SERULING GADING : JILID-18
Biasanya pada malam bulan purnama seperti itu, anak-anak banyak yang bermain-main di luar, suara mereka menembang dolanan mendatangkan kesyahduan pada malam bulan purnama. Akan tetapi malam ini tak ada yang keluar rumah. Jangankan anak-anak, orang tua pun tidak ada yang berani keluar pintu, bahkan semua pintu rumah ditutup rapat. Akan tetapi yang agak pemberani mulai mengintai dari celah-celah pintu atau jendela untuk bisa melihat keadaan di luar.
Suasana sangat sunyi. Tidak ada suara manusia. Hanya suara angin lembut berdesah di antara daun-daun pohon yang bergoyang-goyang seperti hidup, mengiringi bunyi kutu-kutu walang atogo (serangga-serangga yang berbunyi di waktu malam).
Bahkan Ki Gitosani sendiri pun tinggal di dalam rumah dengan daun pintu tertutup karena demikianlah yang dikehendaki Parmadi. Untuk memudahkan penjagaannya dia minta agar semua orang tinggal di rumah dengan pintu tertutup.
Parmadi berada di luar sendirian. Tadi dia sudah dijamu makan malam oleh keluarga Ki Gitosani. Ia menitipkan buntalan pakaiannya kepada kepala dusun itu, kemudian ia keluar hanya berkalung sarung dan membawa seruling gading yang diselipkan di pinggangnya.
Dusun itu tidak besar. Rumah-rumah berdiri di sepanjang jalan satu arah sehingga mudah bagi Parmadi untuk menjaganya. Andai kata mendadak terjadi sesuatu di ujung dusun itu, dapat terlihat dari ujung yang lain. Akan tetapi karena menurut cerita Ki Gitosani, ancaman bahaya datang dari arah candi, maka Parmadi yang tadinya berjalan-jalan di sepanjang jalan dusun itu, kini berhenti dan duduk bersila di atas sebuah batu besar yang berada di ujung dusun yang berhadapan dengan bukit kecil di mana candi itu berada. Dari tempat itu terlihat batu candi yang tampak seram di bawah sinar bulan purnama itu.
Bagi para penduduk dusun Sukuh, malam itu tetasa amat menyeramkan. Mereka semua menduga dengan was-was bahwa sang dewa yang ditakuti itu tentu akan marah sekali melihat bahwa penduduk dilindungi seorang jagoan! Mereka membayangkan bahwa kalau sang jagoan itu sudah kalah, tentu sang dewa akan menimpakan kemarahannya kepada mereka! Karena itu semua orang berada dalam keadaan tegang dan tak seorang pun dari mereka, kecuali anak-anak yang belum tahu urusan, tidak ada yang tidur walau pun waktu sudah menjelang tengah malam.
“Kulik-kulik-kulik...!” Suara burung malam seolah berputaran di atas setiap atap rumah.
Parmadi memandang ke atas dan melihat beberapa ekor burung malam terbang lewat. Suara mereka sangat memelas dan agaknya mereka melihat kehadirannya maka mereka memekik-mekik. Kemudian orang-orang dalam rumah mendengar suara kepak sayap dan suara itu mendatangkan perasaan takut.
Parmadi yang berada di luar melihat bahwa itu adalah suara beberapa ekor kalong yang beterbangan mencari makan. Akan habislah buah-buahan yang sudah tua dan matang oleh binatang malam yang rakus ini.
Ketika terdengar suara anjing membaung (meraung), berdirilah bulu tengkuk banyak orang dalam rumah-rumah tertutup itu. Sudah menjadi kepercayaan umum di dusun itu bahwa kalau ada anjing membaung seperti itu, tandanya ada ‘makhluk halus’ yang lewat.
Suasana menjadi semakin menyeramkan dan hati mereka menjadi makin tegang. Mereka membayangkan betapa saat itu sang jagoan mereka sedang disergap dan dicabik-cabik oleh para setan bekasakan. Besok pagi-pagi mereka akan menemukan tubuh pemuda itu membujur mati kehabisan darah yang disedot para iblis melalui leher yang terkoyak-koyak. Sungguh mengerikan!
