SERULING GADING : JILID-11


Mereka telah bertanding hampir dua jam. Tubuh mereka telah basah oleh keringat, napas mereka mulai terengah-engah, akan tetapi belum terlihat siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya sudah marah dan penasaran sekali.

Sebenarnya kedua orang kakak beradik itu masih memiliki sebuah aji pamungkas. Nama ilmu ini adalah Aji Margo Pati (Jalan Maut), sebuah aji pukulan jarak jauh yang dahsyat sekali. Siapa pun yang menjadi lawan, kalau dia tidak memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat dari pada si penyerang, tentu akan tewas dihantam Aji Margo Pati ini!

Akan tetapi aji ini pun sangat berbahaya bagi si penyerang sendiri. Apa bila lawan yang diserang memiliki tenaga yang lebih besar, maka tenaga pukulannya akan membalik dan besar sekali kemungkirannya si penyerang akan tewas sendiri!

Mereka berdua memiliki kekuatan tenaga sakti yang berimbang. Karena itu, kalau mereka mengeluarkan aji pamungkas itu, besar bahayanya keduanya akan tewas sampyuh! Akan tetapi agaknya kedua orang itu sudah nekat dalam nafsu mereka untuk saling bunuh.

Sesudah kedua lengan mereka kembali beradu yang mengakibatkan mereka terhuyung mundur sehingga mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak empat meter, keduanya lalu membuat gerakan menyembah, lalu mengembangkan kedua lengan ke atas, diturunkan perlahan dalam bentuk sembah lagi, kemudian kedua tangan diturunkan ke depan pusar dengan jari tangan terbuka.

Inilah gerakan pembukaan dari Aji Margo Pati yang agaknya akan mereka gunakan untuk saling menyerang! Kemudian dengan gerakan lambat, kedua tangan yang terbuka itu dari depan pusar mendorong ke depan dan dari mulut dua orang itu terlontar teriakan nyaring.

“Aji Margo Patiiii...!”

“Jagad Dewa Bathara...!” Pada saat itu pula berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Ki Tejo Wening yang berpakaian serba putih itu sudah berdiri di antara kedua orang yang mengadu Aji Margo Pati itu! Ki Tejo Wening mengembangkan kedua lengannya, yang kiri menyambut pukulan Ki Tejo Budi, yang kanan menyambut pukulan Ki Tejo Langit, kedua telapak tangannya terbuka.

“Blaarrrrr...!”

Hebat sekali pertemuan tenaga sakti yang disambut oleh Ki Tejo Wening itu. Ki Tejo Budi dan Ki Tejo Langit merasa tenaga pukulan mereka seperti bertemu dengan air dan melihat bahwa kakak seperguruan pertama mereka yang berdiri di antara mereka dan menyambut kedua pukulan, maka mereka cepat melompat ke samping dan memandang dengan mata terbelalak.

Dua orang itu terhindar dari mala petaka karena tenaga sakti Margo Pati mereka bertemu dengan tenaga sakti lunak yang dikuasai Tejo Wening sehingga tenaga pukulan mereka seolah tenggelam. Akan tetapi mereka melihat kakak seperguruan pertama mereka berdiri limbung dan akan roboh.

Cepat kedua orang itu melompat dan merangkul tubuh Ki Tejo Wening. Mereka berdua membantu Ki Tejo Wening untuk duduk bersila di atas pusir. Tanpa diminta Ka Tejo Budi duduk bersila menghadap Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Langit duduk bersila di belakang kakak seperguruannya itu. Kedua orang ini lalu menempelkan telapak tangan mereka ke dada dan punggung Ki Tejo Wening dan keduanya mengerahkan tenaga sakti, disalurkan ke tubuh kakak seperguruan itu untuk membantunya memulihkan keadaan dalam tubuh yang tadi terguncang hebat.

Hawa yang hangat mengalir lewat telapak tangan kedua orang itu, memasuki tubuh Ki Tejo Wening. Perlahan-lahan pernapasannya yang tadinya sesak menjadi lega, wajahnya yang pucat menjadi kemerahan lagi.

