SERULING GADING : JILID-10


Parmadi melihat ini dan mendengar suara daun-daunnya yang berkerosakan. Jantungnya berdebar tegang dan tiba-tiba suara sulingnya menjadi kacau, getarannya mengurang dan suara lengkingannya mulai terdengar lagi. Ia merasakan hal ini, maklum bahwa pikirannya bekerja sehingga menimbulkan rasa ngeri dan takut.

Maka dia tenggelam lagi dalam penyerahan sehingga suara sulingnya kembali meninggi dan getarannya semakin kuat. Kini pohon itu terguncang keras seperti tertiup angin topan.

“Braakkkkk...!”

Tiba-tiba saja terdengar suara keras kemudian pohon besar tua itu pun tumbang! Pohon raksasa itu tumbang menuju ke arah Parmadi! Betapa pun tenangnya, tentu saja Parmadi terkejut sekali dan hati akal pikirannya segera bekerja. Dia menjadi pucat dan takut, ngeri karena tidak melihat jalan untuk menghindar dari timpaan pohon raksasa yang tumbang itu!

“Tenanglah...!” terdengar kata-kata di belakangnya. Tiba-tiba saja tubuhnya terangkat dan seperti diterbangkan dari tempat itu menjauhi pohon.

“Brakkkkk...! Bressss...!”

Suara gemuruh terdengar ketika pohon itu jatuh berdentum di atas tanah. Parmadi melihat dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia sudah berdiri di atas tanah, agak jauh dari pohon itu dan Resi Tejo Wening berdiri di sampingnya.

Dengan muka pucat dan tubuh gemetar Parmadi menunjuk ke arah pohon yang tumbang itu. “Eyang..., apakah... dia... dia...”

“Dia sudah pergi, Parmadi. Tentu mencari tempat yang lebih cocok baginya. Dia tidak kuat menahan getaran suara Seruling Gading yang kau tiup tadi, lalu dia sengaja merobohkan pohon untuk menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi dia tidak berani tetap bertahan dan melarikan diri. Sekarang tempat ini sudah bersih dari pengaruh kegelapan.”

“Ahh, berbahaya sekali! Untung eyang dapat menyelamatkan saya dengan cepat, Apakah eyang tadi membawa saya terbang?” Parmadi memandang gurunya dengan kagum.

“Mana ada manusia dapat terbang? Manusia ditakdirkan hidup tanpa sayap, tidak dapat terbang seperti burung dan makhluk bersayap lainnya. Aku hanya membawamu meloncat dan engkau pun akan bisa menguasai ilmu itu asal engkau berlatih dengan tekun.” Kakek itu menghampiri pohon yang tumbang lalu tertawa. “Kita harus bersyukur. Roh penasaran itu dalam amukannya tadi bahkan sudah membantu kita menumbangkan pohon besar ini. Kita memerlukan batangnya untuk membangun sebuah gubuk di sini.”

Mereka lalu membangun sebuah gubuk sederhana namun cukup kokoh dan sejak hari itu Parmadi tinggal bersama Resi Tejo Wening di puncak Argadumilah.

Latihan penyerahannya makin diperdalam sehingga setiap saat Kekuasaan Hyang Widhi dapat manunggal dengan jiwanya, membimbingnya di dalam kehidupan ini. Di samping itu Resi Tejo Wening juga mengajarkan dua macam gerakan ilmu bela diri. Pertama adalah gerakan silat tangan kosong yang disebut Aji Sunya Hasta (Ilmu Tangan Kosong) dan gerakan silat menggunakan seruling gading yang disebut Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas).

Gerakan dua macam ilmu silat ini tampak sederhana sekali. Aji Sunya Hasta digerakkan dengan kedua tangan terbuka dan tampaknya seperti orang menari, akan tetapi dari dua tapak tangan itu menyambar hawa yang sangat dahsyat sehingga kalau Parmadi berlatih, tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergoyang-goyang seperti diterpa angin besar.

Begitu pula Aji Sunyatmaka yang dimainkan dengan seruling gading itu, tampaknya saja seperti menari-nari tetapi kalau gerakan itu sampai pada puncaknya, akan menjadi cepat dan bentuk suling itu hilang berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung. Bukan saja sinar itu membawa tenaga yang dahsyat, akan tetapi juga dari gulungan sinar kuning itu keluar suara melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan.

