SERULING GADING : JILID-19
Resi Koloyitmo menjadi marah. Dia menghentikan pengerahan aji penyirepan itu dan mulai membakar dupa di pedupaan yang telah dibawanya sebagai persiapan. Asap putih segera mengepul. Bau harum yang khas tersebar dan suasana malam itu menjadi menyeramkan.
Sebentar saja harum dupa yang aneh itu sudah sampai ke dalam gardu dan tercium oleh Parmadi. Pemuda ini hanya tersenyum dan dengan tenang dia mencabut seruling gading dari pinggangnya lalu mulailah dia meniup suling itu. Terdengar suara melengking-lengking merdu menyusup ke dalam kesunyian malam.
Kemudian terdengarlah bunyi ledakan-ledakan di atas atap gardu, disusul suara benda-benda kecil berjatuhan menimpa atap. Serangan pertama berupa hujan benda-benda kecil terbuat dari besi yang berkarat itu gagal. Benda-benda yang ditujukan untuk menyerang tubuh Parmadi rontok begitu tiba di atas gardu, seolah-olah bertemu dengan perisai atau payung besar yang terbentuk oleh suara suling.
Tak jauh dari gardu, di balik sebuah batu besar, Resi Koloyitmo yang masih duduk bersila menghadapi pedupaan yang mengepulkan asap putih menjadi makin penasaran. Mukanya berubah merah sekali. Ia pun menengadah, memandang bulan yang sudah turun ke barat. Serangannya yang kedua juga gagal. Suara seruling yang melengking-lengking merdu itu bahkan terasa seperti hawa panas yang mulai membakar dirinya.
Dia lalu berkemak-kemik membaca mantera, ditambahkannya dupa di atas api dan asap putih yang tebal sekali bergulung ke atas. Dia membaca mantera lagi dengan suara yang agak keras sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah asap yang bergulung-gulung.
Terjadi hal yang aneh sekali. Asap putih bergulung-gulung itu mulai membentuk ujud-ujud yang mengerikan. Bentuk setengah manusia setengah hewan. Ada tujuh banyaknya dan perlahan-lahan ujud tujuh makhluk jadi-jadian ini melayang-layang ke arah gardu!
Parmadi dapat merasakan datangnya ancaman serangan ketiga ini. Tiba-tiba dia merasa betapa hawa menjadi panas sekali seolah gardu itu terbakar. Dan dia melihat pula bentuk-bentuk makhluk menyeramkan yang agaknya berusaha untuk memasuki ruangan bawah atap itu dari semua jurus, hendak mendobrak perisai suara yang melindunginya.
Parmadi segera maklum bahwa lawan yang tangguh itu agaknya hendak mempergunakan kekuatan sihir yang berhawa panas untuk melawan pertahanannya yang diciptakan oleh suara seruling gading yang berhawa panas pula. Kalau dia bertahan dengan pertahanan itu, ada bahayanya serangan lawan ini akan berhasii.
Oleh karena itu ia segera mengubah suara tiupan sulingnya. Kini sulingnya mengeluarkan suara bernada rendah yang mendatangkan getaran sangat kuat. Seketika hawa langsung berubah menjadi dingin sekali, sedingin hawa di puncak Gunung Lawu.
Bentuk-bentuk makhluk aneh dari asap putih itu tiba-tiba saja menjadi kacau dan mereka cepat menjauhkan diri, kembali ke balik batu besar di mana Resi Koloyitmo mengerahkan seluruh tenaga untuk memperkuat makhluk-makhluk ciptaan ilmu sihirnya. Tetapi tiba-tiba hawa dingin yang amat hebat menyerangnya dan dia terbelalak melihat asap putih itu kini membalik dan api di pedupaannya padam! Asap putih itu pun buyar terbawa angin. Resi Koloyitmo merasa dingin sekali dan menggigil, lalu bangkit berdiri dan lari pontang-panting mendaki bukit menuju candi yang menjadi sarangnya.
Api lampu penerangan di atas batu berbentuk meja itu bergoyang-goyang ketika Resi Koloyitmo memasuki candi. Dia bersedakap dan masih menggigil. Giginya berkeratakan seperti orang menderita sakit demam. Dia segera menjatuhkan diri duduk bersila di dekat Nini Maya Dewi.
“Bagaimana, ayah?” tanya gadis itu.
