SERULING GADING : JILID-16


Cangak Awu tertawa lalu menggapai, “Majulah dan duduk di tempatmu tadi, Satya. Aku hanya ingin melihat apakah benar engkau tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Nah, sekarang tentang syarat-syarat itu. Kalau engkau sanggup melaksanakan syarat-syarat itu, engkau dapat kami terima menjadi murid Jatikusumo.”

Satyabrata memperlihatkan muka girang. “Apakah syarat-syarat itu, paman?”

“Ada dua syarat utama yang harus dilaksanakan setiap murid Jatikusumo. Pertama, dia harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, Dan kedua, dia harus selalu membela Kerajaan Mataram. Kalau sebagai murid Jatikusumo kelak engkau ternyata melanggar kedua syarat ini, engkau akan menerima hukuman mati oleh pimpinan Jatukusumo. Nah, sanggupkah engkau menerima dan melaksanakan dua syarat itu?”

“Saya terima dan saya sanggup melaksanakannya, kanjeng paman!” Dengan suara tegas Satyabrata menjawab.

Demikianlah, Satyabrata diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia diperbolehkan mengikuti latihan pencak silat dari perguruan itu, tentu saja sebagai permulaan hanya mempelajari dan melatih dasar-dasar gerakan ilmu pencak silat Jatikusumo. Semua berjalan dengan baik dan lancar karena Satyabrata pandai membawa diri, rajin berlatih, juga rajin bekerja di sawah ladang seperti para murid lain.....

********************

Di belakang perkampungan Jatikusumo terdapat perbukitan dan di lereng sebuah bukit ada sebuah sumur tua. Bukit kecil dan sumur tua ini merupakan daerah yang dianggap keramat bahkan menjadi larangan bagi para murid Jatikusumo untuk mengunjunginya.

Karena tidak ada orang yang berani datang ke situ maka daerah bukit kecil dengan sumur tuanya itu terkenal angker dan menakutkan. Bahkan terdapat desas-desus di antara para murid Jatikusumo bahwa ada roh-roh penasaran berkeliaran di perbukitan itu, berasal dari sumur tua dan roh-roh penasaran ini suka mengganggu orang.

Satyabrata tertarik sekali mendengar tentang sumur tua di bukit belakang perkampungan itu. Sesudah tinggal di perkampungan Jatikusumo selama tiga bulan dia sudah bisa akrab dengan para murid lainnya karena dia pandai mengambil hati dan pandai membawa diri. Semua orang, termasuk Cangak Awu dan Pusposari, menganggap dia seorang pemuda yang rajin, ramah dan menyenangkan.

Maka mulailah Satyabrata memancing-mancing percakapan dengan murid-murid tertua, mengarahkan percakapan kepada gerakan yang dilakukan Mataram untuk menundukkan semua kadipaten dl Jawa Timur, termasuk Madiun dan Pacitan sendiri. Dia memancing dengan halus dan tidak kentara untuk melihat apakah para murid yang menjadi kawula Kadipaten Madiun dan Pacitan itu rela melihat daerah mereka kini dikuasai Mataram.

Dengan percakapan yang nadanya miring ini perlahan-lahan Satyabrata berhasil mengusik hati para murid yang sebagian besar berasal dari daerah-daerah di Jawa Timur dan yang daerahnya sudah dikuasai Mataram. Dia berhasil menimbulkan kesan bahwa Mataram bersikap angkara murka dengan menaklukkan semua daerah kadipaten itu.

Melihat keadaan bukit kecil dengan sumur tua yang dianggap angker itu demikian sepi tak pernah dijenguk manusia, Satyabrata segera memanfaatkannya. Diam-diam dia sering kali mendaki bukit itu dan melakukan penyelidikan. Sumur tua itu tidak nampak dasarnya dan memang menyeramkan, seolah ada hawa yang aneh keluar dari lubang sumur.