Hebatnya, setelah Parmadi melatih diri dengan tekun, secara otomatis tubuhnya menjadi ringan dan dia dapat bergerak cepat dan dapat melompat seperti terbang saja. Selain itu setiap saat dia juga dapat mendatangkan tenaga yang amat kuat setiap kali dia butuhkan.

Sebetulnya siapakah Resi Tejo Wening itu? Untuk mengenal riwayat kakek tua renta yang sakti mandraguna ini, marilah kita pergi ke daerah Banten dan menengok keadaan sekitar tiga puluh tahun yang lalu.

Ketika itu di Gunung Sanggabuwana terdapat seorang pertapa berusia kurang lebih empat puluh tahun. Lelaki yang gentur tapa ini adalah Ki Tejo Wening. Sejak muda dia memang gemar bertapa dan memperdalam soal-soal kerohanian dan aji kedigdayaan. Karena tidak suka mencampuri urusan keduniaan, maka dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa yang selalu mengasingkan diri dari keramaian orang banyak.

Akan tetapi setiap kali melihat orang menderita, dia selalu mengulurkan tangan menolong, walau pun hal itu lebih banyak dia lakukan secara sembunyi dan diam-diam. Ada kalanya dia mengobati orang sakit, mengusir wabah yang mengamuk di dusun-dusun. Ada kalanya dia melindungi orang-orang lemah dari tindasan orang-orang yang menjadi hamba nafsu.

Telah banyak orang-orang sesat yang dia tundukkan dengan kesaktiannya dan disadarkan dengan kebijaksanaannya. Sesudah ada orang yang mengenal namanya maka kemudian orang-orang memberinya julukan Resi Tejo Wening.

Pada suatu hari perasaan hatinya telah mendorong Resi Tejo Wening untuk berkunjung ke rumah adik seperguruannya yang bernama Ki Tejo Budi yang berusia tiga puluh tahun dan tinggal di dusun Cihara yang berada di pantai Laut Kidul. Resi Tejo Wening memiliki dua orang adik seperguruan. Yang seorang lagi bernama Ki Tejo Langit dan berusia tiga puluh lima tahun. Mereka bertiga merupakan murid-murid Kyai Sapujagad, seorang pertapa di pegunungan karang tepi Laut Kidul.

Sesudah tamat belajar, selama bertahun-tahun tiga orang kakak beradik seperguruan ini terkenal sebagai pendekar-pendekar Banten yang gagah perkasa dan menjadi penegak kebenaran dan keadilan. Akan tetapi ketika dalam usia dua puluh lima tahun Ki Tejo Budi, yang termuda di antara mereka, bertemu dengan seorang gadis dusun yang cantik manis bernama Lasmini lalu menikah dengan gadis itu, ketiga orang kakak beradik seperguruan itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing.

Murid pertama, Ki Tejo Wening, kemudian berkelana dan hidup mengasingkan diri sebagai pertapa di gunung-gunung. Murid kedua, Ki Tejo Langit, masih dikenal sebagai seorang pendekar yang terkenal di seluruh Banten. Ada pun murid ketiga, Ki Tejo Budi, tinggal di dusun Cihara di pantai Laut Kidul bersama isteririya.

Lima tahun telah lewat sejak mereka berpisah dan pada hari itu Ki atau Resi Tejo Wening merasakan dorongan keinginannya untuk berkunjung ke dusun Cihara, menengok Ki Tejo Budi, adik seperguruannya yang sejak dulu amat disayangnya itu.

Demikianlah, pada suatu hari Ki Tejo Wening yang berusia empat puluh tahun itu menuruni Gunung Sanggabuwana lalu melakukan perjalanan air di Kali Cimadur yang bersumber dari gunung itu. Dia berperahu ke hilir. Perjalanan dengan perahu ini sungguh menyenangkan karena pemandangan amat indahnya dan juga tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan berjalan kaki.

Beberapa hari kemudian dia pun tiba di muara di tepi laut. Dia mendarat dan melanjutkan perjalanannya ke barat, menuju dusun Cihara. Karena perjalanan menuju dusun itu melalui jalanan liar yang amat sukar, maka mungkin pada besok pagi dia baru akan tiba di dusun Cihara.....

********************

Sementara itu, mari kita menengok keadaan keluarga Ki Tejo Budi di dusun Cihara. Dusun itu cukup ramai, merupakan dusun nelayan. Penduduknya mencari nafkah dengan jalan mencari ikan di lautan dan juga menggarap tanah yang agak jauh dari pantai.

