SERULING GADING : JILID-13
Pak Jambi menghela napas seakan mengumpulkan keberanian untuk bercerita. “Begini, anak-mas. Tentu anak-mas juga sudah mengetahui bahwa Ki Wiroboyo adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan selalu mengejar wanita cantik. Di Pancot ini terdapat banyak perawan cantik dan Ki Wiroboyo selalu berusaha untuk membujuk mereka dengan harta benda atau mengandalkan kedudukannya. Akan tetapi dia tak berani menggunakan kekerasan dan tidak banyak perawan dusun ini yang bisa dia dapatkan. Dia berkenalan dan menjadi sahabat ayahmu, bahkan sering kali menginap di rumah ini.”
“Aku tahu akan hal itu, paman. Lalu bagaimana?”
“Anak-mas, pada waktu itu mendiang ibumu masih muda, usianya paling banyak baru dua puluh delapan tahun. Ibumu itu terkenal sebagai wanita yang sangat cantik dan kita tahu bahwa Ki Wiroboyo itu seorang laki-laki mata keranjang... lalu...”
“Lalu bagaimana, paman? Jangan ragu-ragu, ceritakanlah sejujurnya.”
“Pada beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan itu, Ki Wiroboyo bertamu dan menginap di rumah ini. Pada suatu siang ketika ayahmu sedang sibuk di ladang dan saya kebetulan baru keluar dari rumah, saya melihat di belakang rumah ini ibumu dipeluk dari belakang oleh Ki Wiroboyo, jelas nampak bahwa Ki Wiroboyo berniat kotor terhadap ibumu. Ibumu marah dan menampar muka Ki Wiroboyo, lalu berlari memasuki rumah. Pada saat itu Ki Wiroboyo menoleh dan melihat saya sehingga saya pun cepat-cepat pergi dan pura-pura tidak tahu.”
Parmadi mengerutkan alisnya, hatinya terasa panas. Tapi dia menenggelamkan perasaan itu. “Lalu bagaimana, paman?”
“Nah, beberapa hari kemudian terjadilah pembunuhan aneh itu terhadap ayah ibumu. Tentu saja saya merasa curiga kepada Ki Wiroboyo. Akan tetapi karena tidak ada bukti, maka saya pun tidak dapat berkata apa-apa. Sikapnya yang kurang ajar terhadap ibumu belum merupakan bukti bahwa dia yang melakukan pembunuhan itu. Tetapi setelah aku melihat dan mendengar apa yang dia lakukan kepadaku, aku yakin bahwa dia pasti tersangkut dengan pembunuhan itu. Hanya saja, selama itu aku tidak berani membuka mulut, takut akan ancamannya.”
“Paman melihat dan mendengar apa? Hal apa yang dia lakukan terhadap paman?” tanya Parmadi penuh perhatian.
“Ketika Ki Wiroboyo datang melayat, mengatur dan membiayai semua keperluan untuk pemakaman, dia sempat menemui saya seorang diri. Dia mengancam supaya saya tidak bercerita kepada siapa pun tentang apa yang saya lihat siang hari itu di belakang rumah Ki Brojoketi. Bahkan dia lalu menyerahkan rumah berikut pekarangan ini kepadaku. Saya merasa bahwa penyerahan rumah dan pekarangan ini merupakan hadiah untuk menutup mulut. Sejak itu hati saya merasa yakin bahwa dia pasti tahu benar tentang pembunuhan itu, akan tetapi baru sekarang saya berani membuka rahasia itu. Ketika tadi anak-mas datang, saya kira anak-mas suruhan Ki Wiroboyo untuk membunuhku, maka saya hendak melawan.”
Parmadi mengangguk-angguk. Keterangan itu penting sekali dan bukan mustahil kalau Ki Wiroboyo berdiri di belakang pembunuhan terhadap orang tuanya. Mungkin Ki Wiroboyo mendendam karena keinginan kotornya ditolak ibu. Atau mungkin malam itu dia hendak memaksa ibunya, tapi ibunya menolak dan melawan sehingga dibunuh, dan mungkin saja ayahnya yang mengetahui juga dibunuhnya. Atau dapat juga Ki Wiroboyo memang sudah menyuruh kaki tangannya untuk membunuh ayah ibunya karena mendendam.
