SERULING GADING : JILID-08


Mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan berbondong-bondong mereka berlari ke rumah Ki Ronggo Bangak. Di pekarangan rumah itu mereka menemukan dua orang pemuda dusun yang tewas tergeletak dan Ki Ronggo Bangak yang juga menderita nyeri pada dadanya terkena tendangan Surobajul akan tetapi dia masih hidup dan keadaannya tidak terlalu parah.

Melihat banyak orang datang, Ki Ronggo Bangak berkata, “Muryani... dibawa mereka..., kalian tolonglah dia...”

Mendengar ini, puluhan orang itu yang sudah diberi tahu oleh Parmadi tentang pondok di hutan luar dusun, segera melakukan pengejaran keluar dusun menuju ke hutan itu.

Ketika mereka sedang berbondong-bondong memasuki hutan, mereka melihat dua orang sedang berlari-lari dari depan. Mereka segera mengenal dua orang itu sebagai Ki Demang Wiroboyo dengan seorang raksasa hitam. Bangkitlah kemarahan para pria dusun Pakis itu karena sudah tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo dan jagoannya merencanakan menculik Muryani. Maka begitu melihat dua orang itu mereka berteriak-teriak gemuruh.

Ki Demang Wiroboyo terkejut bukan kepalang melihat warga dusunnya kini dengan wajah beringas menyerbu untuk mengeroyok dia dan Surobajul. “Heii! Apa kalian telah buta atau gila? Ini adalah aku, Ki Demang Wiroboyo, kepala dusun kalian!” teriaknya. Akan tetapi teriakan-teriakan yang menjawabnya sungguh amat mengejutkan hatinya.

“Demang angkara murka!”

“Demang lalim!”

“Demang mata keranjang!”

“Perusak pagar ayu!”

“Bunuh! Bunuh!”

Lima puluh lebih orang itu lantas mendesak maju, mengepung dan menghujankan senjata mereka ke arah dua orang itu!

Tentu saja Ki Demang Wiroboyo membela diri. Juga Surobajul segera mengamuk. Hanya bedanya, jika Surobajul mengamuk untuk membunuh para pengeroyok, maka Ki Demang Wiroboyo hanya merobohkan pengeroyok untuk membela diri, tak bermaksud membunuh. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh warga dusunnya, maka mereka akan menjadi lebih sakit hati dan marah lagi.

Amukan Surobajul benar-benar menggiriskan, kolornya diputar menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung dan rnengeluarkan bunyi meledak-ledak! Sinar kuning itu menangkis hujan senjata yang ditujukan kepadanya, bahkan dia sudah memukul roboh enam orang pengeroyok yang tewas dengan kepala pecah. Hal ini membuat para pengeroyok menjadi semakin ganas.

Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Muryani telah tiba di tempat itu.

“Jahanam busuk! Manusia iblis keparat!”

Gadis itu minta sebatang golok dari seorang penduduk dan ia pun lantas terjun ke dalam pertempuran. Melihat betapa ganasnya Surobajul, ia pun segera menerjang raksasa hitam yang tadi menawannya itu dengan penuh semangat.

Mendengar golok berdesing nyaring, Surobajul sangat terkejut dan cepat menggerakkan kolor untuk menangkis.

“Wuuuttt...! Desss...!”

Golok dan kolor itu sama-sama terpental, akan tetapi Muryani merasa betapa telapak tangannya yang memegang gagang golok menjadi panas. Hal itu membuat ia mengetahui bahwa lawannya itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat, lebih kuat dari pada tenaganya sendiri. Seorang lawan yang tangguh!

Akan tetapi dia tidak merasa gentar, apa lagi karena dia dibantu oleh sedikitnya dua puluh orang laki-laki dusun Pakis yang menyerang raksasa hitam itu dengan nekat dan marah karena melihat roboh dan tewasnya beberapa orang rekan mereka.

Sementara Ki Demang Wiroboyo juga repot sekali menghadapi pengeroyokan dua puluh orang lebih. Apa lagi karena dia tidak ingin membunuh, maka dia hanya mempergunakan kedua tangan dan kakinya saja untuk membela diri.