Ki Tejo Budi hidup bersama isterinya tercinta, Lasmini dan anak mereka yang diberi nama Sudrajat yang ketika itu sudah berusia empat tahun. Kehidupan mereka cukup bahagia, tidak kekurangan sandang-pangan karena Ki Tejo Budi mempunyai sebidang tanah dan memiliki pula perahu serta alat penangkap ikan di lautan.

Pada waktu itu Ki Tejo Budi tengah kedatangan seorang tamu yang membuat dia merasa gembira bukan main karena tamunya itu adalah Ki Tejo Langit, kakak seperguruannya yang kedua. Sudah lima tahun mereka berpisah dan sesudah kini Ki Tejo Langit datang berkunjung, mereka berdua setiap hari bercakap-cakap dengan gembira. Pada hari ketiga selama kunjungannya di rumah adik seperguruannya itu, Ki Tejo Langit duduk bercakap-cakap dengan Ki Tejo Budi di ruangan depan.

Ki Tejo Budi berwajah tampan dan bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Ada pun Ki Tejo Langit berusia sekitar empat puluh tahun, wajahnya ganteng dan perawakannya tinggi besar, membuat dia tampak gagah sekali dan pantas menjadi seorang pendekar yang disegani.

Selagi mereka bercakap-cakap dan Ki Tejo Langit menceritakan pengalamannya selama dia malang-melintang di daerah Banten sebagai seorang pendekar, masuk seorang wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun.

Ayu manis merak ati, dengan tubuh yang sedang mekar, tampak menggairahkan dengan lekuk-lengkung yang sempurna. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun mengikuti di belakangnya. Wanita itu adalah Lasmini, isteri Ki Tejo Budi dan anak itu adalah Sudrajat, anak mereka. Lasmini memasuki ruangan membawa minuman dan makanan kecil.

“Wah, kunjunganku ini hanya merepotkan nimas Lasmini saja!” kata Ki Tejo Langit sambil tertawa dan menatap wajah adik ipar yang ayu itu. Dia membungkuk, lalu mengangkat Sudrajat dan dipangkunya. Anak itu menurut saja karena dia. pun sudah terbiasa dengan hadirnya pria yang dia panggil pakde (uwa) itu.

“Ahh, kakang Tejo Langit, kami tidak repot apa-apa, kok. Hanya sekedar minuman air teh dan makanan kecil. Silakan, kakang,” jawab Lasmini sambil tersenyum manis.

“Wah, baru saja makan malam, sudah disuguhi lagi makanan. Terima kasih, nimas. Mari silakan duduk. Aku sedang menceritakan pengalamanku kepada adi Tejo Budi. Engkau pun boleh mendengarkan, juga Sudrajat agar kelak dia menjadi seorang pendekar besar pula seperti pakde-nya. Ha-ha-ha!”

Lasmini memandang kepada suaminya dan dengan senang hati dan gembira Ki Tejo Budi memberi isyarat dengan anggukan kepala. Kemudian Lasmini duduk di sebelah suaminya, berhadapan dengan Ki Tejo Langit.

Pendekar ini lalu bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang hebat, bagaimana ia menolong orang, menentang penjahat, perkelahiannya menundukkan orang-orang sesat. Lasmini memandang dengan kagum. Pria ini sungguh gagah perkasa dan pandai mencari penghasilan besar sehingga pakaiannya serba mewah, memakai cincin dan gelang emas, bahkan kemarin menawarkan banyak uang kepada Ki Tejo Budi apa bila adik seperguruan itu membutuhkan.

“Akan tetapi, kakang Tejo Langit,” Lasmini berkata setelah pendekar itu berhenti bercerita. “Mengapa sampai sekarang andika belum juga berkeluarga? Padahal usia andika tentu lebih tua sedikit dibandingkan suamiku yang sudah mempunyai anak berusia empat tahun. Sudah sepatutnya kalau andika menikah dan saya yakin tentu banyak perawan-perawan cantik jelita yang akan senang sekali menjadi sterimu.”

“Ha-ha-ha, aku pun sudah mengusulkan hal itu!” kata Ki Tejo Budi. “Agaknya kakang Tejo Langit hendak mengikuti jejak kakang Tejo Wening, tidak akan berdekatan dengan wanita untuk selamanya.”

