SERULING GADING : JILID-09


Muryani menyambut kedatangannya dengan wajah gembira. “Kebetulan sekali engkau datang, kakang Parmadi. Tadi aku sudah mencarimu ke mana-mana, akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui ke mana engkau pergi. Engkau meninggalkan rumah besar itu tanpa pamit kepada siapa pun juga.”

“Engkau mencariku, Mur?” tanya Parmadi yang sekarang sudah amat akrab dengan gadis itu sehingga kalau menyebut namanya disingkat begitu saja. Mereka seperti kakak dan adik saja. “Ada urusan apakah?”

“Duduklah dulu, nanti kita bicara,” kata gadis itu. Mereka lalu duduk, saling berhadapan.

“Di mana paman Ronggo?”

“Ayah sedang menyelesaikan sebuah ukiran patung.”

Parmadi yang sudah mengenal gurunya maklum bahwa kalau dia sedang memahat atau mengukir patung, Ki Ronggo Bangak amat asyik dan tidak mau diganggu siapa pun, maka dia pun tidak bertanya lagi tentang gurunya.

“Nah, katakan, ada urusan apakah engkau mencari aku, Mur?”

Untuk sesaat Muryani menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik, kemudian ia pun berkata, “Kakang Parmadi, selama ini aku masih belum sempat bertanya kepadamu tentang pertolonganmu kepadaku pagi hari itu ketika engkau melepaskan aku dari libatan jala dan ikatan. Bagaimana engkau bisa melakukan pertolongan itu? Bukankah di sana ada Ki Wiroboyo dan warok raksasa? Sebenarnya apa yang terjadi? Dari dalam aku mendengar engkau berteriak menegur Ki Wiroboyo agar membebaskan aku dan aku mendengar mereka mengancammu, akan tetapi mengapa tiba-tiba engkau dapat masuk menolongku? Kenapa mereka melarikan diri?”

Parmadi tidak ingin bercerita mengenai Resi Tejo Wening. Gurunya itu tidak ingin dikenal orang lain, apa lagi diketahui bahwa kakek itu yang menghalau kedua orang penjahat itu dengan kesaktiannya. Maka dia pun menjawab tanpa harus berbohong,

“Sebelum mereka dapat mencelakai aku, agaknya mereka berdua mendengar sorak-sorai warga Pakis yang memang sudah siap dan marah. Mereka lalu melarikan diri, akan tetapi di tengah hutan bertemu dengan warga Pakis yang segera mengeroyok mereka.”

Muryani agaknya percaya akan keterangan ini. “Kang Parmadi, aku amat berterima kasih kepadamu. Engkau sudah menolongku dari mala petaka besar. Sungguh engkau gagah berani, kakang. Engkau seorang diri berani menegur dan menentang Ki Wiroboyo yang dibantu warok raksasa itu. Engkau berani menempuh bahaya maut untuk menolongku!” Pandang mata gadis itu menatap wajah Parmadi penuh terima kasih.

Wajah Parmadi menjadi agak kemerahan. Dia sama sekali tidak merasa telah menolong gadis itu. Bahkan nyawanya sendiri mungkin sekarang sudah melayang kalau saja Tuhan Yang Mahakuasa tidak menolongnya melalui kesaktian gurunya.

“Adi Muryani, jangan berterima kasih kepadaku. Aku hanya melakukan kewajibanku. Kita wajib berterima kasih kepada Yang Mahakuasa karena sesungguhnya Dialah yang telah menolong kita.”

Muryani tertawa, tawanya bebas karena dia sudah tidak merasa canggung atau rikuh lagi terhadap Parmadi yang dianggap sebagai kakaknya sendiri. Tawanya sangat merdu dan mulutnya terbuka sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, ujung lidahnya yang merah dan rongga mulutnya yang lebih merah lagi. Pada saat mulutnya tertawa itu, matanya juga ikut tertawa dan bersinar-sinar.

“Hi-hik-hik, kalau engkau berbicara seperti itu, engkau mirip dengan ayah. Engkau seperti kakek-kakek yang memberi wejangan saja!”