Akan tetapi Parmadi melihat anjing yang membaung itu. Binatang itu tidak melihat setan, melainkan berdongak memandang ke arah bulan purnama kemudian mengeluarkan suara meraung panjang yang terdengar amat menyedihkan itu. Seolah-olah anjing itu mengeluh akan keadaan dirinya sebagai seekor anjing!
Benarkah anjing itu mengeluh dan menangis? Dia tidak tahu. Ahh, kalau saja dia memiliki kepandaian seperti Sang Prabu Anglingdarma yang pernah dibacanya dalam sebuah kitab milik mendiang gurunya, Ki Ronggo Bangak, alangkah senangnya.
Sang Prabu Anglingdarma dapat mengerti bahasa hewan! Jika dia menguasai kepandaian itu, tentu dia mengerti apa artinya suara menyedihkan yang dikeluarkan anjing itu!
Tiba-tiba Parmadi merasa betapa tengkuknya dingin dan bulu tengkuknya meremang. Ini merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak wajar. Ada kekuatan sihir lewat, pikirnya dan dia pun mencurahkan perhatiannya ke arah rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan dusun itu.
Tiba-tiba di rumah kelima dari ujung dusun di mana Parmadi duduk terdengar kegaduhan. Parmadi melompat turun dari atas batu besar dan memandang ke arah rumah itu dengan penuh perhatian.
Mendadak daun pintu rumah terbuka dan sesosok bayangan berlari keluar dari pintu itu, Terdengar jeritan wanita dari dalam rumah yang pintunya terbuka itu, lalu disusul teriakan suara laki-laki, “Tinem...! Kembalilah, Nem...! Toloonggg...!”
Akan tetapi tidak ada orang yang keluar dari pintu itu, bahkan daun pintunya telah ditutup kembali. Agaknya para penghuni rumah itu ketakutan sehingga hanya bisa menangis dan memanggil-manggil gadis yang berlari keluar.
Parmadi melihat bahwa yang berlari keluar adalah seorang gadis remaja yang rambutnya panjang awut-awutan terlepas dari gelungannya. Ia berlari keluar ke arahnya, tampaknya hendak pergi ke candi itu dari mana dia merasakan adanya hawa dingin aneh. Agaknya hawa itulah yang memiliki daya tarik kuat dan yang sekarang membuat perawan dusun itu kehilangan kesadarannya dan seolah ditarik oleh kekuatan gaib untuk datang ke candi!
Parmadi cepat mencabut seruling gading dari pinggangnya dan dia pun sudah tenggelam ke dalam penyerahan, membiarkan seluruh jiwa raganya terbimbing oleh Kekuasaan Yang Tertinggi, kemudian terdengarlah lengkingan suara suling ketika di luar kehendak hati akal pikirannya suling itu telah ditiup dan dimainkan oleh bibir dan jari-jari tangannya!
Suara suling melengking-lengking dan mengandung getaran gaib yang demikian kuat dan alami, terasa oleh alam sekitarnya di mana pun suara itu dapat ditangkap. Kuat dan wajar seperti desau angin, seperti cahaya bulan, seperti suara kutu-kutu walang atogo.
Kini perawan dusun itu sudah tiba mendekat, tinggal sejauh tiga puluh meter dari tempat Parmadi berdiri. Dan tiba-tiba saja dara itu berhenti berlari seperti tersentak keget, seperti orang baru terbangun dari tidur, kembali ke alam sadar dari alam mimpi.
“Ohhh...!” Ia menutupkan kedua tangan di depan mulut dan matanya terbelalak. “Bapak... simbok !” ia mengeluh dan sudah memutar tubuh hendak kembali ke rumah orang tuanya.
Pada saat itu terdengar suara mengaum dahsyat dan Parmadi melihat bayangan hitam sebesar gudel (anak kerbau) meluncur cepat dari arah belakang. Dia cepat menghentikan tiupan sulingnya dan melihat betapa bayangan itu bukan lain seekor harimau loreng yang besar sekali. Kini macan itu sudah tiba di hadapan gadis itu yang menahan jeritnya, lalu dia terkulai pingsan karena kaget dan takut. Harimau itu menggigit punggung baju gadis itu lalu membawanya pergi menuju ke arah candi!
