SERULING GADING : JILID-12


Kini dia memandang dusun itu dan melihat bahwa dusun itu sama sekali tidak berubah! Pohon cemara di kanan kiri gerbang dusun, sepasang cemara pecut yang kecil tinggi dan runcing seperti pecut itu, masih tetap di sana dan tidak berubah. Sepasang pohon cemara itu agaknya sudah terlalu tua untuk tumbuh semakin tinggi sehingga tampak masih sama seperti lima tahun yang lalu.

Hari sudah siang dan dia melihat kesibukan di dusun itu masih sama seperti dulu. Ketika memasuki dusun lewat pintu gapura dusun itu dia melihat para penduduk yang bertemu dengan dia memandang padanya, akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenalnya. Dia sendiri mengenal beperapa orang di antara mereka. Akan tetapi karena mereka itu seperti pangling kepadanya, dia pun diam saja dan langsung dia menuju ke rumah Muryani.

Rumah itu pun masih seperti dulu. Pekarangannya yang bersih terhias tumbuh-tumbuhan kembang yang indah. Pohon mawar merah kesukaan Muryani masih tumbuh dan banyak kembangnya menghias pohon kembang itu. Pintu serta dinding kayu berhias ukir-ukiran indah itu juga masih sama dan terpelihara baik-baik.

Berdebar jantung di dada Parmadi ketika membayangkan pertemuannya dengan Muryani dan ayah gadis itu. Akan tetapi yang tampak di situ hanya seorang pria setengah tua yang sama sekali bukan Ki Ronggo Bangak, melainkan seorang yang tak dikenalnya. Laki-laki ini bertelanjang dada dan sedang mencangkul di taman pekarangan itu, membersihkan rumput-rumput liar. Dadanya yang kerempeng itu basah oleh keringat.

Parmadi cepat menghampiri dan pria itu menghentikan pekerjaannya ketika melihat ada seorang pemuda memasuki pekarangan. Dia memandang kepada Parmadi dengan heran.

“Maafkan kalau aku mengganggu, paman. Aku hendak bertemu dengan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani. Apakah mereka berada di rumah?”

Orang itu memandangnya dengan mata heran dan bodoh, lalu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal mereka.”

Tentu saja Parmadi menjadi terkejut dan heran mendengar ucapan itu. “Jika begitu, rumah siapakah ini? Siapa penghuninya?”

Kembali laki-laki itu menggelengkan kepala “Tidak ada penghuninya. Rumah ini kosong dan saya bertugas untuk menjaga dan merawat rumah ini.”

“Siapa yang menugaskanmu, paman?” tanya Parmadi semakin heran sambil mengamati wajah orang itu. Sebuah wajah yang sama sekali tidak dikenalnya, berarti orang ini belum ada di dusun Pakis ketika dia pergi.

“Yang menugaskan tentu saja pemilik dari rumah ini!” jawab orang itu dan nada suaranya membayangkan kejengkelan.

“Lho! Pemilik rumah ini adalah paman Ronggo Bangak dan adi Muryani, bukan? Engkau tentu mengenal mereka, paman!”

“Bukan! Dan aku tidak mengenal mereka. Baru setahun aku datang dan belum mengenal mereka.”

“Ah, begitukah? Tolong jawab, siapa nama pemilik rumah ini dan di mana dia tinggal?”

“Pemiliknya adalah Ki Demang Pakis dan kalau engkau ingin bertanya tentang rumah ini, tanyalah kepadanya karena aku tidak tahu apa-apa!” Setelah berkata demikian, orang itu melanjutkan pekerjaannya mencangkul dan tidak mengacuhkan Parmadi lagi.

Parmadi tertegun. Dia memandang ke arah pintu rumah, seolah mengharapkan pintu itu akan terbuka dan Muryani atau ayahnya muncul. Dia merasa seperti dalam mimpi. Apa yang telah terjadi dengan mereka? Dan siapa Ki Demang Pakis itu?

Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pikirannya membayangkan jangan-jangan Ki Demang Wiroboyo telah kembali kemudian menggunakan kekerasan untuk memegang jabatannya kembali! Teringat akan kemungkinan ini, dia segera berkata kepada penjaga itu, “Terima kasih, paman!”