Satyabrata menganggap tempat ini benar-benar baik sebagai tempat persembunyian atau sebagai pusat pertemuan. Ia sudah mengambil uang emas dan pistolnya dan menyimpan benda-benda ini di sebuah goa kecil yang terdapat di dinding batu gunung dekat sumur kecil tua itu. Kalau kelak dia berhasil menghasut para murid Jatikusumo, tempat itu baik sekali untuk dipergunakan sebagai tempat mengadakan pertemuan, pikirnya.

Karena tertarik, pada suatu siang ketika dia mengaso dari bekerja di ladang membantu murid lainnya yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bernama Sakimun, Satyabrata mempergunakan kesempatan mengaso itu untuk bertanya kepada murid yang sudah lama menjadi anggota keluarga besar Jatikusumo mengenai sumur tua yang dikeramatkan itu. Mereka duduk di bawah pohon yang teduh, yang melindungi mereka dari sinar matahari yang panas menyengat.

Ada peraturan di perguruan Jatikusumo bagi para murid untuk saling menyebut ‘raka’ kepada yang lebih tua dan ‘rayi’ kepada yang lebih muda. Bahkan Cangak Awu sendiri juga mempergunakan aturan itu karena dia tidak mau dianggap sebagai guru.

“Ki-raka Sakimun, sebetulnya ada apakah dengan sumur tua di bukit belakang itu. Kata beberapa orang raka, di sana pernah terjadi hal-hal yang hebat dan mengerikan. Akan tetapi mereka pun tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi karena hal itu sudah berlalu selama bertahun-tahun. Andika yang lama menjadi murid Jatikusumo, tentu mengetahui. Sudikah andika menceritakannya kepadaku?”

Sakimun menghela napas panjang. “Sebetulnya kisah itu merupakan rahasia Jatikusumo yang tidak pantas terdengar orang lain karena hal itu menjadi noda hitam bagi Jatikusumo. Akan tetapi karena andika kini telah menjadi anggota keluarga besar Jatikusumo, baiklah akan kuceritakan secara singkat saja.”

“Ceritakanlah, Ki-raka, dan sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,” kata Satyabrata.

“Rayi Satya, berpuluh yang lampau, yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik. Pengangkatannya itu menimbulkan rasa iri di dalam hati saudara seperguruannya yang bernama Resi Ekomolo. Resi Ekomolo yang jahat ini memperkosa isteri Eyang Buyut Guru Resi Limut Manik sehingga wanita itu membunuh diri. Lalu terjadi perkelahian antara kedua orang tokoh besar dan datuk Jatikusumo itu. Akhirnya Resi Ekomolo dapat dikalahkan, kedua kakinya lumpuh dan dia dibuang ke dalam sumur tua itu.”

“Ah, dia dibuang hidup-hidup ke dalam sumur itu, Ki-raka?”

“Ya, akan tetapi dia tidak mati. Aku masih ingat, dahulu sering kali di waktu malam hari terdengar teriakan melolong-lolong dari dalam sumur itu. Mendiang Bapa Guru Bhagawan Sindusakti selalu mengirimkan makanan, memasukkannya ke dalam sumur itu. Kemudian, sekitar sepuluh tahun lebih yang lalu, kembali terjadi kegemparan ketika seorang murid Jatikusumo, yaitu adik seperguruan Kiraka Cangak Awu yang bernama Priyadi, tahu-tahu telah dapat mengeluarkan Resi Ekomolo dari dalam sumur dan Priyadi ini menjadi sudah muridnya.”

“Wah, tentu dia menjadi sakti mandraguna, Ki-raka!” seru Satyabrata tertarik sekali.

“Demikianlah, rayi Satya. Resi Ekomolo memang sakti mandraguna dan semua aji kesaktiannya dia turunkan kepada Priyadi itulah. Setelah Priyadi menjadi sakti madraguna, dia berkhianat, membantu Kadipaten Wirosobo dan menentang Mataram. Tentu saja para satria yang membela Mataram menentangnya dan terjadi pertempuran hebat. Akan tetapi akhirnya Priyadi berhasil dikalahkan. Sementara itu Priyadi sudah melemparkan kembali gurunya, yaitu Resi Ekomolo ke dalam sumur tua. Dan ketika dia bertanding dengan para satria, dia melarikan diri ke bukit di belakang itu, tetapi kemudian dia terkena pukulan dan terjatuh ke dalam sumur tua. Hanya terdengar jeritan mengerikan bercampur suara tawa yang menyeramkan seperti iblis, lalu sunyi. Agaknya Priyadi yang pengkhianat dan Resi Ekomolo yang jahat itu mati dalam sumur tua dan roh mereka menjadi roh penasaran yang menghantui sumur itu.”