Parmadi juga tersenyum meski agak canggung karena pada saat itu hatinya tidak gembira melainkan agak bersedih sebab teringat akan perpisahannya dari orang-orang yang dekat dengan hatinya. “Mur, sebenarnya kedatanganku ini...”

“Untuk bertemu ayah, bukan? Sudah kukatakan, ayah sedang sibuk, tidak mau diganggu. Bicara dengan aku juga tidak apa-apa, bukan? Atau, engkau tidak suka bercakap-cakap denganku? Wajahmu tampak tidak bergembira!”

“Bukan begitu, adi Muryani. Kedatanganku ini... aku... aku hendak pamit dari engkau dan ayahmu...”

Muryani terbelalak. “Pamit? Engkau hendak ke mana?”

“Aku hendak pergi meninggalkan Pakis.”

“Meninggalkan Pakis? Ke mana?”

Parmadi menggelengkan kepalanya. “Aku sendiri belum tahu. Berkelana... pokoknya pergi meninggalkan dusun ini...”

Muryani bangkit berdiri, matanya masih terbelalak. “Meninggalkan kami? Meninggalkan aku?”

“Benar. Aku akan meninggalkan kalian semua. Aku akan pergi sekarang juga.”

“Tidak! Tidak... ahh, ayaaahhh !” Muryani berlari memasuki rumahnya dan langsung saja memasuki ruangan di mana ayahnya asyik bekerja. Biasanya ia tidak mau mengganggu ayahnya kalau sedang bekerja, akan tetapi sekali ini ia tidak peduli dan mendorong daun pintu memasuki ruangan itu.

Ki Ronggo Bangak menunda pekerjaannya dan memandang pada puterinya yang masuk tanpa dipanggil dengan sikap seperti orang bingung.

“Ehh, ada apa lagi ini, Muryani?” tanyanya.

“Wah, celaka, ayah... celaka...!” kata gadis itu.

Walau pun Ki Ronggo Bangak seorang yang tenang, namun melihat sikap puterinya, dia menduga tentu sudah terjadi sesuatu yang hebat sehingga gadis itu bersikap seperti itu. Apakah Ki Wiroboyo muncul lagi dan membuat keributan? Dia bangkit berdiri dan menatap wajah puterinya.

“Katakanlah dengan jelas. Apa yang terjadi?”

“Kakang Parmadi, ayah...”

“Parmadi? Ada apa dengan dia?”

“Dia... dia hendak meninggalkan dusun ini... meninggalkan kita! Ayah harus mencegah dan menahannya, ayah!”

Ki Ronggo Bangak menghela napas lega. “Ahhh, kiranya begitu. Kenapa kau bilang celaka dan kebingungan seperti kebakaran rumah? Di mana Parmadi sekarang?”

“Di ruangan depan, ayah. Tahanlah dia, ayah, jangan biarkan dia pergi berkelana!”

Ki Ronggo Bangak tersenyum, mencatat sikap puterinya ini dalam hatinya. Sikap seperti ini jelas mengandung arti yang dalam, pikirnya. Agaknya dalam hati gadis remajanya ini sudah mulai tersulut api cinta!

Akan tetapi di dalam hatinya dia sama sekali tidak keberatan, bahkan senang sekali andai kata puterinya itu dapat berjodoh dengan Parmadi. Dia mengenal benar pemuda itu, tahu bahwa dia seorang pemuda yang berbudi baik dan bijaksana. Sambil menahan senyum dia melangkah keluar, lengannya dipegang oleh Muryani.

Parmadi cepat-cepat bangkit berdiri ketika melihat Ki Ronggo Bangak muncul bersama Muryani. Tadi dia sendiri menjadi terkejut melihat sikap Muryani ketika dia menceritakan niatnya untuk meninggalkan Pakis. Gadis itu tampak begitu kaget dan berlari memanggil ayahnya.

Sekarang dia melihat betapa sepasang mata yang indah itu basah! Jantungnya berdebar. Tidak salahkah dia? Benarkah begitu sayangnya gadis itu padanya seperti juga perasaan sayangnya yang mendalam terhadap gadis itu?

