SERULING GADING : JILID-14


Para penjaga di depan istana kadipaten itu menyambut dengan hormat atasan mereka itu dan memberi tahu bahwa pada saat itu, sang adipati sedang berada di bagian belakang istana, sedang berada di istal kuda bersama puterinya.

Sebagai seorang pembantu dekat yang dipercaya, mendengar ini Tumenggung Surobayu mengajak tamunya langsung menyusul ke istal yang berada di belakang istana kadipaten. Mereka tiba di bagian tempat pemeliharaan kuda-kuda milik kadipaten. Tempat itu cukup luas, dengan bangunan istal-istal yang bersih dan di situ terdapat pula sebuah lapangan rumput yang luas di mana biasanya sang adipati bersama keluarganya menunggang kuda.

Ketika mereka berdua tiba di situ, Tumenggung Surobayu dan Dibyasakti terkejut melihat seekor kuda yang besar sedang marah. Di punggung kuda hitam itu duduk seorang gadis cantik yang tampak ketakutan dan berusaha mempertahankan diri supaya jangan sampai terlempar dari atas punggung kuda yang sedang marah itu. Kuda itu meringik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan mengguncang-guncangkan badannya seolah berusaha melempar penunggangnya dari atas punggungnya.

Seorang laki-laki setengah tua yang melihat pakaiannya mudah dikenal sebagai Adipati Pamekasan, bersama dua orang perawat kuda, berusaha untuk menenangkan kuda yang mengamuk itu. Akan tetapi usaha ini sia-sia belaka, bahkan dua orang perawat kuda itu sudah terpelanting terkena sepakan kaki kuda yang mengamuk itu.

Sang Adipati Pamekasan terlihat panik sekali. Ketika dia melihat munculnya Tumenggung Surobayu, dia berseru, “Adi Tumenggung cepat tolong puteriku...!”

Tumenggung Surobayu cepat berlari menghampiri lantas menangkap kendali kuda dekat mulut binatang yang marah itu. Akan tetapi kuda itu malah menyerangnya dan berusaha menggigit lengannya. Tumenggung Surobayu terpaksa melepaskan kendali dan kuda itu sudah menyerang dengan kedua kaki depan yang diangkatnya tinggi-tinggi. Kuat sekali kedua kaki itu menghantam ke arah Tumenggung Surobayu. Panglima Pamekasan ini menangkis dengan kedua tangannya.

“Bresss...!”

Dia terpelanting roboh dan kuda yang marah itu sudah mengangkat kedua kaki depannya lagi, siap untuk menginjak tubuh sang tumenggung. Keadaannya sangat gawat dan gadis yang masih dapat bertahan di atas punggung kuda itu sudah menjerit ngeri melihat kuda itu hendak menginjak tubuh sang tumenggung.

Pada saat itu pula Dibyasakti cepat melompat ke depan. Bayangannya berkelebat dan dia sudah menangkap kedua kaki depan kuda itu, mengerahkan tenaga hingga kuda itu tidak mampu bergerak lagi! Selamatlah Ki Tumenggung yang cepat menggulingkan tubuhnya kemudian bangkit berdiri.

Kuda yang tidak mampu menggerakkan dua kakinya yang ditangkap Dibyasakti itu kini meloncat-loncat dengan kaki belakangnya. Gerakannya demikian liar dan cepat sehingga gadis yang secara mati-matian mempertahankan diri di atas punggung kuda itu, tidak kuat bertahan lagi sehingga dia pun terlempar ke atas dari punggung kuda ketika binatang itu meloncat-loncat dengan dua kaki belakangnya! Melihat ini, Dibyasakti melepaskan kedua kaki depan kuda dan mendorongnya.

Kuda itu terlempar ke belakang kemudian terbanting jatuh. Sementara itu tubuh gadis itu melayang ke bawah dan dia pun menjerit ketakutan. Dibyasakti cepat menjulurkan kedua lengannya dan tubuh gadis cantik jelita itu mendarat dengan empuk di atas kedua lengan Dibyasakti yang kokoh kuat! Kedua lengan itu dengan tepat menyangga belakang pinggul dan belakang punggung gadis itu sehingga gadis itu berada dalam pondongan Dibyasakti.