Satyabrata terkesan sekali dengan cerita yang hebat itu. “Akan tetapi, Ki-raka, mengapa tempat itu menjadi tempat terlarang untuk dikunjungi?”

“Tempat itu menyimpan rahasia yang menodai nama besar Jatikusumo, maka sebaiknya disimpan dan dijauhi. Nah, mari kita lanjutkan pekerjaan kita!”

Mereka kembali bekerja, akan tetapi cerita itu selalu terbayang dalam benak Satyabrata. Pada suatu siang, ketika dia mendapatkan kesempatan, dia mendaki bukit yang sunyi itu kemudian menjenguk ke dalam sumur. Gelap, tidak tampak apa-apa dari atas. Akan tetapi harus diakuinya bahwa ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah ada hawa yang menyeramkan keluar dari lubang sumur itu.

Satyabrata adalah seorang pemuda pemberani dan pendidikan dari ayah angkatnya, Willem Van Huisen membuat dia tidak gentar menghadapi segala macam ketahyulan. Dia memang sudah memiliki niat yang teguh untuk menyelidiki sumur tua yang mengandung cerita yang luar biasa dan menyeramkan itu.

Karena itu dia sudah mempersiapkan diri ketika pada siang hari itu dia mendaki bukit dan mendatangi sumur itu. Dia sudah menyiapkan segulung tali, bahkan telah mempersiapkan sebatang obor. Karena yakin bahwa di tempat larangan itu tidak akan ada orang datang, dia lalu mengikatkan ujung tali ke sebatang pohon waru yang tumbuh di dekat sumur, kemudian tanpa ragu dia merayap turun melalui tali yang dijulurkan ke dalam sumur.

Kakinya menginjak dasar sumur yang kering, tapi keadaan di situ remang-remang karena hanya menerima cahaya matahari yang menyorot ke dalam sumur. Dia meraba-raba dan mendapat kenyataan bahwa dasar sumur itu menembus ke sebuah terowongan yang cukup besar, lebarnya tidak kurang dari satu meter dan tinggi dua meter.

Namun di depan sana remang-remang, maka dia lalu menyalakan obor yang dibawanya turun untuk menerangi terowongan. Kemudian dengan tabah dia memasuki terowongan. Dia tiba di sebuah ruangan setelah berjalan agak jauh, sebuah ruangan yang luas seperti sebuah kamar. Cahaya obor menerangi ruangan itu dan dia melihat pemandangan yang membuatnya bergidik karena amat menyeramkan.

Di atas batu yang rata dan lebar itu terdapat dua kerangka manusia. Kerangka yang berada di atas menggunakan kedua tangan mencekik leher kerangka yang berada di bawah, dan kerangka yang berada di bawah itu memegang sebatang keris yang menusuk masuk di antara tulang iga kerangka yang berada di atas. Mudah saja membayangkan keadaan dua kerangka itu. Tentu dahulu kedua orang itu saling membunuh. Yang satu mencekik yang lain dan orang yang dicekik itu menusukkan sebatang keris ke dada orang pertama. Agaknya dengan cara ini keduanya tewas.

Satyabrata teringat akan kisah yang diceritakan Sakimun kepadanya, tentang Priyadi dan Resi Ekomolo. Dia dapat menduga bahwa orang yang mencekik itu tentu Resi Ekomolo dan yang menusukkan keris itu tentu Priyadi. Keris itu mencorong ketika tertimpa sinar obor dan Satyabrata tertarik sekali.