Namun yang ditanya tidak menjawab, hanya duduk bersila untuk menghimpun kekuatan melawan hawa dingin yang masih menyusup-nyusup di tulang-tulang tubuhnya.
Melihat keadaan ayahnya itu, Maya Dewi cepat menjulurkan kedua tangannya yang kecil mungil, ditempelkan pada punggung ayahnya dan dia pun mengerahkan tenaga saktinya untuk membantu ayahnya menolak hawa dingin yang menembus tulang itu. Bantuan gadis itu ternyata sangat menolong.
Tidak lama kemudian tubuh Resi Koloyitmo menjadi tenang kembali dan hawa dingin itu sudah meninggalkannya. Tubuhnya terasa hangat. “Cukup, Maya,” katanya.
Gadis itu melepaskan kedua telapak tangannya. Mereka duduk berhadapan.
“Bagaimana, ayah?” kembali Maya Dewi bertanya.
Resi Koloyitmo menghela napas panjang dan wajahnya membayangkan kekecewaan.
“Sungguh tak kusangka, di dusun sepi seperti ini aku bertemu dengan lawan yang begitu kuatnya. Semua ilmu sihirku, juga aji penyirepan, sudah kukerahkan namun semua tidak berhasil. Dia kuat sekali.”
Maya Dewi mengerutkan alisnya yang indah. “Hemm, siapakah orang itu, ayah?”
“Aku belum tahu siapa dia. Akan tetapi agaknya dia seorang pendatang dari luar dusun dan dia bahkan bermalam di dalam gardu di ujung dusun itu. Tampaknya seorang pemuda biasa saja, tetapi ternyata dia kuat sekali. Suara tiupan sulingnya mengandung kekuatan yang amat dahsyat, sukar kutandingi.”
“Akan kubereskan dia!” kata gadis itu dan ia sudah bangkit berdiri dan hendak melangkah keluar.
“Maya, hendak ke mana engkau?” tegur ayahnya.
“Ke mana lagi, ayah? Pergi membunuh orang itu!” kata gadis itu sambil memegang ujung sabuknya yang tergantung panjang. Itulah Sabuk Cinde Kencana, sabuk yang terbuat dari benang emas dan merupakan senjatanya yang ampuh.
“Jangan, Maya. Malam sudah hampir fajar, bulan sudah menghilang ke barat. Cuaca di luar gelap sekali. Orang itu sangat berbahaya. Biar aku sendiri yang akan menghajarnya nanti jika sudah pagi. Sekarang aku akan mengaso dulu. Jangan lengah, Maya, engkaulah yang harus berjaga sampai pagi.”
Setelah berkata demikian, Resi Koloyitmo lalu memasuki sebuah ruangan di sudut.
Ternyata di situ terdapat sebuah pembaringan besar dari kayu dan di atas pembaringan itu duduk dua orang gadis manis. Seorang dari mereka kelihatan pucat dan kedua orang gadis itu seperti orang yang kehilangan semangat, duduk seperti patung. Mereka adalah dua orang gadis dusun yang diculik Resi Koloyitmo dan mereka memang berada dalam keadaan tidak sadar, di bawah pengaruh sihir.
Ketika Resi Koloyitmo rebah di atas pembaringan dan merangkul kedua orang gadis itu di kanan kirinya, mereka sama sekali tidak memperlihatkan tanggapan apa pun, seperti dua buah boneka saja.....
********************
Puncak Gunung Lawu yang menjulang tinggi masih menyembunyikan matahari di balik punggungnya, akan tetapi sinar matahari sudah menerangi seluruh permukaan bukit-bukit. Parmadi masih duduk bersila. Mendengar suara banyak orang, dia membuka matanya dan memandang dengan heran melihat banyak sekali orang keluar dari dalam dusun. Ia segera keluar dari gardu menghadang mereka.
Ternyata mereka adalah penduduk dusun Sukuh, tua muda, laki-laki perempuan, bahkan kanak-kanak dan ada wanita yang menggendong bayinya. Agaknya seluruh penduduk yang jumlahnya seratus orang lebih sekarang keluar semua dipimpin oleh Ki Gitosani! Dan mereka itu, juga yang perempuan, membawa segala macam alat untuk dijadikan senjata. Ada yang membawa arit, pacul, parang, pisau dapur, bahkan ada yang membawa alu dan pada wajah mereka terbayang kenekatan orang-orang yang hendak berperang!