Tubuh gadis itu terasa lunak dan hangat dalam dekapannya. Ketika gadis itu mengangkat muka memandang, muka mereka begitu berdekatan. Dibyasakti terpesona!

Dia adalah seorang pemuda yang sudah banyak bergaul dengan wanita cantik, bahkan dia terkenal sebagai seorang pemburu wanita dan di Arisbaya banyak wanita yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar terpesona! Dia seperti seorang laki-laki yang belum pernah melihat wanita cantik.

Memang bagi Dibyasakti, dia merasa belum pernah melihat seorang perawan secantik menarik gadis dalam pondongannya itu. Mata itu! Hidung itu! Bibir itu! Dia seperti merasa dalam mimpi memondong seorang dewi dari kahyangan. Tanpa terasa dia memeluk lebih erat dan menekan tubuh itu ke dadanya! Hidungnya seperti mencium harum sejuta melati keluar dari tubuh gadis itu. Dia sampai lupa bahwa terlalu lama dia membiarkan tubuh yang harum, lembut dan lentur itu dalam pondongannya.

“Lepaskan aku...!” Gadis itu berkata, kaki tangannya bergerak-gerak hendak melepaskan diri.

Barulah Dibyasakti teringat. Ia melepaskan tubuh itu dengan gerakan lembut dan hati-hati seolah menurunkan seorang bayi dari pondongannya. Begitu diturunkan dari pondongan, gadis itu lalu berlari ke dalam rangkulan ayahnya.

“Syukur kepada Gusti Allah bahwa engkau selamat, nini!” kata Adipati Pamekasan sambil merangkul puterinya.

Tumenggung Surobayu berkata, “Wah, sungguh beruntung andika dapat menyelamatkan sang puteri, anakmas! Kakangmas Adipati, anak muda ini adalah utusan dari Sang Adipati Arisbaya yang mohon menghadap paduka, maka saya bawa dia menyusul ke sini.”

Dengan lengan kiri masih merangkul puterinya, adipati itu memandang kepada Dibyasakti, lalu berkata, “Utusan Sang Adipati Arisbaya? Siapa namamu, orang muda yang gagah? Dan apa kedudukanmu di Arisbaya?”

Dibyasakti memberi hormat dengan menyembah. “Saya bernama Raden Dibyasakti dan menjadi senopati muda di Arisbaya, gusti.”

“Senopati muda Arisbaya? Pantas engkau begitu tangkas! Engkau telah menyelamatkan puteriku, nini Sriyatun, Dibyasakti, untuk itu kami amat berterima kasih padamu dan tentu saja kami akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kulihat engkau tangkas dan sakti mandraguna, dapat menaklukkan Si Gagak Cemeng dengan mudah, padahal kuda ini kuat sekali, apa lagi tadi sedang mengamuk dan liar. Tentu engkau memiliki seorang guru yang sakti!”

“Saya menerima gemblengan dari ayah saya sendiri, gusti.”

“Ah, begitukah? Dan siapa ayahmu yang sakti mandraguna itu?”

“Ayah saya bernama Ki Harya Baka Wulung, dan beliau menjadi penasihat di Kadipaten Arisbaya.”

“Jagad Dewa Bathara...!” Adipati Pamekasan itu berseru dan wajahnya tampak gembira.

“Kiranya putera Kakang Harya Baka Wulung sendiri? Ha-ha-ha-ha, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri, Dibyasakti. Kakang Harya itu seperti kakakku sendiri. Jangan sebut aku gusti, panggil paman saja! Sriyatun, sapa kang-masmu ini, dia ini sudah seperti keponakanku sendiri!”

Dengan sikap malu-malu dan rikuh gadis itu membungkuk ke arah Dibyasakti, kemudian bibirnya yang merah basah dan mungil itu berkata lirih, “Kakangmas Dibyasakti...!”

“Diajeng Sriyatun, aku girang andika tidak cidera tadi.”

“Berkat pertolonganmu, kakangmas...”