“Paman Jambi, tahukah paman di mana adanya Ki Wiroboyo sekarang?”
Pak Jambi menggeleng kepala. “Saya tidak tahu, anak-mas, dan saya kira tidak ada orang di Pancot yang mengetahuinya karena sejak dia diusir dari Pakis, dia tidak pernah muncul kembali, juga tidak pernah ada kabar tentang dia.”
“Sebelum aku pergi meninggalkan dusun ini, ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan kepadamu, paman.”
“Silakan bertanya, anak-mas. Saya senang sekali kalau dapat membantu anak-mas.”
“Paman mengenal baik mendiang ayah saya. Tahukah paman, siapakah sesungguhnya ayah saya itu? Maksudku, apakah pekerjaannya sebelum dia pindah ke sini dan menjadi seorang petani?”
“Kami memang bersahabat baik, anak-mas, dan saya sendiri pun selalu menduga bahwa mendiang Ki Brojoketi pasti bukan orang dusun biasa. Gerak-geriknya, sikapnya dan cara dia berbicara, apa lagi mendiang ibumu, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah priyayi. Karena itu pula agaknya Ki Wiroboyo dapat akrab dengan ayahmu. Akan tetapi ayahmu tidak pernah mau menceritakan keadaannya ketika tinggal di Kadipaten Pasuruan, bahkan seolah-olah dia enggan bicara tentang Kadipaten Pasuruan. Menurut dugaanku, ayah dan ibumu tentu bukan orang sembarangan dan mempunyai rahasia di Pasuruan. Mungkin di kadipaten itu anak-mas akan bisa mendapatkan keterangan tentang mereka.”
Parmadi mengangguk. “Terima kasih atas semua keteranganmu, paman Jambi. Sekarang aku pamit, hendak melanjutkan perjalananku.”
“Eh... bagaimana dengan rumah dan pekarangan ini, anak-mas?”
“Biarlah sekarang sebagai ahli waris orang tuaku, aku memberikan rumah dan pekarangan ini kepadamu, paman. Pakailah dan rawatlah dengan baik-baik. Tapi aku minta agar mulai sekarang paman tidak lagi menggunakan nama mendiang ayahku untuk mengeramatkan pohon beringin itu. Aku tidak suka mendengarnya!”
“Baik, anak-mas. Sebetulnya hanya karena rumah dan pohon ini dahulu milik Ki Brojoketi, dan mengingat bahwa Ki Brojoketi tewas terbunuh, maka untuk menghormatinya pohon ini disebut Kyai Brojo. Akan tetapi kalau anak-mas melarangnya, biarlah mulai sekarang kami akan menyebutnya Kyai Pancot saja.”
“Terserah paman, asal jangan menggunakan nama ayah. Nah, selamat tinggal, paman.” Parmadi bangkit dari bangku yang didudukinya.
“Nanti dulu, anak-mas. Tunggu sebentar.” Orang tua itu memasuki biliknya dan ketika dia keluar, dia menyerahkan sebuah henda kecil kepada Parmadi. “Cincin ini dulu adalah milik ibumu, anak-mas. Pada suatu hari, ketika orang tuamu membutuhkan uang untuk biaya membangun rumah ini, ibumu menyerahkan cincin ini kepadaku dengan permintaan agar aku menjualnya. Kebetulan pada waktu itu saya mempunyai simpanan uang yang sudah lama saya kumpulkan, maka cincin ini saya beli sendiri. Sekarang rumah dan pekarangan ini andika berikan kepada saya, maka sudah sepatutnya bila cincin ibumu ini kuserahkan kembali kepadamu, anak-mas Parmadi.”
