SERULING GADING : JILID-17


“Satya, murid durhaka! Engkau sudah membunuh Raka Sakimun!” terdengar bentakan nyaring di belakangnya.

Satyabrata bangkit berdiri dan dengan tenang dia membalikkan tubuhnya sehingga berdiri berhadapan dengan Cangak Awu yang mengerutkan alisnya, mukanya kemerahan dan sepasang matanya berapi saking marahnya.

“Ahh, kiranya Raka Cangak Awu yang datang?” Satyabrata berkata dengan tenang sekali sambil menyeringai.

“Keparat busuk! Engkau memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Belanda. Kiranya engkau adalah seorang telik-sandi (mata-mata) Belanda yang terkutuk! Dan engkau telah melanggar larangan mendaki bukit ini, malah telah membunuh seorang murid Jatikusumo! Aku tidak dapat mengampunimu, keparat!”

“Ki Cangak Awu!” kata Satyabrata dengan senyum mengejek berkembang di bibirnya.

“Sebaiknya engkau memimpin Jatikusumo untuk membebaskan daerah dari cengkeraman Mataram dan bekerja sama dengan Kumpeni Belanda menentang Mataram. Engkau akan mendapatkan imbalan harta benda yang besar dan kedudukan yang tinggi dan mulia. Atau engkau lebih memilih mati di tanganku!” Satyabrata menodongkan pistolnya ke arah ketua Jatikusumo itu.

Cangak Awu menjadi marah sekali dan dia sudah mengerahkan Aji Gelap Musti dalam kedua tangannya, lalu menerjang dengan mendorongkan kedua tangan ke arah pemuda itu. Akan tetapi dengan tenang Satyabrata sudah membidik dengan pistolnya. Pada saat dia menarik pelatuk pistolnya, sebutir batu sebesar kepalan tangan menyambar dan tepat mengenai tangannya yang memegang pistol.

“Darrrr...!”

Karena terkena batu yang menghantam tangannya, bidikan pistol itu bergoyang dan miring sehingga pelurunya menyimpang dari sasaran. Satyabrata terkejut sekali. Dia lupa akan kehadiran Pusposari yang datang dari arah kirinya.

Wanita perkasa ini maklum akan bahaya maut yang mengancam suaminya, maka ia cepat memungut batu lantas melontarkan batu itu ke arah tangan Satyabrata yang memegang pistol sehingga bidikan itu meleset dan suaminya lolos dari maut.

Sementara itu, melihat Cangak Awu menyerangnya dengan pukulan kedua tangan yang didorongkan, yang membawa angin pukulan dahsyat, Satyabrata cepat mengerahkan tenaga yang dilatihnya di dalam sumur dan dia pun menyambut dorongan kedua tangan lawan itu dengan kedua tangannya sendiri.

“Wuuuttt...! Dessss!”

Tubuh Satyabrata terlempar ke belakang, ke dekat sumur. Dia terkejut dan kecerdikannya membuat dia maklum bahwa walau pun pertemuan tenaga itu tidak membuat dia terluka parah, namun dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan ketua Jatikusumo ini, apa lagi masih ada isterinya yang kabarnya juga amat digdaya.

Dia tak akan mampu melarikan diri. Karena itu, ketika tubuhnya terpental ke dekat sumur dia membuat seolah dirinya terguling dan terjatuh ke dalam sumur!

Pusposari cepat menghampiri suaminya yang agak terhuyung ke belakang. Wajah Cangak Awu agak pucat dan napasnya agak terengah. Cepat ketua Jatikusumo ini duduk bersila dan mengatur pernapasannya untuk memulihkan kesehatannya supaya isi dadanya tidak terluka oleh guncangan hebat tadi. Setelah merasa bahaya sudah lewat, dia menghela napas panjang dan bangkit berdiri.

“Bagaimana, kakang-mas?” tanya Pusposari.