“Ha-ha-ha, Dibyasakti. Engkau keponakanku sendiri dan utusan adimas Adipati Pangeran Mas di Arisbaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Adimas Tumenggung, atur supaya penjinak kuda dapat menjinakkan Si Gagak Cemeng. Agaknya kuda itu belum jinak benar. Tadi ketika Sriyatun berkeras hendak mencoba menungganginya, dia menjadi binal dan mengamuk.”

“Sendika, Kakangmas Adipati!” kata Tumenggung Surobayu sambil menyembah.

“Mari, anak-mas Dibya!” Sang Adipa mengajak tamunya sambil menggandeng tangan puterinya, menuju ke istana kadipaten melalui pintu belakang, terus menuju ke ruangan tengah di mana dia mempersilakan pemuda itu duduk berhadapan dengan dia, sedangkan Sriyatun sudah mengundurkan diri masuk ke ruangan keputren.

Setelah menyerahkan surat dari Adipati Arisbaya, Dibyasakti disambut dengan ramah oleh Adipati Pamekasan. Sang Adipati menyatakan persetujuannya dengan penuh semangat.

“Memang kita harus menyatukan segenap kekuatan untuk melawan Mataram!” katanya. “Sampaikan kepada adimas Adipati Arisbaya bahwa kami sudah siap dan harap jangan khawatir. Kalau pasukan Mataram berani mendarat di pesisir kita, aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk melawan mereka!”

Setelah berbincang-bincang yang kemudian disambut dengan perjamuan selamat datang, Dibyasakti mohon diri berpamit dari tuan rumah.

“Ahh, kenapa harus tergesa-gesa, anak-mas? Engkau bukan hanya utusan adimas Adipati Arisbaya, melainkan engkau adalah keponakanku sendiri. Anggaplah engkau berkunjung ke rumah pamanmu sendiri, maka engkau harus tinggal bermalam di sini selama dua tiga hari. Aku masih kangen dan ada banyak hal yang hendak kubicarakan denganmu, anak-mas!” Adipati Pamekasan membujuk Dibyasakti dan akhirnya pemuda ini menerima juga tawaran Adipati Pamekasan untuk bermalam di situ selama dua malam.

Bila Dibyasakti menerima tawaran itu, sebenarnya adalah karena dia ingin sekali bertemu lagi dengan Sriyatun! Dia merasa rindu karena semenjak pertemuan pertama yang sangat mengesankan hatinya itu, Sriyatun tak pernah lagi menampakkan dirinya. Bahkan sampai lewat malam pertama di kadipaten, dia belum juga dapat bertemu dengan perawan itu.

Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi untuk bertanya tentang gadis itu kepada Sang Adipati, tentu saja dia merasa rikuh. Tetapi pada malam kedua, malam terakhir dia tinggal di Kadipaten Pamekasan, dia merasa tidak tahan lagi. Malam itu dia harus dapat bertemu atau setidaknya melihat Sriyatun untuk mengobati rasa rindunya.

Malam ini terang bulan. Langit bersih dan cerah. Malam sejuk yang indah sekali. Cahaya bulan mendatangkan suasana yang romantis. Tentu saja Dibyasakti tidak betah berada di dalam kamarnya.

Tanpa diketahui orang, malam itu dia keluar dari kamarnya dan memasuki taman bunga yang letaknya di belakang kadipaten, di sebelah kiri tempat pemeliharaan kuda. Taman itu luas sekali, penuh dengan beraneka bunga. Bunga mawar beraneka warna, juga banyak bunga melati dan menur yang menyebarkan keharuman yang khas. Ada pula pohon bunga arum-dalu, kenanga, dan kantil yang membuat taman sari itu semerbak harum.

Ketika memasuki taman yang bermandikan cahaya bulan purnama itu, Dibyasakti merasa seperti tenggelam di dalam lautan bunga yang harum memabokkan. Semangatnya seperti melayang-layang dan terbayanglah semua kemesraan dengan wanita-wanita cantik yang pernah dialaminya. Wajah-wajah cantik itu bagaikan melayang-layang di depan matanya, kemudian satu demi satu wajah wanita cantik itu menghilang, yang tinggal hanya sebuah wajah. Wajah Sriyatun! Dan rasa rindunya semakin menekan.