Parmadi menerima cincin itu lantas mengamatinya. Sebuah cincin yang indah sekali. Dari emas murni bermata mirah dan di bawah mirah berbentuk hati ini ada ukiran indah huruf GA.
Tentu saja dia merasa girang sekali. Sebuah cincin peninggalan ibunya! Tentu saja benda seperti ini merupakan benda pusaka baginya. Hatinya terharu ketika dia menggenggam cincin itu. “Terima kasih, paman Jambi, terima kasih banyak! Oya, paman, tahukah paman apa artinya huruf GA pada cincin ini?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Saya tidak tahu dan karena saya buta huruf saya juga tidak menanyakan kepada ibumu, tidak menyangka bahwa ukiran itu merupakan huruf.”
“Barang kali paman mengetahui nama kecil ibu saya?”
“Kalau tidak salah, mendiang ayahmu menyebutnya diajeng Mirah.”
“Mirah...? Mirah...?” beberapa kali Parmadi mengulangnya dalam bisikan haru. “Sekali lagi terima kasih. Paman seorang yang jujur. Selamat tinggal.”
“Selamat jalan, den-mas.”
Parmadi meninggalkan rumah itu dan langsung dia menuju ke tanah kuburan yang berada di luar dusun. Tidak lama kemudian dia sudah menemukan dua buah nisan kuburan yang berjajar itu.
Dia masih ingat letak makam ayah bundanya. Dua makam ini selalu merupakan bayangan terakhir baginya, sering kali muncul dalam mimpinya. Dia lalu berlutut dan mengelus dua buah batu nisan sederhana itu, membersihkan lumut yang menempel di situ. Kemudian dia membersihkan kedua makam itu, mencabuti semua rumput dan alang-alang. Setelah bersih, dia lalu duduk bersila di depan makam, menjernihkan pikirannya dan menenangkan hatinya.
Setelah merasa hening, dia menujukan seluruh cipta rasa dan karsa dalam batinnya untuk mendoakan semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih mengampuni semua dosa-dosa ayah bundanya dan memberi tempat yang layak kepada roh mereka. Setelah kurang lebih satu jam lamanya duduk tenggelam dalam doa di hadapan makam ayah ibunya, Parmadi lalu bangkit dan berdiri di depan makam, sejenak memandangi kedua makam itu lalu perlahan-lahan dia meninggalkan tanah kuburan itu. Sambil berjalan dia terus mengamati cincin peninggalan ibunya.
Ternyata lingkaran cincin itu tidak utuh lagi, melainkan sudah patah bagian belakangnya. Agaknya Pak Jambi sengaja membikin putus lingkaran cincin itu sehingga cincin yang lingkarannya kecil itu kini dapat dipakai jari yang lebih besar karena dapat direnggangkan. Parmadi mencium cincin itu, lalu memakainya pada jari manis tangan kirinya.
Andai kata lingkaran itu belum dibikin putus, tentu tidak dapat dimasuki jari manisnya, bahkan kelingkingnya pun belum tentu dapat masuk. Demikian kecilnya lingkaran itu. Dia membayangkan betapa kecil mungilnya jari manis ibunya.....
********************
Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan seluruh daerah Jawa Timur bagian selatan, kecuali Blambangan, maka mulailah Mataram mengadakan persiapan untuk menundukkan Surabaya yang masih belum mau mengakui kekuasaan Sultan Agung. Akan tetapi karena melihat Kadipaten Tuban masih menjadi penghalang sebab Adipati Tuban masih condong berpihak pada Surabaya, maka Sultan Agung mengirim pasukannya untuk menaklukkan Tuban lebih dulu.
Juga tampak tanda-tanda bahwa pihak Kumpeni Belanda yang amat dibenci Sultan Agung itu menghalang-halangi niat Mataram menyerbu Surabaya. Hal ini terbukti dengan adanya kapal-kapal perang Belanda yang besar dan dilengkapi meriam-meriam besar, sehingga tidak memungkinkan penyerangan melalui laut dan sukar untuk mengepung Surabaya.