Cangak Awu menggelengkan kepala perlahan. “Tidak apa-apa, akan tetapi sungguh tidak pernah menyangka bahwa si Satya itu ternyata memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Syukur bahwa Aji Gelap Musti agaknya dapat merobohkannya.”

“Dia terpental dan terguling ke dalam sumur,” kata Pusposari.

Keduanya lalu menghampiri sumur dan menjenguk ke dalam. Gelap dan sunyi saja.

“Kukira dia tentu tewas. Ketika memukul tadi, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Dia terjerumus ke dalam sumur ini, tidak mungkin dapat bertahan hidup. Andai kata masih hidup sekali pun, dia tidak akan dapat keluar dari sumur dan akan mati kelaparan. Biarlah rohnya yang sesat itu menjadi roh penasaran bersama para pengkhianat yang lain,” kata Cangak Awu.

Dia melihat pistol yang tadi dipergunakan Satyabrata menggeletak di dekat sumur. Dia mengambil senjata api itu kemudian dengan pengerahan tenaga dia membanting benda itu ke dalam sumur. Kalau Satyabrata berada tepat di dasar sumur dan kepalanya terkena hantaman pistol dari atas itu, tentu kepalanya akan pecah!

Cangak Awu lalu menghampiri tubuh Sakimun yang menggeletak di dekat sumur. Setelah memeriksanya sejenak dan mendapat kenyataan bahwa orang itu sudah tewas, Cangak Awu lalu memondong mayat itu dan mengajak isterinya meninggalkan bukit larangan itu.

Para murid Jatikusumo menjadi gempar pada waktu melihat ketua mereka turun dari bukit larangan memondong Sakimun yang sudah menjadi mayat. Setelah jenazah itu dirawat, Cangak Awu mengumpulkan semua murid ke ruangan pendopo yang luas.

“Para raka dan rayi sekalian!” katanya dengan suara lantang berwibawa. “Kami sudah tahu bahwa di antara kalian ada yang sudah mendengar kata-kata yang diucapkan murid baru Satya yang pada dasarnya bernada menghasut, memburuk-burukkan Mataram dan di samping itu memuji-muji Kumpeni Belanda. Ucapan-ucapannya itu menunjukkan bahwa dia seorang pengkhianat. Ketahuilah kalian bahwa setelah kami menyelidikinya, ternyata Satya itu adalah seorang telik-sandi Kumpeni Belanda yang sengaja menyelundup ke sini dan menjadi murid perguruan kita!”

Terdengar desah dari banyak mulut itu.

“Dia pun melanggar larangan, mengunjungi bukit larangan yang agaknya akan dijadikan tempat persembunyiannya. Sesudah kami memergokinya di sana, dia tidak membantah bahwa dia telik-sandi Kumpeni Belanda, malah dia menggunakan senjata api pistol untuk membunuh Raka Sakimun!”

Kembali terdengar desahan dan gumam penasaran dan kemarahan di antara para murid Jatikusumo.

“Dia pun berniat membunuh kami dengan pistolnya. Beruntung bagi kami bahwa Gusti Allah masih melindungi kami sehingga kami berhasil merobohkannya dan dia terjerumus ke dalam sumur tua. Rohnya yang jahat tentu berkumpul dengan roh-roh jahat lainnya, membuat sumur tua itu menjadi semakin angker. Karena itu kami peringatkan sekali lagi, jangan ada murid Jatikusumo yang mendaki bukit larangan itu. Dan sekarang kalian sudah tahu bahwa semua hasutan Satya itu adalah siasat busuk Kumpeni Belanda, maka kami harap kalian waspada dan jangan sampai dapat terbujuk omongan seperti yang diucapkan pengkhianat Satya itu. Ingat akan janji dan persyaratan Jatikusumo. Pertama, menjadi pendekar yang membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan dan kedua, setia membela Mataram!”

Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi kurang lebih empat lima tahun yang lampau di perkampungan Jatikusuman itu. Peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang sesudah lewat beberapa tahun itu.