Aku harus menemuinya, pikirnya berbisik. Harus! Bila perlu aku akan menyusup ke dalarn keputren seperti maling! Tidak akan sulit baginya. Dia harus menemuinya malam ini juga. Sekedar pamit, sekedar untuk menatap wajah itu sekali lagi! Dia harus!

Tiba-tiba dia mendengar suara orang. Cepat sekali tubuhnya sudah menyelinap ke balik serumpun bambu kuning yang tumbuh di situ dan mengintai. Dua sosok bayangan orang berjalan perlahan menuju ke situ. Pada waktu dua bayangan itu lewat dekat, jantungnya berdegup dan dia memusatkan kekuatan pandang matanya untuk dapat melihat lebih jelas lagi.

Di bawah sinar bulan yang lembut, dia melihat Sriyatun sebagai salah satu di antara dua bayangan itu. Dan perawan yang dirindukannya itu tampak begitu cantik jelita, ayu manis merak ati. Tubuhnya seperti terbungkus cahaya bulan, seolah memancarkan kehangatan yang terasa olehnya. Ketika dia memperhatikan bayangan kedua, alisnya berkerut.

Orang kedua itu adalah seorang muda yang bertubuh sedang, pakaian rapi dan wajahnya membuat dia merasa hatinya panas oleh cemburu karena wajah itu tampan sekali! Mereka melangkah perlahan melewatinya, dekat sekali sehingga dia bisa mendengar jejak langkah mereka, bisa mendengar berkereseknya kain yang dipakai Sriyatun.

Setelah mereka lewat, Dibyasakti cepat bergerak, menyusup-nyusup dan membayangi kedua orang muda itu. Hatinya yang sudah panas itu menjadi semakin penasaran lagi ketika kini dia melihat pemuda itu memegang tangan kiri Sriyatun dan menggandengnya dengan sikap amat mesra. Ia mendengar sendiri degup jantungnya sehingga dia khawatir kalau-kalau degup jantungnya itu akan terdengar oleh dua orang yang dibayanginya.

Di tengah taman terdapat sebuah pondok bambu mungil tanpa dinding, hanya lantai dari papan, tiang dan atap saja. Di situ terdapat bangku-bangku panjang. Biasanya keluarga sang adipati sering duduk di pondok ini, terutama kalau siang hari panas.

Dua orang muda yang bergandengan tangan itu menuju ke pondok ini dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang. Mereka bercakap-cakap lirih sambil duduk berdempetan dan kini lengan kanan pemuda itu merangkul pundak Sriyatun dengan amat mesra.

Karena mereka bicara dengan lirih sekali, terpaksa Dibyasakti harus bergerak mendekati dan bersembunyi di balik pohon kecil kemuning yang tumbuh di dekat pondok. Sekarang dia dapat mendengar suara mereka dengan jelas.

“...ahh, benarkah kata-katamu itu, diajeng?” kata pemuda itu.

“Kakang-mas Karyadi, pernahkah aku berbohong padamu? Aku merasa yakin bahwa dia itu bukan orang baik-baik. Ketika dia menyelamatkan aku dan memondongku, aku dapat merasakan sentuhannya dan sinar matanya...huh, mengerikan, kakangmas...!”

Pemuda bernama Karyadi itu tertawa. “Ha-ha-ha, kukira engkau hanya salah sangka saja, diajeng. Dia itu bukan orang biasa. Dia utusan Sang Adipati Arisbaya, dan dia itu seorang senopati muda! Dia sudah menyelamatkan dirimu, diajeng. Bagaimana sekarang engkau malah mencurigai dan tidak percaya padanya? Bukankah Kanjeng Paman Adipati sendiri menerimanya dengan ramah dan menganggap dia keponakan sendiri karena dia putera Ki Harya Baka Wulung yang amat terkenal karena sakti mandraguna itu? Di seluruh Madura, siapa yang tidak mengenal Ki Baka Wulung?”

Gadis itu mencibir. “Terkenal kesesatannya maksudmu, kakang-mas?”

“Ssstt...! Kenapa engkau bilang begitu diajeng?” Karyadi menyentuh bibir yang mungil dan merah basah itu seolah hendak mencegah gadis itu bicara yang bukan-bukan.

