SERULING GADING : JILID-15


Sejenak lamanya Sang Adipati memeluk mayat puterinya dan menangis, tapi akhirnya dia dapat menenangkan hatinya. Dia bangkit berdiri kemudian memutar tubuhnya menghadapi Dibyasakti yang masih berdiri di situ.

“Anak-mas Dibyasakti, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa anakku dibunuh?”

“Begini, paman. Tadi saya tidak dapat tidur dan melihat dari jendela bahwa malam indah sekali, bulan bersinar gemilang, saya tertarik lalu keluar dari kamar menikmati keindahan taman di malam terang bulan. Pada saat sampai di dekat pondok, saya mendengar jeritan dan suara gaduh. Saya cepat berlari ke sini dan melihat dua orang tadi berloncatan keluar pondok. Karena saya menaruh curiga, saya menegur mereka. Akan tetapi kedua orang itu bahkan menyerang saya. Melihat serangan mereka terhadap saya dilakukan secara nekat dan bermaksud membunuh, maka saya lalu merobohkan mereka dengan pukulan hingga mereka tewas. Saya segera masuk ke pondok ini, lalu menemukan diajeng Sriyatun serta pemuda ini sudah tewas menggeletak. Saya menjadi terkejut sekali. Dalam kebingungan saya, ketika melihat kentongan itu saya lalu memukul kentongan bertalu-talu. Begitulah, paman. Saya merasa yakin bahwa yang membunuh puteri paman dan pemuda ini adalah dua orang itu. Silakan paman memeriksa dua buah parang itu. Milik siapa kedua senjata tajam itu.”

Sang adipati memberi isyarat kepada kepala pengawal untuk membantu memeriksa kedua buah parang itu. Kepala pengawal mengangguk-angguk.

“Benar, gusti. Ini adalah parang-parang yang biasanya mereka pakai di tempat pekerjaan mereka.”

“Jahanam keparat!” Sang Adipati marah bukan main. “Gantung mayat kedua jahanam itu di alun-alun agar semua orang melihat mereka!”

Suasana berkabung meliputi seluruh kadipaten. Tumenggung Surobayu juga terkejut dan berduka sekali atas kematian puteranya. Puteranya, yaitu Raden Karyadi memang sudah dipertunangkan dengan Sriyatun. Kedua orang muda itu saling mencinta, juga orang tua kedua pihak sudah merestui, mereka tinggal menanti perayaan pernikahan saja. Sungguh tidak disangka dua sejoli yang tampak berbahagia itu mengalami kematian yang demikian menyedihkan.

Dibyasakti harus berkali-kali mengulang ceritanya. Tapi hal ini dia lakukan dengan tenang sehingga semua orang percaya dengan ceritanya. Siapa yang akan meragukan ceritanya? Dia adalah seorang senopati muda, utusan Adipati Arisbaya, malah putera Ki Harya Baka Wulung yang terkenal!

Lagi pula bukti-buktinya sudah jelas bahwa pembunuh dua orang sejoli itu tidak lain adalah dua orang perawat kuda kadipaten. Buktinya amat kuat. Parang yang dipergunakan untuk membunuh sepasang kekasih itu adalah parang mereka, dan mereka berdua kedapatan berada di taman, hal yang tidak semestinya. Ditambah pula dengan kesaksian Dibyasakti, siapa yang akan meragukan kebenaran cerita pemuda dari Arisbaya tu?

Memang ada satu orang yang merasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Orang itu adalah Tumenggung Surobayu. Dalam kedukaannya kehilangan puteranya, tumenggung ini merasa heran dan penasaran bagaimana puteranya demikian mudahnya dibunuh oleh dua orang perawat kuda!

Padahal puteranya itu memiliki kedigdayaan sehingga tidak sembarang orang akan dapat mengalahkan dan membunuhnya. Keheranan dan rasa penasaran ini dia katakan kepada Dibyasakti.