Akan tetapi Parmadi sudah menghadangnya, seruling gading berada di tangan kanannya. Dia bisa menduga bahwa harimau loreng ini adalah makhluk seperti yang telah diceritakan Ki Gitosani kepadanya, yang dapat melarikan seorang perawan dusun yang duduk di atas punggungnya. Tentu gadis itu berada dalam keadaan tersihir. Sekarang gadis yang sudah tidak terpengaruh sihir ini pingsan ketakutan, lantas digondolnya seperti biasanya seekor harimau menggondol mangsanya.
Parmadi dapat menduga bahwa makhluk ini tentulah makhluk jadi-jadian, bukan harimau asli. Ia pernah mendengar dari gurunya, Resi Tejo Wening, bahwa di daerah Parahyangan dan daerah Banten banyak tokoh sesat yang menguasai ilmu sesat semacam itu, yakni dapat mengubah dirinya menjadi satu hewan seperti harimau, celeng (babi hutan), srigala dan sebagainya.
Karena dia menduga bahwa makhluk yang dihadapinya adalah seorang manusia yang menggunakan ilmu sihir sesat dan mengubah dirinya menjadi seekor harimau, maka dia pun membentak sambil mengerahkan kekuatan batinnya.
“Manusia dursila! Bebaskan gadis itu atau terpaksa aku harus menghajarmu agar engkau sadar akan kejahatanmu!”
Sepasang mata harimau itu mencorong dan agaknya dia marah sekali. Dia menggerakkan kepalanya dan melepaskan gigitannya sehingga tubuh perawan yang pingsan itu terlempar ke samping. Harimau itu mengaum dengan garang, suara aumannya menggetarkan dusun itu dan semua penduduk yang bersembunyi di dalam rumah menggigil ketakutan. Mereka merasa ngeri karena membayangkan betapa harimau yang kabarnya sebesar kerbau itu kini tentu sedang mencabik-cabik tubuh pemuda jagoan mereka. Sementara itu ayah dan ibu perawan yang tadi melarikan diri keluar dari rumah hanya dapat bertangis-tangisan saja.
Sekarang harimau itu menggereng dan gerengannya juga menggetarkan jantung. Parmadi bersikap tenang saja dan menentang pandang mata harimau itu. Dia bahkan menyelipkan seruling gading pada ikat pinggangnya kembali karena bagaimana pun juga dia tidak ingin membunuh atau melukai binatang jadi-jadian yang sesungguhnya adalah seorang manusia itu.
Harimau itu merendahkan tubuhnya hingga perutnya menyentuh tanah, kemudian tiba-tiba dia melompat dan menerkam ke arah Parmadi dengan dua kaki depannya. Moncongnya siap menggigit, taringnya mengkilap terkena cahaya bulan purnama. Dengan gerakan kilat Parmadi rnengelak ke kanan dan ketika tubuh harimau itu meluncur ke sebelah kirinya, tangan kirinya dengan terbuka dan miring menghantam ke arah muka harimau itu.
“Wuuttt...! Plakkk!”
Walau pun tamparan tangan kiri itu tidak terlalu kuat, akan tetapi karena mengandung Aji Sunya Hasta, tubuh harimau itu terpelanting. Dia rnenggereng kesakitan lalu melompat ke kanan dan melarikan diri menuju ke arah bukit di mana berdiri candi itu.
Parmadi menghampiri gadis yang masih rebah miring di atas tanah itu. Dia meraba dan menekan tengkuk gadis itu beberapa kali. Gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya. Ketika melihat seorang laki-laki berjongkok di dekatnya, dia terkejut bukan main. .
“Jangan takut. Aku telah mengusir pergi harimau jadi-jadian tadi.”
Gadis itu tidak jadi menjerit karena tadi pun dia turut mengintai ketika Parmadi bersama Lurah Gitosani dan empat orang lainnya berkeliling ke rumah-rumah untuk menganjurkan semua rumah menyalakan lampu. Inilah jagoan yang dikabarkan hendak menolong dusun Sukuh!
“Hayo kuantar engkau pulang,” kata Parmadi.
Gadis itu tidak menjawab. Dia hanya mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan berjalan dikawal Parmadi.
Peristiwa Parmadi dengan harimau itu ternyata disaksikan oleh banyak pasang mata yang mengintai dari dalam rumah. Melihat betapa Parmadi benar-benar dapat mengusir harimau dan menyelamatkan Satinem, gadis yang digondol macan itu, mereka berani membuka pintu dan keluar menyambut.