“Aku mendengar dari cerita ibuku sendiri, kakang-mas! Menurut cerita ibuku, Harya Baka Wulung itu dahulu pada waktu mudanya, ketika berkunjung ke sini, sudah berani mencoba untuk menggoda ibuku. Karena itulah maka ibuku berpesan kepadaku agar jangan dekat-dekat dengan puteranya itu.”

“Sudahlah, diajeng. Jangan khawatir dan jangan takut. Ada aku di sini, aku calon suamimu yang akan selalu melindungimu. Kalau ada aku di sampingmu, siapakah yang akan berani mengganggumu?”

Sesudah berkata demikian, pemuda itu lalu merangkul dan memeluk kekasihnya. Sriyatun menghela napas manja dan lega, menyandarkan kepalanya di dada tunangannya itu.

Dibyasakti yang semenjak tadi mengintai sambil mendengarkan percakapan itu, tentu saja menjadi marah bukan main. Gadis itu berani mencela nama ayahnya, berarti penghinaan! Dia memang terpesona dan tergila-gila kepada Sriyatun, akan tetapi kini kegandrungannya itu bercampur dendam kemarahan. Apa lagi mendengar bahwa pemuda itu adalah calon suami gadis yang digandrunginya itu, kini habislah harapannya untuk bisa mempersunting Sriyatun.

Otaknya yang licik itu diputar. Tiba-tiba saja dia sudah mengambil sebuah keputusan yang hanya dapat dipikirkan seorang yang sudah kemasukan iblis.

“Maling hina! Berani mati engkau mengganggu sang puteri!” tiba-tiba Dibyasakti melompat dan membentak.

Sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan itu terkejut bukan main. Raden Karyadi, pemuda itu, adalah putera Tumenggung Surobayu dan sebagai putera tumenggung, tentu saja dia bukan seorang pemuda lemah tetapi mahir olah keperwiraan. Melihat ada orang melompat dan membentak, dia pun cepat melepaskan rangkulannya dari pundak Sriyatun lalu melompat dan berdiri melindungi kekasihnya.

Akan tetapi Dibyasakti tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara karena dia sudah menerjang dengan serangan pukulan tangan kanan yang dahsyat. Melihat pukulan itu Karyadi cepat menangkis sambil miringkan tubuhnya.

“Wuuttt...! Dukkk...!”

Ternyata kekuatan Karyadi belum mampu mengimbangi tenaga Dibyasakti yang dahsyat. Pertemuan kedua lengan itu telah membuat tubuh Karyadi terpelanting sampai keluar dari dalam pondok!

Melihat kejadian ini, Sriyatun terkeiut bukan main. Tadinya ia terbelalak memandang orang yang datang itu. Akan tetapi ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Dibyasakti yang menjadi tamu ayahnya, dan melihat Dibyasakti membuat tunangannya terpelanting keluar pondok, ia segera menjerit, “Kakang-mas Dibyasakti! Dia bukan maling, bukan penjahat. Dia itu kakang-mas Karyadi, tunanganku, calon suamiku!”

Tetapi Dibyasakti seolah tidak mendengar ucapan ini, atau memang dia sengaja tidak mau mendengarkan. Dia sudah melompat keluar dari pondok kemudian menyerang lagi ke arah Karyadi.

Karyadi telah siap siaga. Melihat Dibyasakti tetap menyerangnya walau pun Sriyatun telah memperkenalkan dirinya, dia tahu bahwa orang ini memang sengaja berniat jahat. Maka dia pun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghindar dari serangan yang kedua itu.

Dia tidak berani menangkis, maklum bahwa tenaganya kalah kuat. Elakannya yang cepat membuat pukulan Dibyasakti tadi luput dan Karyadi berseru nyaring, “Ki-sanak! Ki-sanak, tahan dulu...!”

Akan tetapi Dibyasakti sudah mengambil keputusan bulat untuk membinasakan pemuda yang menjadi kekasih Sriyatun itu. Dia menggosok sepasang telapak tangannya sehingga tampak asap hitam mengepul, kemudian dia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Karyadi sambil membentak.

“Aji Kukus Langking... !”

Aji pukulan sakti ini dahsyat luar biasa. Asap hitam yang menyambar itu selain membawa hawa pukulan maut, juga kalau mengenai kulit lawan, asap itu dapat membakar seperti api!