Tapi pemuda yang cerdik ini dengan tenangnya berkata, “Paman Tumenggung, saya tidak merasa heran. Ketika dua orang itu menyerang saya, saya mendapat kenyataan bahwa mereka berdua mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Mereka cukup tangguh sehingga hanya dengan aji pamungkas saya saja akhirnya saya dapat merobohkan mereka.”

“Akan tetapi, anak-mas, mereka hanya perawat kuda yang sudah bertahun-tahun bekerja di sini dan tidak pernah mereka memperlihatkan bahwa mereka itu orang-orang digdaya,” bantah Tumenggung Surobayu penasaran.

“Ahh, paman. Siapa tahu kalau mereka itu menyimpan rahasia? Kita tahu bahwa Mataram memusuhi kita. Saya curiga bahwa mereka berdua itu adalah orang-orang yang memang sengaja diselundupkan oleh Mataram untuk bekerja di kadipaten ini sebagai telik sandi (mata-mata).”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk, agaknya dapat menerima pendapat ini. “Akan tetapi andai kata benar dugaan andika itu, andai kata mereka memang telik sandi dari Mataram yang diselundupkan ke sini, mengapa mereka membunuh puteraku dan Sriyatun? Apakah alasannya?”

Dibyasakti mengerutkan alisnya. “Alasannya jelas, paman. Tentu untuk mendatangkan suasana kacau di Kadipaten Pamekasan. Yang dibunuh justeru putera paman dan puteri paman Adipati, berarti memberi pukulan kepada dua orang paling penting di Pamekasan dengan maksud agar mendatangkan kelemahan. Selain itu...”

“Selain itu ada apa lagi, anak-mas? Alasan apa lagi yang membuat mereka melakukan pembunuhan itu?”

“Anu, paman. Diajeng Sriyatun adalah seorang wanita yang sangat cantik. Bukan mustahil kalau dua orang jahanam itu tertarik. Mereka berniat keji dan hendak mengganggu diajeng Sriyatun. Mungkin karena ketahuan putera paman, mereka lalu melakukan pembunuhan untuk menghilangkan jejak.”

Akhirnya Tumenggung Surobayu dapat menerima pendapat ini dan dia pun menumpahkan semua rasa penasaran dan dendamnya kepada Mataram. Keterangan Dibyasakti sudah membuat dia yakin bahwa dua orang pembunuh itu tentu orang-orang Mataram!

“Awas kalian orang-orang Mataram! Bila terjadi perang, aku akan membalas dendam dan membunuh sebanyak mungkin orang Mataram!” Dia mengancam dengan tangan dikepal.

Dibyasakti tidak lama tinggal di Pamekasan. Setelah ikut melayat dia segera berpamit dan kembali ke Arisbaya dengan membawa jawaban dari para adipati di seluruh Madura untuk Adipati Arisbaya bahwa mereka semua telah siap untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman dari Kerajaan Mataram.....

********************

Di daerah Pacitan ada sebuah perguruan pencak silat bernama Jatikusumo. Perkumpulan ini mempunyai murid-murid atau anggota yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang dan mereka tinggal dalam sebuah perkampungan. Karena perkampungan ini merupakan perkampungan yang khusus menjadi tempat tinggal mereka, maka dikenal sebagai dusun Jatikusuman yang letaknya di pantai Laut Kidul.

Perguruan Jatikusumo adalah sebuah perguruan silat yang sudah tak asing lagi. Namanya bukan hanya dikenal di daerah Pacitan dan Kadipaten Madiun, bahkan terkenal sampai ke Mataram. Malah perlu diketahui pula bahwa Sang Puteri Wandansari, puteri Sultan Agung Mataram, merupakan murid andalan perguruan Jatikusumo.

Perguruan ini sudah berusia lebih dari setengah abad dan banyak melahirkan pendekar-pendekar yang juga menjadi pahlawan yang membela Mataram. Memang semenjak dulu para pendekar Jatikusumo selalu membela Mataram dengan setia.