Tubuhnya sudah menderita banyak luka. Walau pun bukan luka berbahaya namun cukup membuat dia terasa nyeri dan tenaganya makin lemah. Keadaannya gawat sekali karena para pengeroyoknya yang sudah marah itu seperti kumpulan harimau yang ingin merobek-robek tubuhnya!

Pada saat yang amat gawat bagi K! Demang Wiroboyo dan agaknya saat kematiannya hanya tinggal beberapa saat lagi, tiba-tiba Parmadi yang tadi melakukan pengejaran tiba di situ. Melihat keadaan Ki Demang yang sudah mandi darah dan sedang didesak oleh para penduduk, dia lalu menyeruak masuk dan merangkul Ki Demang Wiroboyo.

“Sudah cukup, teman-teman! Dia sudah cukup terhukum! Ingatlah akan semua kebaikan yang pernah dia lakukan untuk kita. Dan lihat, dia melawan kalian tanpa mempergunakan kerisnya! Hentikan penyerangan, aku akan mengantarnya pulang!”

Karena dihalangi oleh Parmadi dan agaknya sudah disadarkan oleh ucapan Parmadi tadi, sekarang para pengeroyok itu membalik dan membantu kawan-kawan dan Muryani yang sedang mengeroyok Surobajul! Mereka tidak lagi memperhatikan Parmadi yang memapah Ki Demang Wiroboyo, tersaruk-saruk pulang ke Pakis.

Surobajul memang kebal. Senjata-senjata yang mengenai tubuhnya hanya mendatangkan goresan saja, paling-paling merobek sedikit kulitnya. Akan tetapi dia tahu bahwa golok di tangan Muryani akan rnembahayakan dia, akan dapat merobek pertahanan kekebalannya. Oleh karena itu ia lebih mencurahkan perhatiannya untuk meriyambut serangan-serangan Muryani, tidak mengacuhkan hujan senjata dari para pengeroyok yang lain. Baju berikut celananya sudah compang-camping, robek oleh bacokan senjata tajam.

Namun Muryani adalah murid utama dari sebuah perguruan besar. Ia sudah mempelajari tentang orang-orang yang memiliki kekebalan. Ia tahu bahwa seorang yang kebal selalu mempunyai titik kelemahan. Sejak tadi ia memperhatikan dan akhirnya ia melihat bahwa raksasa hitam itu selalu melindungi tubuh pada bagian pusarnya. Setiap ada senjata yang meluncur ke arah pusar, tangan kirinya selalu menangkisnya, sedangkan kalau mengarah bagian lain diterima dengan kekebalannya.

“Kawan-kawan, serang bagian pusarnya!” Muryani berteriak lantang.

Para pengeroyok itu tentu saja menuruti ucapan Muryani dan Surobajul terkejut bukan main. Rahasianya ketahuan dan kini dirinya berada dalam bahaya besar. Memang bagian pusarnya itulah yang tidak kebal. Padahal kini hampir semua senjata menyerang ke arah pusarnya sehingga dia repot sekali, memutar kolornya untuk melindungi bagian bawah perutnya.

“Kawan-kawan, serang matanya. Mata dan pusarnya!” kembali Muryani berseru.

Dara perkasa ini tahu benar bahwa mata merupakan bagian yang tidak dapat terlindung kekebalan, maka ia menyuruh para pengeroyok menyerang bagian itu. Para pengeroyok kembali menurut dan sekarang dua bagian tubuh Surobajul itu menjadi sasaran serangan.

“Mati aku...!” Surobajul mengeluh dan dia menjadi repot sekali.

Dia harus melindungi dua bagian yang berjauhan, yang satu di bawah yang satu di atas. Dan senjata para pengeroyok yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu datang laksana hujan!

Akhirnya sebuah ujung linggis menusuk mata kirinya. Surobajul menjerit kesakitan dan menjadi limbung. Senjata-senjata lain menyusul menghantam pusarnya bagaikan hujan. Ia mengeluarkan teriakan parau seperti binatang buas terluka dan tubuh yang tinggi besar itu akhirnya roboh! Penduduk yang sudah marah seperti kesetanan itu menghujankan senjata mereka kepada tubuh raksasa yang sudah sekarat itu sehingga Warok Surobajul tewas dengan tubuh menjadi onggokan daging.