Karyadi kaget bukan main. Cepat dia membuang diri ke atas tanah kemudian bergulingan menghindar sampai jauh. Ketika dia bangkit berdiri, dia telah mencabut kerisnya. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk melawan mati-matian, bukan untuk menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk membela dan melindungi kekasihnya, Sriyatun.

Kalau saja di situ tidak ada Sriyatun, dia tentu sudah melarikan diri karena dia maklum sepenuhnya bahwa dia tidak akan mampu menandingi lawan yang sakti mandraguna ini. Akan tetapi dia harus membela dan melindungi kekasihnya dengan taruhan nyawa. Maka dia pun mencabut kerisnya dan masih berusaha untuk mengingatkan pemuda yang gagah seperti Gatotkaca itu.

“Ki-sanak, andika tentu Senopati Dibyasakti! Aku adalah Karyadi, putera dari Tumenggung Surobayu, bukan penjahat dan bukan musuh!”

Akan tetapi Dibyasakti tidak peduli. Dia melompat ke depan dan dalam posisi setengah berjongkok dia siap menyerang. Melihat ini, Karyadi menjadi marah dan dia pun maju lalu menusukkan kerisnya.

Pada saat itu Dibyasakti membentak, “Aji Cantuka Sakti!”

Kedua tangannya mendorong ke depan dan dari perutnya terdengar bunyi kok-kok nyaring. Aji ini merupakan aji pamungkas andalan Ki Harya Baka Wulung yang sudah diturunkan kepada puteranya itu. Dahsyat bukan main aji pukulan ini. Serangkum tenaga sakti yang menggiriskan menyambar dan menghantam Kariadi yang menusukkan kerisnya.

Diterpa hawa pukulan ini, tubuh pemuda itu melayang seperti daun kering dihembus angin, kemudian dia terbanting roboh dan tidak mampu bergerak lagi!

Sriyatun berlari menghampiri kekasihnya lalu berlutut di dekat tubuh yang telentang itu.

“Kakangmas Karyadi...! Kakangmas...!” Dia mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan matanya terbelalak memandang darah yang mengucur keluar dari mulut Karyadi. Akan tetapi yang dipanggil dan diguncang tidak bergerak dan tidak menjawab.

“Kakangmas Karyadi... kau... kau... mengapa, kakangmas?”

“Dia sudah mati!” tiba-tiba Dibyasakti yang sudah berdiri di dekatnya berkata.

“Mati...? Kau... kau... membunuhnya... ohh...!” Sriyatun terkulai lemah dan roboh pingsan.

Melihat gadis itu rebah miring dan kain yang dipakainya tersingkap ketika tadi berlari lalu menjatuhkan diri sehingga tampak sebagian pahanya, nafsu berahi yang memang sejak tadi menguasai hati akal pikiran Dibyasakti menjadi berkobar. Dia cepat membungkuk dan memondong tubuh Sriyatun, lalu tanpa sangsi dan ragu, tanpa rasa takut atau rikuh, dia melangkah pergi sambil membawa tubuh Sriyatun ke dalam pondok.

Sesungguhnyalah bahwa segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang tidak ternilai besarnya dari Tuhan Yang Maha Kasih. Gairah nafsu ini yang mendatangkan kenikmatan mata memandang sehingga nampak bentuk-bentuk dan warna-warna yang indah, membuat telinga menikmati pendengaran suara yang merdu, hidung menikmati penciuman yang sedap dan harum, mulut menikmati makanan yang lezat dan sebagainya.

Termasuk nafsu berahi. Nafsu ini dianugerahkan kepada setiap makhluk hidup, terutama manusia dan gairah nafsu inilah yang membuat manusia dapat berkembang biak. Segala macam gairah nafsu merupakan anugerah yang mutlak diperlukan di dalam kehidupan, merupakan peserta, merupakan abdi bagi manusia untuk mempertahankan hidup ini dan menikmati anugerah Tuhan.