Peristiwa yang dilanjutkan larangan keras untuk mendaki bukit itu justru membuat tempat larangan itu semakin angker dan tiada seorang pun berani lancang mendaki bukit itu, apa lagi mendekati sumur yang dianggap menjadi tempat tinggal roh-roh penasaran para pengkhianat yang jahat itu.

Dan keadaan ini sungguh amat menguntungkan bagi Satyabrata. Orang-orang Jatikusumo sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Satya itu sesungguhnya sama sekali belum tewas!

Ketika pistolnya terlepas dari tangannya karena sambaran sebuah batu, Satyabrata yang melihat dirinya diserang pukulan sakti Cangak Awu, cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk menyambut. Pada waktu itu dia sudah berlatih menghimpun tenaga sakti dengan cara samadhi jungkir balik dan secara aneh telah terhimpun tenaga dalam yang luar biasa dan dahsyat dalam dirinya. Maka, ketika dia mengerahkan tenaga menyambut aji pukulan Gelap Musti dari perguruan Jatikusumo, dia mampu menahan pukulan lawan yang hanya membuat dia terpental dan dengan cerdiknya dia lalu menggulingkan diri masuk ke dalam sumur tua.

Dia sama sekali tidak tertuka dan sesudah sampai di dasar sumur dia mendengar ucapan Cangak Awu yang berbicara dengan isterinya. Ketika Cangak Awu membanting pistol ke dalam sumur, Satyabrata dapat melihat dari bawah dan dia cepat menyelinap ke dalam terowongan sehingga sambitan pistol itu tidak mengenai dirinya.

Mulai hari itu dengan tekun Satyabrata mempelajari semua ilmu yang tertulis dan terlukis di dinding bawah tanah. Ketika siang dan keadaan dalam ruangan bawah tanah itu cukup terang, dia berada di dalam sumur sambil mempelajari kedua ilmu itu. Ketika malam dia berada di luar sumur dan melewatkan malam di dalam goa di balik puncak.

Dia merasa aman karena tak pernah ada orang berani mendaki bukit itu. Untuk makannya setiap hari, dia menggunakan ilmunya mendatangi telik-sandi Kumpeni Belanda di Pacitan tanpa diketahui orang dan membawa bekal makanan dari sana.

Demikianlah, sampai bertahun-tahun dia mempelajari ilmu-ilmu itu sehingga Satyabrata menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna dan berbahaya sekali.

Akan tetapi karena dia menjalani latihan menghimpun tenaga sakti secara sesat, muncul akibat sampingan yang amat hebat pula. Kini pemuda itu menjadi seorang yang terkadang berwatak aneh seperti orang gila!

Dan dia menyimpan dendam terhadap Perguruan Jatikusumo, terutama kepada Cangak Awu dan Pusposari yang telah mengalahkannya. Sesudah dia selesai mempelajari semua ilmu itu, niatnya yang pertama adalah hendak membunuh kedua orang itu. Selain untuk melampiaskan dendamnya, juga untuk memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya oleh ayah angkatnya, Willem Van Huisen.....!

********************

Kita kembali mengikuti perjalanan Parmadi. Baru pertama kali ‘turun gunung’ berpisah dari gurunya, pemuda itu secara berturut-turut sudah mengalami guncangan batin yang berat. Pertama mendengar akan kematian ayah Muryani dan juga gurunya, Ki Ronggo Bangak, dan kepergian Muryani tanpa ada yang mengetahui ke mana, Kemudian ketika berkunjung ke dusun Pancot, dia mendengar dari Pak Jambi Pece mengenai kematian ayah dan ibu kandungnya dan mendengar bahwa Ki Wiroboyo pernah berbuat kurang ajar terhadap mendiang ibunya sehingga Ki Wiroboyo patut dicurigai tentang pembunuhan terhadap ayah ibunya itu.