“Sudah cukup,” katanya dan kedua orang adik seperguruannya itu melepaskan tempelan tangan mereka dari dada dan punggung.

Mereka bertiga duduk bersila di atas pasir putih, berhadapan dan saling pandang. Ki Tejo Wening, biar pun hanya kakak seperguruan, namun mempunyai tingkat kepandaian yang paling tinggi dan wataknya yang bijaksana mendatangkan wibawa yang kuat hingga kedua adik seperguruannya itu menganggapnya sebagai pengganti guru mereka dan keduanya merasa segan dan hormat sekali kepadanya. Kini keduanya duduk sambil menundukkan muka, maklum bahwa mereka tentu akan mendapat teguran dari kakak seperguruan itu.

“Adi Tejo Langit dan Tejo Budi, roh-roh sesat apakah yang sedang memasuki batin kalian sehingga kalian berkelahi dan berusaha keras untuk saling membunuh? Lupakah kalian bahwa kalian adalah kakak beradik seperguruan yang seharusnya saling membela dan melindungi, bukan saling bunuh?”

Dua orang itu saling pandang, lalu menunduk kembali. Tejo Budi menghela napas panjang lalu berkata, “Kakang Tejo Wening, kalau aku menceritakan persoalan antara kakang Tejo Langit dan aku, bukan berarti bahwa aku hendak mengadu dan tumbak-cucukan (senang mengadukan keburukan orang lain).”

“Tidak, adi Tejo Budi, asal yang kau ceritakan itu yang sebenarnya. Ataukah engkau yang akan bercerita lebih dulu, adi Tejo Langit?” Ki Tejo Wening bertanya sambil memandang kepada adik seperguruannya itu.

Sambil tetap menundukkan mukanya Ki Tejo Langit berkata, “Biarlah adi Tejo Budi yang bercerita lebih dulu.”

“Nah, adi Tejo Budi. Sekarang engkau berceritalah dengan sejujurnya supaya aku dapat mempertimbangkan urusan di antara kalian, jangan merasa ragu karena bukankah kita bertiga adalah saudara-saudara sendiri?”

Ki Tejo Budi menghela napas panjang lalu berkata, “Begini, kakang Tejo Wening. Tiga hari yang lalu kakang Tejo Langit datang berkunjung dan menjadi tamu kami sekeluarga. Aku, isteriku Lasmini dan anak kami Sudrajat menerimanya dengan hati dan tangan terbuka. Dia kami beri sebuah kamar untuk tidur selama dia menjadi tamu kami. Akan tetapi malam tadi...” Ki Tejo Budi meragu, merasa sukar sekali untuk melanjutkan ceritanya yang sangat menyinggung kehormatannya itu.

“Tadi malam ada apa, adi Tejo Budi?”

“Malam tadi... kakang Tejo Langit mempergunakan pelet aji pengasihan, mengguna-gunai Lasmini dan menjinahi isteriku itu dalam kamarnya... “

Ki Tejo Wening mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Ki Tejo Langit. “Adi Tejo Langit! Benarkah apa yang diceritakan oleh adi Tejo Budi itu?”

Ki Tejo Langit mengangkat mukanya dan memandang kepada kakak seperguruannya dengan tabah. “Hanya benar sebagian, kakang.”

“Benar sebagian bagaimana? Hayo ceritakan apa yang sebenarnya terjadi!”