“Ah, sama sekali tidak, adi Tejo Budi!” Ki Tejo Langit membantah. “Aku tidak ingin menjadi seperti kakang Tejo Wening yang tidak mau berdekatan dengan wanita! Aku kagum dan suka kepada wanita, akan tetapi sampai sekarang aku belum bertemu dengan seorang wanita yang memenuhi selera hatiku. Engkau sungguh beruntung sekali, adi Tejo Budi, memperoleh seorang isteri yang cocok, cantik jelita, dan bijaksana,” berkata demikian, Ki Tejo Langit memandang wajah adik iparnya.

Lasmini menundukkan mukanya yang berubah menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya tersenyum. Wanita mana yang tak akan mekar hatinya mendengar dirinya dipuji-puji, apa lagi pemujinya itu seorang pria yang gagah perkasa?

Sesudah berhenti bercakap-cakap, mereka memasuki kamar masing-masing. Ki Tejo Budi masuk ke kamarnya bersama anak isterinya sedangkan Ki Tejo Langit memasuki sebuah kamar di bagian belakang yang disediakan untuknya. Tidak lama kemudian rumah itu sepi dan gelap, hanya sebuah lampu minyak yang tergantung di ruang tengah saja yang tetap dinyalakan.

Malam itu hawanya dingin sekali. Bulan tiga perempat mengambang di angkasa, sinarnya menembus kegelapan malam sehingga cuaca menjadi remang-remang.

Lasmini menggigil. Ia sudah berselimut namun masih menggigil. Ia menoleh kepada suami dan anaknya. Mereka sudah tertidur pulas. Ia sendiri tidak dapat tidur dan merasa gelisah. Bukan hanya hawa dingin yang membuatnya menggigil, melainkan bayangan wajah yang gagah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Wajah Ki Tejo Langit.

Tadi pada waktu hendak berpisah, Ki Tejo Langit menatap wajahnya. Sepasang matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum. Pandang mata dan senyum itu! Baginya senyuman itu jelas mengandung sesuatu, mengandung rayuan, mengandung kekaguman, mengandung sanjungan dan ajakan! Dan hatinya ini... mengapa begini terguncang?

Kenapa ada daya tarik yang luar biasa sekali menyeret hatinya, membuat hatinya merasa rindu kepada pria itu, mendatangkan keinginan kuat di dalam hatinya untuk bertemu? Apa artinya semua ini?

Ia menoleh dan memandang wajah suaminya dalam keremangan kamar itu. Kesadarannya membisikkan bahwa perasaan hatinya itu tidak benar! Akan tetapi rangsangan itu begitu mendesaknya.

Dia harus melawannya. Tidak! Hal ini tidak boleh, teriak hatinya. Akan tetapi daya tarik itu terlampau kuat. Dia merasa telah dikuasai oleh kekuatan yang tidak mungkin dilawannya.

Seperti dalam mimpi, perlahan-lahan dia turun dari atas pembaringan. Dengan hati-hati dia melangkah ke pintu, membuka daun pintu dengan hati-hati, kemudian keluar dari kamar dan menutupkan daun pintunya kembali. Lalu, dengan jantung berdebar kencang karena kesadarannya berusaha melawan gairah yang berkobar itu, dia pun melangkah perlahan ke arah belakang!

Ki Tejo Langit telah berdiri di depan kamarnya. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang.

Lasmini berusaha memperkuat perlawanannya dan hendak kembali ke kamarnya, akan tetapi ketika lengan yang kokoh kuat itu merangkul pundaknya dengan sentuhan lembut sekali, tubuh Lasmini menggeliat dan terkulai lemas dalam rangkulan. Ia pun pasrah saja ketika dituntun ke dalam kamar, memandang bagaikan kehilangan semangat ketika Ki Tejo Langit rnenutup daun pintu dan memalangnya dari dalam.

Kemudian semua itu pun terjadi. Lasmini merasa bagaikan mimpi. Bahu itu begitu kokoh kuat, sentuhan jari tangan itu begitu lembut, belaian itu begitu mesranya dan penuh kasih sayang. Dia menggelinjang, terbuai dan membiarkan dirinya hanyut, memejamkan mata dan merasa seperti melayang-layang.....

********************

Menjelang fajar Ki Tejo Budi terbangun dari tidurnya. Dia tidak melihat Lasrnini. Dikiranya Lasmini tentu bangun pagi-pagi sekali untuk menyediakan sarapan pagi bagi dia beserta tamunya. Lasmini memang rajin sekali. Isteri yang amat baik dan setia.