Dia menuruni lereng Gunung Lawu sebelah barat dan mempergunakan ketangkasannya untuk berjalan cepat menuruni jurang-jurang yang dalam dan mendaki tebing-tebing yang curam. Karena perjalanan itu amat sukar, maka setelah matahari condong ke barat, dia masih belum tiba di kaki gunung, melainkan tiba di lereng agak ke bawah.

Tibalah dia di sebuah dusun dan karena hari sudah mulai remang-remang, dia mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi, ketika dia mulai memasuki dusun, dia melihat keadaan yang sangat aneh. Dusun itu hanya mempunyai sekitar tiga puluh rumah. Rumah-rumah sederhana kaum tani. Ketika tadi hendak memasuki dusun Parmadi melihat sebuah candi berdiri di atas sebuah bukit kecil yang berada di luar dusun, tidak jauh dari dusun itu.

Bangunan candi yang cukup besar itu tampak angker dan menyeramkan. Tetapi Parmadi hanya melihatnya dari jauh dan dia langsung memasuki dusun. Begitu memasuki dusun, terasalah suasana yang aneh itu.

Hari belum gelap benar, baru menjelang senja, akan tetapi keadaan dusun itu sunyi sekali. Terdengar berkokoknya ayam dan beberapa kali ada suara kambing mengembik. Tetapi sama sekali tak terdengar suara manusia, juga tidak tampak bayangan manusia. Rumah-rumah sederhana ini tidak ada yang terbuka pintu atau pun jendelanya, semua tertutup rapat. Anehnya, sedikit pun tidak tampak ada penerangan dari rumah-rumah itu.

Akan tetapi, walau pun keadaan demikian sunyi dan tidak tampak adanya seorang pun manusia, Parmadi dapat merasakan bahwa ada banyak pasang mata mengintainya dari rumah-rumah itu. Bahkan dia sempat melihat bayangan di balik dinding bambu rumah-rumah itu dan pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerakan dari dalam rumah.

Dalam rumah-rumah sederhana itu bukan tak ada orangnya, akan tetapi agaknya mereka sengaja bersembunyi, dan tak ada yang menyalakan penerangan. Agaknya semua orang ketakutan melihat dia datang!

Tentu saja keadaan ini membuat Parmadi merasa penasaran dan heran sekali. Mengapa orang-orang dusun itu ketakutan melihat dia datang? Kenapa mereka semua bersembunyi dan tidak ada yang berani menyalakan penerangan? Padahal selama hidupnya belum pernah dia datang ke dusun itu dan tidak mengenal seorang pun dari penduduk di situ.

Parmadi berhenti di depan sebuah rumah yang dilihatnya paling besar di antara rumah-rumah di situ. Kalau rumah lain terbuat dari dinding anyaman bambu, rumah ini dindingnya dari papan kayu dan ukurannya juga lebih besar. Dia memasuki pekarangan dan berdiri di depan rumah itu.

Dia merasa penasaran sekali. Andai kata penduduk dusun itu tidak mau menerimanya dan tidak mau memberinya tempat untuk menginap malam itu, dia tidak peduli. Dia dapat tidur di mana saja, di bawah pohon atau bahkan di tempat terbuka mana saja. Namun sikap mereka itu membuatnya heran dan penasaran. Mengapa mereka semua bersembunyi, seolah dia dianggap iblis yang menakutkan?

Biar pun di dalam rumah besar itu pun gelap, namun Parmadi dapat mendengar gerakan-gerakan orang di dalamnya. Dia tahu bahwa di dalam rumah itu terdapat eukup banyak orang. Bahkan dia mendengar suara berbisik-bisik. Lalu terdengar anak kecil menangis dan suara wanita berbisik-bisik menyuruhnya diam.

Menghadapi semua ini, Parmadi tidak kuat menahan keinginan tahunya. Dia harus tahu apa yang terjadi sehingga orang-orang sedusun takut kepadanya! Dengan hati tetap dia menghampiri pintu depan dan mengetuknya perlahan.