“Begini, kakang Tejo Wening. Memang benar aku menjadi tamu adi Tejo Budi dan tinggal di rumahnya selama tiga hari. Selama itu aku melihat betapa pandang mata Lasmini, isterinya, yang ditujukan kepadaku mengandung bunga api asmara. Terus terang saja aku sendiri baru sekali ini jatuh hati kepada seorang wanita. Aku mencinta Lasmini. Karena itu tadi malam aku menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih untuk menguji benar tidaknya sangkaanku terhadap Lasmini itu. Apa bila dia tidak mencintaku, tentu ajiku itu tidak akan mempan. Engkau juga tahu mengenai hal itu, kakang. Nah, aku dengan Lasmini memang melakukan hubungan, akan tetapi atas dasar saling mencinta. Aku mengakui hal ini terus terang kepada adi Tejo Budi. Jika dia mau melepaskan Lasmini, aku akan mengambilnya sebagai isteriku dan Sudrajat akan kujadikan anakku. Akan tetapi adi Tejo Budi memilih mengadu nyawa denganku seperti yang kau lihat tadi.”

Ki Tejo Wening menoleh kepada Ki Tejo Budi. “Adi Tejo Budi, benarkah yang diceritakan adi Tejo Langit tadi?”

“Benar, kakang. Akan tetapi aku merasa harga diriku diinjak-injak dan kehormatanku telah dihina oleh kakang Tejo Langit. Oleh karena itu aku menantangnya untuk menyelesaikan urusan ini dengan mengadu nyawa.”

Ki Tejo Wening menarik napas panjang dan bergantian memandang kepada kedua orang adik seperguruannya itu. Kemudian dia berkata, suaranya lembut tapi berwibawa, “Adikku berdua, sekarang dengarlah baik-baik. Adi Tejo Langit, engkau telah merusak pagar ayu. Engkau bersalah karena engkau tak mampu menguasai nafsumu sendiri sehingga engkau tega mengganggu adik iparmu sendiri!”

Ki Tejo Langit menunduk dan berkata lirih, “Aku telah khilaf, kakang.”

“Betapa pun hal itu telah terjadi, Adi Tejo Budi. Tapi bagaimana pun kesalahan itu bukan dilakukan oleh adi Tejo Langit sendiri. Isterimu Lasmini juga turut bersalah. Kesetiaannya kepadamu goyah karena dia tertarik kepada pria lain. Seandainya tidak goyah, tentu dia tidak akan mempan dipengaruhi Aji Pengasihan Sambung Sih. Dan engkau sendiri sudah bersikap terburu nafsu, mengajak adi Tejo Langit untuk bersabung nyawa.”

“Memang aku terlalu menuruti perasaan marah, kakang,” Ki Tejo Budi mengaku.

“Adi Tejo Budi, andai kata engkau menang dalam adu nyawa dan adi Tejo Langit tewas, apakah hal itu akan dapat mendamaikan hatimu? Apakah hubunganmu dengan Lasmini akan dapat pulih kembali seperti sebelumnya? Ingat, perjodohan hanya akan terlaksana dengan baik bila mana kedua pihak menghendakinya, kalau kedua pihak mempunyai rasa cinta satu sama lain. Isterimu sudah tertarik kepada adi Tejo Langit, berarti cintanya kepadamu sudah mulai luntur. Engkau tidak akan dapat memaksanya untuk mencintaimu. Yang tertinggal hanya ketidak-cocokan dengannya dan penyesalan bahwa engkau sudah membunuh adi Tejo Langit.”

“Sekarang aku baru menyadari hal itu, kakang.”

“Dan engkau, adi Tejo Langit. Bayangkan, kalau engkau berhasil membunuh adikmu Tejo Budi, apa kau kira akan dapat hidup bahagia dengan Lasmini? Mungkin ia malah berbalik membencimu, dan anaknya pun akan membencimu karena engkau membunuh ayahnya. Dan akhirnya engkau akan hidup menderita dan merasa menyesal bahwa engkau sudah membunuh adik seperguruanmu dan merampas isterinya. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau sudah menggunakan kekerasan untuk merampas isteri orang lain dengan membunuh suaminya. Apakah engkau yang mengaku seorang pendekar, akan melakukan perbuatan sekeji dan sejahat itu?”

“Maafkan aku, kakang Tejo Wening. Sekarang aku menyadari kesalahanku dan aku akan menurut apa yang akan kau putuskan.”

