SERULING GADING : JILID-20


Karmi dan Tiyah, dua orang perawan dusun itu, sudah menjadi korban kebiadaban Resi Koloyitmo. Mereka telah dipengaruhi sihir dan dinodai. Karmi lebih payah lagi keadaannya karena darahnya sudah banyak dihisap oleh raksasa berwatak iblis itu untuk memperkuat latihan mendalami Aji Hastagraha, yaitu ilmu pukulan jarak jauh seperti yang dia lakukan tadi pada saat menyerang Parmadi. Keadaan gadis kedua, Tiyah, masih mending karena darahnya belum dihisap walau pun ia juga menjadi korban perkosaan kakek biadab itu.

Dua orang gadis itu menangis dalam rangkulan ayah masing-masing dan beramai-amai para penduduk dusun Sukuh kembali ke dusun sesudah membersihkan candi dari bekas bilik yang dibuat oleh Resi Kolotrno dan puterinya, Maya Dewi. Mereka membongkar bilik itu, membawanya keluar candi lalu membakarnya. Kemudian mereka membersihkan candi yang mereka keramatkan itu.

Setelah tiba kembali di dusun Sukuh, Parmadi yang pernah mempelajari ilmu pengobatan sekedarnya dari Resi Tejo Wening, melihat Karmi yang lemah karena kehabisan darah, lalu menganjurkan kepada orang tua Karmi untuk memberi minum jamu setiap hari kepada gadis yang malang itu. Ramuan jamu itu terdiri dari biji jintan hitam, daun gondopuro, babakan pule, dicampur dengan kuning telur dan madu.

Kemudian dia menasihatkan kepada Ki Gitosani yang menjadi kepala dusun itu, “Paman Gitosani, di sebuah dusun seperti dusun Sukuh ini, persatuan dan gotong-royong haruslah diperkuat. Saya melihat bahwa kalau andika sekalian bersatu-padu, andika merupakan kesatuan yang cukup kuat untuk membela diri sendiri dan mengusir semua penjahat yang mengacau dusun ini. Saya kira, biar seorang manusia iblis macam Resi Koloyitmo sekali pun akan gentar dan mundur kalau harus menghadapi seluruh penduduk yang bersatu-padu dan nekat melakukan perlawanan.”

Ki Gitosani mengucapkan terima kasih atas pertolongan pemuda itu. “Anak-mas Seruling Gading, kami seluruh penghuni dusun berterima kasih sekali atas pertolongan andika dan selamanya kami tidak akan melupakannya. Juga nasihat anak-mas akan kami taati. Akan tetapi kami harap sudilah kiranya anak-mas memperkenalkan nama asli anak-mas karena kami mengira bahwa nama Seruling Gading itu hanyalah nama samaran karena anak-mas memiliki sebuah seruling gading sebagai senjata.”

“Ahh, paman. Saya lebih senang dikenal sebagai Seruling Gading dan apa yang tadi saya lakukan itu tak perlu dibesar-besarkan, paman. Hal itu merupakan kewajiban setiap orang dan bukan merupakan budi pertolongan.”

Ki Gitosani mengerutkan alisnya, merasa tidak setuju dengan ucapan pemuda itu, “Akan tetapi, anak-mas, apa yang andika lakukan itu merupakan budi pertolongan yang besar sekali bagi kami orang sedusun. Kalau tidak ada andika yang menolong kami, tentu gadis-gadis itu akan tewas dan lebih banyak orang lagi akan menjadi korban kekejian manusia iblis itu. Anak-maslah yang menolong kami, bagaimana kami tidak boleh berterima kasih kepada andika yang melepas budi kebaikan kepada kami?”

Parmadi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Bukan, paman. Bukan saya yang menolong penduduk dusun ini.”

“Bukan andika, anak-mas Seruling Gading?” tanya lurah itu dengan mata terbelalak heran. “Lalu siapa yang menolong kami dan menyelamatkan para gadis itu, mengusir manusia iblis itu?”

“Gusti Allah yang sudah menolong andika sekalian, bukan saya,” kata Parmadi dengan suara sungguh-sungguh karena apa yang diucapkannya itu keluar dari lubuk hatinya.

“Tapi... tapi... kami semua melihat bahwa andika yang telah mengusir iblis itu, anak-mas!” bantah Ki Gitosani.