“Paman Gitosani, andika sekalian ini hendak pergi ke manakah?” tanya Parmadi sungguh pun dia sudah bisa menduga bahwa orang-orang ini agaknya sudah tidak dapat menahan kesabaran mereka dan dengan nekat mereka hendak menyerang Resi Koloyitmo yang dianggap pembawa mala petaka bagi penduduk dusun itu.
“Anak-mas Seruling Gading, pagi ini kami semua bertekad untuk menyerbu dan menolong dua orang perawan yang diculik dan mengusir manusia durjana itu dari dalam candi. Kami bertekad untuk melawan sampai orang terakhir!” kata Ki Gitosani dengan sikap gagah dan semua memberi dukungan dengan suara bulat seperti sekumpulan lebah yang marah.
Parmadi tersenyum dan mengangguk. “Paman Gitosani, sikap andika sekalian memang tepat sekali. Kalau andika sekalian sedusun bersatu-padu dan bertekad dengan hati bulat menentang kejahatan saya kira takkan ada orang jahat yang akan berani berlagak. Tetapi mengapa baru sekarang andika sekalian bergerak?”
“Semangat kami lantas timbul setelah melihat andika berani menentang iblis itu, anak-mas Seruling Gading. Sikap andika yang gagah perkasa itu menyulut dan membakar semangat kami. Kami tak akan mundur dan siap untuk membela kehormatan dan keselamatan kami sampai mati!” Kembali suara gemuruh mendukung ucapan Ki Gitosani itu.
Parmadi mengangguk-angguk. “Bagus, Beginilah seyogianya semangat bangsa kita yang gagah berani. Bersatu-padu, bergotong-royong untuk mengembangkan dan membangun yang baik, juga meruntuhkan dan melenyapkan yang buruk demi kesejahteraan kehidupan bangsa. Mari kita ke candi. Akan tetapi tidak perlu kita mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Karena itu saya mengharap agar andika sekalian berdiri di belakang saya dan hanya menjadi saksi saja. Kalau saya sudah cukup mampu menanggulangi mereka, saya harap andika sekalian jangan bertindak apa-apa. Kalau saya kalah, baru terserah kepada andika sekalian. Hal ini perlu andika perhatikan dan taati mengingat bahwa pihak lawan memiliki aji kesaktian dan agar jangan ada korban jatuh di pihak kita.”
“Kami akan mentaati pesan anak-mas Seruling Gading!” kata Ki Gitosani lantang.
Semua orang menyetujui. Memang semangat mereka telah terbakar dan mereka menjadi nekat, namun harus diakui bahwa mereka juga merasa ngeri mengingat akan kesaktian lawan.....
********************
Sementara itu Maya Dewi berseru dari luar ruangan tempat tidur ayahnya, “Ayah! Ayah, bangunlah! Cepat...!”
Resi Koloyitmo terbangun dan sesudah membereskan pakaiannya, dia berlari keluar dan tidak lupa membawa sebatang senjata nenggala, (semacam penggada runcing) yang berwarna hitam legam. Teriakan puterinya mengandung kekagetan, hal yang hampir tidak pernah terjadi karena puterinya adalah seorang gadis yang tidak pernah mengenal takut. Dari teriakan itu dia tahu bahwa tentu terjadi sesuatu yang mengancam mereka.
“Ada apakah, Maya?” tanyanya.
“Mari kita keluar dan lihatlah sendiri, ayah!” kata Maya Dewi yang cepat berlari keluar dari kompleks candi, diikuti oleh Resi Koloyitmo. Dari depan candi yang merupakan puncak bukit, mereka dapat melihat seratus orang lebih yang mendaki bukit itu.
Sejenak ayah dan anak ini diam saja hanya memandang. Setelah rombongan itu semakin dekat dan suara mereka yang gemuruh mulai terdengar, mereka dapat melihat wajah mereka yang berjalan di depan rombongan.
Resi Koloyitmo mengenal Ki Gitosani dan pemuda yang dilihatnya semalam. Biar pun tadi malam dia hanya melihat dengan samar-samar, namun dia sudah dapat menduga bahwa tentu pemuda yang kini memimpin rombongan orang dusun itulah orangnya.