“Cukup, jahanam itu telah mati. Mari kita mencari dan menghajar Demang Wiroboyo yang jahat itu!” terdengar suara Muryani melengking nyaring.

Seruan ini langsung disambut sorak-sorai dan puluhan orang itu lalu berbondong-bondong meninggalkan hutan itu untuk kembali ke dusun Pakis. Beberapa orang tetap tinggal untuk mengurus jenazah sanak keluarganya yang tewas ketika mengeroyok Surobajul tadi.

Pada saat mereka memasuki dusun, jumlah mereka bahkan bertambah karena sekarang semua penduduk Pakis, laki dan perempuan, ikut pula dengan rombongan itu menuju ke rumah Ki Demang Wiroboyo! Pada saat itu semua panguneg-uneg, semua rasa sakit hati dan dendam, semua rasa penasaran, berkobar-kobar dan semua orang agaknya hendak menuntut agar Ki Demang Wiroboyo dihukum. Bahkan mereka yang tak pernah dirugikan Ki Demang, bahkan pernah ditolong, pada saat itu terbawa dan terseret perasaan orang banyak dan ikut-ikutan mendaulat sang demang!

Rombongan itu lalu memasuki pekarangan gedung kademangan. Muryani berjalan paling depan karena dia memang dianggap oleh semua penduduk sebagai pimpinan yang boleh diandalkan. Gadis itu melangkah ke arah pendopo kademangan bersama belasan orang pemuda yang merasa diri sebagai jagoan dan pahlawan,.

Akan tetapi belasan orang pimpinan termasuk Muryani itu berhenti di bawah anak tangga ketika melihat dua orang berdiri di atas anak tangga menghadapi mereka. Dua orang itu bukan lain adalah Ki Ronggo Bangak dan Parmadi. Melihat ayahnya, Muryani memandang heran. Semua orang juga berdiam diri melihat pria yang mereka segani dan hormat itu.

Ki Ronggo Bangak memang dihormat semua orang karena peramah, berbudi luhur, suka menolong, menjadi sumber nasihat dan terutama sekali setelah pria ini memperkenalkan puterinya yang disanjung semua orang itu.

Tetapi di antara mereka terdapat beberapa orang pemuda yang pacar atau tunangannya dulu direbut oleh Ki Demang Wiroboyo. Saking besarnya kobaran dendam di hati mereka, mereka serentak berteriak, “Bunuh Wiroboyo perusak pager ayu,”

Teriakan ini seperti menyulut semua orang dan mereka pun bersorak menyetujui. Ada pula teriakan-teriakan yang mengancam Parmadi.

“Seret dan hajar Parmadi! Dia melindungi Wiroboyol!”

“Parmadi itu antek Wiroboyo. Hukum pula dia!”

Suara-suara yang mengancam Parmadi ini keluar dari mulut beberapa orang pemuda yang merasa iri dan cemburu melihat betapa dekat dan akrabnya hubungan Parmadi dengan Muryani. Mereka mempergunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kecemburuan mereka.

Dengan tenang Parmadi mengangkat dua tangan ke atas untuk menenangkan orang-orang itu. “Para paman dan bibi, kakak dan adik, para saudaraku sewarga dusun Pakis! Dengarlah dulu kata-kataku dan jangan menuruti hati yang panas!” dia berkata dan aneh sekali, suara pemuda itu seolah mengandung wibawa kuat sehingga semua orang diam mendengarkan.