Akan tetapi gairah nafsu dapat menjadi abdi yang baik selama kita mendekatkan rohani kita, batin kita, hati akal pikiran kita, dengan Tuhan sehingga Kekuasaan Tuhan akan selalu membimbing kita dan menguatkan batin kita. Dalam keadaan demikian kita akan mampu menjadi majikan dari nafsu-nafsu kita sendiri, mengendalikan gairah nafsu kita sendiri.

Celakalah kita kalau kita lengah, jauh dari bimbingan Kekuasaan Tuhan, karena nafsu-nafsu itu akan selalu berusaha untuk menaklukkan kita. Kalau abdi-abdi nafsu itu sudah berubah menjadi majikan kita, dan sebaliknya kita diperhamba olehnya, kita akan diseret ke dalam perbuatan-perbuatan sesat.

Gairah nafsu berahi yang pada dasarnya merupakan anugerah terbesar dan mempunyai fungsi yang suci itu kalau sudah menjadi majikan dan memperhamba kita akan menyeret kita untuk melakukan perbuatan yang kotor dan jahat. Maka lahirlah perbuatan seperti perkosaan, perjinahan, pelacuran, dan sebagainya.

Demikian pula halnya dengan Dibysakti yang semenjak kecil terdidik secara salah oleh Ki Harya Baka Wulung. Semenjak kecil dia menjadi hamba nafsu-nafsunya, selalu mengejar kesenangan. Dalam peristiwa malam itu, dia sudah menjadi hamba nafsunya. Bukan saja dia telah membunuh Karyadi yang tidak berdosa, hanya karena dia menganggap Karyadi merupakan penghalang untuk mendapatkan Sriyatun, akan tetapi dia bahkan melakukan perbuatan yang lebih keji lagi, yaitu dia menggagahi Sriyatun, memperkosa gadis yang sedang pingsan itu! Sungguh perbuatan biadab dari seorang manusia yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh iblis. Semua pertimbangannya sebagai manusia sudah hilang, yang ada hanyalah nafsu kebinatangan semata-mata.

Setelah gairah nafsu tersalurkan, di saat mana nafsu sudah tidak lagi menguasai hati akal pikiran karena sudah terpuaskan, barulah kesadaran kemanusiaannya kembali lagi dan mengingatkan, membuat si pelaku menyadari akan perbuatannya. Demikian pula dengan Dibyasakti.

Setelah kekejian yang dilakukannya itu selesai, barulah dia termenung, memikirkan akibat dari pada semua perbuatannya itu! Dan muncullah penyesalan dalam hatinya. Dia maklum bahwa perbuatannya ini akan mendatangkan akibat yang sangat hebat. Seluruh Kadipaten Pamekasan akan geger dan akibat perbuatannya ini, bukan saja dia akan dimusuhi oleh seluruh kadipaten, bahkan bukan tidak mungkin Kadipaten Pamekasan akan menganggap Kadipaten Arisbaya sebagai musuh karena dia adalah senopati muda Arisbaya.

Pada saat dia termenung itu tiba-tiba Sriyatun yang masih rebah telentang di atas bangku, bergerak, merintih dan ia bangkit duduk. Agaknya ia baru menyadari akan keadaannya. Ia terbelalak kemudian menjerit-jerit.

Dalam keadaan bingung dan takut kalau-kalau jeritan itu akan menarik perhatian orang, Dibyasakti menggerakkan tangan kirinya dan sekali jari-jari tangannya menampar tengkuk Sriyatun, gadis itu terkulai roboh dan tewas seketika.

Dibyasakti yang tadi sudah memutar otak mencari jalan keluar terbaik, cepat melompat keluar pondok. Dia mengangkat mayat Karyadi dan membawanya ke dalam pondok lalu merebahkannya di atas lantai pondok, dekat bangku di mana mayat Sriyatun tergeletak. Setelah itu dia berlari ke bagian pemeliharaan kuda dan melakukan pengintaian.

Ketika dia melihat dua orang perawat kuda yang pernah dilihatnya tempo hari, dia cepat menghampiri mereka.

“Kalian cepat bantu aku. Ada pencuri masuk ke dalam taman!” katanya.

Dua orang perawat kuda itu memandang dengan kaget. Mereka segera mengenal pemuda gagah perkasa ini.

“Ahh, andika, Raden? Di mana malingnya?” tanya mereka.