Memang pada waktu itu gubernur Kumpeni Belanda yang bernama Jan Pieterszoon Coen merasa khawatir bahwa Mataram akan menguasai Nusa Jawa dan hal ini tentu saja akan merupakan halangan besar bagi Kumpeni Belanda untuk memperluas kekuasaannya dan memperlebar sayapnya untuk dapat menguasai semua perdagangan dan mengeduk hasil bumi yang kaya raya dari Nusa Jawa.
Karena itu Gubernur Jenderal Coen lalu menyebar kaki tangannya untuk membujuk orang-orang cerdik pandai dan sakti untuk membantu Kumpeni Belanda, menjadi mata-mata dengan imbalan hadiah harta benda. Juga dia selalu menggunakan siasat untuk mengadu domba dan membangkitkan semangat daerah-daerah agar supaya memberontak kepada Mataram.
Diam-diam Kumpeni Belanda membantu dan menyokong mereka yang mau memberontak terhadap Mataram. Tetapi hal ini dilakukan dengan rahasia supaya tidak ketahuan karena Kumpeni Belanda juga menjaga agar tidak terjadi permusuhan terbuka dengan Mataram yang kuat.
Demikianlah, melihat Kadipaten Tuban menjadi penghalang, Sultan Agung lalu mengirim pasukan menyerbu Tuban. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kadipaten Tuban sudah jatuh dan takluk kepada Mataram. Setelah Tuban jatuh, mulailah Mataram mengerahkan pasukan untuk melakukan penyerangan ke Surabaya.
Akan tetapi ternyata Surabaya tidak mudah ditundukkan. Dengan bantuan dari Madura, juga secara diam-diam dibantu Kumpeni Belanda yang sengaja memasang kapal-kapalnya di sekitar pantai Gresik sehingga menutup kemungkinan penyerbuan Mataram lewat laut, Surabaya mempertahankan diri sehingga berulang kali serbuan pasukan Mataram dapat digagalkan.
Selama tiga tahun, dari tahun 1620 sampai tahun 1623, berulang kali serangan dilakukan Mataram, akan tetapi Surabaya tetap bisa mempertahankan diri. Mataram hanya berhasil menduduki daerah-daerah di luar Surabaya yang menjadi daerah kekuasaan Surabaya, di antaranya Kadipaten Sukadana.
Begitulah keadaan pada waktu itu. Surabaya masih belum dapat ditaklukkan dan melihat betapa Surabaya diperkuat oleh Madura, maka Sultan Agung lalu mengubah siasatnya. Mataram hendak menyerang dan menaklukkan Madura lebih dulu karena kalau Madura sudah ditaklukkan, berarti Surabaya dapat dikepung dan akan lebih mudah dikalahkan.
Sementara itu di Kadipaten Arisbaya terjadi sedikit kekacauan sesudah Adipati Arisbaya yang berjuluk Panembahan Tengah atau Pangeran Tengah wafat (1620). Pangeran Tengah ini mempunyai seorang putera yang bernama Raden Prasena yang pada saat ayahnya meninggal dunia masih merupakan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun.
Menurut ketentuan adat, semestinya dialah yang menduduki jabatan adipati di Arisbaya menggantikan ayahnya yang wafat. Akan tetapi kedudukan ini didaulat oleh Pangeran Mas, yaitu adik mendiang Pangeran Tengah. Tanpa menimbulkan banyak heboh karena Pangeran Mas mempunyai kekuasaan, dia menggantikan kedudukan kakaknya dengan alasan bahwa Raden Prasena masih terlampau muda untuk menjadi adipati yang harus memimpin Kadipaten Arisbaya. Bagaimana pun juga cara yang diambil Pangeran Mas ini diam-diam menimbulkan rasa tidak puas dan dianggap bertentangan dengan hukum.