Setelah semua orang diam, Parmadi bercara lagi, suaranya tenang namun cukup lantang. “Tadi saya memang mencegah kalian membunuh Ki Demang Wiroboyo dan saya yang mengantarnya pulang ke sini. Akan tetapi hal itu saya lakukan bukan semata-mata untuk melindung dia, tetapi untuk mencegah kalian melakukan kekejaman yang sama jahatnya. Saya ingatkan kalian. Ki Demang Wiroboyo sudah banyak melakukan kebaikan terhadap saya, akan tetapi apakah terhadap kalian juga tidak demikian? Bukankah selama ini dia menjadi seorang demang yang jujur, adil dan baik terhadap warga dusun Pakis? Memang dia bersalah. Salah besar sekali karena terdorong nafsu-nafsunya sehingga dia menculik adi Muryani. Akan tetapi dia tidak melakukan pembunuhan, bahkan ketika kalian keroyok, ia membela diri dengan kaki tangannya saja, tidak menggunakan kerisnya. Surobajul itulah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan. Oleh sebab itu, apakah Ki Demang Wiroboyo yang sudah kalian keroyok sehingga menderita banyak luka dan sudah dipermalukan di depan semua orang itu berarti telah mendapatkan hukuman yang cukup?”

Hening sejenak setelah Parmadi bicara. Akan tetapi segera terdengar teriakan beberapa orang pemuda yang membenci Ki Demang Wiroboyo.

“Tidak! Tidak cukup! Dia harus dibunuh!” dan kembali banyak mulut menyambut teriakan ini sehingga suasana menjadi gegap-gempita.

Kini Ki Ronggo Bangak mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, “Andika semua tenanglah!”

Kembali semua orang terdiam karena mereka memang segan terhadap pria yang lembut ini.

Setelah semua orang diam, Muryani bertanya kepada ayahnya dengan nada suara yang mengandung penasaran, “Ayah, mengapa ayah berada di sini?”

Tentu saja dia merasa penasaran. Dia baru saja diculik Ki Demang Wiroboyo dan nyaris diperkosa, bahkan dia tadi juga melihat ayahnya roboh ditendang Surobajul. Akan tetapi sekarang ayahnya malah berada di rumah demang itu dan berdiri di samping Parmadi, agaknya hendak membela Ki Demang Wiroboyo!

Semua orang diam ingin mendengarkan percakapan antar ayah dan anak itu. Ki Ronggo Bangak menatap tajam wajah puterinya dan dia pun menjawab dengan tegas, “Muryani, aku pun dapat memulangkan pertanyaan itu kepadamu, kepada andika sekalian semua. Mengapa kalian datang ke sini? Hendak membunuh Ki Demang Wiroboyo?”

Dengan tegas pula karena penasaran Muryani menjawab, “Benar sekali, ayah.”

Banyak orang bersorak mendengar jawaban ini. “Benar! Bunuh si keparat!”

Ki Ronggo Bangak mengangkat lagi kedua tangannya dan semua orang terdiam. “Harap kalian diam dan tenang. Dengarkan percakapan kami apa bila kalian sudah menganggap Muryani sebagai wakil kalian!”

Semua orang diam, tidak ada yang berani menentang pandang mata Ki Ronggo Bangak ketika pria ini melayangkan pandang matanya menyapu mereka.

“Nah, Muryani. Sekarang jawablah. Kalian datang hendak membunuh Ki Demang. Mengapa?”

“Ah, ayah. Mengapa ayah masih bertanya lagi? Baru saja dia bersama Surobajul dan kaki tangannya sudah menyerbu rumah kita, mereka sudah menangkap aku sehingga nyaris saja aku celaka di tangannya! Dia hendak menodaiku, ayah, dan itu lebih hebat dari pada membunuh! Dia pantas dihukum mati!”

“Nini Muryani, dan kalian semua warga dusun Pakis. Dengarkan baik-baik. Ki Demang Wiroboyo memang bersalah, tetapi dia tidak membunuh siapa-siapa. Dia nyaris menodai, anakku ini, akan tetapi hal tu belum dia lakukan! Bandingkanlah dengan perbuatan kalian kalau sekarang kalian membunuhnya! Siapakah di antara dia dan kalian yang lebih jahat dan lebih kejam?”

Semua orang terdiam.

“Akan tetapi, ayah. Apakah kejahatan Wiroboyo itu harus didiamkan saja?”

Kembali banyak suara mendukung tuntutan Muryani.