“Ya, karena pada waktu itu kebetulan Gusti Allah mempergunakan saya untuk menolong kalian semua. Karena itu, kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Gusti Allah. Hanya Gusti Allah saja yang dapat menolong, hanya Gusti Allah saja yang patut dipuji, patut disyukuri. Saya ini hanyalah alat, paman, seperti semua manusia di dunia ini. Terjadi setiap saat dan di mana saja. Andai kata paman melihat seorang kelaparan lalu memberi makanan, bukan paman yang menolongnya melainkan Gusti Allah yang ketika itu menggunakan paman untuk menolong orang kelaparan itu. Kita semua dapat menjadi alat Gusti Allah. Tergantung kepada kita sendiri, apakah kita bersedia menjadi alat Gusti Allah ataukah menjadi alat setan seperti halnya Resi Koloyitmo itu. Jadi sekali lagi. Jangan berterima kasih kepada saya yang hanya alat, melainkan berterima kasihlah kepada Gusti Allah, Sang Penolong. Penyelamat yang sejati.”

“Aduh, anak-mas...!” Suara Ki Gitosani penuh keharuan. “Andika seorang pemuda yang bijaksana, sungguh luar biasa sekali dan saya seperti mendengar wejangan seorang yang arif...”

“Sudahlah, paman. Saya kira sudah cukup. Sekarang ijinkan saya berpamit. Saya harus melanjutkan perjalanan saya. Selamat tinggal, paman.”

Sesudah berkata demikian, Parmadi cepat keluar dari rumah Ki Gitosani. Setelah tiba di tengah dusun, dia mendengar suara gaduh di belakangnya dan ternyata semua penduduk dusun Sukuh mengiringnya keluar dari dusun itu! Dia merasa rikuh sekali dan setelah tiba di luar dusun, dia membalik menghadapi mereka, lalu berkata, “Selamat tinggal!”

Kemudian sekali berkelebat bayangannya telah lenyap dari situ. Para penduduk terbelalak dan tiada sudahnya memuji pemuda itu. Bahkan sebagian besar dari mereka percaya bahwa pemuda yang mereka kenal sebagai Seruling Gading itu bukan manusia biasa, melainkan dewa yang sengaja turun dari kahyangan untuk menolong manusia.....!

********************

Sekarang marilah kita ikuti apa yang dialami Muryani semenjak dia ditinggal pergi Parmadi yang meninggalkan kademangan Pakis untuk mengikuti gurunya ke puncak Lawu.

Gadis remaja ini merasa kehilangan sekali setelah Parmadi pergi. Baru ia merasa betapa dekat hatinya dengan pemuda itu sesudah ia ditinggal pergi. Akan tetapi karena ayahnya, Ki Ronggo Bangak, oleh para penduduk diangkat menjadi pemimpin kademangan sebelum datang seorang demang baru yang ditunjuk oleh kadipaten, maka Muryani mendapatkan kesibukan baru, yakni membantu ayahnya. Karena dia dikenal sekarang sebagai seorang gadis yang memiliki kedigdayaan, maka Muryani dianggap sebagai pemimpin para orang muda yang bertugas menjaga keamanan di kademangan Pakis.

Kemudian datanglah Demang Warutomo yang diangkat oleh Tumenggung Wiroguno dan menjadi demang baru dari Pakis. Ki Demang Warutomo menghargai Ki Ronggo Bangak, tahu bahwa orang itu terpelajar, sastrawan dan seniman, maka menganggapnya sebagai pinisepuh dusun Pakis dan menganggap sebagai penasihatnya. Kemudian terjadilah mala petaka pada malam hari itu.

Malam itu amat sunyi. Udara mendung hingga cuaca menjadi gelap gulita karena bintang-bintang di langit tak tampak. Orang-orang segan keluar rumah karena selain gelap sekali, juga malam itu angin bertiup kencang.

Muryani termenung dalam kamarnya. Sampai hampir tengah malam ia belum juga tidur, bahkan masih duduk di atas pembaringannya. Ia termenung dan terkenang pada Parmadi yang telah kurang lebih satu tahun lamanya meninggalkannya. Ia merasa heran ke mana perginya pemuda itu, bagaimana keadaannya sekarang.