Dia mendekati dua kerangka itu dan menjulurkan tangan untuk mengambil keris itu. Dia memegang gagang keris dan mencabut. Akan tetapi ternyata keris itu terjepit di antara tulang iga dan sukar dicabut. Satyabrata mengerahkan tenaganya dan menarik kuat-kuat. Keris itu dapat tercabut, akan tetapi dua kerangka itu runtuh dengan menimbulkan suara berkelotakan! Satysabrata melompat ke belakang agar jangan tertimpa reruntuhan tulang.

Dia mengamati keris di tangan kanannya. Gagang keris itu berbentuk sebuah kepala naga dan mata keris itu menjadi lidahnya. Keris itu seperti lidah naga, tidak mempunyai lekuk tetapi pamornya mencorong dan mudah diduga bahwa keris itu merupakan sebatang keris pusaka yang ampuh!

Dia menemukan warangka (sarung) keris itu di antara reruntuhan tulang, dan diambilnya warangka yang masih baik itu kemudian keris dimasukkan ke dalam warangka. Sesudah itu, dengan obor di tangannya dia memeriksa dinding ruangan itu.

Ternyata di situ terdapat banyak coretan gambar berbentuk manusia dan ada pula tulisan huruf-huruf yang jelas. Dia merasa girang sekali. Ternyata tulisan dan gambar-gambar itu merupakan pelajaran ilmu pencak silat! Gambar-gambar itu merupakan gerakan-gerakan dari jurus-jurus ilmu silat Aji Margopati! Dan tulisan-tulisan ilu mengajarkan berbagai aji kesaktian yang hebat, yang disebut Aji Jerit Nogo dan Aji Tunggang Maruto.

Membaca sepintas saja Satyabrata maklum bahwa Aji Jerit Nogo adalah sebuah aji yang menggunakan tenaga sakti iewat suara untuk melumpuhkan lawan, ada pun Aji Tunggang Maruto adaiah sebuah aji untuk meringankan tubuh dan berlari cepat.

Akan tetapi tiga ilmu ini cukup rumit, perlu penelitian mendalam untuk mempelajarinya dan melatihnya, dan di sudut kiri terdapat tulisan yang mengajarkan cara bersamadhi untuk menghimpun tenaga sakti yang aneh, karena dilakukan dengan jungkir balik, kepala di bawah kaki di atas! Satyabrata tertarik sekali dan timbul keinginannya untuk mempelajari semua ilmu itu. Dia menduga bahwa dulu ilmu itu tentu sengaja dibuat oleh Resi Ekomolo.

Tiba-tiba obor di tangannya padam. Gelap sekali di situ. Karena minyak obor itu agaknya sudah habis dan tidak dapat dinyalakan lagi, Satyabrata lalu duduk bersila di lantai dan berpikir, bagaimana caranya untuk dapat mempelajari semua ilmu itu.

Sampai lama dia duduk melamun dan dia merasa betapa keadaan tidak segelap tadi. Kini menjadi remang-remang dan bahkan sesudah matanya biasa dengan keremangan itu, dia dapat melihat gambar dan tulisan di dinding dengan baik, juga dapat membaca semua tulisan itu. Kiranya ruangan itu mendapat penerangan dari atas. Ada retakan memanjang di langit-langit batu itu dan sinar matahari dapat masuk melalui celah-celah retakan.

Pada waktu siang, tempat ini tidaklah begitu gelap, pikirnya. Tentu saja kalau mata sudah terbiasa dengan keremangan itu.

Pemuda yang cerdik itu lalu membuat rencana. Dia harus dapat mempelajari semua ilmu itu dengan sembunyi. Tidak akan ada orang mengetahui kalau dia masuk ke sumur ini. Akan tetapi kalau dia masuk dengan tali, terdapat kemungkinan ada orang melihat tali itu kalau kebetulan ada yang mendaki bukit, walau pun kemungkinan itu sedikit sekali. Maka dia harus dapat masuk dan keluar dari sumur itu tanpa tali. Tidak sukar untuk masuk ke sumur. Dia dapat melompat turun karena dasarnya terdiri dari tanah, tidak mengandung air. Akan tetapi untuk naik tanpa tali itulah yang sukar.