“Memang tidak sepatutnya didiamkan, akan tetapi harus melalui hukum yang betul. Bukan dengan cara menghakimi sendiri lalu mempergunakan banyak orang untuk mengeroyok dan membunuhnya! Aku sudah mendengar bahwa Surobajul juga sudah kalian bunuh. Sungguh perbuatan itu sama dengan perbuatan orang-orang biadab yang tidak mengenal peraturan dan hukum! Aku menyesal sekali. Coba saja bayangkan. Kalau cara main hakim sendiri ini dibenarkan, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa yang kalian hakimi dan bunuh itu tak bersalah? Orang bersalah memang sudah sepantasnya mendapat hukuman. Akan tetapi melalui saluran yang benar. Diselidiki dan diteliti dahulu kesalahannya, mana saksi dan buktinya. Jika menurut bukti dan saksi ternyata dia memang bersalah, barulah dijatuhi hukuman. Hukuman itu pun menurut besar kecilnya kesalahan, menurut peraturan dan sepantasnya, bukan secara hantam kromo dibunuh beramai-ramai begitu saja!”

Muryani mulai dapat terbuka pikirannya sehingga dia diam saja, dalam hatinya tidak dapat membantah kebenaran yang terkandung di dalam ucapan ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan seseorang di antara para penduduk dusun Pakis itu.

“Ki Ronggo! Di sini berlaku ucapan 'Deso mowo coro, negoro mowo toto' (Desa memakai cara/ adat, kota raja memakai peraturan/ hukum). Bukankah demikian Ki Ronggo?”

Ki Ronggo Bangak tersenyum dan memandang ke arah pembicara itu. Seorang pria yang sudah setengah tua, warga lama dusun Pakis.

“Ucapan itu benar, akan tetapi tata cara adat sekali pun harus memakai peraturan, bukan ngawur dan hantam kromo. Hukuman atas diri seseorang harus disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, juga dipertimbangkan jasa-jasanya. Untuk itu perlu dimusyawarahkan antara para wakil warga yang terpandang. Sekarang marilah kita memilih beberapa orang wakil yang terpandang dan terpercaya untuk memusyawarahkan keputusan hukuman terhadap Ki Demang Wiroboyo!”

Seketika itu semua orang melakukan pilihan. Empat orang tua, termasuk yang berbicara mengenai hukum dan adat tadi, juga Muryani, diangkat sebagai wakil-wakil semua warga dusun.

“Aku mengusulkan agar Parmadi bisa diperkenankan mewakili pihak Ki Demang Wiroboyo sekeluarga karena tertuduh berhak untuk diwakili seorang yang dekat dengannya. Dan kami rasa Parmadi merupakan orang dekat dan dia cukup adil dan bijaksana.”

Setelah semua orang setuju, empat orang tua, Muryani, Parmadi, dan Ki Ronggo Bangak sendiri lalu memasuki pendopo dan mereka bertujuh kemudian bermusyawarah. Sesudah berunding, mereka memutuskan bahwa hukuman yang paling adil dan baik bagi semua pihak adalah bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi dari dusun Pakis karena kalau dia masih tetap tinggal di Pakis, tentu akan menimbulkan banyak pertentangan.

Karena yang bersalah hanyalah dia pribadi, maka pengusiran itu hanya berlaku untuk dia, sedangkan keluarganya boleh tinggal di Pakis kalau mereka menghendaki. Semua sawah ladangnya harus ditinggalkan dan menjadi milik warga dusun Pakis, hasilnya dimasukkan lumbung desa untuk keperluan semua warga.

Sesudah keputusan musyawarah diumumkan, seluruh penghuni dusun Pakis menyatakan persetujuan mereka dengan suara bulat dan hati gembira. Bahkan dengan suara penuh harapan mereka semua memilih dan mengangkat Ki Ronggo Bangak sebagai pengganti demang.

Dengan tenang Ki Ronggo Bangak menyambut usul warga dusun itu, kemudian berkata, “Tidak mungkin aku menjadi demang menggantikan Ki Wiroboyo karena hal itu menyalahi peraturan, bahkan oleh Kerajaan Mataram kita bisa dianggap sebagai kaum pemberontak. Biarlah sementara ini aku akan memimpin kalian mengatur dusun Pakis ini sambil menanti keputusan dari atas setelah aku membuat laporan tentang peristiwa Ki Wiroboyo ini.”