“Babo-babo, keparat! Pemuda itu memimpin seluruh penduduk dusun untuk menyerbu ke sini!” kata Resi Koloyit sambil mengacungkan senjata nenggala di tangannya.
“Ayah, pemuda yang berjalan di depan itukah yang semalam telah mengalahkan semua ilmu sihirmu?” Maya Dewi memandang penuh perhatian.
Kini dia dapat melihat Parmadi dengan cukup jelas. Seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, wajahnya yang tampan itu dhiasi senyum dan tampak cerah, lenggangnya lentur seenaknya seperti langkah seekor harimau!
“Benar, dialah keparat itu!”
“Ayah, bagaimana kita akan dapat melawan orang sebanyak itu? Tidak mungkin kita harus membunuh seratus lebih penduduk dusun berikut semua anak-anak itu!” kata Maya Dewi ragu.
Dia sama sekali tidak takut, tapi kalau harus membunuh orang sebanyak itu, di antaranya banyak terdapat wanita lemah dan anak-anak, dia merasa tidak enak sekali. Watak gadis ini memang sudah terbentuk keras sejak kecil, dan dia akan dapat membunuh orang yang memang dianggap sebagai musuhnya. Akan tetapi membunuhi seratus lebih orang dusun yang sama sekali tidak bersalah dan bukan musuhnya? Dia merasa tidak sanggup untuk melakukannya.
“Hemm, aku akan menantang keparat itu untuk bertanding satu lawan satu dan aku harus dapat membunuhnya! Kalau para penduduk dusun itu maju mengeroyok, aku masih dapat meloloskan diri dengan mudah. Oleh sebab itu sebaiknya engkau jangan ikut campur. Kau berangkatlah dulu. Kita berpisah di sini. Pergilah engkau ke Madura, temuilah Ki Harya Baka Wulung yang pernah menghubungi kita di Kadipaten Arisbaya. Aku akan segera menyusul ke sana.”
“Tidak perlukah aku membantumu?”
“Tidak usah. Sudah kukatakan aku dapat meloloskan diri kalau terpaksa. Pergilah dan cepat! Kerja sama kita dengan Ki Harya Baka Wulung lebih penting dari pada urusan kecil seperti ini!” Resi Koloyitmo membentak anaknya.
Maya Dewi tidak membantah lagi dan dia pun segera pergi meninggalkan candi melalui lereng bukit di belakang candi.
Resi Koloyitmo memang pernah dihubungi Ki Harya Baka Wulung. Sesudah Harya Baka Wulung mendengar bahwa datuk dari Parahyangan itu menjadi buronan, dia sengaja mencari dan menjumpainya lalu membujuknya agar suka membantu dia untuk melawan Mataram dan membela Madura dan Surabaya. Pendeknya membela daerah mana saja yang bermusuhan dengan Mataram.
Reso Koloyitmo segera menyetujui. Selain dia sedang menjadi buronan di Parahyangan dan dia mengharapkan imbalan jasa dari kerja sama itu, juga yang terutama sekali karena dia juga mempunyai dendam terhadap Mataram. Kakaknya yang bernama Klabangkolo yang dahulu menjadi pertapa di Gunung Ijen pernah memusuhi Mataram dan Klabangkolo tewas dalam pertempuran melawan para satria dan senopati Mataram. Kini tentu saja dia suka membantu Harya Baka Wulung untuk memusuhi Mataram dan sekalian membalas dendamnya atas kematian Klabangkolo, kakaknya.
Setelah Maya Dewi meninggalkan candi, Resi Koloyitmo lalu keluar dari halaman candi di mana terdapat tanah lapang. Kakek seperti raksasa ini berdiri dengan dua kaki terpentang lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang senjata nenggalanya. Dia menanti rombongan orang itu dengan mata mencorong dan mulutnya menyeringai, mengejek. Sama sekali dia tidak tampak gentar menghadapi orang demikian banyaknya.
Setelah berhadapan dengan Resi Koloyitmo dalam jarak sekitar sepuluh meter, Parmadi berhenti melangkah dan dia memberi isyarat kepada Ki Gitosani untuk mundur. Lurah itu mengerti akan isyarat itu dan dia pun menggerakkan tangan ke atas menyuruh penduduk dusun agak mundur memberi kesempatan kepada pemuda penolong mereka itu untuk menghadapi Resi Koloyitmo.