Pada waktu itu kedudukan ketua Jatikusumo dipegang oleh seorang pendekar yang gagah perkasa yang dulu merupakan murid andalan perguruan ini. Setelah Bhagawan Sindusakti, ketua Jatikusumo meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, dia digantikan oleh Ki Cangak Awu, ketuanya yang sekarang.

Ki Cangak Awu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur kasar seperti Harya Werkudara tokoh Pandawa dalam cerita wayang Mahabharata. Dia terkenal digdaya dengan senjatanya yang berupa tongkat. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi tampak gagah dengan kumis dan jenggotnya yang membuat dia kelihatan jantan. Dia menjadi ketua Jatikusumo, dibantu isterinya.

Isterinya juga seorang wanita gagah perkasa yang sakti bernama Pusposari. Orangnya hitam manis namun dalam hal kedigdayaan, dia tidak kalah jauh dibandingkan suaminya. Pusposari bukan murid Jatikusumo, akan tetapi dia juga menjadi anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang cukup terkenal. Perguruan Nogo Dento ini berpusat di daerah Ngawi, di Lembah Bengawan Solo. Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu, walau pun telah menikah dengan Ki Cangak Awu selama hampir sepuluh tahun, tetapi belum juga dikurniai anak.

Pada waktu Mataram melakukan serangan ke Tuban dan menundukkan Tuban, memang perguruan Jatikusumo tidak dimintai bantuan karena untuk menundukkan Tuban tidak dibutuhkan bantuan banyak tenaga. Tapi ketika Mataram berusaha meiyerang Surabaya, Ki Cangak Awu dan Pusposari sendiri pergi ke Mataram untuk membantu. Namun selama tiga tahun semua usaha Mataram untuk menundukkan Surabaya mengalami kegagalan.

Setelah Sultan Agung menghentikan usahanya menundukkan Surabaya dan mengalihkan perhatiannya kepada Madura, Ki Cangak Awu dan isterinya kembali ke Jatikusuman. Di perkampungan ini mereka melatih para murid dan mempersiapkan diri kalau sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan oleh Mataram.

Kita kembali kepada peristiwa aneh yang terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu, yaitu sebelum Mataram menyerang Surabaya, atau sesudah Mataram berhasil menundukkan sebagian besar kadipaten d Jawa Timur.

Pada waktu itu pihak Kumpeni Belanda merasa amat khawatir karena mendengar betapa Mataram makin memperkuat wilayahnya dan menundukkan kadipaten-kadipaten di Jawa Timur. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerintahkan para perwira bawahannya untuk memperluas pula jaringan mata-mata mereka. Orang-orang yang dipercaya dan memiliki kesaktian dan kesetiaan kepada Kumpeni disebar di tempat-tempat penting untuk mengobarkan semangat anti Mataram.

Di antara para telik sandi (mata-mata) itu terdapatlah seorang pemuda yang luar biasa. Dia seorang pemuda yang amat tampan, berusia sekitar dua puluh satu tahun. Pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Gerak-geriknya lembut sesuai dengan wajahnya yang tampan.

Rambutnya keriting berombak, manik matanya tidak hitam benar tetapi agak kecoklatan, matanya tajam dengan bentuk indah dan lebar. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya juga manis. Kebanyakan wanita tidak akan mudah melupakan wajah ini karena memiliki daya tarik yang kuat sekali bagi wanita. Senyumnya memikat dan giginya putih berderet rapi. Ditambah kegantengannya dengan hiasan kumis tipis yang tumbuh rapi di bawah hidungnya.

Ketampanannya memang agak berbau asing, terutama manik matanya yang agak coklat, ditambah hidungnya yang sangat mancung serta rambutnya yang berombak itu. Bukan ketampanan khas Jawa.

Memang pemuda ini sesungguhnya bukan seorang Jawa asli, melainkan seorang yang biasa disebut Indo. Ibunya memang seorang wanita Jawa, akan tetapi ayahnya seorang kulit putih totok berbangsa Portugis. Ketika itu bangsa Portugis sudah datang ke Nusa Jawa sebelum Kumpeni Belanda datang.