Demikianlah, mulai hari itu Ki Ronggo Bangak dianggap sebagai pemimpin atau kepala Kademangan Pakis. Ada pun Ki Woroboyo, setelah sembuh dari luka-lukanya lalu segera memboyong keluarganya meninggalkan dusun Pakis tanpa pamit dan tak ada orang yang mengetahui ke mana dia pergi bersama keluaganya.....

********************

Resi Tejo Wening duduk di atas bangku kayu di depan gubuknya dan dia mengangkat muka memandang Parmadi yang baru datang menghampirinya. Pemuda itu memanggul sebuah buntalan di pundaknya.

Hari masih pagi sekali. Halimun mulai membuyar diusir cahaya matahari pagi. Burung-burung berkicau riang, berloncatan dari dahan ke dahan, menggoyang ranting dan daun-daun merontokkan air embun yang tadinya bergantungan di ujung-ujung dedaunan.

Begitu tiba di depan Resi Tejo Wening, Parmadi menaruh buntalan yang tadi dipanggulnya ke atas tanah dan dia berlutut menyembah dengan hormat.

“Parmadi, sepagi ini engkau sudah datang dan membawa buntalan. Apakah isi buntalan itu?” kakek itu lalu menepuk bangku panjang yang didudukinya. “Bangkit dan duduklah di sebelahku sini, Parmadi. Tanah ini basah oleh embun, mengotorkan celana dan kakimu. Duduklah, akan lebih enak kita bicara.”

Parmadi menurut dan duduk di sebelah kakek itu. “Eyang, pertama-tama saya hendak menghaturkan terima kasih atas pertolongan eyang sehingga saya terlepas dari ancaman maut.”

“Ehh? Kapan aku menolongmu terlepas dari ancaman, kulup?”

Parmadi menatap wajah kakek itu. Kenapa kakek itu berpura-pura lagi, pikirnya. Sudah jelas bahwa dia terancam maut pada waktu Surobajul memukulkan senjata kolornya yang ampuh itu ke arah kepalanya, tetapi senjata itu membalik dan tidak menyentuh kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Resi Tejo Wening yang menolongnya?

“Eyang, ketika dalam hutan itu Warok Surobajul menyerang saya dengan kolornya yang ampuh, eyang telah menyelamatkan saya dan menangkis serangan itu,” dia menjelaskan untuk mengingatkan kakek itu.

Resi Tejo Wening tersenyum. “He-heh-heh, aku sama sekali tidak menangkis pukulan itu, Parmadi.”

“Akan tetapi, eyang! Pukulan kolor itu membalik dan tidak mengenai kepala saya! Siapa lagi kalau bukan eyang yang menolong saya?”

Kakek itu menggeleng kepalanya dan menatap wajah pemuda itu dengan senyum penuh pengertian. “Bukan, bukan aku yang menyelamatkanmu, kulup. Coba ingat, apa yang kau lakukan ketika engkau melihat dirimu diserang dengan kolor ampuh itu oleh orang itu?”

Parmadi mengingat-ingat. “Saya merasa tidak berdaya dan tahu bahwa saya terancam bahaya maut, maka saya hanya pasrah, menyerah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi seperti yang biasa saya latih bersama eyang.”

“Nah, itulah yang menyelamatkanmu, Parmadi. Penyerahan yang ikhlas itu menggerakkan kekuasaan ilahi untuk bekerja dan kalau kekuasaan itu melindungi dirimu, tidak akan ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang dapat mengganggu selembar rambutmu.”

Parmadi terbelalak, kemudian serta merta ia menyembah kakek itu. “Aduh, eyang. Terima kasih atas petunjuk eyang selama ini.”

“Jangan berterima kasih padaku. Jika hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Sang Hyang Widhi, karena hanya Dialah yang menjadi gurumu, menjadi pembimbingmu, menjadi pelindungmu. Akan tetapi hendaknya rasa syukur dan terima kasihmu itu jangan hanya berhenti sampai di dalam mulut dan hati akal pikiran saja. Bersyukur dan berterima kasih seperti itu hanya merupakan pemanis bibir saja, kosong dan bahkan palsu adanya. Kita harus selalu bersyukur dan berterima kasih kepada Hyang Widhi atas segala berkah, perlindungan, dan bimbingan-Nya, akan tetapi apakah yang menjadi bukti dari rasa terima kasih itu? Inilah yang sering dilupakan orang sehingga hampir setiap saat manusia hanya mengucap syukur dan terima kasih yang hampa belaka.”