Dia lalu mendapat gagasan yang baik. Dia cepat bangkit berdiri, menghunus keris yang ditemukan tadi. Ketika dia menusukkan keris pada dinding sumur, tepat di dasar sumur, senjata runcing itu dapat menembus tanah padas yang keras dengan amat mudahnya! Ternyata benar dugaannya. Keris itu merupakan senjata yang ampuh sekali.

Timbul kegembiraannya dan mulailah dia menusuk dan mencongkel dinding padas dari bawah ke atas dengan bergantungan pada tali yang diikatkan pada batang pohon di atas. Dia membuat semacam anak tangga pada dinding padas itu, untuk dipergunakan sebagai panjatan Dengan adanya anak tangga itu, tanpa tali pun dia akan dapat naik turun sumur.

Satyabrata lalu merayap naik melalui lubang-lubang yang dibuatnya pada dinding padas. Dengan mengaitkan jari tangannya dan menginjakkan kakinya pada lubang-lubang itu, dia merayap naik bagaikan seekor kera. Tentu saja untuk merayap seperti itu membutuhkan kekuatan dan kecekatan dan ini dimiliki oleh Satyabrata yang sejak kecil sudah melatih diri dengan olah kanuragan. Setelah tiba di luar sumur, hatinya merasa lega karena tidak ada orang di bukit itu, seperti biasanya.

Tiba-tiba dia teringat bahwa keris itu masih ada padanya, di dalam warangka dan terselip di ikat pinggangnya. Dia teringat bahwa keris itu akan mendatangkan kecurigaan orang yang melihatnya. Tentu akan timbul pertanyaan dari mana dia memperolehnya dan lebih berbahaya lagi apa bila ada orang di Jatikusumo yang mengenal keris itu. Dia menduga bahwa keris itu tentulah milik orang yang namanya Priyadi, murid Jatikusumo yang berkhianat itu.

Dugaannya ini memang tidak keliru. Keris itu adalah keris pusaka Kyai Ilat Nogo (Lidah Naga) yang dulu diberikan oleh Adipati Wirosobo kepada Priyadi sebagai hadiah karena pemuda itu membantu gerakan Wirosobo yang menentang Mataram.

Mengingat akan bahayanya kalau orang melihat keris itu ada padanya, Satyabrata lalu melempar keris itu kembali ke dalam sumur. Biarlah keris itu berada di dasar sumur sebab sewaktu-waktu dia bisa saja mengambilnya, pikirnya. Dia lalu menarik tali yang tergantung ke dalam sumur, menggulungnya dan menyingkirkannya dari itu.

Demikianlah, mulai hari itu setiap mendapat kesempatan Satyabrata tentu memasuki sumur tua itu. Bahkan dia juga membawa uang emasnya dan menyimpannya di dalam sumur tua. Hanya pistolnya yang masih disimpan dan disembunyikan di antara batu-batu bukit itu, dipersiapkan kalau-kalau dia membutuhkannya.

Setiap kali memasuki sumur, dia mempelajari tulisan dan gambar-gambar itu. Karena tahu bahwa yang menjadi dasar dari semua aji kanuragan adalah tenaga sakti, tanpa dorongan tenaga sakti maka semua aji itu tidak ada gunanya, maka pertama-tama dia mempelajari cara bersamadhi jungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti.

Dengan cara bersamadhi jungkir balik seperti itu dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan oleh tulisan di dinding, Satyabrata mulai dapat menghimpun tenaga sakti secara aneh sekali. Dia dapat membangkitkan tenaga dalam yang muncul dari bawah pusarnya. Kemudian dengan otak yang dialiri banyak darah itu pikirannya menjadi kuat dan dia dapat menggunakan pikirannya untuk menguasai tenaga dalam yang berputar-putar itu sehingga mampu mengalirkan tenaga dalam ini ke mana pun dia kehendaki.

Akan tetapi tanpa disadarinya, jalan darah ke dalam otaknya yang berlebihan dan mengalir secara tidak wajar ini juga mendatangkan akibat lain, sedikit demi sedikit merusak jaringan syarafnya dan mendatangkan kelainan pada pikirannya. Di dalam benaknya sering muncul bayangan-bayangan aneh yang membuat dia kadang ingin sekali tertawa karena geli dan merasa lucu, dan ada kalanya membuat dia ingin sekali menangis karena sedih dan rasa duka.

