatinya ingin bersorak karena lega, girang dan kagum. Dua senjata yang sudah hampir menyentuh tubuh kakek itu, tiba-tiba seperti terpental, seakan-akan tubuh kakek itu terbungkus oleh dinding baja yang tidak tampak!

Dua orang itu terkejut, terheran dan tentu saja penasaran sekali. Mereka mengulang-ulang serangan mereka. Kolor kuning di tangan Surobajul menyambar-nyambar dan memukul-mukul dengan kuat, keris di tangan Ki Demang Wiroboyo juga menyerang dengan tusukan bertubi-tubi.

Akan tetapi semua itu sia-sia belaka. Semua serangan itu terpental dan membalik, bahkan mereka sampai terengah-engah kehabisan tenaga karena mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga sakti untuk menembus perisai yang tak tampak itu. Bahkan pada serangan terakhir yang dilakukan sepenuh tenaga, mereka berdua terpental dan terhuyung sampai beberapa langkah ke belakang.

“Semoga Sang Hyang Widhi mengampuni kita semua!” Ki Tejo Wening berkata lirih.

Tetapi kedua orang itu agaknya masih belum menerima kalah begitu saja. Mereka berdua mengerahkan tenaga sakti lalu keduanya menyerang dengan mendorong kedua tangan, melakukan pukulan jarak jauh ke arah Ki Tejo Wening. Kakek itu tersenyum dan tangan kirinya dijulurkan ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke muka.

“Wuuusss...! Desss...!”

Dua orang itu terpental dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Mereka bangkit dengan muka pucat, kini baru mereka yakin bahwa kakek tua renta itu adalah seorang yang sakti mandraguna.

Selagi keduanya masih bingung tak tahu harus berbuat apa karena tentu saja Ki Demang Wiroboyo tidak rela meningalkan Muryani, calon korban yang sudah terjatuh ke dalam tangannya itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang dari jauh. Mendengar suara gaduh ini, Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul segera lari meninggalkan tempat itu.

Parmadi tidak membuang waktu lagi, cepat dia berlari mernasuki pondok. Melihat Muryani rebah telentang terbungkus beberapa helai jala dan dalam keadaan terikat, Parmadi cepat menolong dan melepaskan jala dan ikatan itu. Muryani segera melompat dari atas dipan.

“Kakang Parmadi, di mana jahanam-jahanam itu tadi?”

“Mereka sudah melarikan diri!” kata Parmadi.

Mendengar ini Muryani sudah meloncat kemudian berlari keluar cepat sekali melakukan pengejaran. Parmadi juga keluar dari pondok, mencari-cari gurunya, akan tetapi Ki Tejo Wening sudah tidak berada di sana lagi. Parmadi lalu melakukan pengejaran keluar dari hutan itu.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)