“Tok-tok-tok...!”

Tidak terdengar jawaban tapi ada beberapa orang bersuara memberi tanda agar semua orang diam.

“Sstt... ssttt... ssttt...!”

Hal ini tentu saja membuat Parmadi menjadi semakin penasaran. Dia mengetuk lagi daun pintu itu lebih kuat dan disambung dengan seruannya.

“Tok-tok-tok!”

“Saya tahu andika sekalian berada di dalam. Harap bersedia membuka pintu. Saya bukan orang jahat! Saya adalah seorang tamu dari luar dusun dan saya ingin berbicara dengan andika sekalian!”

Hening sekali sesudah Parmadi mengeluarkan seruan ini. Lalu terdengar lagi suara bisik-bisik di dalam seolah ada beberapa orang yang sedang berunding. Tidak lama kemudian terdengar suara yang besar parau, suara laki-laki dewasa dan suara itu agaknya digagah-gagahkan akan tetapi tetap saja mengandung getaran tanda ketakutan.

“Kami mohon agar andika mencari korban di lain tempat saja. Jika andika memaksa, kami akan nekat melakukan perlawanan. Harap andika pergi sekarang juga!”

Tentu saja Parmadi menjadi bengong karena heran. Mencari korban? Apa yang mereka maksudkan?

“Andika sekalian keluarlah. Mari kita bicara dengan baik-baik. Saya tidak mencari korban apa pun juga!”

Kembali hening sesaat. Kemudian mendadak daun pintu dibuka dari dalam dan lima orang lelaki yang membawa senjata, ada yang memegang tombak, ada yang membawa parang, berlompatan dari dalam dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka langsung menerjang dan menyerang Parmadi kalang-kabut!

Tentu saja Parmadi merasa terkejut bukan main. Tetapi dia juga tidak ingin menjadi bulan-bulanan serangan mereka. Biar pun dia dapat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, dia tidak akan mampu mencegah pakaiannya rusak dan robek-robek oleh senjata-senjata itu.

Sebatang tombak yang panjang lebih dulu meluncur ke arah perutnya. Parmadi miringkan tubuh. Ketika tombak itu meluncur di samping perutnya, cepat tangan kirinya menangkap tombak dan kaki kanannya menyambar ke arah si pemegang tombak dan dia pun menarik tombak itu dengan sentakan. Tombak itu telah berpindah ke tangannya. Ketika dua batang parang, sebilah keris dan sebatang tombak menyambar, dia lalu mempergunakan tombak yang dirampasnya itu, digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga.

“Trangg-trangg-trangg-trangg...!”

Empat batang senjata para pengeroyok itu beterbangan terlepas dari tangan mereka.

Parmadi lalu menggunakan kedua tangannya, menekuk-nekuk patah tombak itu seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat ini, lima orang laki-laki itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan kaki mereka menjadi lemas. Mereka jatuh bertekuk lutut dan menyembah-nyembah ketakutan.

Seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian lebih rapi dari pada yang lain, dengan suara gemetar dan tubuh menggigil menyembah dan berkata dengan hormat, “Pukulun, mohon paduka sudi mengampuni kami orang-orang dusun yang miskin dan papa. Hamba semua berjanji akan memuja paduka dan kasihanilah hamba, bebaskan anak-anak hamba agar jangan dijadikan korban...“

Mengertilah Parmadi bahwa ada kekeliruan di sini. Dia disangka orang lain, atau bahkan dia disangka makhluk lain, bukan manusia! Hal ini terbukti dari sebutan orang tua itu kepadanya yang memanggilnya dengan sebutan ‘pukulun’, sebutan yang biasa diberikan kepada para dewa! Dia tersenyum.

“Paman yang baik, dan saudara-saudara sekalian. Agaknya andika semua sudah salah mengenal orang! Harap andika sekalian bangkit dan marilah kita bicara dengan baik. Saya sama sekali bukan orang yang berniat jahat. Kebetulan saja saya lewat di sini dan hanya membutuhkan tempat untuk melewatkan malam. Silakan andika sekalian bangkit berdiri.”