Orang-orang Portugis itu datang sebagai pedagang. Akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah pria-pria petualang yang kasar dan tidak pandai mengambil hati penduduk asli sehingga banyak mendapat tentangan, tidak seperti Kumpeni Belanda yang amat pandai bersiasat mengambil hati rakyat. Bahkan ada orang-orang Portugis yang mempergunakan kekerasan menculik gadis-gadis cantik untuk diperisteri.

Di antara mereka terdapat seorang pemimpin atau jagoan orang Portugis bernama Henrik. Henrik ini pun berhasil mempersunting seorang gadis pesisir utara yang cantik bernama Marsinah. Akan tetapi setelah Marsinah melahirkan seorang anak laki-laki, karena melihat anak itu tidak bule seperti dirinya, bahkan lebih mirip seorang bocah pribumi, Henrik lalu meninggalkan Marsinah dan anaknya begitu saja!

Marsinah yang menjanda merawat anaknya yang diberi nama Satyabrata (setia akan janji) untuk mengingatkan dirinya bahwa ia setia akan janjinya, tidak seperti ayah anak itu yang ingkar janji dan meninggalkannya.

Sebagai seorang anak laki-laki yang hanya dididik seorang ibu yang memanjakannya dan karena kurang terawasi sehingga dia berbaur dengan lingkungan yang tidak sehat, maka Satyabrata berangkat besar sebagai seorang anak yang manja dan nakal. Akan tetapi ketampanannya, ditambah mata yang kecoklatan dan hidung yang mancung itu membuat ketampanannya berbau orang barat, maka ketika dia berusia empat belas tahun seorang pemimpin bangsa Belanda, orang Kumpeni, tertarik dan suka kepadanya.

Orang Belanda ini bernama Van Huisen dan dengan perkenan Marsinah, Van Huisen lalu rnengambil Satyabrata sebagai anak angkat. Mulai saat itu kehidupan Satyabrata menjadi berubah. Dia mendapat pakaian indah, juga menerima pendidikan dan ternyata dia cerdas sehingga memperoleh banyak kemajuan. Dia pandai bahasa Belanda, pandai membaca menulis, bahkan dia berbakat sekali mempelajari ilmu kanuragan.

Dia lalu mempelajari cara bertinju dan berkelahi orang kulit putih, bahkan mempelajari cara mempergunakan senjata api. Di samping itu, Satyabrata juga belajar ilmu pencak silat dari para guru yang banyak terdapat di daerah pesisir, tepatnya di daerah Cirebon di mana ibunya tinggal. Bahkan dia pernah menjadi murid perguruan Dadali Sakti yang berada di Galuh.

Karena dimanjakan oleh ayah angkatnya, yaitu Van Huisen, apa lagi hidup berkecukupan, maka Satyabrata tumbuh menjadi seorang pemuda yang berwatak congkak. Tetapi harus diakui bahwa dia pandai menyimpan kecongkakannya, amat pandai membawa diri dengan sikapnya yang lembut.

Ketampanan serta sikap yang lembut ini menjatuhkan hati banyak wanita dan Satyabrata selalu menyambut wanita yang cantik dengan penuh gairah. Maka terkenallah pemuda ini sebagai seorang perayu yang menjatuhkan hati banyak wanita, bahkan dia tidak segan untuk merusak pagar-ayu, merayu wanita-wanita yang sudah bersuami.

Kelakuannya ini membuat dia banyak dimusuhi orang dan beberapa kali dia dikeroyok. Akan tetapi karena dia memiliki kedigdayaan dan selalu dilindungi Van Huisen, dia selalu dapat meloloskan diri.

Ketika Kumpeni Belanda membutuhkan banyak tenaga cakap untuk menjadi mata-mata, tibalah saatnya Van Huisen mempergunakan dan memanfaatkan pemuda yang diangkat sebagai anak itu. Satyabrata lalu diangkat menjadi mata-mata dan dia ditugaskan untuk memata-matai perguruan Jatikusumo yang dianggap sebagai musuh Kumpeni.