Bagaimana pun juga hatinya merasa sangat gembira karena sesudah berlatih beberapa bulan lamanya, dia merasa betapa tenaganya banyak bertambah kuat dan kini dia dapat memanjat atau merayap naik turun sumur itu dengan mudah sekali dan dengan kecepatan melebihi seekor kera.

Sesudah ada banyak murid Jatikusumo mulai terusik pikirannya oleh percakapan mereka dengan Satyabrata yang membangkitkan rasa setia pada daerah mereka dan menganggap bahwa daerah mereka dikuasai dan ‘dijajah’ oleh Mataram, kini Satyabrata mulai dengan bujukannya tingkat kedua dengan memompakan anggapan dalam pikiran mereka bahwa Kumpeni Belanda bermaksud baik terhadap bangsa di Nusa Jawa.

Mereka datang untuk memberi pendidikan dan untuk mendatangkan kemakmuran dengan berdagang, membeli rempah-rempah dan hasil bumi! Juga dia mulai menceritakan tentang kehebatan dan kemajuan bangsa Belanda, tentang kehebatan bedil dan meriam mereka, tentang harta benda dan barang-barang indah mereka, tentang kapal-kapal mereka yang besar, kuat dan mewah. Pendeknya dia melempar segala keburukan kepada Mataram dan segala pujian kebaikan kepada Kumpeni Belanda!

Akan tetapi di antara para pendengar itu terdapat Sakimun yang merasa curiga. Bukan saja dia merasa aneh sekali bila mendengar nada bicara Satyabrata memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda, bahkan dia juga melihat sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu. Kadang kala dia melihat sinar mata pemuda itu mencorong dan mengerikan!

Mulailah Sakimun merasa curiga dan diam-diam dia mulai memperhatikan murid baru itu. Kecurigaan serta keheranannya bertambah ketika dia melihat pemuda itu apa bila sedang berada seorang diri, suka tertawa-tawa sendiri seperti orang yang miring otaknya!

Pada suatu siang Sakimun melihat Satyabrata mendaki bukit larangan itu. Tentu saja dia merasa terkejut dan heran bukan main. Ki Cangak Awu sendiri mengeluarkan larangan keras bagi para murid untuk mendaki bukit itu dan selama ini tidak ada seorang pun murid yang berani melanggar larangan. Akan tetapi dia melihat murid baru yang mencurigakan itu mendaki bukit itu seorang diri! Sungguh amat mencurigakan sekali!

Karena itu, bergegas dia pergi menghadap pemimpin perguruan Jatikusumo. Pada waktu itu Cangak Awu sedang berada di ruangan tengah bersama Pusposari. Kebetulan sekali mereka memang sedang rnembicarakan murid baru itu, Satya yang tampak sebagai murid yang menyenangkan.

Pusposari melaporkan kepada suaminya bahwa Satya itu rajin sekali, tanpa diperintah suka membersihkan rumah dan pekarangan, membantu semua pekerja. Cangak Awu juga bercerita kepada isterinya betapa pemuda itu selain rajin membantu pekerjaan di sawah ladang, juga amat tekun berlatih dasar-dasar ilmu pencak silat Jatikusumo dan tampaknya memiliki bakat yang baik sekali di samping tenaga yang besar.

“Kelak dia akan menjadi seorang murid yang tangguh dan dapat diandalkan,” antara lain Cangak Awu memuji.

Kedatangan Sakimun yang mendadak menghadap mereka itu sangat mengejutkan suami isteri pimpinan Jatikusumo itu. Apa lagi mereka dapat melihat betapa wajah dan pandang mata Sakimun membayangkan kegelisahan.

“Raka Sakimun, kepentingan apakah yang andika bawa maka siang hari begini andika menemui kami?” tanya Ki Cangak Awu.