Tapi kedudukan Pangeran Mas yang setelah menjadi Adipati Arisbaya berjuluk Pangeran Adipati Ngabehi Arisbaya amat kuat, terutama sekali karena dia didukung seorang datuk besar yang sangat disegani dan ditakuti di Madura, yaitu Ki Harya Baka Wulung! Datuk sakti mandraguna inilah yang membuat semua pihak yang tak setuju, tidak berani banyak cakap lagi.
Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya. Ki Harya Baka Wulung inilah yang membujuk Adipati Arisbaya agar membantu Surabaya ketika berulang kali diserang oleh Mataram. Bahkan Ki Harya Baka Wulung ini juga sudah mengadakan persekutuan dengan Wiku Menak Koncar datuk Kadipaten Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa tokoh sakti mandraguna dari Kerajaan Banten.
Tiga orang datuk besar yang digdaya dan sakti mandraguna ini bekerja sama dengan satu tujuan, yaitu menentang Kerajaan Mataram. Mereka bertiga bahkan melakukan perjalanan ke daerah Mataram, diam-diam membujuk orang-orang yang memiliki kedigdayaan dan yang memiliki perkumpulan kuat untuk membantu Surabaya menentang Mataram! Dalam rangka kegiatan itulah mereka bertiga berada puncak Gunung Lawu dan membunuh Ki Bargowo yang tak mau membantu Surabaya. Memang mereka bertiga itu bertekad untuk membunuh tokoh-tokoh yang setia kepada Mataram.
Dalam peristiwa itulah mereka bertiga bertemu dengan Resi Tejo Wening dan dalam adu kesaktian terpaksa mereka mengakui keunggulan sang resi seperti diceritakan di bagian depan kisah ini. Sesudah gagal menandingi Resi Tejo Wening, tiga orang datuk itu lalu saling berpisah, kembali ke daerah masing-masing.
Ki Harya Baka Wulung kembali ke Kadipaten Arisbaya kemudian dia segera turun tangan membantu Pangeran Mas yang merebut kedudukan adipati dari tangan keponakannya, yaitu Raden Prasena. Selanjutnya Ki Harya Baka Wulung diangkat menjadi penasihat oleh adipati yang baru dan Raden Prasena oleh pamannya diharuskan meninggalkan istana kadipaten dan tinggal di Sampang agar mendapatkan pendidikan dari seorang pamannya yang lain, yaitu Pangeran Sante Merta.
Demikianlah, Ki Harya Baka Wulung menjadi seorang yang mempunyai kekuasaan besar, bahkan banyak kebijaksanaan yang diambil Adipati Ngabehi Arisbaya diatur olehnya. Juga Ki Harya Baka Wulung segera menempatkan putera tunggalnya, Dibyasakti, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, menjadi senopati muda di Arisbaya!
Ki Harya Baka Wulung mendapatkan sebuah rumah gedung megah dan dia hidup berdua saja dengan puteranya itu. Isterinya, ibu Dibyasakti, sudah lama meninggal dunia, bahkan pemuda itu tidak pernah melihat wajah ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Karena itu Ki Harya Baka Wulung amat sayang kepada puteranya ini. Hampir seluruh aji kesaktiannya diajarkan kepada Dibyasakti hingga pemuda itu menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan amat dibanggakan ayahnya.
Sesudah Ki Harya Baka Wulung menjadi penasihat Kadipaten Arisbaya dan mengangkat puteranya menjadi senopati, dia menasihatkan Adipati Pangeran Mas agar mengadakan hubungan dengan para bupati dan adipati lainnya di seluruh Madura supaya bersiap-siap menghadapi Mataram.
Sebagai utusan dari adipati, ditunjuk Dibyasakati sendiri untuk mengunjungi para adipati terutama Adipati Pamekasan yang mempunyai pasukan yang besar dan kuat. Maka pada suatu pagi, berangkatlah Dibyasakti meninggalkan Arisbaya. Biar pun dia adalah seorang senopati, namun dia tidak membawa pengiring atau pengawal yang dianggapnya hanya akan merepotkan saja. Seorang diri pun dia mampu menjaga diri.