Setelah berkata demikian, dia cepat meninggalkan pekarangan itu dan bergegas pergi ke rumah gedung yang dulu menjadi tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo!

Gedung itu pun masih kelihatan luas. Tidak nampak orang pada pekarangan yang sangat dikenalnya itu. Parmadi segera memasuki pekarangan dan setelah tiba di depan pendopo, dia melihat dua orang pemuda duduk di atas bangku penjagaan. Agaknya dua pemuda itu yang bertugas jaga. Dia segera mengenal wajah mereka. Dua orang pemuda dusun yang dulu amat dikenalnya.

“Manto dan Dikun! Kalian menjaga sini? Siapakah yang sekarang menjadi demang?”

Dua orang pemuda itu memandang heran, mengamati wajah Parmadi. Agaknya selama lima tahun ini wajah Parmadi sudah banyak berubah. Mungkin pada sinar matanya yang mencorong itulah yang membuat dua orang itu pangling. Akan tetapi kemudian pemuda yang bernama Dikun berteriak,

“Parmadi...! Engkaukah ini?”

“Parmadi? Ahh, benar, dia Parmadi!” kata pemuda yang kedua.

Mereka menjabat tangan dan menepuk-nepuk pundak Parmadi dengan girang. “Ke mana saja engkau selama ini?” mereka menghujaninya dengan pertanyaan. Akan tetapi Parmadi menggelengkan kepala dan berkata,

“Aku berkelana, akan tetapi hal itu tidak penting. Yang penting, sekarang kalian ceritakan apa yang terjadi di dusun kita ini. Ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani, dan siapa pula yang sekarang menjadi demang di sini?”

“Akulah yang menjadi demang di sini, orang muda!” tiba-tiba saja terdengar suara orang menjawab.

Parmadi cepat menoleh dan melihat seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya merah, keluar dari pendopo kademangan.

“Siapakah andika, orang muda? Dan apa maksudmu datang berkunjung ke sini?”

Manto dan Dikun memberi hormat, kemudian Dikun berkata, “Paman Demang, inilah yang bernama Parmadi, yang dulu menjadi perawat kuda milik Ki Demang Wiroboyo.”

Lelaki tinggi besar itu memandang penuh perhatian. “Ah, kiranya andika ini yang bernama Parmadi? Parmadi, mari masuklah, agaknya banyak hal yang ingin kau ketahui. Mari kita bicara di dalam.”

Parmadi melihat laki-laki tinggi besar itu sikapnya kasar akan tetapi pandangan matanya membayangkan kejujuran dan senyum mulutnya wajar dan ramah. Juga pembawaannya seperti seorang yang ‘berisi’, yaitu orang yang berilmu.

Ketika memandang kepada dua orang pemuda itu, dia melihat mereka tersenyum dan mengangguk-angguk seperti hendak mengisyaratkan bahwa baik sekali kalau dia menuruti permintaan demang baru itu. Maka dia pun lalu melangkah memasuki pendopo.

Orang tinggi besar itu mengajaknya duduk di ruangan sebelah kiri yang biasanya dahulu juga menjadi ruang di mana demang menerima tamunya. Mereka lalu duduk berhadapan di kursi - kursi yang dulu juga.

Setelah duduk berhadapan, demang itu lalu berkata, “Aku telah mendengar bahwa andika dulu menjadi pembantu Ki Wiroboyo juga bahwa andika adalah murid Ki Ronggo Bangak. Tentu andika mengenal baik puteri Ki Ronggo Bangak yang bernama Muryani itu, bukan?”

“Benar sekali apa yang paman katakan itu. Akan tetapi, apakah yang telah terjadi di dusun ini selama lima tahun ini? Ketika saya mengunjungi rumah paman Ronggo, ternyata rumah itu kosong. Ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani?”

Orang itu menghela napas panjang. “Ahh, agaknya andika sama sekali belum mendengar tentang apa yang terjadi di dusun ini, Parmadi. Ki Ronggo Bangak telah meninggal dunia karena tewas terbunuh “

Parmadi terbelalak mendengar ini. “Terbunuh?! Dan adi Muryani...?”