“Paman...” dia menyapa dengan sikap hormat.

“Parmadi, apa betul yang kudengar dari Muryani tadi? Engkau hendak pergi meninggalkan Pakis. Benarkah itu?”

“Benar sekali, paman.”

“Akan tetapi kenapa? Duduklah dan katakan alasanmu dengan jelas.” Ki Ronggo Bangak duduk.

Muryani duduk di sebelahnya dan Parmadi juga duduk berhadapan dengan mereka.

“Paman, semenjak kecil saya ikut Ki Wiroboyo. Sekarang dia telah pergi. Saya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Karena itu saya sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis.”

“Akan tetapi engkau boleh tinggal di sini, kakang! Betul tidak, ayah? Engkau boleh tinggal di sini dan tentang pekerjaan, bukankah engkau dapat membantu pekerjaan ayah dalam membuat patung dan perabotan rumah?”

Kembali Ki Ronggo Bangak mencatat ucapan puterinya itu dan dia semakin yakin bahwa telah tumbuh cinta kasih dalam hati puterinya terhadap pemuda yang menjadi muridnya itu. “Ucapan Muryani itu benar, Parmadi. Tentu saja engkau boleh tinggal bersama kami dan tentang pekerjaan, engkau sudah pandai memahat dan mengukir, jadi engkau dapat membantu membuat patung, arca, dan perabot rumah.”

“Terima kasih, paman dan adi Muryani. Tawaran paman berdua sangat berharga sekali. Akan tetapi hal ini sudah saya pertimbangkan dengan matang dan saya sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Pakis. Saya hendak merantau dan berkelana.”

“Hemm, agaknya keputusanmu sudah bulat. Kalau boleh kami mengetahui, apakah yang menjadi dasar keputusanmu ini, Parmadi? Apa yang kau cari dalam perantauanmu itu?” Ki Ronggo Bangak bertanya.

Parmadi melihat betapa sepasang mata yang tadi basah itu kini meruntuhkan dua titik air mata yang segera diusap dengan jari-jari tangan yang mungil itu. Muryani menangis! Dan kenyataan ini membuat dia terpukul. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan menjawab,

“Paman, yang menjadi dasar keputusan saya adalah keinginan saya untuk meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman untuk bekal niat saya memenuhi pesan terakhir ayah saya seperti yang dulu saya ceritakan kepada paman.”

Ki Ronggo Bangak mengangguk-angguk. “Hemm, pesan supaya engkau mengabdikan diri kepada Kanjeng Sultan Agung di Mataram itu?”

“Benar, paman. Bila saya terus-menerus berada di dusun ini, saya merasa seperti seekor katak di dalam tempurung, tidak melihat keadaan dunia luar. Maka apa yang dapat saya andalkan untuk memenuhi pesan mendiang ayah saya itu?”

Ki Ronggo Bangak kembali mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia pun tidak dapat menyalahkan pemuda itu, bahkan membenarkan niatnya yang amat baik.

“Hemm, aku dapat melihat kebenaran alasanmu itu, Parmadi. Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi merantau setelah meninggalkan dusun ini?”

“Entahlah. Bagaimana nanti saja, paman. Saya percaya bahwa Yang Mahakuasa tentu akan memberi petunjuk dan membimbing saya.”

“Bagus kalau engkau selalu mohon petunjuk dan bimbingan Yang Mahakuasa. Dengan cara demikian aku yakin engkau tidak akan menyeleweng dari jalan yang benar. Muryani, niat kakangmu ini baik sekali. Kita tidak dapat menahan atau mencegahnya.”

Mendengar ini, habislah harapan Muryani dan kini ia menangis tanpa disembunyikan lagi. Ia menangis sesenggukan, air matanya bercucuran dan ia sibuk menggunakan ujung kain bajunya untuk mengusap mata serta hidungnya.