Tugasnya adalah memata-matai, melihat keadaan serta kekuatan Jatikusumo, kemudian berusaha agar perguruan itu dapat berbalik menentang Mataram dan suka bekerja sama dengan Kumpeni Belanda. Kalau usaha ini tidak berhasil, akan diusahakan mengacau dan memporak-porandakan Jatikusumo.

Setelah menjelaskan tentang tugas penting dan berat yang harus dijalankan, Willem Van Huisen memberi nasihat kepada anak angkatnya dalam sebuah kamar di gedungnya.

“Jan,” opsir Kumpeni ini memang telah memberi nama baru kepada Satyabrata, yaitu Jan Van Huisen sebagai anak angkatnya, “engkau ingatlah selalu bahwa walau pun engkau seorang pemuda Jawa, akan tetapi engkau berdarah orang kulit putih, orang Eropa. Juga engkau harus ingat bahwa engkau sudah kuangkat menjadi anakku, dan aku yang telah memberimu pendidikan dan segala macam kepandaian. Oleh karena itu sudah sepatutnya kalau engkau setia kepada Kumpeni Belanda. Ingat, bangsa Belanda ingin mendatangkan kemakmuran kepada rakyat Nusa Jawa, mendidik rakyat yang bodoh agar menjadi pintar. Engkau sendiri sudah merasakan betapa engkau yang tadinya bodoh kini menjadi pintar setelah kami didik. Karena ingin melindungi rakyat maka kami menentang Mataram yang murka, yang menaklukkan dan menindas semua kadipaten. Engkau mengerti, bukan?”

“Saya mengerti, vader (ayah).” kata Jan Van Huisen atau Satyabrata sambil mengangguk-angguk.

“Nah, kalau sudah mengerti benar, berangkatlah dan bawalah ini sebagai bekal.”

Dia menyerahkan satu kantung uang emas dan juga sebuah pistol. Satyabrata menerima barang-barang itu.

“Kalau tidak terpaksa sekali untuk melindungi diri dari ancaman bahaya yang tidak dapat kau hindarkan, jangan gunakan pistol itu. Kalau uang ini habis dan engkau kekurangan, engkau tahu kepada siapa dapat memintanya. Asal engkau perlihatkan uang dinar gambar sepasang singa itu, maka engkau pasti akan diterima dan dibantu oleh semua telik sandi yang telah kami sebar di mana-mana. Engkau sudah tahu siapa yang dapat kau hubungi di Pacitan dan Madiun.”

“Baik, vader. Saya berangkat sekarang,” kata Satyabrata sambil bangkit dari kursinya.

Willem Van Huisen menjabat tangannya dan pemuda itu lalu keluar dari ruangan itu. Dia segera memasuki kamarnya, menyimpan kantung uang emas dan pistol dalam buntalan pakaiannya. Karena dia akan melakukan perjalanan sebagai seorang pemuda Jawa biasa, maka dia membawa pakaian yang dibuntal dalam sarung.

Di ruangan depan seorang gadis Belanda menghadangnya. Gadis ini berusia sekitar tujuh belas tahun, cantik jelita dengan rambut keemasan dan bermata biru.

“Heii, Jan! Aku dengar engkau akan pergi, betulkah? Engkau akan pergi ke mana, Jan?” Dengan akrabnya gadis itu menggandeng tangan Satyabrata dan ditariknya pemuda itu, dibawanya duduk berhadapan dengannya di kursi yang berada di ruangan depan itu.

“Elsye, aku akan pergi, melakukan tugas yang diberikan oleh ayah kita,” kata Satyabrata sambil mengamati wajah gadis cantik itu.