Sesudah membawa surat-surat dari Sang Adipati Arisbaya, dia lalu menunggang seekor kuda pilihan, yaitu kuda Arab pemberian dari Kumpeni Belanda. Memang pihak Kumpeni banyak memberi hadiah, terutama kuda-kuda yang didatangkan dari Arab, kuda yang kuat dan besar untuk menyenangkan hati para adipati sehingga mereka dapat membeli hasil bumi kadipaten itu, tentu saja yang mendatangkan keuntungan besar sekali untuk mereka. Kuda yang ditunggangi Dibyasakti adalah seekor kuda Arab yang merupakan seekor di antara lima ekor kuda Arab yang dihadiahkan Kumpeni kepada Kadipaten Arisbaya.
Gagah sekali pemuda itu, sungguh sesuai dengan kuda tinggi besar yang ditungganginya. Dibyasakti memang seorang pemuda yang tampak gagah perkasa.
Usianya sekitar dua puluh lima tahun, tubuhnya tinggi besar dengan kulit coklat mengkilat. Rabutnya hitam tebal agak keriting dibungkus dengan kain pengikat kepala yang dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang gagah, khas Madura. Wajahnya kemerahan, alis tebal sepasang matanya lebar dan tajam seperti mata burung elang, hidungnya besar dengan sebaris kumis tumbuh subur seperti kumis Sang Gatotkaca. Mulutnya membayangkan kekerasan hatinya dengan dagu berlekuk.
Sepasang lengannya yang memegang kendali kuda itu tampak kokoh kuat, dengan otot melingkar-lingkar. Seorang pemuda yang tampak gagah perkasa. Sebatang keris panjang bergagang kayu cendana yang bertabur intan dengan warangka terukir indah terselip pada pinggangnya, menambah kegagahannya.
Kuda yang ditungganginya berlari congklang ketika dia meninggalkan Kadipaten Arisbaya dan semua orang yang berpapasan dengan dia memandang kagum dan juga takut karena semua orang mengenal pemuda yang gagah perkasa tapi terkenal ringan tangan, keras hati, galak dan sombong ini.
Ki Harya Baka Wulung tidak memiliki banyak murid. Akan tetapi para muridnya itu, yang sudah mengeluarkan banyak harta benda untuk dapat membujuk Ki Harya Baka Wulung mengajarkan ilmu-ilmunya kepada mereka, hanya menerima satu dua macam ilmu saja. Bahkan Raden Prasena sendiri, putera adipati yang telah wafat, juga menjadi muridnya. Akan tetapi Raden Prasena ini pun tidak sepenuhnya menerima ilmu-ilmu Ki Harya Baka Wulung yang mewariskan seluruh ilmunya hanya kepada puteranya, yaitu Dibyasakti yang setelah menjadi senopati menggunakan sebutan Raden di depan namanya!
Para adipati yang dikunjungi Raden Dibyasakti menyambutnya dengan hormat sesudah mereka mengetahui bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah senopati muda Arisbaya dan menjadi utusan Sang Adipati. Mereka menanggapi surat dari Adipati Arisbaya dengan baik, dan menyatakan bersedia untuk bekerja sama menghadapi ancaman dari Mataram. Mereka menyatakan setuju dengan ajakan Adipati Arisbaya untuk membantu Surabaya bila mana Mataram menyerang lagi karena bagi mereka, Surabaya merupakan benteng pertama yang melindungi mereka dari ancaman Mataram.
Pada suatu pagi Raden Dibyasakti tiba di luar Kadipaten Pamekasan. Dia menjalankan kudanya perlahan dari arah barat menuju timur. Ketika melihat debu mengepul di depan, dia menghentikan kudariya dan mengamati penuh perhatian.
Kiranya yang membuat debu mengepul itu adalah serombongan orang berkuda, terdiri dari belasan orang berpakaian sebagai prajurit, mengawal sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda datang dari arah timur menuju ke barat.