Para penduduk segera bergerak agak ke belakang. Mereka memang sudah merasa agak tegang dan seram melihat kakek yang seperti raksasa itu, apa lagi melihat kakek itu kini memegang sebuah senjata yang tampak besar dan berat.
Parmadi menatap wajah kakek itu. Ketika melihat betapa pipi sebelah kiri laki-laki itu agak membengkak, dia pun yakin bahwa orang ini yang semalam mengubah diri menjadi seekor harimau.
Resi Koloyitmo juga memandang dengan tajam. Pandang mata kedua orang ini bertemu dan Parmadi merasa betapa sepasang mata besar yang mencorong itu menyerangnya dengan daya yang kuat untuk menundukkan batinnya. Akan tetapi dengan tenangnya dia memandang dan serangan itu sama lekali tidak mempengaruhinya.
Resi Koloyitmo maklum bahwa tidak ada gunanya bagi dia untuk bertanding ilmu sihir. Semalam semua ilmu sihirnya telah dia kerahkan namun tidak ada hasilnya sama sekali. Dia melihat pemuda itu tidak memegang senjata, akan tetapi ada sebuah suling berwarna putih kekuningan terselip di ikat pinggangnya. Dia segera teringat akan suara suling yang melengking-lengking semalam, suara yang mengandung getaran amat kuat dan yang telah menolak dan membuyarkan semua serangan sihirnya.
“Hei, orang muda! Siapakah engkau, berani datang mengganggu di tempat pertapaanku?” bentaknya sambil menudingkan nenggalanya ke arah muka Parmadi.
“Resi Koloyitmo, tidak penting siapa aku. Aku mewakili warga dusun ini untuk minta agar andika suka membebaskan dua orang gadis yang andika culik dan kuharap andika suka menyadari akan kesalahanmu lalu bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Sungguh patut disayangkan bila seorang pertapa seperti andika yang telah puluhan tahun bersusah payah mempelajari ilmu kini mempergunakan ilmu itu untuk perbuatan yang kotor, berarti andika mengotori dan menodai ilmu-ilmu itu.”
“Babo-babo! Orang muda yang amat sombong. Engkau berlagak menjadi seorang satria, seorang pendekar yang gagah berani, akan tetapi sebenarnya engkau hanyalah seorang bocah pengecut yang mengandalkan seratus orang lebih untuk mengeroyok aku!” Dengan nenggalanya dia lalu menuding ke arah warga dusun yang berdiri agak jauh di belakang Parmadi.
Parmadi tersenyum. “Andika salah sangka, Resi Koloyitmo. Aku tidak mengerahkan warga dusun ini. Mereka memang marah dan sakit hati kepada andika yang telah menculik dua orang gadis dusun dan andika dengan kekerasan menguasai candi yang menjadi tempat pemujaan bagi warga dusun. Aku tidak ingin mengeroyok, bahkan aku mencegah mereka melakukan pengeroyokan karena aku yakin andika akan suka menyadari kesalahan dan mau menyerahkan kembali dua orang gadis itu kemudian meninggalkan candi dan dusun ini dengan baik-baik.”
“Babo-babo, keparat! Orang muda, betapa beraninya engkau menentang aku! Aku adalah penjelmaan Sang Bathara Kolo dan aku berkuasa sepenuhnya atas segala yang berada di dunia ini!”
“Maaf, Sang Resi. Andika bukanlah Sang Bathara Kolo. Sang Bathara Kolo (sang waktu) hanya memangsa sesuatu atau seseorang kalau memang telah tiba saatnya bagi sesuatu atau seseorang itu untuk binasa. Tetapi andika mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak andika yang timbul dari dorongan nafsu daya rendah yang menguasai hati akal pikiran andika! Sadar dan bertobatlah sebelum terlambat.”
Tiba-tiba terdengar seruan di antara para warga dusun Sukuh itu, “Den-mas Seruling Gading, hantam saja iblis itu!” Sesudah terdengar seruan ini dari tengah-tengah mereka, semua orang pun berani bersuara sehingga suasana menjadi gaduh.
Parmadi memutar tubuh dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tenang.
“Hemm, kiranya engkau bernama Seruling Gading?” tanya Resi Koloyitmo.
“Orang menyebutku demikian,” kata Parmadi tenang.