“Sabarlah, Parmadi. Sebaiknya kuceritakan dari permulaan agar engkau bisa mengetahui dengan jelas apa yang terjadi di dusun ini.” Orang tinggi besar itu lalu bercerita.

Ketika laporan mengenai dusun Pakis itu sampai di Mataram, Sultan Agung menyerahkan tugas kepada Tumenggung Wiroguno, seorang senopati Mataram, untuk menenteramkan dan membereskan keadaan di kademangan itu. Tumenggung Wiroguno datang ke dusun itu dan mendengar laporan Ki Ronggo Bangak tentang Ki Demang Wiroboyo yang diusir oleh penduduk dusun karena perbuatannya yang dianggap menyimpang dari kebenaran.

Tumenggung Wiroguno lalu mengangkat Ki Warutomo sebagai demang baru di Pakis. Ki Warutomo yang tinggi besar berusia lima puluh tahun itu tadinya adalah seorang perwira dalam pasukan Mataram, seorang yang terkenal gagah berani, jujur dan setia kepada Mataram. Ada pun Ki Ronggo Bangak diangkat sebagai penasihat Ki Demang Warutomo.

Berkat pimpinan yang tegas dan adil dari Ki Demang Warutomo, keadaan di dusun Pakis menjadi tenteram kembali. Sesudah itu Ki Demang Warutomo memboyong keluarganya yang terdiri dari dua orang isteri berikut tiga orang anak yang masih kecil-kecil ke dusun Pakis.

Hubungannya dengan Ki Ronggo Bangak baik sekali, demikian pula sangat akrab dengan Muryani, apa lagi setelah mengetahui bahwa Muryani adalah seorang gadis yang memiliki kedigdayaan. Ki Demang Warutomo menghormati gadis itu setelah dia mengetahui bahwa Muryani adalah seorang murid perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu.

Akan tetapi pada suatu malam, kurang lebih satu tahun sesudah dia menjadi demang di Pakis, terjadilah peristiwa yang menggegerkan Kademangan Pakis. Malam itu hujan turun dengan derasnya, kilat menyambar-nyambar. Hujan turun hampir sepanjang malam. Para penghuni dusun Pakis tidak ada yang ke luar rumah. Para peronda pun hanya berkumpul di dalam gardu, Ki Demang Warutomo sendiri hanya tinggal di rumah, tidak menyangka sama sekali akan terjadi peristiwa yang menggegerkan dusun yang dipimpinnya.

Pada keesokan harinya, barulah orang tahu akan peristiwa itu. Seorang wanita tetangga yang biasanya membantu Muryani dalam pekerjaan mencuci pakaian dan membersihkan halaman dan di dalam rumah, ketika memasuki rumah itu, mendapatkan pintu belakang rumah sudah terbuka dan ketika dia masuk ke dalam, dia menemukan Ki Ronggo Bangak dan Muryani sudah menggeletak di atas lantai ruangan dalam.

“Begitulah, Parmadi,” kata Ki Demang Warutomo. “Setelah mendengar laporan itu dan aku datang ke sana memeriksa, ternyata Ki Ronggo Bangak sudah tewas dan nini Muryani menderita luka dalam yang cukup parah.”

“Mereka terluka senjata, paman Warutomo?”

“Tidak, mereka terluka akibat pukulan tangan kosong yang ampuh. Sesudah diusahakan pengobatannya, satu bulan kemudian akhirnya nini Muryani sembuh. Menurut ceritanya, malam itu dia mendengar suara keras di bagian belakang rumah. Ketika dia dan ayahnya keluar dari kamar, di ruangan dalam itu telah terdapat seorang yang bertubuh tinggi kurus. Karena ruangan itu gelap maka Muryani tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. Orang tinggi kurus itu langsung menyerang Ki Ronggo Bangak dan ternyata dia seorang yang sakti mandraguna. Sekali pukul saja pada dada Ki Ronggo Bangak membuat ayah Muryani itu roboh dan tak bergerak lagi. Muryani menjadi marah lalu dia menyerang orang tinggi kurus itu. Mereka berkelahi di dalam ruangan yang gelap. Menurut cerita Muryani, gadis itu sebenarnya mampu menandingi lawannya, akan tetapi karena ruangan itu gelap dan lawan itu mempunyai pukulan jarak jauh yang amat ampuh, akhirnya Muryani terkena pukulannya sehingga roboh pingsan. Demikianlah menurut cerita Muryani.”