Biar pun dia dan isterinya diangkat menjadi pimpinan, namun pendekar ini selalu bersikap ramah dan hormat kepada orang yang lebih tua dalam perguruan itu. Hal ini membuktikan bahwa para murid Jatikusumo bukan hanya mendapatkan pendidikan olah kanuragan, akan tetapi juga pendidikan tata susila yang baik.

“Rayi Cangak Awu, ada kejadian yang amat aneh dan juga amat mencurigakan terjadi dalam perguruan kita, maka saya cepat datang menghadap untuk melaporkan kejadian itu.”

“Ada apakah, Ki-raka? Ceritakanlah!” kata Cangak Awu pendek dan tegas, seperti yang telah menjadi wataknya.

“Saya hendak melaporkan tentang rayi Satya, murid baru itu.”

“Raka Sakimun, ada apa dengan Satya? Bukankah dia seorang murid dan pembantu yang amat baik? Cepat ceritakan, ada apakah dengan dia?” tanya Pusposari.

“Akhir-akhir ini, dalam percakapannya dengan para murid lain, kata-kata rayi Satya selalu bernada menyalahkan Mataram yang dikatakannya menjajah kadipaten-kadipaten daerah lain, bahkan bernada membujuk para murid supaya membela daerah masing-masing dari penindasan Mataram.”

“Ahh, benarkah itu, Raka Sakimun?” teriak Cangak Awu kaget.

“Benar, saya mendengarnya sendiri. Di samping memburuk-burukkan Mataram, dia juga memuji-muji Kumpeni Belanda yang dikatakannya datang membawa kemakmuran kepada rakyat dan membantu rakyat untuk menentang Sultan Agung yang dikatakannya angkara murka.”

“Jahanam keparat!” Ki Cangak Awu bangkit dari kursinya dan berdiri dengan marah sambil mengepal tangannya.

“Tenang dan bersabarlah, rakanda!” kata Pusposari yang juga bangkit dan menyentuh lengan suaminya. “Biarkan Raka Sakimun melanjutkan laporannya.”

“Apa lagi yang perlu dilaporkan? Semua ini sudah cukup!” kata Cangak Awu dengan kasar.

“Masih ada, rayi. Ada yang lebih aneh lagi. Tadi saya melihat rayi Satya mendaki bukit larangan. Karena tidak berani mengikutinya mendaki bukit larangan, maka saya langsung menghadap rayi untuk memberi laporan.”

“Cukup! Mari kita pergi, diajeng! Kita harus mengurus bocah itu! Andika juga ikut, Raka Sakimun, untuk menjadi saksi!”

“Akan tetapi, rayi. Saya... tidak berani mendaki bukit...”

“Tidak apa. Sekali ini, bersama kami andika boleh mendaki bukit larangan itu. Mari kita cepat mengejarnya ke sana!” kata Cangak Awu.

Mereka bertiga lalu bergegas menuju ke bagian belakang perkampungan Jatikusuman dan mendaki bukit larangan. Beberapa orang anggota Jatikusumo yang melihat ini memandang dengan bengong, akan tetapi mereka tak berani bertanya. Mereka hanya menduga bahwa pasti terjadi hal yang hebat di bukit keramat itu sehingga suami isteri pimpinan mereka bersama Sakimun mendaki bukit itu dan tampak tergesa-gesa.

Dengan mengerahkan tenaga, tiga orang itu berlari cepat mendaki bukit dan tidak lama kemudian mereka sudah berdiri dekat sumur tua, melongok ke dalam sumur. Akan tetapi keadaan di sumur itu biasa-biasa saja, masih sunyi dan ketika melongok ke bawah sumur, masih gelap dan tidak kelihatan apa-apa. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka bertiga mengamati keadaan sekeliling, akan tetapi sunyi saja.

“Di rnana dia?” tanya Cangak Awu.

“Tidak ada orang di sini,” kata Pusposari.

“Akan tetapi saya melihat sendiri dia mendaki bukit ini tadi. Dia pasti berada di sini, mungkin lebih ke atas sana,” kata Sakimun penasaran.

“Mari kita cari ke puncak bukit,” kata Cangak Awu.

Mereka bertiga lalu berjalan cepat mendaki ke puncak.