Ayah dan ibu gadis itu keluar dan Satinem berlari sambil menangis kemudian berangkulan dengan ibunya. Kini semua orang keluar. Dusun Sukuh menjadi ramai di malam terang bulan itu. Mereka tidak merasa takut lagi karena telah terbukti bahwa pemuda itu mampu mengusir harimau dan menyelamatkan Satinem.
Ki Lurah Gitosani menghampiri Parmadi sambil tersenyum senang dan memandang penuh kagum. “Anak-mas Seruling Gading! Ternyata andika adalah seorang dewa penyelamat kami! Mari kita bicara dl rumah.”
Dengan diiringkan semua penduduk, Parmadi lalu menuju ke rumah besar Ki Gitosani. Dia dipersilakan duduk dan semua orang merubungnya. Yang tidak kebagian bangku atau kursi duduk di atas lantai. Suasana dalam rumah ki lurah menjadi riuh dan gembira. Akan tetapi ketika Ki Gitosani mulai bicara dengan Parmadi, semua orang diam mendengarkan. Semua mata memandang kepada pemuda itu.
“Anak-mas Seruling Gading, tadi kami mendengar suara suling yang melengking-lengking amat anehnya dan menggetarkan hati kami. Apakah andika yang meniup suling itu, anak-mas?”
Parmadi mengangguk. “Benar, paman. Saya meniup suling itu untuk melawan pengaruh sihir yang membuat gadis tadi kehilangan kesadarannya dan berlari keluar rumah.”
“Tetapi makhluk apakah harimau besar tadi, den-mas?” tanya seorang tetangga yang tadi kebetulan mengintai peristiwa yang terjadi di depan rumahnya. “Harimau itu menggigit dan menggondol Satinem. Huuhh, mengerikan sekali!”
“Harimau itu adalah makhluk jadi-jadian. Ketika gadis tadi tidak lagi dipengaruhi sihir dan sudah sadar, tiba-tiba ia melihat harimau besar dan roboh pingsan. Harimau itu menggigit punggung bajunya dan hendak membawanya pergi, namun saya segera menghadangnya dan berhasil mengusirnya,” kata Parmadi singkat tanpa menonjolkan jasanya.
“Jadi-jadian? Andika maksudkan, harimau itu adalah seorang manusia yang beralih rupa?” tanya Ki Gitosani.
“Benar, paman. Dia adalah seorang manusia yang menguasai ilmu beralih rupa menjadi harimau.”
“Huh, menyeramkan sekali! Siapakah orangnya, anak-mas?”
Parmadi menggelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu, paman. Dia keburu melarikan diri sebelum saya dapat mengetahui siapa orangnya.”
Pada saat itu dua orang wanita mendadak maju lalu menjatuhkan diri bersimpuh di depan Parmadi sambil menangis dan mereka berkata dengan keluh kesah, “Den-mas, tolonglah anak saya... tolonglah, den-mas... “
Melihat dua orang wanita setengah tua itu menangis sesenggukan di depannya, Parmadi bertanya lembut, “Bibi berdua, apakah yang terjadi dengan anak andika?”
Ki Gitosani yang mewakili dua orang anita itu segera berkata, “Anak-mas Seruling Gading. Tadi sudah saya ceritakan bahwa seminggu yang lalu, seorang perawan bernama Karmi telah menghilang dan wanita ini adalah ibunya. Kemudian, dua hari yang lalu ada perawan lain dilarikan harimau, yaitu Tiyah anak dari wanita kedua ini.”
Parmadi mengangguk-angguk. “Hemm, begitukah? Baiklah, bibi berdua harap tenangkan hati. Besok pagi saya akan pergi ke candi itu dan kalau benar anak andika berdua ada di sana, saya pasti akan berusaha untuk membebaskan mereka. Kalau tidak berada di sana, saya akan menyelidiki siapa yang menculik mereka dan berusaha untuk menyelamatkan mereka.”
“Sekarang saya persilakan andika untuk istirahat, anak-mas. Kami sudah mempersiapkan sebuah kamar untuk andika,” kata Ki Gitosani yang segera disambungnya kepada semua penduduk yang berkumpul di situ, “Saudara-saudara, sekarang harap pulang ke rumah masing-masing. Anak-mas Seruling Gading akan beristirahat dulu.”