“Kalau begitu, penyerang itu tidak diketahui siapa orangnya, paman?” tanya Parmadi.

“Begitulah, Parmadi. Agaknya penyerang itu mengira bahwa Muryani juga telah tewas oleh pukulannya. Dia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Melihat bahwa tidak ada sesuatu yang hilang dari rumah itu, maka jelas bahwa orang tinggi kurus itu tidak berniat mencuri atau merampok. Mungkin ada unsur balas dendam atau permusuhan dengan keluarga Ki Ronggo Bangak,” kata Ki Warutomo. “Kami sudah melakukan penyelidikan, tetapi karena orang itu tidak meninggalkan jejak atau tanda apa pun, maka sukar bagi kami untuk dapat menduga siapa penyerang itu.”

Parmadi lalu teringat akan Ki Wiroboyo. Kalau ada yang mendendam kepada Ki Ronggo Bangak, tentu dialah orangnya! Akan tetapi tentu bukan dia penyerang itu. Ki Wiroboyo bertubuh tinggi besar, tidak tinggi kurus. Di samping itu tidak mungkin Ki Wiroboyo mampu mengalahkan Muryani yang digdaya. Tentu orang lain!

Akan tetapi Parmadi tetap curiga dan menduga bahwa penyerangan yang mengakibatkan kematian Ki Ronggo Bangak itu tentu ada hubungannya dengan dendam Ki Wiroboyo. Akan tetapi dia tidak berkata apa pun kepada Ki Demang Warutomo tentang dugaannya itu.

“Paman, di mana adanya adi Muryani sekarang?”

“Sesudah sembuh, dia berpamit pergi tanpa memberi tahu ke mana. Bahkan ketika kami bertanya, dia tetap tidak mau mengatakan ke mana dia akan pergi. Dia hanya menitipkan rumahnya kepada kami dan sampai sekarang kami menyuruh orang menjaga rumah itu dan merawatnya baik-baik.”

“Saya ikut berterima kasih kepada paman atas kebaikan hati paman terhadap mendiang paman Ronggo Bangak. Sudah berapa lamakah Muryani pergi meninggalkan dusun Pakis ini, paman? Dan apakah selama ini dia tidak pernah pulang atau mengirim berita?”

“Sudah kurang lebih tiga setengah tahun gadis itu pergi dan selama ini kami tidak pernah mendengar kabar tentang dia, juga dia tidak pernah pulang.”

Di hatinya Parmadi mengambil keputusan untuk mencari Muryani dalam perantauannya. Kasihan sekali adi Muryani pikirnya. Sudah tidak mempunyai ibu, hanya tinggal ayah dan mondok pada neneknya, lalu neneknya itu sakit dan mati sehingga ikut dengan ayahnya tinggal di dusun Pakis. Tapi belum lama tinggal di Pakis, ayahnya dibunuh orang pula dan sekarang gadis itu berada di dunia seorang diri, sebatang kara tiada sanak tiada kadang. Sama seperti dirinya! Akan tetapi dia seorang laki-laki, sedangkan Muryani seorang gadis yang cantik jelita, tentu akan menemui banyak gangguan.

Dia membayangkan wajah gadis itu dan teringat bahwa kini usia Muryani ini tentu sudah dua puluh satu tahun. Ketika mereka berpisah, ketika dia ikut gurunya dan meninggalkan Pakis, Muryani baru berusia enam belas tahun. Sekarang lima tahun telah lewat. Gadis itu tentu sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh satu tahun.

“He, Parmadi, engkau melamun, sejak tadi diam saja,” Ki Demang Warutomo menegurnya sambil tersenyum lebar.