“Eyang, saya menjadi bingung. Lalu apakah yang harus kita lakukan untuk membuktikan bahwa kita bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya?”

“Bukti rasa terima kasih manusia terhadap Hyang Widhi adalah berupa ketaatan, Parmadi. Manusia wajib taat kepada segala perintah-Nya yang tercantum di dalam kitab-kitab suci, dalam weda-weda. Taat dalam arti melaksanakan segala perintah-Nya dalam tindakan kita sehari-hari. Menjadikan diri kita sebagai alat-Nya yang baik, mangayu hayuning bhuwana (mengusahakan keselamatan jagad), dengan cara selalu bertindak membela keadilan dan kebenaran, melindungi yang lemah tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang, berwatak ksatria sejati, dan membela nusa bangsa.”

“Kalau begitu benar sekali pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang, yaitu bahwa saya harus membela Mataram sampai mati.”

“Itu hanya merupakan satu di antara kewajiban-kewajibanmu sebagai manusia utama.”

“Dan apa lagi yang harus saya panjatkan dalam doa saya kepada Yang Mahakuasa selain bersyukur dan berterima kasih, eyang?”

“Dalam doa kepada Hyang Widhi, yang terpenting adalah ucapan rasa syukur dan terima kasih yang dibuktikan dengan ketaatan, yang dilaksanakan dalam tindakan, kemudian jika ada permohonan dalam doa, hanya ada dua permohonan yang patut kita persembahkan kepada Hyang Widhi.”

“Permohonan apakah itu, eyang?”

“Pertama adalah permohonan ampun kepada-Nya atas segala kesalahan dan dosa kita. Seperti juga rasa syukur dan terima kasih, permohonan ampun ini harus kita panjatkan setiap saat, tiada henti-hentinya. Dan seperti rasa terima kasih tadi, permohonan ampun ini pun harus bukan omong kosong belaka. Permohonan ampun itu kosong dan palsu selama kita tidak membuktikannya dengan perbuatan nyata, yaitu dengan bertobat, berarti tidak lagi melakukan kesalahan yang kita mintakan ampun itu. Apa artinya mohon ampun untuk suatu kesalahan hari ini tapi besok kita ulangi lagi kesalahan itu, untuk dimintakan ampun lusa, dan demikian selanjutnya. Hari ini minta ampun, besok mengulang, hari ini minta ampun lagi, besok mengulang lagi. Hyang Widhi adalah Maha Pengampun, akan tetapi hanya dapat mengampuni orang yang minta ampun dengan benar-benar bertobat dan tidak mengulangi kesalahannya.”

Parmadi mengangguk-angguk. “Saya mengerti dan bertekad untuk bertindak seperti yang eyang wejangkan. Kemudian, apakah permohonan yang kedua dalam doa kita kepada Yang Mahakuasa, eyang?”

“Yang kedua adalah mohon bimbingan, Manusia adalah makhluk yang lemah terhadap godaan nafsu. Tanpa adanya bimbingan kekuasaan Hyang Widhi, kita tidak akan kuat dan mampu menanggulangi kekuasaan gelap. Tanpa adanya kekuasaan Hyang Widhi yang bekerja di dalam diri kita, kita ini tiada lain hanyalah seonggok darah, daging yang penuh kotoran dan noda. Sesungguhnya hanya bimbingan kekuasaan Yang Maha Kasih sajalah yang akan membuat kita mampu menjadi seorang manusia yang benar taat akan segala kehendak-Nya, seorang manusia yang benar-benar bertobat dan dalam tindakan sehari-hari selalu tertuju kepada keluhuran asma-Nya (Nama-Nya). Dan permohonan bimbingan ini hanya akan dapat terlaksana kalau Hyang Widhi menghendaki, dan itulah sebabnya kita harus MENYERAH, dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman. Mengertikah engkau, Parmadi?”