Melihat ini Parmadi merasa amat terharu. Inilah yang memberatkan hatinya. Meninggalkan Muryani! Dia merasa gadis itu seperti adiknya sendiri. Atau bahkan lebih dari itu. Dia tidak tahan untuk berdiam di situ lebih lama menghadapi Muryani yang menangis. Dia bangkit perlahan dari bangkunya.

“Paman Ronggo. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang sudah paman limpahkan kepada saya selama ini. Sekarang saya mohon diri karena saya harus berangkat sekarang. Saya masih akan berkunjung kepada para saudara lain untuk berpamit. Selamat tinggal, paman Ronggo Bangak dan adi Muryani, saya mohon diri.”

Ronggo Bangak bangkit berdiri. “Selamat jalan, Parmadi, dan baik-baiklah menjaga dirimu sendiri, semoga engkau berhasil. Muryani, ini kakangmu pamit!” katanya kepada Muryani.

Namun gadis itu tetap duduk sambil menangis sesenggukan, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ki Ronggo hanya menghela napas dan Parmadi juga tidak dapat berbuat apa-apa. Sesudah memandang sejenak pada Muryani, Parmadi lalu mengangguk dengan hormat kepada Ki Ronggo Bangak dan keluar dari rumah itu.

Parmadi berkunjung dari rumah ke rumah untuk berpamit dari para warga Pakis. Semua orang mengucapkan selamat jalan kepada pemuda yang mereka kenal dengan baik itu. Bahkan para pemuda yang tadinya merasa cemburu kepada Parmadi, bersikap ramah dan diam-diam merasa amat girang dengan kepergian pemuda itu meninggalkan Muryani. Setelah berpamit dari semua orang, Parmadi segera meninggalkan dusun Pakis.

Matahari sudah naik agak tinggi dan pagi menjelang siang itu cerah sekali. Kecerahan suasana itu mempengaruhi hati Parmadi, membuat perasaannya yang tadi tertindih kesedihan karena perpisahan itu menjadi agak ringan.

Dia membayangkan betapa dia akan hidup bersama gurunya, yang kini diyakini adalah seorang kakek yang sakti mandraguna. Juga dia merasa gembira sekali bahwa tanpa disadarinya, dia telah memiliki pelindung gaib yang oleh gurunya disebut Kekuasaan Ilahi, yang bekerja tanpa disadarinya, seperti kekuasaan yang mendetakkan jantungnya, kekuasaan yang bisa menggerakkan semua anggota tubuhrya, menumbuhkan rambut dan kukunya. Kekuasaan itu maha kuat dan tidak ada kekuatan lain di dunia ini yang mampu mengalahkannya!

Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia sudah tiba di luar dusun Pakis dan di depan sana, di atas sebuah batu, dia melihat Muryani duduk dan memandangnya. Parmadi cepat maju menghampirinya dan dia melihat bahwa dara itu sudah tidak menangis lagi, akan tetapi sepasang matanya agak kemerahan dan kedua pipinya masih ada bekas air mata.

“Adi Muryani...! Engkau di sini...?”

Muryani melompat turun dari atas batu sehingga berdiri berhadapan dengan pemuda itu. “Kakang Parmadi, kau... kau benar-benar hendak pergi...?” kata gadis itu perlahan, seperti berbisik.

Parmadi menelan ludah dan mengangguk. “Benar, Mur. Aku... aku harus pergi. Aku ingin seperti engkau, memiliki kepandaian agar berguna bagi nusa dan bangsa.”

Muryani menggigit bibirnya, agaknya menahan tangisnya. “Kau... kau tidak akan kembali lagi ke sini...?”

“Tentu saja kelak aku akan kembali kalau sudah berhasil.”

“Berapa lama...?”

“Entahlah. Mudah-mudahan tidak terlalu lama.”

“Kakang, engkau... engkau tak akan melupakan aku...?” bibir itu sudah gemetar menahan tangis.

“Ah, mana bisa aku melupakan engkau, adi Muryani? Sampai mati aku tidak akan dapat melupakan engkau!”

“Kakang Parmadi...!”