Parmadi terkejut dan tersadar. Dia memandang orang tua gagah itu lalu berkata, “Saya termenung mengingat akan mala petaka yang menimpa keluarga paman Ronggo Bangak. Mengapa orang sebaik itu dapat tertimpa mala petaka?” kata pemuda itu perlahan seperti bertanya kepada diri sendiri.

“Wah, siapa yang mampu menjawab pertanyaan itu, Parmadi? Setiap manusia boleh saja berbuat sekuat kemampuan mereka dengan hati akal pikiran dan kekuatan badan mereka, namun keputusan terakhir berada di tangan Gusti Allah. Karena itu, kurasa pertanyaanmu itu hanya dapat dijawab oleh Dia yang menentukan keputusan terakhir itu.”

Parmadi menghela napas panjang. “Paman benar sekali. Sekarang ijinkan saya mohon diri, paman. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya.”

“Selamat jalan, orang muda. Seandainya andika dapat bertemu dengan Muryani, tolong sampaikan pesan kami kepadanya bahwa kami di Pakis mengharapkan dan menanti-nanti kembalinya ke sini.”

“Baik, paman.” Parmadi memberi hormat lalu meninggalkan kademangan dan melanjutkan perjalanannya.

Sebelum meninggalkan daerah Gunung Lawu, dia ingin satu kali lagi mengunjungi dusun Pancot tempat tinggal mendiang ayah ibu kandungnya, di mana dia dibesarkan. Dia tidak ingat sejak kapan dia tinggal di rumah ayah ibunya di Pancot.

Menurut penuturan ibunya, mereka datang dari Kadipaten Pasuruan dan pindah tinggal di dusun itu semenjak dia berusia dua tahun. Dia tinggal di dusun itu sampai berusia sepuluh tahun, yaitu ketika pada suatu malam ayah bundanya dibunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa yang membunuhnya.

Semenjak itu Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat mendiang ayahnya, menaruh iba kepadanya dan membawanya ke Pakis, memberinya pekerjaan dan menampungnya di Kademangan Pakis.

Biar pun Parmadi hanya melewatkan masa kanak-kanaknya di dusun Pancot, akan tetapi ketika dia mengenangnya sambil berjalan menuju ke dusun itu, ada suatu perasaan haru menyelinap dalam hatinya, teringat akan kedua orang tuanya.

Berbeda dengan keadaan Pakis yang baginya masih sama saja keadaannya semenjak dia tinggalkan selama lima tahun, dia merasa asing ketika dia memasuki dusun Pancot. Dia sudah banyak lupa tentang Pancot. Pasti tidak ada seorang pun penduduk dusun itu yang mengenalnya atau dikenalnya. Dia meninggalkan dusun itu selagi berusia sepuluh tahun dan sekarang dia sudah berusia duapuluh tiga tahun!

Tapi dia masih ingat bahwa Ki Demang Wiroboyo menyerahkan peninggalan ayahnya yang tidak banyak itu, hanya sebuah rumah tua dan sebahu tanah, kepada seorang tetangga miskin yang namanya, seingatnya dipanggil Pak Jambi. Tentu sekarang orang itu telah tua akan tetapi Parmadi yakin bahwa dia akan dapat mengenal orang yang satu ini.

Pak Jambi itu mempunyai sebuah ciri yang jarang dimiliki orang lain. Mata kirinya rusak, hanya tampak putihnya saja dan mata kiri itu kabarnya tak dapat melihat. Dia masih ingat bahwa karena matanya yang sebelum rusak dan buta itu, Pak Jambi mendapat sebutan Jambi Pece.

Jantung di dalam dada Parmadi berdebar juga ketika dia melangkahkan kaki memasuki dusun itu. Pancot merupakan dusun yang tidak terlalu besar, tidak sebesar dan seramai Pakis. Akan tetapi dusun itu terkenal mempunyai sesuatu yang khas, yang tidak dimiliki dusun-dusun di seluruh daerah Gunung Lawu, yaitu banyaknya gadis ayu yang dilahirkan di dusun Pancot!