Orang setengah tua yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka itu mengangkat muka dan memandang wajah Parmadi, ragu-ragu. “Andika... andika bukan utusan... Sang Pukulun Syiwamurti...?”

Parmadi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Saya manusia biasa, bukan utusan dewa mana pun, paman. Bangkitlah dan mari kita bicara. Saya ingin sekali mengetahui apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa pula andika sekalian bersikap begini aneh, menyerang seorang tamu yang baru datang seperti saya ini.”

Agaknya lima orang itu baru mau percaya. Didahului oleh orang setengah tua itu, mereka semua bangkit berdiri dan berani menatap wajah Parmadi.

“Maafkan sikap kami tadi, ki-sanak. Tadi kami mengira andika datang hendak menjemput korban...” kata orang tua yang bertubuh tinggi kurus itu. “Mari silakan masuk ke dalam rumah. Kita bicara di dalam saja.”

Parmadi mengikuti lima orang itu memasuki rumah dan dalam keremangan rumah itu dia melihat bahwa ada beberapa orang wanita dan kanak-kanak yang mengintai dari ruangan dan kamar lain. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa buah kursi kayu dan Parmadi dipersilakan duduk. Parmadi duduk berhadapan dengan lima orang itu.

“Paman, kenapa paman tidak menyalakan lampu penerangan? Sungguh tidak enak duduk bercakap-cakap dalam cuaca gelap begini,” kata Parmadi.

“Menyalakan lampu? Ah, jangan... kami... kami takut...” kata orang itu. Yang lainnya juga mengeluarkan suara tidak setuju dan mereka semua ketakutan.

Parmadi menjadi makin penasaran. Orang-orang dusun ini semuanya merasa takut akan sesuatu yang mengerikan, pikirnya. Dia pun tidak mendesak mereka untuk menyalakan lampu.

“Paman, sebenarnya apakah yang terjadi di dusun ini? Kenapa semua rumah menutup pintu dan tidak menyalakan penerangan? Juga kenapa paman sekalian tampak ketakutan, bahkan tadi menyerang aku tanpa alasan? Apa artinya semua ini?”

“Sebelum kami menjawab pertanyaanmu dan menerangkan segalanya kepadamu, kami ingin mengetahui lebih dulu siapa andika, ki-sanak, dan keperluan apakah yang membawa andika datang ke dusun Sukuh ini?”

Parmadi hanya kebetulan lewat di dusun itu dan dia tidak ingin namanya dikenal, apa lagi menghadapi peristiwa aneh yang agaknya harus dicampurinya. Dia harus membantu para penduduk yang ketakutan itu menghadapi sesuatu yang agaknya mengerikan. Dan untuk itu dia pikir tidak perlu memperkenalkan dirinya.

Gurunya, Resi Tejo Wening, pernah berpesan kepadanya bahwa kalau dia turun tangan menolong orang, dia tidak perlu menonjolkan namanya, bahkan lebih baik kalau yang dia tolong itu tidak mengenal namanya!

“Saya adalah seorang perantau, paman dan hanya kebetulan saja saya lewat di dusun ini dan kemalaman. Karena itu saya ingin melewatkan malam ini di sini, mohon kebaikan hati seorang di antara penduduk untuk memberi sekedar sehelai tikar untuk saya tidur. Nama saya? Sebut saja saya Seruling Gading, paman. Nah, sekarang harap paman bersedia menceritakan semua keanehan ini kepada saya. Siapa tahu saya akan dapat membantu andika sekalian untuk membikin terang semua kegelapan ini.”