Sesudah tiga orang itu pergi, Satyabrato merayap naik keluar dari sumur. Tadi dia sudah mendengar kedatangan mereka, bahkan mendengarkan ucapan tiga orang itu. Dia keluar dari sumur dan cepat bersembunyi di antara batu-batu tidak jauh dari sumur dan untuk berjaga diri, dia mengambil pistolnya. Dia tidak berani turun bukit karena kalau hal itu dia lakukan mungkin saja akan tampak dari atas.

Dari percakapan mereka bertiga tadi, dia hanya tahu bahwa Sakimun melihat dia mendaki bukit lalu melaporkan kepada suami isteri pimpinan itu yang kemudian mengejarnya. Tentu mereka belum mengetahui mengenai semua rahasianya. Kesalahannya hanya melanggar pantangan mendaki bukit itu. Satyabrata menanti dengan jantung berdebar, pistolnya siap diselipkan di ikat pinggang, tertutup bajunya.

Setelah tiba di puncak, tiga orang itu mengamati keadaan sekeliling. Ternyata di situ tidak tampak bayangan seorang pun di seluruh permukaan bukit yang dikeramatkan itu.

“Bagaimana ini, Raka Sakimun? Dia benar-benar tidak ada di bukit ini,” tegur Ki Cangak Awu.

“Tentu dia sudah turun lebih dahulu. Sebaiknya sekarang juga kita menemuinya di dalam perkampungan lalu kita desak agar ia mengakui semua perbuatannya. Saya yang menjadi saksi, dan saya kira masih banyak murid Jatikusumo yang bersedia menjadi saksi,” kata Sakimun penasaran juga.

Mereka menuruni puncak dan ketika tiba di dekat sumur tua, pendengaran Cangak Awu dan Pusposari yang tajam menangkap gerakan orang. Mereka memutar tubuh dengan cepat dan masih sempat melihat berkelebatnya bayangan orang di antara batu-batu tak jauh dari situ.

“Siapa di sana?” Pusposari membentak nyaring. Akan tetapi tidak ada jawaban.

Suami isteri itu saling pandang dan dengan pandangan matanya, Cangak Awu memberi isyarat kepada isterinya agar mencari dan menghampiri ke arah kumpulan batu-batu besar itu dari kiri sedangkan dia menghampiri dari kanan sehingga mereka membuat gerakan mengepung dari kanan kiri agar bayangan yang bersembunyi di balik batu-batu itu tidak dapat melarikan diri. Sakimun tetap berdiri di dekat sumur tua.

Akan tetapi ketika suami isteri yang berpencar itu memutari kumpulan batu-batu besar, bagaikan seekor kera gesitnya, Satyabrata berloncatan ke atas batu-batu itu dan langsung menghampiri Sakimun yang berdiri di dekat sumur.

Melihat pemuda itu, Sakimun cepat menegur, “Rayi Satya, engkau dicari pimpinan!”

“Raka Sakimun, tentu andika yang membocorkan rahasiaku kepada para pimpinan!” kata Satyabrata dan matanya mencorong aneh ketika dia memandang Sakimun.

“Tentu saja!” Sakimun menjawab dengan berani karena dia memandang rendah kepada murid baru ini yang dianggapnya tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap dirinya. “Engkau telah bersikap seperti pemberontak, memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Engkau malah berani melanggar pantangan mendaki bukit larangan ini!”

Tiba-tiba Satyabrata menyeringai, bukan senyum biasa melainkan menyeringai aneh dan ketika tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pistolnya dari ikat pinggangnya lalu menodongkannya ke arah dada Sakimun. “Heh-heh, Sakimun, kalau begitu berarti engkau sudah bosan hidup!”

Sakimun terkejut. Dia belum pernah melihat pistol, akan tetapi sudah mendengar tentang keampuhan senjata api itu. Maka, melihat dirinya ditodong, dia cepat menerjang dengan loncatan untuk mendahului dan menyerang pemuda itu.

“Darrrr...!”

Bunga api berpijar dari mulut pistol dan tubuh Sakimun tersentak ke belakang lalu roboh telentang dan tewas seketika.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)