“Saya akan berusaha untuk mengerti, eyang.”

“Nah, baiklah. Sekarang ceritakan apa yang terjadi di Kademangan Pakis.”

“Eyang tentu sudah mengetahui bahwa adi Muryani diculik oleh Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya, dibantu oleh Surobajul. Bahkan eyang sendiri yang telah menghindarkan Muryani dari bahaya dan eyang sendiri yang teiah mengusir kedua orang jahat itu. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan warga Kademangan Pakis yang marah. Puluhan orang warga Pakis lalu mengeroyok mereka, membantu adi Muryani yang mengamuk. Karena mengingat akan kebaikan-kebaikan dan jasa Ki Demang Wiroboyo terhadap warga Pakis, saya lalu mencegah mereka membunuhnya dan membawanya pulang. Tetapi Surobajul tewas dikeroyok banyak orang. Kemudian, hasil musyawarah yang diadakan warga Pakis, diambil keputusan bahwa Ki Demang Wiroboyo harus pergi meninggalkan dusun Pakis. Kini Ki Wiroboyo sekeluarga telah pergi dan untuk sementara dusun Pakis dipimpin oleh paman Ronggo Bangak.”

“Hmm, baik sekali kalau begitu. Lalu kenapa sepagi ini engkau datang membawa buntalan itu?”

“Eyang, karena Ki Wiroboyo sudah pergi, saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena itu saya mengambil keputusan untuk meninggalkan Pakis dan mulai saat ini saya hendak mengabdi kepada eyang dan mengikuti eyang ke mana pun eyang pergi. Saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya untuk bekal dalam kehidupan ini agar seperti eyang katakan tadi, saya dapat menjadi alat Yang Mahakuasa, menjadi alat yang berguna dan baik. Buntalan ini adalah milik saya, pakaian dan sisa uang pemberian Ki Wiroboyo selama ini.”

Resi Tejo Wening tersenyum dan mengangguk-angguk. “Hmm, kebetulan sekali, Parmadi, karena memang aku sudah bermaksud hendak mengajakmu pergi dari sini. Sudah tiba saatnya aku meninggalkan tempat ini. Besok pagi-pagi adalah hari yang paling tepat bagi kita untuk berangkat meninggalkan tempat ini.”

Parmadi merasa girang sekali. “Kalau begitu, perkenankan saya untuk pergi sebentar ke Pakis untuk berpamit kepada paman Ronggo Bangak, adi Muryani dan penduduk dusun Pakis, eyang.”

“Heh-heh, jadi engkau belum pamit kepada mereka?”

“Saya hendak mendapat kepastian dulu dari eyang. Setelah ada kepastian bahwa eyang dapat menerima saya mengabdi, baru saya akan pamit. Akan tetapi sebelum saya pergi ke sana, apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk eyang di sini? Membuatkan sarapan pagi untuk eyang? Atau mencucikan pakaian atau yang lain?”

Resi Tejo Wening tersenyum sambil menggeleng kepalanya yang tertutup rambut putih. “Sekarang tidak ada yang harus kau kerjakan di sini, Parmadi. Pergilah ke dusun Pakis. Memang sepatutnya kalau engkau pamit dari mereka.”

Dengan hati yang ringan dan gembira Parmadi meninggalkan hutan Penggik dan berlari menuju dusun Pakis. Akan tetapi setelah tiba di luar dusun itu, kemudian membayangkan perpisahannya dari dusun itu, dari para penduduknya dan terutama sekali dari Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi dari Muryani, hatinya tiba-tiba terasa berat.

Awan kelabu menyelubungi hatinya. Sudah delapan tahun dia hidup di Pakis dan mereka semua begitu baik, terutama Ki Ronggo Bangak dan lebih lagi Muryani! Dia akan merasa kehilangan, terutama kehilangan Muryani yang sudah menempati sudut tertentu di dalam hatinya.

Dengan langkah berat dan muka yang tidak cerah lagi Parmadi lalu pergi menuju rumah Ki Ronggo Bangak.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)