“Sebenarnya, anak-mas!” kata orang setengah tua itu dan suaranya mengandung penuh harapan. “Setelah mengetahui bahwa andika bukan lawan melainkan kawan, dan melihat bahwa andika seorang yang sakti mandraguna, kami seluruh warga dusun Sukuh ini amat mengharapkan pertolongan andika. Ketahuilah bahwa dusun kami ini sedang menghadapi mala petaka yang besar sekali, agaknya kami menerima amarah para dewa sehingga kami dikutuk.”

“Tidak. ada dewa mengutuk manusia, paman. Kalau ada suatu akibat terjadi, pasti ada sebabnya dan kita berkewajiban untuk mencari tahu dan melenyapkan penyebabnya itu. Nah, ceritakanlah. Apa yang telah terjadi?”

“Saya akan memperkenalkan diri lebih dulu, anak-mas Seruling Gading. Saya bernama Gitosani dan oleh para penduduk di dusun Sukuh ini saya diangkat menjadi kepala dusun karena saya dianggap sebagai sesepuh yang sudah tinggal di sini sejak eyang buyut saya. Bahkan nenek moyang saya menjadi juru kunci dari Candi yang menjadi tempat pemujaan kami untuk memohon berkah keselamatan, kesuburan, kesehatan, rejeki dan semua kebutuhan kami. Kemudian tiba-tiba datang mala petaka itu, mala petaka yang sangat... mengerikan...”

Lurah Gitosani menggigil dan semua orang yang berada di situ juga ketakutan seolah-olah hawa dalam ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Dari dalam kamar di sebelah kiri terdengar suara bayi menangis, akan tetapi agaknya mulut bayi itu segera dijejali puting susu ibunya karena ia terdiam dengan cepat.

“Hemm, ceritakanlah saja, paman Gitosani dan jangan takut. Ada saya di sini yang akan menjaga keselamatan semua orang,” kata Parmadi dan suaranya yang tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri terdengar amat menghibur bagi semua orang itu.

“Terjadinya dimulai dengan datangnya dua orang di dusun ini kurang lebih satu bulan yang lalu. Seorang kakek tinggi besar seperti raksasa menyeramkan yang mengaku bernama Koloyitmo bersama seorang anaknya perempuan bernama Nini Maya Dewi yang cantik seperti dewi kahyangan. Mereka berdua memasuki candi dan mendudukinya, tidak mau keluar dari candi. Kakek bernama Resi Koloyitmo itu mengaku bahwa dia adalah titisan Sang Bathara Kolo dan dia bilang bahwa dia sengaja memilih Candi Sukuh untuk tempat tinggalnya sementara waktu. Kami berusaha mengusirnya, akan tetapi kakek dan anaknya itu sangat sakti mandraguna. Belasan orang dari kami diterbangkan angin ketika hendak menyerangnya. Bahkan anak perempuan itu mengancam akan membunuh kami semua kalau kami berani mengganggu mereka.”

Parmadi mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, jika mereka tidak diganggu, agaknya mereka tidak akan berbuat apa-apa, bukan?”

“Mula-mula mereka memang hanya minta dikirim sesajen sehari tiga kali, berupa nasi dan lauk-pauknya, juga minuman untuk mereka. Akan tetapi tak lama kemudian, satu minggu yang lalu, Resi Koloyitmo itu minta agar diberi korban seorang perawan.”

“Hemmm..., ini sudah keterlaluan!” kata Parmadi mulai merasa tidak senang hatinya. “Lalu bagaimana?”

“Tentu saja kami menolak permintaannya yang aneh itu. Akan tetapi Resi Koloyitmo diam saja dan tidak marah oleh penolakan kami dan kami hanya berjaga-jaga dengan khawatir. Akan tetapi malam harinya seorang anak perawan dusun kami lenyap! Ada seorang warga dusun yang kebetulan keluar dari rumahnya malam itu melihat betapa perawan itu berjalan setengah berlari menuju ke candi dan ketika ditegur tidak menjawab. Kami mengerahkan seluruh tenaga laki-laki di dusun ini dan pergi ke candi, menuntut kembalinya gadis itu. Namun Resi Koloyitmo mengatakan bahwa perawan itu sudah dipilih oleh Sang Bathara Kolo dan kami disuruh pulang. Kami nekat hendak menyerbu ke dalam candi mencari gadis itu. Akan tetapi kembali kami roboh berpelantingan oleh sihir ayah dan anak itu.”