Entah siapa yang lebih dulu bergerak, namun tahu-tahu Parmadi sudah merangkul dan mendekap dara itu dan Muryani menangis terisak-isak di dada Parmadi. Parmadi merasa terharu dan dia benar-benar merasakan betapa besar kasih sayangnya kepada gadis ini. Dia menggunakan lengan kiri untuk merangkul pundak dan tangan kanannya mengusap rambut yang hitam dan halus itu. Dia membiarkan gadis itu menangis beberapa lamanya sampai baju di dadanya menjadi basah oleh air mata.

Akhirnya tangis itu mereda juga. Agaknya himpitan kedukaan pada dada Muryani menjadi ringan setelah perasaan itu dilarutkan melalui air matanya. Dia lalu menarik tubuhnya dari rangkulan Parmadi dan merenggangkan diri. Mukanya tampak basah, akan tetapi kini dia tidak menangis lagi. Bahkan ia berusaha untuk tersenyum. Senyum yang mengembang di bibirnya dengan mata yang masih merah dan muka yang basah itu bahkan menimbulkan pemandangan yang amat mengharukan hati Parmadi.

“Adi Muryani,” katanya dengan suara menggetar, “Maafkan aku kalau aku membuatmu bersedih...”

Muryani menggunakan ujung baju untuk mengusap air mata yang membasahi mukanya. Ia tidak menangis lagi. Ia tersenyum.

“Tidak, kakang. Engkau tidak bersalah. Aku sudah mengerti mengapa engkau harus pergi merantau. Ayah tadi telah menyadarkan aku. Memang aku yang gembeng, cengeng! Aku yang minta maaf padamu karena tadi ketika engkau berpamit, aku diam saja. Karena itu aku mencegatmu di sini. Aku hendak mengucapkan selamat jalan, kakang.” Gadis itu lalu mengambil patrem bersarung dari ikat pinggangnya dan berkata, “Tadinya patremku ini dirampas oleh Ki Wiroboyo, tetapi sudah kuambil kembali dari dalam kamar di rumahnya. Hanya ini milikku yang selama bertahun-tahun kusayang dan selalu berdekatan denganku, kupakai latihan pencak silat dan menjadi kawan yang melindungiku. Sekarang kuserahkan padamu. Aku berikan patremku ini kepadamu, kakang.”

“Untuk apa, adi Muryani? Aku tidak memerlukan senjata...”

“Bukan untuk senjata, melainkan untuk mengingatkanmu akan diriku, supaya engkau tidak lupa kepadaku.”

“Ahh... Muryani...!” Parmadi terharu dan menerima patrem itu. “Akan kusimpan patremmu ini, seperti kusimpan bayanganmu dalam hatiku.”

“Benarkah, kakang? Ah, lega hatiku sekarang. Jangan pergi dulu, biar aku yang lebih dulu meninggalkanmu pulang ke rumah. Kalau engkau yang meninggalkan aku, aku takut tidak akan dapat menahan tangisku lagi.” Gadis itu memegang kedua tangan Parmadi.

Dua pasang tangan itu saling genggam dan Parmadi dapat merasakan getaran lembut dari dua telapak tangan yang lunak lembut itu.

“Selamat jalan, kakang. Selamat berpisah dan jagalah dirimu baik-baik. Aku akan selalu menantimu, kakang. Aku pulang dulu sekarang!” gadis itu melepaskan kedua tangan yang memegangi tangan pemuda itu lalu berlari meninggalkan Parmadi menuju ke dusun Pakis.

Parmadi berdiri mengikuti bayangan gadis yang berlari itu. Tiga kali Muryani menoleh sampai kemudian bayangannya lenyap di antara pohon-pohon. Parmadi menghela napas panjang. Dengan punggung tangannya dia menghapus dua titik air mata yang tergenang di pelupuk matanya. Kemudian setelah merasa yakin bahwa gadis itu telah pergi jauh, dia membalik dan berlari memasuki hutan menuju ke hutan Penggik.

Resi Tejo Wening menyambut kedatangan Parmadi dengan senyuman. Ketika pemuda itu memberi hormat sembah kepadanya, kakek yang duduk di dalam gubuk itu mengambil sebatang suling yang tadinya diletakkan di atas sebuah meja kayu yang kasar, kemudian menyerahkannya kepada Parmadi.