Orang-orang itu lalu bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Sekarang mereka tak begitu ketakutan lagi karena mulai percaya bahwa pemuda itu akan mampu melindungi mereka.
Setelah semua orang pergi, Parmadi lalu berkata kepada Ki Gitosani, “Paman, tidak perlu saya diberi kamar di dalam rumah ini. Tadi saya melihat di pintu masuk dusun terdapat sebuah gubuk. Saya akan bermalam di sana saja.”
“Ahh, mana pantas begitu, anak-mas? Andika adalah penolong kami dan menjadi tamu kehormatan kami, bagaimana akan melewatkan malam di tempat itu? Gubuk itu dipakai sebagai gardu tempat para peronda. Tidak tertutup rapat. Bagaimana andika dapat beristirahat di tempat terbuka seperti itu?”
Parmadi tersenyum. “Paman, orang yang menjadi musuh kita itu amat berbahaya. Saya khawatir dia tak akan tinggal diam atas gangguan saya tadi. Kalau dia datang menyerang saya dan saya berada di dalam rumah ini, hal itu akan membahayakan orang-orang lain yang berada di dalam rumah ini. Karena itulah saya memilih tinggal di gardu itu agar kalau dia melakukan penyerangan, saya dapat menghadapinya orang diri tanpa membahayakan orang lain.”
Mendengar ucapan ini, Ki Gitosani terkejut dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya begitu, anak-mas? Kalau begitu, terserah kepada andika. Akan tetapi harap andika berhati-hati. Resi Koloyitmo itu menyeramkan sekali.”
“Saya akan berhati-hati, paman. Saya hanya menitipkan buntalan pakaian ini. Dan besok pagi, kalau saya pergi ke candi itu agar jangan ada orang yang ikut ke sana. Biarkan saya sendiri yang menghadapi Resi Koloyitmo dan anaknya itu. Juga malam nanti, kalau tidak teramat penting lebih baik kalian tidak keluar rumah. Jika terdengar suara apa pun di luar biarkan saja.”
“Baik, anak-mas. Sekarang juga akan saya beri-tahukan kepada semua penduduk.”
Parmadi lalu keluar dari rumah kepala dusun itu dan dia pergi ke gardu dekat batu besar di mana dia tadi duduk bersila. Sementara itu Ki Gitosani dibantu beberapa orang segera menyampaikan pesan pemuda penolong mereka itu kepada setiap rumah.
Parmadi duduk bersila di atas papan dalam gardu itu. Papan beralaskan tikar itu cukup bersih dan tempat itu sebenarnya cukup panjang dan lebar untuk merebahkan diri. Akan tetapi Parmadi tidak mau lengah. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian dan ilmu sihir yang berbahaya. Maka dia selalu waspada dan dia duduk bersila melemaskan semua anggota tubuhnya luar dalam, namun kewaspadaannya tak pernah meninggalkannya. Dia bersila dan memejamkan mata seperti orang tidur, namun perasaannya amat peka dan kalau ada sedikit saja kejadian yang tidak wajar pasti akan diketahuinya.
Tengah malam sudah lama terlewat. Pada saat menjelang fajar itu merupakan saat yang paling nikmat bagi orang tidur malam, saat orang tidur sepulas-pulasnya. Di dalam candi dua orang masih belum tidur. Mereka itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Rambutnya kasar dan panjang, dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya merupakan brewok yang tebal. Sepasang matanya besar dan bulat, demikian pula hidung dan bibirnya.
Agaknya setiap anggota tubuh orang ini serba tebal dan besar. Pakaiannya sederhana mirip pakaian seorang pertapa, akan tetapi dia memakai gelang tangan dan ikat pinggang terbuat dari emas! Inilah Resi Koloyitmo yang ditakuti penduduk Sukuh, yang dengan kekerasan telah menggunakan candi itu sebagai tempat tinggalnya untuk sementara.
Di depan laki-laki raksasa itu duduk seorang wanita muda. Sinar lampu yang berada di atas meja di antara mereka menerangi wajah wanita itu dan orang akan terpesona kalau melihat wajah itu. Sinar lampu membuat wajah itu tampak kemerahan.