“Hemm, begitukah? Dan mengapa andika sekalian tidak berani menyalakan penerangan dan bersembunyi dalam kegelapan?”

“Pada dua malam yang lalu, kembali seorang perawan dusun ini menghilang dan menurut mereka yang sempat melihatnya, terjadinya lebih aneh lagi. Mereka, ada tiga orang saksi, melihat betapa gadis itu menunggang seekor macan loreng besar menuju ke candi itu! Nah, mulai malam itulah kami semua tidak berani membuka pintu kalau sudah senja dan tidak berani menyalakan penerangan agar macan utusan dewa itu tidak bisa masuk rumah dan tidak dapat melihat sehingga tidak akan dapat menculik anak-anak gadis kami.”

Parmadi mengerutkan alis dan memejamkan mata. Keadaan ayah dan anak itu sungguh mencurigakan!

“Akan tetapi malam ini bulan bersinar terang. Mungkin bulan purnama karena tadi malam bulan juga sudah penuh,” kata Parmadi. “Tanpa adanya lampu penerangan pun, malam tidaklah begitu gelap.”

“Itulah yang kami khawatirkan. Tadi malam langit mendung sehingga bulan terhalang dan malam gelap. Akan tetapi malam ini...“

“Jangan khawatir, paman. Malam ini saya akan melakukan penjagaan dan kalau iblis itu berani muncul, akan saya hadapi dan usir dia!” kata Parmadi.

“Bukan iblis, anak-mas, melainkan dewa...“

“Dewa berkewajiban melindungi, bukan mengganggu manusia. Yang selalu mengganggu manusia hanya iblis. Sekarang mari kita serukan kepada semua rumah agar menyalakan penerangan agar lebih mudah bagi saya untuk melakukan perondaan dan dapat melihat jelas kalau terjadi sesuatu.”

“Akan tetapi...” Ki Gitosani berkata ragu dan takut.

“Sudahlah, paman. Percayalah dan serahkan saja kepada saya. Lebih baik sekarang kita memelopori semua penduduk dengan menyalakan lampu di rumah ini supaya mereka juga menjadi berani.”

Karena sikap Parmadi yang tegas dan tenang, akhirnya Ki Gitosani menyalakan lampu-lampu di rumah itu. Kemudian, ditemani Parmadi, lima orang laki-laki itu lalu berjalan dari rumah ke rumah, berseru kepada pemilik rumah untuk menyalakan lampu.

“Saudara-saudara, nyalakan lampu-lampu di setiap rumah! Jangan takut! Ada anak-mas Seruling Gading yang akan melindungi kita!” seru Ki Gitosani.

“Seruling Gading?” Semua orang membisikkan nama ini, merasa heran dan ingin tahu siapa orangnya yang berani melindungi mereka dari ancaman ‘dewa’ yang mengerikan itu, yaitu Sang Bathara Kolo! Yang agak pemberani kemudian keluar dari pintu rumah untuk melihat orang bernama Seruling Gading itu, yang penakut mengintai dari balik pintu.

Mereka menjadi ragu ketika melihat betapa yang dijagokan untuk melindungi mereka itu hanya seorang pemuda tampan yang sikapnya amat sederhana. Mulailah mereka merasa ngeri dan takut kalau-kalau dewa yang kini berada di candi itu akan makin marah dan mengamuk.

Mereka lalu menyalakan lampu, akan tetapi setelah melihat Parmadi berjalan bersama Ki Lurah Gitosani dan empat orang laki-laki lain, mereka mulai menutupi daun-daun pintu lagi dan menanti di dalam rumah dengan jantung berdebar tegang dan takut.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)