“Seruling Gading, kalau engkau memang lelaki gagah perkasa, aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu, tidak menggunakan pengeroyokan. Beranikah engkau?”
“Resi Koloyitmo, aku bukan seorang yang suka mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi kalau andika tidak mau membebaskan dua orang gadis dusun yang kau culik dan tak mau meninggalkan candi ini, terpaksa aku harus membela warga dusun dan melawanmu!”
“Babo-babo, majulah, Seruling Gadis. Bersiaplah engkau untuk mati di ujung nenggalaku!”
“Mati hidupku berada dalam tangan Gusti Allah sebab aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepada Gusti Allah. Andika tidak akan mampu memaksakan kehendakmu, Resi Koloyitmo!”
“Sombong! Sambutlah nenggalaku ini! Hyaaaaaattt... !” Kakek itu menerjang dengan amat dahsyatnya, nenggalanya meluncur seperti kilat menyambar ke arah kepala Parmadi.
Pemuda ini maklum akan bahaya maut karena dari sambaran angin serangan itu saja dia tahu betapa dahsyat dan kuatnya serangan itu. Namun Parmadi adalah seorang pemuda yang sudah mendapat gemblengan dari seorang yang sakti mandraguna seperti Resi Tejo Wening.
Dia harus menyerap inti dan dasar semua aji kanuragan sehingga gerakannya merupakan gerakan otomatis, tidak dikendalikan pikiran melainkan setiap anggota tubuhnya hidup sendri-sendiri terbimbing jiwa yang luhur, jiwa yang sudah memasuki taraf ‘manunggaling kawulo gusti’. Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa telah sepenuhnya membimbing jiwa yang menggerakkan semua anggota tubuh itu. Gerakannya otomatis dan tidak disengaja lagi, seolah sepenuhnya dituntun naluri.
Ketika nenggla itu dengan cepatnya menyambar ke arah kepala, Parmadi memiringkan tubuh atas ke kiri sehingga sambaran nenggala itu luput. Pemuda itu mundur satu langkah dan ketika tangan kanannya bergerak, seruling gading sudah berada di tangannya. Sinar matahari pagi menimpa suling itu sehingga tampak berkilauan.
Melihat serangan pertamanya berhasil dielakkan lawan dengan demikian mudahnya. Resi Koloyitmo menjadi penasaran dan semakin marah. Dia mengeluarkan suara mengaum yang menggetarkan. Inilah Aji Singanada dan pengaruh auman seperti ini dimiliki semua singa yang mampu melumpuhkan calon mangsanya hanya dengan pekikan atau auman seperti itu. Resi Koloyitmo tidak hanya mengeluarkan Aji Singanada, melainkan segera dia menyusul dengan serangan nenggalanya, kini menusuk ke arah dada Parmadi.
“Ambrol dadamu!” bentaknya.
Parmadi menggerakkan seruling gadingnya. Dia sudah bergerak dalam Aji Sunyatmaka dan sulingnya hilang bentuknya menjadi segulungan sinar kuning gading yang terang, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suara melengking-lengking seolah suing itu ditiup dan dimainkan orang.
“Trang-tranggg...!”
Dua kali nenggala bertemu seruling gading dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Resi Koloyitmo terkejut bukan kepalang karena ketika dua kali senjatanya beradu dengan suling, ia merasa seolah-olah tenaganya tenggelam dan tersedot, bertemu tenaga yang lembut tetapi yang membuat tenaganya sendiri seperti hilang dan kosong. Nenggala itu terpental ketika bertemu suling dan tangannya yang memegang nenggala tergetar hebat seperti kesemutan.
Dia adalah seorang sakti mandraguna yang telah memiliki banyak pengalaman bertanding. Namun harus dia akul bahwa belum pernah bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sakti seperti itu, tenaga yang menyerap dan menyedot, lembut namun menyembunyikan kekuatan dahsyat!
Resi Koloyitmo menjadi penasaran sekali. Dia tidak percaya bahwa seorang lawan yang masih begitu muda, patut menjadi anaknya, akan mampu mengalahkannya. Maka dia pun menggereng lagi dan nenggalanya kini bergerak dengan cepat bagaikan singa mengamuk. Dia menggunakan ilmu silat Singarodra dan serangan-serangannya memang buas.