“Terimalah suling gading ini, Parmadi. Mulai sekarang benda ini menjadi milikmu. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa dalam usia tua ini aku harus mewariskan seluruh ilmu-ilmu yang pernah kupelajari kepadamu. Engkau memang berbakat untuk menguasai ilmu kanuragan dan engkau berjodoh denganku. Akan tetapi ingatlah bahwa seruling gading ini, juga ilmu-ilmu kanuragan, semua itu merupakan alat yang mati. Mereka itu dihidupkan oleh manusia dan tergantung kepada si manusia yang mempergunakan alat itu, apakah alat itu akan dipergunakan untuk kejahatan ataukah untuk kebaikan. Alat itu sendiri tidak ada yang jahat atau yang baik. Sebatang parang yang tajam menyeramkan akan menjadi alat yang baik dan bermanfaat sekali kalau digunakan manusia untuk menebang pohon, membelah kayu atau untuk pekerjaan lain. Sebaliknya, sebilah pisau dapur yang kecil dan tampaknya tidak berbahaya akan menjadi alat yang jahat sekali kalau digunakan manusia untuk menusuk dada orang lain. Bahkan benda yang namanya api itu menjadi benda yang berguna apa bila dipakai untuk memasak atau menyalakan lampu, tetapi berubah menjadi benda jahat merusak kalau dipakai untuk membakar rumah orang lain. Seruling gading ini juga demikian. Dia dapat menjadi alat gamelan yang indah, dapat pula menjadi senjata pelindung diri yang ampuh, akan tetapi juga tentu saja dapat menjadi alat yang amat jahat kalau digunakan untuk membunuh orang. Mengertikah engkau?”

Parmadi menerima suling itu dengan takjub. Selama ini belum pernah dia memegangnya walau pun sering kali dia melihatnya. Seruling itu merupakan pusaka gurunya. Sebatang seruling sepanjang lengannya yang sangat indah, terbuat dari gading yang berwarna putih kuning mengkilap.

“Saya mengerti, eyang, dan saya berjanji akan menggunakan pusaka ini sebagai alat yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan untuk menentang kejahatan.”

“Bagus! Akan tetapi ada satu hal yang perlu kau ketahui benar tentang sikap menentang kejahatan. Kejahatan dan kebaikan adalah sebuah pendapat sebagai hasil dari pandangan seseorang, karena itu sangat bergantung kepada si pemandang. Biasanya hal-hal yang mendatangkan keuntungan lahir atau pun batin dianggap baik oleh si pemandang, tetapi sebaliknya hal-hal yang mendatangkan kerugian lahir atau pun batin dianggap jahat atau buruk.”

“Kalau begitu, baik dan buruk itu tidak ada, eyang?”

“Begitulah, seperti alat tadi, baik atau buruk tergantung dari si pemakai. Ada pun yang dinamakan kebaikan atau kejahatan juga tergantung dari pendapat si pemandang. Akan tetapi, kulup, ada ukuran tentang baik dan buruk yang sudah diterima oleh umum, yaitu oleh manusia yang beradab dan yang telah mengenal peraturan hukum. Ukuran itu ialah, perbuatan yang merugikan orang lain adalah jahat dan perbuatan yang menguntungkan orang lain adalah baik. Yang sifatnya merusak adalah jahat dan yang sifatnya membangun dan memelihara adalah baik. Ukuran ini bisa kau pergunakan untuk menilai baik buruknya perbuatan seseorang.”

Parmadi mengangguk-angguk, mencatat pelajaran penting ini di dalam sanubarinya. “Saya akan selalu ingat akan nasihat eyang ini,” katanya.