Gairahnya selalu terangsang setiap kali berhadapan dengan Elsye yang demikian cantik manis dan manja, juga sikapnya yang demikian terbuka dan bebas berani merangkul dan menciumnya tanpa rikuh. Akan tetapi dia tahu diri. Dia tidak berani melangkah terlalu jauh terhadap gadis yang menganggapnya seperti kakak ini. Dia bisa mendapat celaka kalau berani menodai gadis yang dimaksudkan untuk menjadi adik angkatnya ini dan membatasi sekedar menikmati pelukan dan ciuman saja.

“Tapi, ke mana engkau akan pergi melakukan tugas, Jan?” Elsye bertanya manja sambil mengguncang-guncang tangan Satyabrata.

Satyabrata adalah seorang pemuda yang sudah mendapat pendidikan sebagai mata-mata dan dia memang amat cerdik. Ia tahu bahwa dalam melaksanakan tugasnya ini, dia harus merahasiakannya dari siapa pun, karena tugas ini adalah tugas rahasia. Membuka rahasia ini, biar terhadap Elsye sekali pun, merupakan bahaya besar.

“Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi, Elsye.”

“Akan tetapi, berapa lama engkau akan pergi meninggalkan aku, Jan?”

“Mudah-mudahan tidak terlampau lama, Elsye. Setelah tugasku selesai tentu aku segera pulang.”

Elsye bangkit berdiri dan merangkul leher pemuda itu. “Jan, aku akan sangat kehilangan kau!”

Satyabrata merasa senang sekali kalau dirangkul gadis manis itu. Jantungnya berdebar. “Aku pun akan sangat rindu kepadamu, Elsye. Nah, sekarang selamat tinggal. Ayah kita akan marah kalau aku berlama-lama menunda kepergianku.”

Satyabrata menciumnya. Akan tetapi tidak seperti biasa kalau dia mencium gadis ini tentu mencium kedua pipinya, sekali ini dia mencium bibirnya. Hal ini dilakukannya seolah tidak sengaja. Akan tetapi betapa kaget, heran dan juga senang hatinya ketika merasa betapa gadis itu membalas ciumannya dengan hangat dan penuh kemesraan!

Sampai beberapa lama mereka berciuman. Ketika akhirnya mereka saling merenggangkan muka, keduanya bermerah muka. Tetapi mata mereka bersinar-sinar aneh seolah mereka telah menemukan sesuatu yang membahagiakan.

“Jan, selamat jalan dan jangan lupakan aku, Jan!”

Satyabrata keluar dari gedung diantar Elsye hingga keluar serambi depan. Ia melanjutkan perjalanan setelah menoleh beberapa kali dan saling melambaikan tangan dengan Elsye. Di luar gedung telah menanti seorang pelayan yang sudah mempersiapkan seekor kuda yang besar. Dia melompat ke atas punggung kuda kemudian melarikan kuda itu keluar dari halaman.

Berbekal banyak uang dan kepandaian yang cukup tangguh, akhirnya pada suatu hari Satyabrata muncul di perguruan Jatikusumo. Dia berhenti di depan gapura perkampungan Jatikusuman sebagai seorang pemuda dusun yang berpakaian sederhana dan membawa buntalan sarung butut berisi pakaian. Tentu saja dia sudah menitipkan kuda berikut uang emasnya kepada kaki tangan Kumpeni yang berada di Pacitan, sedangkan pistolnya dia simpan di sebelah dalam bajunya, terikat kuat-kuat pada badannya.

Perguruan Jatikusumo sekarang merupakan sebuah perkumpulan yang teratur dan anak buahnya dilatih seperti pasukan prajurit. Siang malam di pintu gapura perkampungan itu selalu terdapat dua orang yang menjaga secara bergiliran. Melihat seorang pemuda yang tak dikenal berdiri di depan pintu perkampungan, tentu saja dua orang penjaga itu menjadi curiga dan keduanya sudah keluar dari gardu penjagaan menghadapi Satyabrata.

“Ki-sanak, engkau siapakah dan ada keperluan apa maka engkau berdiri di depan pintu perkampungan kami?” tanya seorang di antara mereka.