“Cepat ambil senjata kalian dan mari bantu aku menangkapnya!” kata Dibyasakti.

Kedua orang itu menjadi berani untuk membantu karena mereka maklum bahwa pemuda yang menjadi tamu ini adalah seorang yang digdaya. Mereka cepat mengambil parang dan siap siaga dengan sikap gagah.

“Mari, ikut aku!” kata Dibyasakti.

Mereka bertiga segera berlari memasuki taman yang memang berdekatan dengan bagian pemeliharaan kuda itu. Sesudah tampak pondok itu dari situ, Dibyasakti memberi isyarat agar mereka berhenti.

“Tadi aku melihat malingnya bersembunyi di pondok itu. Mari kita ke sana, tetapi hati-hati, perlahan saja dan jangan membuat gaduh.”

Mereka bertiga melangkah berindap-indap menghampiri pondok. Setelah tiba luar pondok, Dibyasakti yang sengaja berjalan di belakang, cepat mengayun kedua tangannya. Dengan pengerahan tenaga sakti ia memukul ke arah kepala mereka dan dua orang perawat kuda itu roboh dan tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi.

Dengan sikap tenang, seolah membunuh empat orang itu baginya merupakan perbuatan biasa saja, Dibyasakti lalu mengambil dua buah parang yang terlepas dari tangan mereka, lalu memasuki pondok. Kemudian, dengan mata tak berkedip sedikit pun dia menusukkan parang ke dada mayat Karyadi. Parang itu menancap di situ sampai ke gagangnya.

Kemudian dia menggunakan parang yang sebuah lagi untuk membacok punggung mayat Sriyatun yang rebah miring dan membiarkan parang itu menancap pada punggung wanita itu. Sesudah mengamati ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang melihat perbuatannya, Dibyasakti lalu berlari ke arah istana kadipaten.

Di bagian belakang gedung itu dia melihat sebuah kentongan tergantung. Kentongan ini biasanya dipukul para peronda yang meronda mengelilingi gedung. Cepat dia mengambil pemukul lantas memukuli kentongan itu dengan suara titir, yaitu dipukul bertalu-talu tiada hentinya.

Tentu saja suara ini menimbulkan kegemparan. Para penjaga berlari-larian menghampiri, kemudian bertanya-tanya. Akan tetapi Dibyasakti memukul terus kentongan itu dan baru berhenti setelah Adipati Pamekasan sendiri muncul.

“Anak-mas Dibyasakti! Apa yang terjadi? Kenapa andika memukuli kentongan seperti ini?”

“Aduh, paman Adipati, celaka, paman. Ada rajapati (pembunuhan) besar!”

“Rajapati? Apa yang andika maksudkan? Rajapati? Di mana? Siapa?” Adipati Pamekasan bertanya bingung.

“Mari, silakan ikut dengan saya, paman!” kata Dibyasakti.

Dia lalu melangkah memasuki taman. Adipati itu mengikutinya dan di belakang mereka, para pengawal kadipaten berbondong-bondong mengikuti dengan rasa ingin tahu sekali.

Sesudah sampai di depan pondok, Sang adipati melihat mayat dua orang perawat kuda menggeletak di atas tanah.

“Eh, kenapa mereka berada di sini dan siapa yang membunuh mereka?”

“Saya yang membunuh mereka, paman.”

“Andika yang membunuh mereka, anak-mas Dibyasakti? Kenapa?”

“Karena mereka berdua telah melakukan kejahatan yang amat besar, mereka berdua telah melakukan pembunuhan. Silakan memeriksa ke dalam pondok, paman.”

Adipati Pamekasan cepat memasuki pondok. Kini keadaan terang sekali karena banyak prajurit pengawal yang membawa obor ketika mereka memasuki taman itu. Sang Adipati masuk dan dia terbelalak ketika melihat tubuh puterinya tergeletak miring di atas bangku panjang dengan sebatang parang masih menancap di punggungnya.

Dan dia lebih terkejut lagi melihat mayat Karyadi menggeletak telentang di dekat bangku, di atas lantai dan dada pemuda ini pun ditembusi sebatang parang yang masih menancap di situ.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)