“Dalam hal ini bukan aku yang memutuskan. Aku hanya menjadi juru pemisah, pendamai dan penengah. Yang berhak memutuskan adalah adi Tejo Budi, karena dalam urusan ini dialah yang merasa disakiti hatinya. Nah, adi Tejo Budi, sekarang bagaimana pendapat dan keputusanmu menghadapi urusan ini?”

Sampai lama Ki Tejo Budi diam saja dengan dua mata terpejam, lalu dia bergumam lirih, “Ikatan... ikatan kedagingan... ikatan duniawi, semua itu hanya membawa duka nestapa...”

Ki Tejo Wening mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau engkau akhirnya dapat merasakan tentang hal itu, adi Tejo Budi. Mudah-mudahan engkau akan dapat mengambil keputusan yang bijaksana.”

Ki Tejo Budi membuka kedua matanya, lalu menoleh kepada Ki Tejo Langit dan bertanya, suaranya tenang, “Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji dengan kesungguhan hati bahwa engkau akan mengambil Lasmini menjadi isterimu dan kelak tidak akan menyia-nyiakannya?”

“Aku berjanji akan memperisteri Lasmini dan tidak akan menyia-nyiakannya!” kata Ki Tejo Langit dengan suara lantang dan mantap.

“Dan bagaimana dengan puteramu, adi Tejo Budi?” tanya Ki Tejo Wening.

“Mengenai Sudrajat, karena dia anak kami berdua, maka aku akan membicarakan dengan ibunya,” jawab Ki Tejo Budi.

“Bagus! Memang demikianlah sebaiknya. Nah, kurasa urusan di antara kalian sudah dapat diselesaikan dengan baik, maka kuharap kalian tidak saling mendendam. Marilah kita ke rumahmu, adi Tejo Budi, untuk menyelesaikan urusan ini sampai tuntas.”

Tiga orang kakak beradik seperguruan itu lalu berjalan menuju dusun Cihara. Pada waktu mereka memasuki rumah, mereka mendapatkan Lasmini sedang duduk di. atas bale-bale di ruangan dalam sambil memangku dan merangkul Sudrajat yang berusia empat tahun.

Wanita ini tampak pucat, pakaiannya kusut, rambutnya terurai. Ketika melihat suaminya masuk bersama dua orang kakak seperguruan suaminya, dia memandang seperti seekor kelinci bertemu harimau dan dia pun merangkul puteranya lebih ketat lagi, seolah khawatir kalau-kalau orang akan mengambil anaknya.

Dengan isyarat tangannya Ki Tejo Budi mempersilakan dua orang kakak seperguruannya duduk, kemudian mereka bertiga duduk di atas bangku dalam ruangan itu. Ki Tejo Budi memandang pada Lasmini yang tampak ketakutan. Diam-diam dalam hatinya dia merasa iba kepada wanita itu.

Bagaimana dia dapat menyalahkan kalau isterinya tertarik kepada seorang pria segagah Ki Tejo Langit? Semua wanita tentu akan tertarik dan kagum. Tetapi dia pun yakin bahwa betapa pun kagumnya, isterinya tidak akan melakukan penyelewengan kalau saja tidak terdorong oleh pengaruh Aji Pengasihan Sambung Sih.

“Lasmini,” katanya lirih penuh kesabaran. “Kami sudah membicarakan mengenai peristiwa semalam dan kami mengambil keputusan yang dirasa baik bagi semua pihak. Mulai hari ini engkau akan hidup bersama kakang Tejo Langit dan menjadi isterinya.”

Mendengar kata-kata suaminya itu, dengan matanya masih terbelalak ketakutan Lasmini memandang kepada suaminya, lalu kepada Ki Tejo Langit dan ia tidak mengeluarkan satu patah kata pun karena ia tidak tahu harus bicara apa. Rasa menyesal dan malu membuat ia seolah merasa ingin amblas ke dalam bumi agar jangan bertemu dengan siapa pun.