Dia turun dari pembaringan, melangkah ke pintu yang tidak terpalang lagi, membukanya dan melangkah keluar menuju ke belakang, maksudnya hendak pergi ke bilik mandi yang berada di dekat dapur.

Pada waktu melewati kamar Ki Tejo Langit, dia tersentak dan menghentikan langkahnya, matanya terbelalak dan dia mendekat pintu, memiringkan kepala mendekatkan telinganya pada daun pintu. Dia mendengar isak tangis lirih, isak suara wanita, dan diselingi suara pria yang nadanya menghibur.

Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu mencorong, gigi dikatupkan kuat-kuat dan kedua tangan mengepal. Akan tetapi Ki Tejo Budi sadar kembali dan dia menghela napas panjang berulang kali sehingga hatinya menjadi tenang kembali. Diangkatnya tangannya lalu diketuknya daun pintu itu. Suara isak dan suara pria menghibur itu terhenti tiba-tiba setelah terdengar ketukan.

“Tok-tok-tok!”

“Kakang Tejo Langit, dengan siapakah andika berada dalam kamar? Lasmini, engkaukah itu? Kalian bukalah pintu ini, aku tidak ingin merusaknya!”

Daun pintu terbuka dan Lasmini keluar berlari dengan pakaian kusut dan rambul terurai sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sesenggukan perlahan. Ki Tejo Budi melihat kakak seperguruannya telah berdiri di belakang daun pintu yang terbuka, sikapnya menantang.

“Semuanya telah terjadi, adi Tejo Budi. Tidak perlu ada maaf dan penyesalan. Aku berani bertanggung jawab atas perbuatanku!” kata Ki Tejo langit.

“Baik, kakang Tejo Langit. Kita hadapi persoalan sebagai laki-laki jantan. Setelah matahari terbit temuilah aku di pantai pasir putih di Karang Kemukus. Kemarin Andika telah kubawa ke sana. Di sana sepi orang, kita dapat bicara!” Sesudah berkata demikian Ki Tejo Budi memutar tubuhnya hendak meninggalkan kakak seperguruannya.

“Adi Tejo Budi. Sudah kukatakan, aku yang bertanggung jawab. Jangan ganggu Lasmini!” kata Ki Tejo Langit.

Tanpa menoleh Ki Tejo Budi menjawab, “Aku bukan laki-laki pengganggu wanita!”

Dia lalu menuju ke ruangan dalam hendak kembali ke kamarnya. Akan tetapi dia melihat Lasmini duduk di ruangan dalam, menangis tanpa suara di atas sebuah bangku. Ki Tejo Budi mengambil tempat duduk di hadapan isterinya. Kembali dia menghela napas panjang tiga kali untuk menenangkan hatinya yang bergolak.

“Sudah, tidak ada gunanya menangis lagi dan jawablah pertanyaanku dengan sejujurnya. Apakah dia memperkosamu?”

Lasmini masih menutupi mukanya dengan kedua tangan dan mendengar pertanyaan itu, dia menggeleng kepala.

“Kalau dia tidak memperkosamu, bagaimana engkau bisa berada di dalam kamarnya? Apakah siang tadi kalian sudah saling berjanji untuk bertemu di dalam kamarnya?”

Kembali Lasmini menggeleng kepala dan terisak lirih.

“Kalau begitu bagaimana engkau bisa berada di sana? Jawablah sejujurnya, Lasmini, demi untuk menyelesaikan urusan ini dan... demi anakmu, anak kita Sudrajat yang tak berdosa. Ceritakanlah!”

Lasmini menurunkan tangannya. Wajahnya pucat dan matanya membengkak merah oleh tangis. Ia berusaha sekuatnya untuk menghentikan isaknya lalu menjawab lirih, “Aku tidak tahu... semua seperti di dalam mimpi... tahu-tahu aku meninggalkan kamar dan menuju ke kamarnya. Dan dia... dia mengajakku masuk... dan aku... aku seperti kehilangan akal... aku tidak berdaya untuk menolak... semua seperti dalam mimpi...” Ia menangis lagi, lirih.

Ki Tejo Budi mengerutkan alisnya. “Apakah engkau... mencintanya...?”

Lasmini menggeleng kepala akan tetapi mulutnya berkata, “...aku tidak tahu... aku... tidak tahu... ahh, kakang, aku telah bersalah besar padamu. Bunuhlah saja aku, kakang.”