Ia merasa kehilangan dan amat kesepian. Ia tidak dapat menemukan pengganti Parmadi di dusun itu, sebagai seorang sahabat karib yang amat dipercayanya.

Tiba-tiba saja pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara berkelitikan di atas atap, seperti ada kerikil dilempar ke atas atap. Tak lama kemudian ia merasa amat mengantuk, rasa kantuk yang hampir tak dapat ditahannya.

Gadis yang telah mempelajari aji kesaktian ini merasa bahwa hal ini tidak wajar. Ia pernah mendengar cerita gurunya, yakni Ki Ageng Branjang ketua perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria akan ilmu-ilmu aneh, tentang tenung, sihir, dan aji penyirepan yang dapat membuat orang terserang kantuk lalu tertidur pulas. Aji-aji penyirepan ini banyak dipelajari oleh golongan maling untuk membuat seisi rumah tertidur nyenyak sehingga dia dapat menguras isi rumah dengan leluasa.

la juga pernah mempelajari cara untuk melawan pengaruh aji penyirepan itu. Maka ia pun cepat duduk bersila, mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh kantuk yang amat kuat itu.

Pengaruh itu sangat kuat dan hampir ia tidak tahan, akan tetapi pengaruh itu berkurang setelah ia mengerahkan tenaga sakti Aji Bromo Dalali. Tak lama kemudian ia mendengar suara gaduh di sebelah kamarnya. Ia terkejut. Suara gaduh itu datang dari kamar ayahnya yang berada di sebelah kiri kamarnya sendiri! Ia mendengar suara keluhan diikuti suara robohnya badan orang.

Cepat Muryani melompat turun dari atas pembaringan. Ia terhuyung karena pengaruh aji penyirepan yang kuat itu belum dapat diusir sepenuhnya, masih ada sisa pengaruh yang membuat ia merasa agak pening dan kepalanya terasa berat. Matanya berjuang melawan kantuk. Akan tetapi karena khawatir akan keadaan ayahnya, ia memaksakan diri berlari keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar ayahnya.

Kamar itu remang-remang, hanya menerima penerangan dari lampu yang tergantung di luar kamar. Akan tetapi ia dapat melihat sesosok tubuh seorang laki-laki di dalam kamar Muryani

“Heii, siapa engkau dan...”

Tiba-tiba hawa pukulan yang sagat dahsyat menyambar ke arah tubuhnya. Muryani yang masih pening karena pengaruh aji penyirepan itu, tidak sempat mengelak atau menangkis. Ia sama sekali tidak menduga akan diserang sehebat itu. Apa lagi keadaan kamar itu itu gelap. Tahu-tahu hawa pukulan itu menghantam dadanya, membuat dadanya sesak dan pandang matanya gelap. Ia terpelanting roboh dan tidak sadarkan diri.

Ketika ia siuman, malam telah terganti. Ia mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di rumahnya berkumpul banyak orang, di antaranya Ki Demang Warutomo. Dari Ki Demang Warutomo yang merupakan seorang bekas perwira yang berpengalaman dan yang telah mengobatinya, Muryani mendapat keterangan bahwa ayahnya telah kedapatan tewas di dalam kamar, sedangkan ia sendiri terluka oleh pukulan jarak jauh yang kuat dan ampuh!

Tentu saja Muryani terkejut bukan kepalang dan segera memaksa diri bangkit. Walau pun dadanya terasa nyeri dan sesak, Muryani tetap memaksa diri dan dengan dipapah oleh Ki Demang Warutomo, ia menjenguk jenazah ayahnya di dalam kamar. Ia menubruk jenazah kemudian menangis.

“Ayah, aku bersumpah untuk mencari pembunuh ayah dan akan membalas sakit hati ini! Ayah, beristirahatlah dengan tenang, anakmu pasti akan membalas dendam ini!” Setelah berkata demikian Muryani terguling dan jatuh pingsan lagi.

Ki Demang Warutomo yang menjadi sahabat baik mendiang Ki Ronggo Bangak dan yang merasa kagum kepada Muryani segera menolong dan merawat Muryani. Sampai belasan hari lamanya Muryani menderita lahir batin, badannya terluka dalam oleh pukulan sakti itu, batinnya menderita karena kematian ayahnya. Akan tetapi, sesudah ia sembuh betul, ia menghilang dari kamarnya tanpa pamit kepada Ki Demang Warutomo atau kepada siapa pun juga.