Kebanyakan perawan Pancot berkulit kuning bersih, wajahnya ayu manis sehingga banyak pemuda dari dusun lain ingin memiliki isteri dari Pancot. Menurut dongeng dari mulut ke mulut, menek moyang yang tinggal di dusun itu dahulu keturunan priayi, masih bangsawan istana Mataram. Ada pula dongeng mengatakan bahwa dahulu nenek moyang Pancot ada yang menikah dengan dewi kahyangan sehingga keturunannya, terutama yang wanita, ayu manis.

Walau pun ketika memasuki dusun itu dia merasa seperti masuk ke sebuah dusun asing, tapi samar-samar Parmadi masih ingat akan letak rumah orang tuanya di mana dia tinggal tiga belas tahun yang lalu. Dia masih ingat betapa di pekarangan rumah yang sederhana dan tua itu berdiri megah sebatang pohon beringin yang ditanam ayahnya ketika ayahnya datang dan tinggal di dusun ini. Beringin itu sudah besar ketika dia meninggalkan Pancot dan sekarang tentu sudah lebih besar lagi.

Dia mempercepat langkahnya, diam-diam heran dan kagum melihat beberapa gadis yang berpapasan dengannya. Mereka semua tampak putih dan manis, tidak seperti perawan-perawan dusun Pakis. Melihat mereka Parmadi otomatis teringat kepada Muryani.

Jantungnya berdebar ketika dia tiba di sebuah jalan tikungan. Dari sana dia sudah dapat melihat pohon beringin yang besar sekali itu. Besar dan lebar, bentuknya seperti sebuah payung. Dia pun mempercepat langkahnya.

Setelah tiba di luar pekarangan rumah tua yang masih sama tuanya seperti dahulu walau pun agaknya bilik bambu itu sudah diganti, dia tercengang melihat betapa pohon beringin besar di depan pekarangan rumah itu dikelilingi oleh pagar kayu! Tanah di bawah pohon, di sebelah dalam lingkaran pagar itu, nampak terawat dan bersih sekali. Dan pada bagian depan terdapat pintu pagar.

Makin besar keheranannya ketika ia melihat tumpukan bekas pembakaran kemenyan dan kembang berada di bawah pohon. Pohon ini dikeramatkan orang, disembah orang! Dia segera dapat mengetahuinya karena dia mengerti akan kebiasaan orang-orang di daerah sekitar Gunung Lawu yang masih suka memuja pohon-pohon besar yang dikeramatkan. Pohon beringin tanaman ayahnya itu kini dikeramatkan orang!

Selagi ia berdiri mengamati semua itu dengan perasaan heran, dari pekarangan itu datang seorang laki-laki tua menghampirinya. Sekali pandang saja tahulah Parmadi bahwa kakek ini tentu Pak Jambi Pece. Mata kirinya yang terbuka lebar itu tampak putihnya saja dan mata kanannya yang normal memandangnya dengan penuh selidik.

“Ki-sanak, kulihat andika seperti bukan orang sini. Tentu andika seorang dari dusun lain yang datang untuk mohon berkah dari Kyai Brojo, bukan?”

Parmadi menahan seruan heran yang hampir terlontar keluar dari mulutnya. Kyai Brojo? Begitukah orang menyebut pohon beringin yang dikeramatkan ini? Jadi ‘penghuni’ pohon keramat ini adalah Kyai Brojo? Padahal mendiang ayahnya bernama Brojoketi!

“Paman, jadi Beringin Keramat ini dihuni oleh Kyai Brojo?” tanya Parmadi sambil menahan gejolak hatinya. Roh ayah kandungnya dianggap roh penasaran yang kini menghuni pohon beringin yang dulu ditanam ayahnya!

“Benar sekali, ki-sanak. Kyai Brojo adalah seorang tokoh besar di jaman Mojopahit, sakti mandraguna dan arif bijaksana, pula dermawan sehingga kini beliau masih suka menolong siapa saja yang mohon berkah di sini.”

Hemm, orang ini berani benar berbohong, pikir Parmadi.