Gadis ini berusia kurang lebih dua puluh tahun. Kulitnya yang putih kuning itu demikian halus lembut bagaikan gading gajah diukir indah. Tubuhnya ramping padat, bagaikan buah yang sedang ranum atau bunga yang sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang amat sempurna, indah menggairahkan. Sang Maha Pencipta benar-benar sangat bermurah hati terhadap gadis ini, diberinya bentuk tubuh dan wajah yang demikian indahnya.
Rambutnya tebal, hitam mengkilap dan agak berombak, sanggulnya rendah menempel di tengkuk dan dihias tusuk sanggul dari emas permata, diselipi beberapa tangkai bunga melati. Sinom (anak rambut) berjuntai melingkar manja di dahi dan pelipisnya. Dahinya berkulit putih mulus dan halus bagaikan lilin diraut, agak nonong tetapi bahkan menambah daya tariknya. Sepasang telinganya kecil berbentuk indah. Sepasang alisnya hitam seperti dicelaki, padahal memang rambut alis itu hitam asli, bentuknya kecil penjang melengkung seperti bentuk bulan muda, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, ujung kanan kiri agak miring ke atas membuat kerlingnya setajam pedang.
Mata itu bening dan jeli, sinarnya tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi kepala lawan. Hidungnya kecil mancung, cupingnya yang tipis dapat bergerak lucu, dan mulutnya! Sungguh indah dan manis sekali sepasang bibir yang selalu merah membasah tanpa pemerah itu, penuh daya tarik dan menantang. Sepasang bibir itu demikian hidup, kadang sedikit terbuka sehingga tampak kilatan gigi putih rapi. Sepasang pipi itu selalu kemerahan dan dagunya meruncing menambah mahis. Lehernya agak panjang dan kulitnya demikian putih mulus dan tipis.
Pendeknya jarang terdapat seorang gadis yang sedemikian rupawan. Sukar mencari cacat celanya. Cantik jelita, ayu manis merak ati! Sungguh merupakan gambaran kebalikan dari laki-laki yang duduk di depannya. Jika lelaki itu mewakili, keburukan dan kakasaran, gadis itu mewakili keindahan dan kelembutan!
Memang sangat aneh, namun kenyataannya adalah bahwa laki-laki itu adalah ayah gadis jelita itu. Gadis berusia sekitar dua puluh tahun namun tampak baru enam belas tahun itu adalah Nini Maya Dewi, puteri Resi Koloyitmo!
Ayah dan anak ini belum lama berada di candi Sukuh. Bahkan mereka berdua baru saja memasuki daerah itu setelah mereka, atau lebih tepat, setelah Resi Koloyitmo terusir dari daerah Parahyangan.
Di tanah Pasundan itu dia dikenal sebagai seorang tokoh besar atau datuk. Akan tetapi karena dia melakukan banyak perbuatan sesat, akhirnya dia dimusuhi, dianggap sebagai pengganggu ketenteraman umum dan dimusuhi oleh para pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Bahkan banyak perguruan silat yang memusuhinya.
Bukan hanya itu, bahkan pemerintah setempat juga menganggapnya sebagai seorang tokoh sesat yang membahayakan sehingga dia dikejar-kejar dan dimusuhi. Maka terpaksa dia melarikan diri, tidak kuat menghadapi tentangan banyak orang dan dalam pelariannya memasuki daerah Mataram dia ditemani puterinya, yaitu Nini Maya Dewi.
Gadis itu merupakan satu-satunya keluarga Resi Koloyitmo. Menjadi puterinya dan juga muridnya. Semenjak kecil Maya Dewi digembleng ayahnya sendiri. Gadis ini tidak pernah mengenal ibunya yang menurut keterangan Resi Koloyitmo, ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil berusia satu tahun.
Maya Dewi amat disayang ayahnya, disayang dan dimanja. Apa pun permintaannya selalu dipenuhi sang ayah. Biar pun gadis ini tidak memperlihatkan watak kasar seperti ayahnya, namun karena sejak kecil dia hidup bersama ayahnya dan melihat sepak terjang ayahnya dalam hidup ini aneh dan kadang jahat, maka tentu saja gadis itu terpengaruh sehingga dia pun kadang berwatak aneh dan dapat bersikap keras.