Setelah berhadapan, perwira komandan regu berkuda itu lalu membentak kepada Raden Dibyasakti, “Heii, ki-sanak yang menunggang kuda di depan! Cepat andika turun dari kuda dan minggir agar kami dapat lewat dengan leluasa!”
Dibyasakti adalah seorang pemuda yang berwatak angkuh. Dia merasa dirinya besar. Dia putera seorang tokoh sakti mandraguna yang berkedudukan tinggi di Kadipaten Arisbaya. Dia sendiri juga seorang yang memiliki kedigdayaan dan kedudukannya sebagai senopati membuat dia tidak rela mendapat perlakuan kasar.
Andai kata perwira itu minta secara halus, mungkin dia akan minggirkan kudanya, mau mengalah karena merasa bahwa dia adalah seorang pendatang. Akan tetapi dia tak suka mengalah menghadapi sikap kasar seperti itu yang sama sekali tidak menghargainya. Dia merasa direndahkan, bahkan dihina!
“Kalianlah yang harus minggir dan biarkan aku lewat dulu!” dia balas membentak dengan sepasang matanya yang lebar dan tajam itu memandang galak.
“Eh, keparat! Berani sekali engkau bersikap kurang ajar kepada kami? Bukalah mata dan telingamu! Kami sedang mengawal Gusti Tumenggung Surobayu! Hayo cepat turun dan berlutut menyembah!” bentak lagi komandan regu itu.
Kemarahan Dibyasakti semakin memuncak. “Aku tak sudi menyembah orang yang bukan menjadi sesembahanku, tak peduli siapa pun adanya dia!”
“Babo-babo, keparat! Engkau menantang, ya? Orang semacam engkau ini harus dihajar!” Perwira itu memajukan kudanya kemudian dia mengangkat cambuk kudanya menyerang dengan ayunan cambuk ke arah Dibyasakti.
“Tarrr...!”
Cambuk melecut dan meluncur ke arah kepala Dibyasakti. Tetapi dengan tenang pemuda tinggi besar ini menyambut dengan tangan kirinya yang bergerak cepat untuk menangkap ujung cambuk lalu dengan sentakan yang amat kuat dia menarik.
Perwira itu terkejut, tidak mampu mempertahankan diri dan dia pun terguling dari atas kudanya! Perwira itu sesungguhya bukan seorang yang lemah. Dia seorang yang digdaya sehingga dapat terpilih menjadi perwira. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Sentakan tadi mengandung tenaga dalam yang teramat kuat dan datangnya begitu mendadak sehingga perwira itu tidak sempat mempertahankan diri dan terguling jatuh.
Melihat ini lima belas orang anak buahnya segera berlompatan dari atas kuda mereka dan mereka mencabut golok dari pinggang mereka. Dibyasakti juga melompat turun dari atas punggung kudanya dan dia menyambut mereka dengan senyum mengejek di bibir. Dia memandang kepada lima belas orang prajurit, juga perwira yang tadi jatuh dan kini sudah bangkit kembali ikut mengepungnya. Golok mereka berkilauan tertimpa cahaya matahari pagi.
“Orang muda, cepatlah menyerah sebelum kami terpaksa mencincang tubuhmu!” bentak perwira tadi.
Bentakan ini cukup membuat kemarahan di hati Dibyasakti agak menurun. Betapa pun juga perwira itu tidak bersikap sewenang-wenang mengandalkan pengeroyokan banyak orang dan sebelum mengeroyok memberi kesempatan kepadanya untuk menyerahkan diri.
Untung bagi seregu prajurit itu karena sikap perwira itu membebaskan mereka dari bahaya maut. Karena kemarahannya mereda, Dibyasakti tidak berniat untuk membunuh mereka.
“Aku tidak bersalah, mengapa harus menyerah? Kalau kalian hendak mengenal siapa aku, maju dan keroyoklah. Ditambah seratus orang lagi aku tidak akan mundur!”