Satyabrata tersenyum dan seperti biasanya, senyumnya yang manis dan ramah itu terasa rnenghangatkan hati kedua orang murid Jatikusumo itu. Dia membungkuk dengan sopan dan menjawab, “Maafkan saya, akan tetapi apakah benar di sini perguruan Jatikusumo?”

Dua orang murid Jatikusumo itu saling pandang dan mereka melirik ke arah papan yang tergantung di gapura itu. Pada papan itu tertulis dengan huruf besar dan jelas ‘Perguruan Jatikusumo’, tapi orang ini masih bertanya. Ini membuktikan bahwa pendatang ini adalah seorang dusun yang bodoh dan buta huruf.

“Benar sekali. Di sini perguruan Jatikusumo. Andika siapa dan ada keperluan apa?”

“Nama saya Satya,” Satyabrata memperpendek namanya agar terdengar lebih sederhana karena dia tahu bahwa nama lengkapnya terlalu gagah dan indah bagi seorang pemuda dusun. “Dan kedatangan saya ini ingin menghadap ketua atau guru perguruan Jatikusumo. Saya harap andika berdua sudi membantu saya untuk menghadapkan saya kepada guru andika.”

“Kami sudah tidak mempunyai guru di sini. Guru tua kami sudah meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Kini hanya ada ketua atau pemimpin kami.”

“Kalau begitu, saya ingin menghadap pemimpin andika.”

“Nanti dulu, ki-sanak. Orang baru boleh menghadap ketua kami hanya kalau ada urusan penting. Jika urusan kecil cukup diselesaikan oleh kami para murid atau anggota. Karena itu beri-tahukan dulu apa kepentinganmu agar kami pertimbangkan apakah engkau pantas menghadap ketua atau cukup berurusan dengan kami saja.”

“Saya kira saya harus menghadap ketua sendiri karena saya bermaksud untuk minta agar diterima menjadi seorang murid Jatikusumo,” kata Satyabrata.

“Ah, begitukah? Kalau begitu tentu saja engkau harus menghadap pimpinan kami karena hanya ketua yang dapat memutuskan apakah engkau dapat diterima atau tidak. Mari ikut aku, Satya,” kata orang pertama.

Ia lalu mengajak Satya memasuki perkampungan sedangkan orang kedua tetap berjaga di situ.

Sambil berjalan di sisi penjaga tadi, Satyabrata memperhatikan keadaan perkampungan itu. Rumah-rumah yang sederhana namun cukup bagus berada di perkampungan itu. Juga terdapat wanita dan kanak-kanak yang kesemuanya berpakaian cukup pantas. Agaknya keadaan para murid atau anggota Jatikusumo cukup baik.

Dia teringat akan ibunya yang pada malam keberangkatannya itu dia pamiti. Ibunya tinggal di rumah kecil sederhana bersama seorang wanita tua yang membantu ibunya. Ketika dia berpamit dan mengatakan bahwa dia hendak pergi melaksanakan tugas yang diberikan oleh ayah angkatnya, tanpa memberi-tahukan apa tugas itu dan ke mana dia akan pergi, ibunya memberi nasihat kepadanya.

“Anakku Satyabrata, ingatlah selalu bahwa meski pun ayahmu adalah seorang kulit putih, namun ibumu ini seorang wanita Jawa dan engkau dilahirkan pula di Nusa Jawa. Karena itu engkau harus selalu membela nusa dan bangsa Jawa.”

Dia tidak menentang nasihat ibunya itu. Bukankah dia kini sedang bekerja untuk Kumpeni yang tengah berusaha untuk memakmurkan bangsanya dengan cara menentang Mataram yang angkara murka?

Dia merasa tegang juga ketika akhirnya dia dihadapkan kepada suami isteri yang menjadi pimpinan perguruan Jatikusumo. Suami isteri yang berpakaian sederhana itu begitu gagah dan berwibawa.