“Paman, kalau begitu paman adalah juru kunci (penjaga tempat keramat) di sini?”

“Benar, saya adalah Ki Jambi Pece juru kunci tempat keramat ini. Semua orang mengenal saya!”

“Kalau begitu saya ingin sekali bercakap-cakap dengan paman. Banyak yang ingin saya tanyakan, paman.”

Jambi Pece yang mengharapkan hadiah besar itu bersikap ramah. “Kalau begitu silakan masuk ke rumah saya, ki-sanak, kita bicara di dalam agar lebih leluasa.”

Parmadi mengikuti orang itu memasuk pekarangan menuju rumah yang masih dikenalnya itu. Bambu penyalur air dari sumber di atas itu masih mengucurkan air jernih seperti biasa, ditampung di jamban air yang dulu juga di sebelah kiri rumah.

Mereka memasuki rumah dan Parmadi dipersilakan duduk di sebuah bangku di ruangan depan. Mereka duduk berhadapan. Sesudah berada di ruangan tertutup, Parmadi segera bicara tanpa berpura-pura lagi.

“Paman Jambi, aku akan berterus terang saja. Aku tahu bahwa rumah ini adalah milik Ki Brojoketi dan isterinya. Pada suatu malam mereka terbunuh tanpa ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka. Lalu Ki Demang Wiroboyo menyerahkan rumah dan pekarangan ini kepadamu. Bagaimana sekarang tempat ini dijadikan tempat keramat yang dihuni oleh kyai Brojo? Engkau telah menipu orang banyak.”

Mendengar ucapan pemuda itu, sikap Pak Jambi berubah sama sekali. Kalau tadinya dia bersikap ramah, kini tiba-tiba dia melompat berdiri dan wajahnya berubah ganas. Matanya yang tinggal sebelah itu memandang marah dan tiba-tiba dia sudah menyerang Parmadi dengan kedua tangan yang mencengkeram seperti seekor harimau menerkam kambing.

Sepasang tangan itu membentuk cakar, yang kanan mencengkeram ke arah muka dan yang kiri ke arah dada Parmadi! Mulutnya menggeram dan dia benar-benar seperti sudah berobah menjadi harimau.

Parmadi maklum bahwa orang ini mempunyai Aji Sardu (Ilmu Harimau) yang membuat dia seperti kemasukan roh harimau yang ganas. Dia cepat menyambut serangan itu dengan gerakan tangan kanan dari kiri ke kanan menangkis.

“Bresss...!”

Tubuh Pak Jambi terpelanting dan terhuyung, akan tetapi dia tidak roboh karena Parmadi tidak mempergunakan tenaga yang terlalu besar. Dia tidak ingin melukai orang itu.

“Jahanam, engkau tentu orangnya keparat Wiroboyo yang datang untuk membunuhku!” kakek itu berseru.

Mendengar seruan ini Parmadi merasa heran dan ketika kakek itu menyerang kembali, dia lalu menggerakkan tangannya dengan cepat dan sekali jari-jari tangannya menepuk dada, kakek itu lalu terkulai lemas. Seluruh urat di tubuhnya seperti dilolosi membuatnya terkulai dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Ia mengaduh dan merintih.

“Paman Jambi, aku bukan orangnya Ki Wiroboyo. Andika ingat putera Ki Brojoketi, anak berusia sepuluh tahun yang kemudian dibawa pergi Ki Wiroboyo? Akulah anak itu!”

“Ahhh... ahhh... aku... salah sangka...!” kakek itu mengeluh.

Mendengar ini Parmadi lalu menggunakan tenaga saktinya, menepuk kedua pundak orang itu dan Pak Jambi pulih kembali kesehatannya. Dia merasa takluk kepada pemuda itu dan memandang dengan takut.

“Jangan takut, paman Jambi. Duduklah kembali dan mari kita berbicara dengan baik-baik. Tadinya aku hanya datang untuk menjenguk bekas rumah tempat tinggal ayah bundaku. Sama sekali tidak menyangka tempat ini akan dijadikan tempat keramat dan nama ayahku diabadikan sebagai Kyai Brojo. Akan tetapi, paman. Bukankah dahulu paman menerima peninggalan orang tuaku ini dari Ki Wiroboyo? Tetapi kenapa tadi paman menyangka aku orangnya Wiroboyo yang datang untuk membunuhmu? Kenapa Ki Wiroboyo memusuhimu dan ingin membunuhmu?”