“Lasmini, aku sudah rela sepenuhnya dan semoga engkau akan hidup bahagia bersama kakang Tejo Langit. Biarlah aku yang akan merawat dan mendidik Sudrajat,” kata pula Ki Tejo Budi, sambil memandang kepada bocah itu yang mendengarkan percakapan mereka dengan muka tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang sedang dibicarakan.

Mendengar kat-kata itu, tiba-tiba saja Lasmini mendekap anaknya semakin erat, matanya terbelalak memandang kepada Ki Tejo Budi kemudian ia berkata, “Tidak...! Tidak...! Kalau anakku hendak diambil dariku, bunuh dulu aku!”

Ki Tejo Budi tertegun. Dia menoleh kepada Ki Tejo Wening, seolah minta pendapatnya.

“Semoga Hyang Widhi Wasa mengampuni kita semua...!” Ki Tejo Wening berucap lirih. “Seorang bijaksana mendahulukan kepentingan orang lain dan menahan keinginan hati sendiri.”

Ki Tejo Budi mengangguk perlahan, kemudian menoleh kepada Ki Tejo Langit dan berkata, “Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji sekali lagi bahwa engkau akan merawat dan mendidik Sudrajat seperti kepada anakmu sendiri?”

Wajah Ki Tejo Langit berseri. Dia segera bangkit dari bangku, menghampiri Lasmini dan dengan lembut dia mengambil anak itu dari pangkuan wanita itu, mengangkatnya ke atas kemudian memondongnya. “Sudrajat, engkau akan kudidik supaya kelak menjadi seorang pendekar!”

Anak yang tadinya agak ketakutan didekap ketat ibunya, kini tertawa karena tadi diangkat tinggi, lalu berkata, “Aku suka menjadi pendekar!”

Ki Tejo Langit tertawa, lalu berkata kepada Ki Tejo Budi, “Adi Tejo Budi, aku berjanji akan mendidik Ajat seperti anakku sendiri. Biarlah kakang Tejo Wening yang menjadi saksinya!”

Ki Tejo Budi lalu bangkit berdiri dan menarik napas panjang. “Sekarang semuanya sudah beres. Tejo Budi telah bebas dari semua ikatan. Kakang Tejo Langit, mulai hari ini Lasmini menjadi isterimu, Ajat menjadi puteramu, dan rumah ini seisinya menjadi milikmu. Semoga Gusti Yang Maha Suci memberkahi engkau sekeluarga!”

Terkejut dan heran juga hati Ki Tejo Langit mendengar ini. “Eh, adi Tejo Budi! Lalu engkau hendak pergi ke mana?”

Ki Tejo Budi tersenyum, senyum tenang, tidak membayangkan kedukaan karena hatinya memang telah rela melepaskan itu semua. Dia menoleh kepada Ki Tejo Wening. “Kakang Tejo Wening, maukah engkau membawaku dan membuka mataku supaya dapat melihat kenyataan dalam segala kepalsuan yang terdapat di dalam dunia ini?”

Ki Tejo Wening bangkit berdiri. “Marilah, adi Tejo Budi, mari kita memasuki Alam, belajar dari Alam, bersatu dengan Alam dan mempelajari hakekat kehidupan ini.”

Dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari rumah, berjalan seenaknya d dengan tenang sekali. Sesudah berjalan puluhan langkah, terdengar isak tangis di belakang mereka diselingi suara memelas.

“Ampuni aku... Ahh... hu-hu-huu... ampuni aku...!”

Mendengar ini Ki Tejo Budi menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya dan dia melihat Lasmini berlutut di luar pintu rumah, menangis dan menyembah-nyembah ke arahnya. Ki Tejo Langit yang memondong Sudrajat berdiri menghibur wanita itu.

Ki Tejo Budi mengangkat kedua tangannya seperti memberi berkah, seperti menyatakan ketulusan hatinya bahwa sejak tadi dia sudah memaafkan bekas isterinya, rela kehilangan mereka semua, isterinya, anaknya, rumah serta tegal sawahnya. Kemudian dia memutar tubuhnya dan melangkah cepat untuk menyusul Ki Tejo Wening yang terus berjalan.