Sebelumnya dia telah mendapatkan banyak keterangan tentang pimpinan Jatikusumo. Dia tahu bahwa ketua Jatikusumo bernama Ki Cangak Awu sedangkan isterinya bernama Nyi Pusposari. Dan sekarang kedua orang itu telah berhadapan dengan dia. Dia memandang mereka dan merasa kagum.

Ki Cangak Awu yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun itu bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh kejantanan, sepasang matanya bersinar tajam menatap penuh selidik. Di sampingnya duduk Pusposari yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, hitam manis dan pandang matanya lembut.

Penjaga itu membungkuk dan memberi hormat dengan sembah, lalu melapor, “Ki raka, inilah si Satya yang ingin menghadap.”

Ki Cangak Awu memberi isyarat kepada anggotanya itu untuk mundur, kemudian kepada Satyabrata dia berkata dengan suara tenang dan besar seperti suara Sang Harya Sena, “Duduklah, orang muda!”

“Terima kasih, paman,” kata Satyabrata sambil duduk bersila di atas lantai yang ditilami tikar pandan.

Dia melirik dan melihat betapa wajah suami isteri itu tampak tenang dan biasa saja yang berarti bahwa sebutan paman darinya itu tidak menyinggung perasaan mereka. Sebutan yang digunakan murid Jatikusumo tadi, yang usianya sudah tiga puluh lebih, yaitu sebutan Ki-raka terhadap pemimpinnya menunjukkan bahwa ketua Jatikusumo ini memang orang yang sederhana.

“Menurut laporan penjaga tadi, andika bernama Satya dan ingin menjadi murid Perguruan Jatikusumo. Dari manakah andika berasal?” tanya Ki Cangak Awu.

“Saya berasal dari Kabupaten Kendal, paman,” kata Satyabrata, sengaja mengaku dari Kendal yang sudah dia pelajari logat bicaranya dan dia sudah mempelajari pula keadaan kabupaten itu.

Cangak Awu mengangguk-angguk. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Kendal adalah Ki Baurekso yang juga menjadi seorang senopati Mataram yang setia. “Kenapa andika ingin menjadi murid Jatikusumno? Apa yang kau ketahui tentang Jatikusumo?”

“Saya hanya mengetahui bahwa Perguruan Jatikusumo dipimpin oleh paman Ki Cangak Awu dan bibi Pusposari yang sakti mandraguna dan bahwa Jatikusumo mengajarkan ilmu-ilmu pencak silat dan aji kanuragan yang ampuh kepada para muridnya. Karena itu jauh-jauh saya datang ke sini untuk mohon diterima menjadi murid, paman,” kata Satyabrata dengan suara lembut serta sikap hormat dan manis budi.

Cangak Awu saling pandang dengan Pusposari. Mereka berdua tertarik oleh gaya bicara dan sikap pemuda itu.

“Akan tetapi tidak mudah untuk menjadi murid dan anggota keluarga besar Jatikusumo, Satya. Berat syarat-syaratnya!” kata Pusposari sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam penuh selidik.

“Saya siap menerima semua syarat dan sanggup melaksanakannya, bibi.”

“Satya, pernahkah engkau mempelajari aji kedigdayaan?” tiba-tiba Cangak Awu bertanya.

“Belum, paman.”

Tiba-tiba saja Cangak Awu mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah pemuda itu. Serangkum angin pukulan menyambar ke arah Satyabrata.

Pemuda ini diam-diam terkejut, akan tetapi dia sangat cerdik. Dia merasa yakin bahwa seorang ketua perguruan seperti Cangak Awu tidak mungkin akan mencelakai orang yang tidak diketahui kesalahannya, maka dia pun menerima saja ketika diserang angin pukulan itu. Tubuhnya terjengkang dan bergulingan ke belakang. Akan tetapi dia tidak terluka dan dia tahu bahwa ketua itu sengaja mengujinya untuk melihat apakah benar dia tidak pernah mempelajari ilmu bela diri. Dia pun pura-pura terkejut dan ketakutan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)