Ketika Resi Koloyitmo mengajak dia untuk sementara tinggal di Candi Sukuh dan ayahnya melakukan penculikan terhadap perawan-perawan dusun, dia menganggap hal itu biasa saja. Maya Dewi tahu bahwa ayahnya menculik gadis-gadis dusun yang lugu itu untuk dua hal. Pertama sebagai pelampiasan nafsu hewan laki-laki raksasa itu, dan kedua, dan ini yang terpenting, untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dilatih ayahnya. Ilmu pukulan ini disebut Aji Rudira Wisa (Darah Beracun) dan untuk menyempurnakan ilmu pukulan dahsyat ini dibutuhkan darah perawan yang banyak untuk dihisap dan diteguk!
Ketika malam itu Resi Koloyitmo memasuki candi dengan terhuyung dan pipinya yang sebelah kiri membengkak, Maya Dewi menyambut dengan seruan heran dan khawatir. “Ayah, apa yang telah terjadi? Ayah terhuyung dan muka ayah agak bengkak.”
Resi Koloyitmo menjatuhkan diri di atas sebuah kursi. Mereka duduk saling berhadapan terhalang meja.
“Dua orang gadis tawanan itu?” tanyanya sambil mengelus pipi kirinya.
“Mereka masih berada di dalam dan aman, ayah,” jawab Maya Dewi. “Akan tetapi, ada apakah ayah?”
“Hemm, dusun itu didatangi seorang yang merupakan lawan tangguh. Dia mengagalkan aku. Hemm, aku harus membalas dendam. Maya, ambilkan dupa dan pedupaannya.”
Tanpa menjawab Maya Dewi masuk ke dalam dan tidak lama kemudian dia keluar lagi membawa barang yang diminta ayahnya. Setelah menerima dupa dan pedupaanya, Resi Koloyitmo bangkit berdiri.
“Maya, engkau tunggu di sini, jaga jangan sampai dua orang tawanan itu dilarikan orang. Hati-hati, agaknya orang-orang dusun itu sudah berani hendak melawan kita. Aku pergi dulu untuk membuat perhitungan dengan pengganggu itu.” Kakek itu lalu melompat keluar.
Satu di antara keanehan watak Maya Dewi adalah sikapnya yang acuh. Biar pun dia tahu bahwa ayahnya telah bertemu lawan tangguh, namun dia seperti orang yang tidak peduli dan dia lalu menanti, duduk bersila dan sama sekali tidak mengkhawatirkan keselamatan ayahnya.
Resi Koloyitmo menuruni bukit, menyelinap di antara batu-batu dan pohon-pohon menuju ke dusun. Sesudah tiba di luar dusun, dia berhenti dan bersembunyi di balik batu besar, mengintai. Dia melihat ketlka Parmadi memasuki gubuk gardu. Dia menyeringai. Pemuda yang dibencinya itu berada dalam sebuah gardu, seorang diri sehingga memudahkannya turun tangan membuat perhitungan dan pembalasan!
Parmadi yang sedang duduk bersila di dalam gardu tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ Resi Koloyitmo sudah mengintai dan bersiap-siap untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya. Tetapi dia sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia sudah siap dan waspada.
Ketika tiba-tiba ada hawa yang dingin memasuki gardu dan hawa dingin ini mendatangkan rasa nyaman dan menimbulkan rasa kantuk yang sangat kuat, Parmadi segera menyadari bahwa perasaan mengantuk yang menyerangnya ini merupakan sesuatu yang tidak wajar.
Dalam keadaan biasa dia tentu tidak curiga dan akan menyerah ke dalam dekapan rasa kantuk yang nikmat itu, membiarkan diri terbuai dalam tidur. Tapi karena memang tadinya dia sudah menaruh curiga dan sudah waspada, maka begitu perasaan ini menyerangnya, tahulah dia bahwa dia telah diserang dengan aji penyirepan yang amat ampuh!
Parmadi segera mengerahkan seluruh kekuatan batinnya, menyerah dan mohon kekuatan kepada Kekuasaan Gusti Allah kemudian menggosok-gosok sepasang telapak tangannya satu sama lain sampai kedua telapak tangannya terasa hangat lalu menempelkan telapak tangan itu kepada kedua matanya. Rasa hangat itu menjalar ke dalam kedua matanya dan seketika mengusir rasa kantuk yang amat kuat itu. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya dan duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak terpengaruh lagi oleh hawa dingin yang timbul karena aji penyirepan itu.....
Komentar
Posting Komentar