Ki Tejo Langit dan Lasmini mengikuti bayangan dua orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan. Kemudian Ki Tejo Langit mengangkat Lasmini bangun dan memapahnya masuk ke dalam rumah.

Sejak saat itu, selama bertahun-tahun Ki Tejo Budi memperdalam ilmu-ilmunya di bawah bimbingan kakak seperguruannya itu. Bukan hanya ilmu kanuragan bahkan lebih dari itu, ilmu tentang kehidupan, terutama sekali tentang kejiwaan yang disebut Aji Tirta Bantala, mengalir seperti tirta (air) dan pasrah menyeret seperti bantala (bumi), bersatu dengan kekuasaan Sumber segala sumber, sangkan paraning dumadi, mengawali yang terawal dan mengakhiri yang terakhir, bahkan berada di luar jangkauan pengaruh awal dan akhir. Menyerah dan pasrah kepada kekuasaan Yang Tidak Terbayangkan, Yang Tidak Terukur, Tidak Tergambarkan, melampaui Kekekalan dan Keabadian.

Ki Tejo Wening sendiri semakin jelas melihat bahwa sumber segala kesengsaraan dunia adalah nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai badan dan hati akal pikiran, menciptakan si-aku. Si-aku ini mengikatkan diri pada segala kenikmatan dan kesenangan kedagingan dan duniawi sehingga menjadi semakin besar. Semakin besar kesenangan yang dikejar si-aku, semakin besar pula kedukaan yang dideritanya.

Karena menyadari akan semua ini, sesudah selama beberapa tahun membimbing Ki Tejo Budi, akhirnya kedua orang kakak beradik seperguruan ini mengambil jalan sendiri-sendiri dan hidup sebagai pengembara yang berkelana.

Dua puluh lima tahun sejak peristiwa itu, dalam usianya yang ke tujuh puluh tahun, Ki Tejo Wening yang berkelana sampai di puncak Argadumilah di Gunung Lawu, bertemu dengan tokoh-tokoh yang menentang Mataram seperti yang diceritakan di bagian depan kisah ini. Kemudian dia bertemu pemuda yang berjodoh menjadi muridnya dan bersama Parmadi, pemuda itu, akhirnya menetap di puncak Argadumilah di mana ia menggembleng Parmadi dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya. Demikianlah sedikit riwayat kakek sakti mandraguna Ki Tejo Wening yang kini menjadi guru Parmadi dan bersama pemuda itu tinggal di puncak Argadumilah di Gunung Lawu.....

********************

Waktu atau kala itu digambarkan sebagai Sang Bathara Kala, dewa berujud raksasa besar sekali mengerikan dalam kisah pewayangan. Dan sesungguhnyalah, seperti dewa raksasa Sang Bethoro Kolo, sang waktu melahap segala apa yang ada di dunia ini. Segala sesuatu akhirnya lenyap dicaplok sang waktu. Yang tadinya kecil tidak berdaya tumbuh menjadi besar kuat bersama waktu. Kemudian yang besar kuat ini berubah kembali menjadi tua ringkih tak berdaya. Yang terakhir Sang Waktu akan mencaploknya sama sekali sehingga lenyap.

Segala macam kesenangan akan lenyap ditelan waktu, demikian pula tiada duka cita yang tanpa akhir, karena akhirnya akan habis pula dicaplok waktu. Anehnya, kalau diperhatikan, waktu merayap seperti siput tua, tetapi sekali kita lengah, sang waktu akan menyambar secepat kilat sehingga waktu bertahun-tahun tampak baru beberapa hari saja!

Demikian pula dengan keadaan di puncak Argadumilah di mana guru dan murid itu hidup. Tanpa terasa lima tahun telah lewat sejak mereka tiba di puncak itu. Kini Parmadi sudah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya tampan gagah namun gerak-geriknya lemah lembut. Bibirnya selalu tersenyum ramah dan sabar penuh pengertian. Sepasang matanya bersinar lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa.