Mendengar jawaban yang congkak ini sang perwira memberi aba-aba nyaring, “Serbu...!”
Dan enam belas orang itu lalu menerjang maju. Akan tetapi mereka disambut tamparan-tamparan dan tendangan dahsyat yang cepat sekali datangnya sehingga mereka kocar-kacir dan tubuh mereka berpelantingan. Perwira itu sendiri hanya dapat bertahan selama lima jurus saja. Akhirnya pada waktu dia membacokkan goloknya, golok yang tajam itu ditangkap begitu saja oleh tangan kiri Dibyasakti dan sekali renggut, golok itu terlepas dari tangan pemegangnya dan sebuah tendangan mengenai perut sang perwira yang segera terlempar dan terbanting keras.
Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun turun dan keluar dari kereta itu. Dia seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti seorang bangsawan.
“Tahan perkelahian dan semua prajurit mundurlah!” seru orang itu.
Mendengar ini, para prajurit yang sudah panik dan kocar-kacir itu lalu mundur ke dekat kereta, membiarkan laki-laki itu menghadapi Dibyasakti.
Dibyasakti sudah bersiap menghadapi lawan baru. Dia tahu bahwa orang ini tentu berbeda dengan para prajurit, tentu seorang yang mempunyai kedigdayaan apa bila diingat bahwa pangkatnya adalah seorang tumenggung. Tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan ponggawa Pamekasan yang hendak dikunjunginya, maka dia menghadapi lelaki yang tadi disebut namanya sebagai Tumenggung Surobayu oleh perwira itu dengan sikap tenang.
Tumenggung Surobayu mengamati pemuda gagah perkasa di depannya dengan penuh perhatian. Diam-diam dia merasa kagum melihat pemuda yang gagah itu, apa lagi dia pun sudah melihat sepak terjangnya yang dahsyat ketika pemuda itu dengan tangan kosong menghadapi pengeroyokan enam belas orang prajurit dan membuat mereka yang memegang golok itu kocar-kacir.
“Orang muda, siapakah andika dan mengapa andika menghadang perjalananku?”
“Nama saya Raden Dibyasakti. Saya sama sekali tidak menghadang perjalanan andika.”
“Hmm, akan tetapi aku melihat andika tadi berkelahi melawan para prajurit yang mengawal perjalananku!”
“Mereka itulah yang bersikap kasar dan sama sekali tidak menghormati saya, bahkan mereka pula yang lebih dulu menyerang saya. Saya hanya membela diri.”
Tumenggung Surobayu mengangguk-angguk. “Hemm, begitukah? Kalau benar demikian, maafkanlah para pengawalku. Agaknya andika bukan kawula Pamekasan, maka tidak mengenalku. Aku adalah Tumenggung Surobayu, panglima Pamekasan. Dari manakah andika datang dan ada keperluan apa andika hendak menuju ke Pamekasan?”
“Ah, kiranya paman Tumenggung Surobayu adalah panglima Pamekasan? Maafkan saya, paman, karena saya tidak mengetahui sebelumnya. Perkenalkan, saya Raden Dibyasakti adalah senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan saya memang hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan untuk menyampaikan pesan dari Sang Adipati Arisbaya. Saya adalah utusan Kadipaten Arisbaya, paman.”
Tumenggung Surobayu terkejut dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. “Anakmas adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya? Ah! Tidak aneh kalau andika demikian digdaya. Sekali lagi maafkan para pengawal saya, anak-mas Dibyasakti.”
“Saya juga minta maaf, paman tumenggung.”
“Anakmas hendak menghadap Sang Adipati Pamekasan? Kalau begitu, biarlah saya menunda kepergian saya dan mari saya antarkan andika menghadap beliau.”
“Terima kasih, paman.”
Mereka berdua lalu memasuki kereta dan kuda milik Dibyasakti dituntun seorang prajurit atas perintah Tumenggung Surobayu.....
Komentar
Posting Komentar