“Hm, engkau hendak melarikan diri dalam kematian, hendak melepaskan tanggung jawab? Engkau hendak membiarkan anakmu hidup merana tanpa ibu? Engkau akan menambah dosa dengan dosa yang lebih besar lagi?”

Lasmini menangis lagi. “Tidak...! Tidak ...! Ah, anakku...!”

Dia bangkit, kemudian berlari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan merangkul, mendekap Sudrajat sambil menahan tangis.

Ki Tejo Budi menghampiri kamar, lalu melongok ke dalam. Melihat keadaan Lasmini, dia pun menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang.

Sampai lama Ki Tejo Budi duduk bersila di atas bale-bale bambu yang berada di ruangan tengah. Setelah cuaca mulai terang dia turun dari bale-bale menuju ke bilik mandi. Ketika melewati kamar Ki Tejo Langit, kamar itu telah kosong. Ki Tejo Langit telah pergi.

Ki Tejo Budi sama sekali tidak khawatir kalau kakak seperguruannya itu melarikan diri. Dia mengenal baik siapa adanya kakak seperguruannya itu dan ia merasa yakin bahwa kakak seperguruannya itu pasti akan menemui dia di pasir putih Karang Kemukus itu.

Dia membersihkan diri, berganti pakaian lalu berangkat meninggalkan rumah. Dia tidak membawa senjata apa pun. Gurunya, guru mereka bertiga memang mengajarkan ilmu bela diri tanpa senjata, hanya menggunakan anggota badan, namun kalau perlu, segala macam benda bisa saja menjadi senjata yang ampuh bagi mereka.

Dengan hati mantap dan langkah tegap Ki Tejo Budi meninggalkan dusun Cihara menuju ke selatan, ke tepi Laut Kidul. Kemudian, setelah tiba di pantai, dia menyusuri pinggir laut menuju ke timur, ke Karang Kemukuaa di mana terdapat pantai berpasir putih yang indah dan tempat ini tak pernah dikunjungi nelayan karena ombak di pantai ini terlampau besar sehingga tidak mungkin berperahu dan mencari ikan di daerah itu.

Matahari telah muncul dari balik batu karang di timur dan sinar matahari pagi yang lembut membuat air laut menyilaukan karena air memantulkan cahaya matahari.

Ketika Ki Tejo Budi sudah tiba di situ, ia melihat Ki Tejo Langit telah duduk di atas sebuah batu karang. Ketika melihat adik seperguruannya datang, dia pun bangkit dan menyambut. Sekarang keduanya berdiri berhadapan di atas pantai pasir putih. Tidak ada orang lain di situ. Hanya gelombang laut yang bergulung-gulung menjadi saksi pertemuan yang sangat menegangkan ini.

“Nah, adi Tejo Budi. Sekarang kita sudah saling berhadapan, jantan sama jantan. Seperti kukatakan tadi, aku siap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanku semalam!” kata Ki Tejo Langit.

“Kakang Tejo Langit. Apa isi pertanggungan jawabmu itu?” tanya Ki Tejo Budi, suaranya tenang saja tidak mengandung kemarahan. Walau pun marah dan penasaran namun dia dapat menyimpannya dalam hati dan tidak tampak pada muka dan sikapnya.

“Terserah kepadamu, adi Tejo Budi. Apa pun yang kau kehendaki, aku siap. Kalau engkau hendak melepas Lasmini, aku akan menjadikan dia isteriku dan Sudrajat menjadi anakku. Aku akan membawa mereka pergi dari Cihara. Akan tetapi kalau engkau menghendaki lain, membuat perhitungan dengan mengadu nyawa, aku pun siap. Terserah apa yang kau kehendaki sekarang, halus boleh, kasar pun tidak akan kuhindari!”

“Engkau hendak menjadikan Lasmini sebagai isterimu? Hmm, apa engkau yakin bahwa ia akan mau menjadi isterimu?”

“Aku yakin ia pasti mau karena yang terjadi semalam membuktikan bahwa kami memang saling mencinta.”

“Saling mencinta?” Ki Tejo Budi mendengus. “Engkau licik dan curang, kakang Tejo Langit. Semalam engkau telah menggunakan aji pelet pengasihan sehingga Lasmini tak berdaya. Apa kau kira aku tidak tahu?”