Ki Tejo Wening atau Resi Tejo Wening masih tampak seperti lima tahun yang lalu. Tidak tampak lebih tua atau lemah walau pun kini usianya sudah tujuh puluh lima tahun.

Pada suatu pagi, Resi Tejo Wening tampak duduk bersila di atas bale-bale yang berada di luar pondoknya. Parmadi duduk bersila di atas tanah beralaskan sepotong papan.

“Parmadi, aku memanggilmu untuk memberi tahu bahwa hari ini tibalah saatnya kita harus saling berpisah. Engkau harus turun gunung untuk mulai berdarma bakti kepada manusia dan dunia pada umumnya, kepada nusa bangsa pada khususnya, dengan memanfaatkan segala macam ilmu yang telah kau pelajari selama lima tahun di sini. Engkau tentu masih ingat akan semua wejangan yang pernah kuberikan padamu, tahu bahwa segala macam ilmu dan kepandaian itu tak akan ada gunanya tanpa dipraktekkan dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya segala pengetahuan tentang kebaikan kalau kebaikan itu sendiri tidak mewarnai tindak-tandukmu? Semua itu telah kau ketahui dan tentu engkau masih ingat semuanya, bukan?”

“Saya masih ingat, eyang dan semoga saya tidak akan pernah melupakan semua ajaran dan wejangan yang selama ini eyang berikan kepada saya.”

“Ada satu hal yang aku ingin engkau selalu ingat dan menyadari kenyataan bahwa dalam kehidupan di dunia ini, perbuatan manusia hanya dapat disebut baik atau buruk menurut penilaian orang, dan penilaian ini selalu didasari keadaan hati dan kepentingan si penilai. Oleh karena itu tidak ada kebaikan atau keburukan yang mutlak. Dalam kebaikan terdapat keburukan dan dalam keburukan terdapat kebaikan.”

Parmadi mengangguk-angguk. “Lalu, apakah kebaikan mutlak itu, eyang.”

“Yang mutlak baik dan sempurna hanyalah Gusti Yang Maha Baik dan Maha Sempurna. Akan tetapi ada suatu kebenaran hakiki, yaitu Kasih! Apa bila ada Kasih hidup di dalam hati sanubarimu, Kasih sejati, Kasih murni, Kasih yang merupakan karunia Tuhan, maka apa pun yang kau perbuat, pasti benar dan baik adanya! Tuhan Maha Kasih, maka apa bila ada Kasih bernyala dalam hatimu, Kuasa Tuhan akan selalu membimbingmu. Karena itu berdoalah selalu supaya Tuhan memberi kemampuan kepadamu untuk membuka pintu hatimu, agar sinar kasih-Nya yang suci dapat masuk dan manunggal dengan jiwamu.”

Parmadi menyembah. “Akan saya teringat pesan eyang.”

“Nah, sekarang engkau berangkatlah, Parmadi. Pergilah berkelana dan jangan melupakan tugas yang dipesankan oleh mendiang ayahmu. Ayahmu tentu seorang yang setia kepada Mataram, maka sebagai puteranya, engkau berkewajiban untuk melanjutkan pengabdian ayahmu kepada Kerajaan Mataram itu. Pergilah engkau ke Mataram dan belalah nusa dan bangsamu. Akan tetapi ingat, pengabdianmu itu harus tulus ikhlas bukan dengan pamrih meraih kedudukan tinggi dan kemuliaan bagi dirimu sendiri. Kalau demikian halnya, maka pengabdianmu itu palsu, dinodai oleh kepentingan diri pribadi yang hanya menggunakan pengabdian dan pengorbanan sebagai kedok dan sarana untuk mendapatkan keinginan pribadi.”

“Akan tetapi, eyang. Maafkan pertanyaan saya. Eyang sendiri hendak pergi ke manakah?”