Kini bukan saja nenggalanya yang menyambar-nyambar ganas, akan tetapi tangan kirinya juga membentuk cakar singa dan menyelingi sambaran nenggala dengan cakaran serta cengkeraman yang mendatangkan angin begitu kuatnya. Serangan nenggala dan cakaran tangan kiri ini masih diseling lagi dengan tendangan dua kakinya yang besar dan panjang. Kedua kaki itu mencuat dan menyambar dengan tendangan susul-menyusul yang sangat berbahaya bagi lawan.
Tapi dengan tenang namun ringan dan cepat sekali Parmadi menghadapi serangan yang mati-matian dan sangat dahsyat itu. Dia menggerakkan kedua kakinya, membuat langkah-langkah indah laksana orang menari, kedua kakinya berpindah-pindah kanan kiri, maju mundur dan anehnya, semua serangan yang bagaikan hujan lebatnya itu tak pernah dapat menyentuh tubuhnya.
Kadang dengan suling gadingnya dia menangkis sambaran nenggala dan dengan tangan kirinya dia menangkis cengeraman atau tendangan lawan. Hebatnya, biar pun tangkisan tangan kirinya itu dilakukan dengan perlahan saja, tetapi begitu bertemu dengan lengan lawan, Resi Koloyitmo merasa seolah tangannya bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat, benda yang mengandung getaran begitu kuatnya sehingga dia merasa seluruh lengannya tergetar.
Karena merasa penasaran Resi Koloyitmo lalu mengeluarkan aji kesaktiannya yang amat dahsyat dan menjadi aji pamungkasnya. Dia berkemak-kemik dan mengumpulkan seluruh tenaga sakti ke dalam tangan kiri. Tangan kirinya mengepulkan asap yang mengeluarkan asap putih yang mengandung ganda amis. Inilah tenaga yang diperoleh melalui antara lain menghisap darah perawan-perawan muda yang diculiknya. Tenaga yang mengandung ilmu hitam, berbahaya dan dahsyat. Dia mendorongkan tangan kiri itu ke arah Parmadi sambil berteriak melengking.
“Hyaaaaattt...!”
Sejak tadi, ketika Resi Koloyitmo berkemak-kemik, Parmadi sudah merasakan sesuatu yang tak wajar. Maka dia pun cepat menyelipkan sulingnya di ikat pinggang dan pada saat Resi Koloyitmo mendorong tangan kirinya ke arah dadanya, dia pun cepat menyambut dengan dorongan tangan kanannya yang terbuka, dengan Aji Sunya Hasta.
Aji Sunya Hasta mengandung kekuatan alami yang sangat dahsyat. Sunya berarti hampa, kosong atau sirna. Seperti sifatnya hawa, tampak kosong namun berisi, berisi namun kosong. Kalau hawa yang tampaknya tidak ada itu memenuhi sebuah benda kosong dan tertutup rapat, maka benda itu memiliki kekuatan yang amat hebat dan tidak ada kekuatan lain mampu melawannya.
“Wuuuuttt...! Dessss...!”
Dua buah telapak tangan bertemu udara dan para penduduk dusun Sukuh yang berada di pekarangan candi itu menjadi terkejut sekali karena mereka merasa bumi yang mereka pijak seolah-olah tergetar hebat, padahal jarak antara mereka dan dua orang yang sedang mengadu kesaktian itu cukup jauh, tidak kurang dari dua puluh meternya.
Akibat pertemuan kedua telapak tangan yang mengandung tenaga sakti itu, tubuh Resi Koloyitmo terhuyung ke belakang dan dia mengusap mulut dengan tangan kirinya. Tangan itu berlepotan darah! Dia sudah terluka pada bagian dalam tubuhya.
Hal ini membuat dia menjadi semakin marah dan bagaikan seekor binatang buas terluka dia menubruk ke depan sambil menghantamkan senjata nenggalanya. Sinar berkelebat menyambar ke arah Parmadi. Pemuda ini dengan tenang namun cepat dan kuat sekali sudah mencabut seruling gading dan menangkis.
“Trangggg...!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kembali tubuh Resi Koloyitmo terhuyung bahkan kini sampai jatuh terguling. Akan tetapi dia cepat melompat berdiri dan berkelebat lari ke arah belakang candi. Gerakannya cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lari turun dari bukit di sebelah belakang.....
Komentar
Posting Komentar