“Tidak kusangkal! Memang aku menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih! Tapi engkau pun mengenal aji itu karena kita pernah sama-sama mempelajarinya! Engkau tahu benar bahwa aji itu tidak akan mempan terhadap seorang wanita kalau wanita itu tidak memiliki perasaan suka atau tidak tertarik kepada kita! Aji itu hanya sebagai penyambung kasih yang terpendam, membuka rasa kasih itu sehingga wanita itu berani menuruti dorongan kasihnya. Nah, kalau aku berhasil dengan Aji Pengasihan Sambung Sih terhadap Lasmini berarti bahwa diam-diam Lasmini mencintaku!”

“Hemm, aku yakin dia tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang mesum dan kotor itu kalau engkau tidak mempergunakan aji pengasihan itu. Kakang Tejo Langit! Engkau telah menodai isteriku, berarti engkau telah menghinaku, menginjak-injak kehormatanku. Sudah tentu aku tidak dapat tinggal diam saja!”

''Hemm, begitukah? Lalu apa kehendakmu sekarang?”

“Kita selesaikan secara jantan. Engkau atau aku yang akan menggeletak tanpa nyawa di pesisir ini!” kata Ki Tejo Budi.

Mendengar ini Ki Tejo Langit segera cancut tali wondo, mengikatkan ujung sarungnya dan menggulung lengan bajunya, lalu bersiap-siap untuk bertanding. “Babo-babo, adi Tejo Budi! Kalau itu yang kau kehendaki, silakan! Kita sama-sama murid Kyai Sapujagad, mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih banyak menyerap ilmu dari guru kita. Silakan mulai!”

Dua orang pendekar itu lalu bersiap-siap untuk saling serang. Mereka membuat gerakan pembukaan yang sama, keduanya menekuk kaki dan tangan dengan sikap seperti seekor kera atau monyet besar sedang berlaga. Ternyata keduanya sudah siap untuk bergebrak dengan ilmu silat Wanara Sakti (Kera Sakti) yang merupakan ilmu pencak aliran gurunya.

Tiba-tiba saja Ki Tejo Budi mengeluarkan pekik yang dahsyat. Akan tetapi Ki Tejo Langit mengeluarkan pekik yang sama. Dua suara gemuruh itu menjadi satu dan menggetarkan pesisir itu.

Itulah Aji Guruh Bumi, aji kedigdayaan dahsyat yang terkandung dalam pekik itu. Teriakan ini saja sudah merupakan serangan dahsyat sehingga lawan yang kurang kuat akan dapat digetarkan jantungnya sehingga roboh hanya oleh teriakan ini saja!

Keduanya terhuyung ke belakang beberapa langkah ketika saling menerima serangan getaran suara itu. Ternyata kekuatan tenaga sakti mereka yang terkandung dalam pekik dahsyat itu berimbang.

Melihat bahwa dengan Aji Guruh Bumi dia tak dapat mengalahkan kakak seperguruannya, Ki Tejo Budi lalu menyerang dengan pukulan dan tendangan dari ilmu silat Wanara Sakti. Ki Tejo Langit menyambut dengan ilmu silat yang sama sehingga terjadilah perkelahian yang seru.

Akan tetapi karena keduanya sudah menguasai ilmu silat yang sama itu dengan hampir sempurna, maka dengan jurus apa pun mereka diserang, masing-masing bisa menghindar dengan baik. Keduanya mengerahkan tenaga serta kecepatan gerakan sehingga bentuk tubuh kedua orang itu lenyap. Yang tampak hanya dua bayangan saja yang saling desak, saling serang dan saling belit.

Akan tetapi, bagi mereka perkelahian itu seperti latihan saja karena keduanya sudah hafal benar akan gerakan lawan.

“Hyaaaatttt...!” Ki Tejo Langit menyerang dengan dahsyat. Kedua tangannya menyambar dari atas ke arah kedua pelipis lawan. Namun Ki Tejo Budi sudah siap.

“Haiiittt !” dia pun berseru dan menggerakkan kedua tangan sambil mengerahkan tenaga sakti untuk menangkis.

“Dessss...!”

Dua pasang lengan untuk kesekian kalinya beradu, akan tetapi pertemuan sekali ini amat kuatnya sehingga keduanya lantas terdorong mundur sambil agak meringis sebab merasa betapa kedua lengan mereka nyeri sekali. Seluruh lengan mereka, dari jari sampai ke siku, sudah gosong-gosong karena seringnya beradu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)