Pak Jambi tampak bingung dan ketakutan.

“Jangan takut, paman. Paman menyimpan sesuatu yang rahasia. Tentu ada hubungannya dengan orang tuaku dan Ki Wiroboyo. Hayo katakan, paman, cerita terus terang padaku. Aku tak akan mengganggu paman kalau paman berterus terang, akan tetapi kalau paman tidak mau berterus terang, aku dapat memaksa paman mengaku!”

Pak Jambi menghela napas panjang, “Anak-mas Parmadi, apakah andika datang untuk minta kembali rumah dan pekarangan dariku?”

“Hemm, tidak, paman. Paman adalah tetangga ayah sejak dulu, tentu ayah mengenal baik paman dan paman tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kukira paman tahu pula tentang pembunuhan terhadap ayah bundaku itu. Benarkah, paman? Ceritakan! Aku tidak akan mengambil kembali rumah dan pekarangan, aku hanya singgah sebentar.”

“Tadinya aku takut bicara karena Ki Wiroboyo adalah Demang Pakis, berkuasa dan dia bisa bertindak kejam kalau ditentang. Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa dia diusir dari Pakis dan kedudukannya digantikan orang lain, aku berani menceritakan apa yang aku ketahui kepadamu, anak-mas. Hanya kadang aku khawatir dia akan mengirim orang untuk membunuhku agar aku tidak bicara tentang peristiwa itu.”

“Peristiwa terbunuhnya ayah ibuku, paman? Ceritakanlah kepadaku.”

“Baiklah, akan kuceritakan semua yang kuketahui, anak-mas. Kedua orang tuamu adalah pendatang baru di sini. Ayah ibumu dan andika yang ketika itu berusia sekitar dua tahun menjadi penghuni baru dusun Pancot ini. Karena aku menjadi tetangga terdekat, maka hubunganku dengan keluargamu juga paling akrab dan kami yang sama-sama miskin ini suka saling bantu. Selama bertahun-tahun orang tuamu hidup dengan aman tenteram di sini, sampai engkau berusia sepuluh tahun. Selama itu tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk.”

“Yang ingin saya ketahui, apa yang paman ketahui tentang pembunuhan yang terjadi pada malam hari itu?” tanya Parmadi.

Kakek itu menggelengkan kepalanya. “Sungguh, anak-mas, saya pun tidak tahu. Semua itu begitu rahasia, begitu aneh. Tidak ada seorang pun mengetahui apa yang terjadi pada malam itu. Tahu-tahu pada pagi hari itu kami menemukan Ki Brojoketi dan isterinya sudah tewas di dalam kamar mereka dan andika sedang menangis dan menjerit-jerit di kamar itu. Seharusnya andika yang lebih mengetahui, anak-mas. Bukankah hanya andika seorang yang berada di kamar itu bersama mereka?”

Parmadi menarik napas panjang dan dia menggelengkan kepalanya. “Seingatku, aku pun tidak tahu apa-apa paman. Pagi-pagi ketika aku bangun dari tidur di kamar sebelah, aku melihat pintu kamar orang tuaku terbuka dan ketika akan melongok ke dalam, aku melihat mereka telah menggeletak mandi darah sehingga aku menjerit-jerit kemudian orang-orang berdatangan.”

Pak Jambi mengangguk-angguk. “Ya, kami mengurus jenazah orang tuamu. Kebetulan ada Ki Demang Wiroboyo datang melayat dan dialah yang membiayai semua penguburan. Kemudian dia membawa andika ke Pakis dan rumah ini diserahkan kepada saya.”

Parmadi mengingat-ingat. Dia teringat bahwa Ki Wiroboyo memang sering sekali datang berkunjung ke rumah orang tuanya sehingga terjalin persahabatan antara ayahnya dan Ki Wiroboyo.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)