Resi Tejo Wening tersenyum. “Aku sudah tua dan tubuhku telah ringkih, hendak pergi ke mana lagi?”

Parmadi memandang penuh harapan, “Kalau saya mempunyai kesempatan dan merasa rindu kepada eyang, bolehkah saya datang menghadap eyang di sini? Eyang tentu masih berada di sini, bukan?”

“Aku tidak tahu apakah aku berada di sini atau di mana. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu yang akan menentukannya. Akan tetapi tentu saja sewaktu-waktu engkau boleh datang ke puncak ini dan kalau memang ada jodoh tentu saja kita dapat saling berjumpa.”

Biar pun ucapan gurunya itu kurang meyakinkan, namun membuat hati Parmadi lega. Dia segera berkemas, tidak lupa membawa Seruling Gading, pusaka pemberian gurunya itu, diselipkan pada ikat pinggangnya, dan membawa sedikit pakaian yang dipunyainya dalam buntalan. Setelah itu kembali dia berlutut menyembah kepada gurunya dan berpamit.

“Ya, berangkatlah dan selalu ingat dan waspadalah seperti yang sudah kau ketahui. O ya, aku pernah menceritakan tentang kedua adik seperguruanku, Ki Tejo Langit dan Ki Tejo Budi kepadamu. Bila engkau kebetulan bertemu dengan mereka, sampaikanlah salamku.”

“Baiklah, eyang dan selamat tinggal, eyang, harap eyang menjaga diri baik-baik.”

“Pergilah,” kata kakek itu singkat.

Parmadi lalu menuruni puncak Argadumilah, tidak ragu atau menengok lagi. Gemblengan batin dari gurunya telah tumbuh matang dalam hatinya sehingga ia tak merasa kehilangan karena memang dia tidak terikat. Dia menyadari sepenuhnya bahwa segala apa pun yang dekat dengannya, bahkan yang dipunyainya, pada hakekatnya bukanlah miliknya. Bahkan tubuhnya sendiri pun bukan miliknya, hanya dipinjamkan kepadanya agar dia dapat hidup sebagai manusia di dunia ini. Segala apa pun di alam mayapada ini, yang tampak dan yang tidak tampak, adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa!

Biar pun dia tahu bahwa dia hanya seorang manusia biasa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, segala kelemahan dan kekuatannya, disertai nafsu-nafsunya, namun keyakinan bahwa dia tidak memilik apa-apa dan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan Yang Maha Kasih, membuat hatinya ringan dari tekanan dan bebas dari ikatan.

Setelah menuruni puncak Lawu, tentu saja pertama-tama Parmadi menujukan langkahnya ke dusun Pakis. Lima tahun dia meninggalkan dusun ini dan selama lima tahun belajar ilmu dari Resi Tejo Wening, sering kali dia terkenang kepada dusun ini. Tidak, kalau dia mau jujur harus diakui bahwa yang membuat dia terkenang adalah diri Muryani!

Dia merasa rindu kepada gadis yang sudah dikenalnya kurang lebih setengah tahun itu, bahkan sudah akrab dengannya, sudah seperti kakak dan adik sendiri saja. Dan kalau dia mengenangkan saat perpisahan di luar dusun itu, ada getaran aneh dalam hatinya dan dia merasa bahwa hubungan di antara mereka bahkan lebih akrab dari pada sekedar kakak dan adik!

Pertama dia rindu kepada Muryani, dan kedua dia pun ingin sekali bertemu dengan Ki Ronggo Bangak. Setelah berpisah lama, sering kali dia baru menyadari betapa besar budi dan jasa orang tua itu kepadanya. Ki Ronggo Bangak itulah gurunya yang pertama, orang yang pertama kali membuka pikirannya, memberikan pengetahuannya melalui bacaannya itulah yang membuat dia bukan seperti pemuda dusun kebanyakan. Dia pandai membaca menulis, pandai bertembang dan menari, pandai meniup suling dan mengerti akan tata susila.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)