“Sekarang tentang menentang kejahatan seperti yang kau katakan tadi, Parmadi. Seperti pernah kukatakan padamu, dua hal harus kau lakukan sepanjang hidupmu, kalau mungkin saat demi saat, yaitu INGAT dan WASPADA. Ingatlah selalu kepada Tuhan Yang Maha Kasih seolah sembahyang datan kendat (berdoa tiada hentinya), juga waspadalah setiap saat akan ulah pikiran dan perbuatanmu. Berhati-hatilah di dalam menentang kejahatan, jangan membiarkan si-aku dalam dirimu berkuasa. Si-aku adalah nafsu akal pikiran yang selalu mendorong kita untuk bertindak dengan pamrih mementingkan diri sendiri, demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri. Dan engkau telah berlatih dan merasakan bahwa bila mana si-aku di dalam diri ini berkuasa, maka Kekuasaan Hyang Widhi tidak akan menuntun jiwa yang sudah tertutup oleh hawa nafsu. Kalau nafsu akal pikiran menguasai diri, maka akan dapat menimbulkan amarah dan dendam. Jika engkau hendak menentang kejahatan karena amarah dan dendam, maka tindakanmu dituntun oleh kebencian kepada orang yang melakukan kejahatan itu, berarti bukan menentang kejahatannya, melainkan orangnya! Padahal yang harus ditentang adalah perbuatan jahat itu agar tidak terjadi. Apa bila engkau berhasil menyadarkan orangnya sehingga dia tidak jadi melakukan perbuatan jahat, atau dia dapat bertobat dari kesalahannya, ini berarti bahwa engkau telah berhasil menentang kejahatan. Mengertikah engkau, Parmadi?”

“Saya berusaha untuk mengerti, eyang.”

“Memang pelajaran tentang kehidupan ini sukar, kulup, akan tetapi penting. Kalau engkau ingin menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Sekarang kita sudahi dulu, cobalah kau tiup seruling gading itu dan biarkan jiwamu yang menuntunnya.”

Agak berdebar rasa jantung Parmadi. Alangkah seringnya dia mempunyai keinginan untuk mencoba meniup dan memainkan suling itu, dan sekarang suling gading itu bukan hanya dapat dia mainkan, bahkan telah menjadi miliknya!

Akan tetapi segera dia bisa menghilangkan ketegangan ini dan menyerah dengan seluruh pribadinya lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Begitu dia menyerah seperti yang biasa dia latih bersama eyang gurunya, getaran gaib menggerakkan kedua tangannya dan dia membawa suling itu ke bibirnya lalu terdengarlah suara melengking-lengking dengan aneh dan juga indahnya.

Parmadi merasakan ini semua! Telinganya mendengar, matanya melihat, panca indranya masih bekerja, pikirannya masih sadar, akan tetapi tiupan suling itu tidak dikendalikan oleh hati akal pikirannya. Hati akal pikirannya hanya sadar sebagai penonton dan pendengar belaka. Segala macam daya rendah nafsu terbelenggu, tidak berdaya pada saat itu.

Resi Tejo Wening duduk bersila di atas bale-bale, kedua matanya terpejam dan dia seperti orang yang sedang bersamadhi, tubuhnya bergoyang-goyang perlahan sesuai dengan irama tiupan suling yang dilakukan Parmadi.

Sesudah tiupan suling itu berhenti dengan sendirinya, Resi Tejo Wening mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Bagus sekali, Parmadi. Tahukah engkau, Kekuasaan Ilahi sepenuhnya terkandung dalam getaran suara sulingmu tadi sehingga cukup kuat untuk mengusir roh kegelapan. Teruslah berlatih dengan tekun dan sabar, kulup. Pohon yang ditanam di dalam jiwamu telah mulai tumbuh dan kelak tentu akan menghasilkan buahnya.”

Pada esok harinya, setelah matahari muncul dari balik puncak Gunung Lawu, Resi Tejo Wening dan Parmadi meninggalkan gubuk di hutan Penggik itu. Parmadi tidak bertanya ke mana gurunya pergi, hanya mengikuti dari belakang dan ternyata gurunya melangkah mendaki ke atas menuju puncak Argadumilah!

Diam-diam Parmadi merasa heran. Ternyata kakek itu tidak meninggalkan Gunung Lawu, melainkan malah menuju ke puncak! Akan tetapi dia tetap tak bertanya dan mengikutinya dari belakang. Dia hanya kagum sekali melihat dari belakang betapa kakek itu melangkah dengan tenang dan tegap, tak pernah ragu dan tidak pernah berhenti mengaso. Padahal perjalanan itu terus mendaki tebing yang curam dan tidak mudah dilalui. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa gurunya bukan orang biasa. Bahkan dia sendiri yang bertubuh kuat dan masih muda, merasa lelah sekali.

Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, barulah mereka tiba di puncak Argadumilah, di mana kurang lebih setengah tahun yang lalu Resi Tejo Wening bertemu dengan tiga orang datuk, yaitu Harya Baka Wulung tokoh Madura, Wiku Menak Koncar tokoh Blambangan, dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh dari Banten. Dia mencegah mereka bertiga yang hendak membunuh puluhan orang anggota perkumpulan pendekar Welut Ireng dan akhirnya bisa menghalau tiga orang datuk itu pergi meninggalkan puncak Argadumilah.

“Mulai hari ini puncak ini menjad tempat tinggal kita, Parmadi. Tempat ini baik sekali untuk mengheningkan dan memurnikan batin, sekaligus cocok sekali bagimu untuk berlatih ilmu kanuragan yang akan kuajarkan padamu. Akan tetapi ada sesuatu yang harus dibersihkan lebih dulu agar tidak mengganggu kita. Lihat di sana itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri.

Parmadi melihat sebatang pohon randu alas yang berdiri tegak seperti raksasa. Pohon itu telah tua sekali. Cabang-cabangnya seperti lengan-lengan panjang, ranting-ranting seperti jari-jarinya dan daun-daunnya seperti bulu yang lebat.

Parmadi merasa bulu tengkuknya meremang. Ia hidup di dusun pegunungan di mana para penduduknya masih sangat dipengaruhi oleh tahyul dan sering kali dia mendengar cerita tentang siluman dan setan yang menjadi penghuni pohon-pohon besar dan tua seperti itu. Setiap ada halangan atau orang sakit, terutama kanak-kanak, tentu dihubungkan dengan pengaruh roh gelap atau yang disebut yang ‘mbaurekso’ (menguasai) atau ‘danyang’ yang marah karena merasa terganggu.

Dalam benak Parmadi yang sudah terisi penuh dengan cerita semacam itu, melihat pohon randu alas tua besar itu, tentu saja otomatis dia lalu membayangkan bahwa pohon setua dan sebesar itu pasti ada yang ‘menjaganya’. Karena itu, biar pun hari masih terang, dia merasa ngeri juga.

“Eyang maksudkan... randu alas itu?” tanyanya sambil menatap pohon itu dengan alis berkerut.

Kakek itu mengangguk. “Parmadi, pohon itu dihuni oleh roh penasaran. Kalau dia tidak diminta pergi dari sini, dia akan merupakan pengganggu kita. Oleh karena itu sebaiknya engkau menggunakan seruling gading untuk memaksa dia menjauhkan diri dari sini agar kita dapat hidup dengan tenang dan tenteram di puncak ini.”

Melihat Parmadi meragu dan tampak jeri, kakek itu tersenyum dan berkata, “Ragu-ragu bertindak berarti kelemahan. Hayolah kita mendekat.”

Kakek itu melangkah dan Parmadi terpaksa juga melangkah maju. Setelah tiba di bawah pohon besar itu, Resi Tejo Wening memberi isyarat kepada Parmadi sambil menunjuk ke arah Seruling Gading yang terselip d pinggang pemuda itu.

Parmadi menenangkan hatinya yang tadi terguncang. Karena sudah agak matang dalam latihan, begitu pikirannya tidak berulah dan dia menyerah, hatinya menjadi tenang kembali. Tangan kanannya lalu mencabut Seruling Gading dan sesudah dia tenggelam ke dalam penyerahan total, kedua tangannya membawa suling ke bibirnya kemudian di lain saat terdengarlah lengking suling itu, nadanya naik turun dengan indahnya namun juga aneh, bukan merupakan tembang tertentu yang dikenal umum pada waktu itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)