Gadis itu menghilang tanpa ada yang tahu ke mana perginya. Ki Demang Warutomo yang memiliki banyak pengalaman itu dapat menduga bahwa gadis perkasa itu tentu berusaha mencari pembunuh ayahnya dan diam-diam dia menduga bahwa besar kemungkinan Ki Wiroboyo mempunyai hubungan dengan pembunuhan Ki Ronggo Bangak itu.

Dugaan Ki Demang Warutomo memang tak keliru. Setelah merasa dirinya sehat kembali, Muryani pergi tanpa pamit kepada siapa pun juga, dengan niat untuk mencari Ki Wiroboyo sebagai orang pertama yang ia curigai ada hubungannya dengan pembunuhan terhadap ayahnya dan penyerangan terhadap dirinya.

Ia tahu bahwa penyerangnya itu bukan Ki Wiroboyo. Penyerangnya itu seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena kamar itu gelap. Akan tetapi ia berkeyakinan bahwa ia dan ayahnya tidak mempunyai musuh lain kecuali Ki Wiroboyo. Jadi apa bila ada orang membunuh ayahnya, maka besar kemungkinan Ki Wiriboyo yang berdiri di belakangnya. Mungkin dia menyuruh orang lain yang memiliki kesaktian untuk melakukan pembunuhan itu.

Muryani menuruni Gunung Lawu melalui bagian timur karena ia ingat bahwa dahulu Ki Wiroboyo pernah mendatangkan seorang jagoan, yaitu mendiang Warok Surobajul dari Ponorogo. Maka ia pun mengambil keputusan untuk mulai pencariannya ke Kadipaten Ponorogo.

Ketika menuruni lereng di timur, dari atas ia melihat sebuah telaga yang besar. Air telaga tampak berkilauan tertimpa cahaya matahari dan Muryani terpesona. Ia kagum. Alangkah indahnya alam!

Melihat air yang demikian luasnya bukan merupakan hal baru bagi Muryani. Dahulu ketika ia masih tinggal di Demak, kemudian menjadi murid perguruan Bromo Dadali di bawah pimpinan Ki Ageng Branjang di Gunung Muria, ia sudah sering melihat laut utara. Kini telaga yang tampak di bawah itu tidak seluas lautan. Tetapi memiliki keindahan yang khas, sebuah telaga di antara bukit-bukit dan dikelilingi hutan. Ia pernah mendengar keterangan mendiang ayahnya tentang telaga itu yang disebut Telaga Sarangan.

Karena tertarik akan keindahan pemandangan alam telaga itu, Muryani segera mengambil keputusan untuk pergi ke telaga itu dan melihatnya dari dekat. Ia menuruni lereng dengan cepat dan tidak lama kemudian ia sudah tiba di tepi telaga. Tempat itu sunyi sekali dan di depan sana, di seberang telaga, tampak sekumpulan rumah penduduk dusun yang sangat sederhana. Di atas telaga tampak beberapa buah perahu kecil dan di atas perahu itu, orang-orang sedang bekerja melempar jala mencari ikan. Mereka adalah nelayan-nelayan telaga.

Muryani melepas lelah dan duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga,. Angin semilir mendatangkan kesejukan, mengipasi suhuhnya yang agak panas karena perjalanan naik turun tadi. Keadaan yang sunyi ditambah hawa yang sejuk dan semilirnya angin mengipasi tubuhnya yang kelelahan mendatangkan rasa kantuk. Akan tetapi Muryani menahan rasa kantuknya. Perutnya terasa lapar sekali dan ia ingin mencari makanan di dusun seberang telaga itu.

Akan tetapi ketika ia hendak turun dari atas batu, tiba-tiba ia melihat tujuh orang laki-laki datang menghampirinya. Mereka adalah orang-orang yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, semua berkulit tebal dan ada yang brewokan. Pakaian mereka serba hitam dan sikap mereka kasar. Dari lenggang dan langkah mereka saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mengandalkan kekuatan. Langkah mereka dibuat-buat seperti jagoan!

Yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dan dialah di antara yang lain yang bermuka penuh brewok. Tujuh orang itu semuanya membawa sebuah parang yang tergantung di pinggang mereka. Di belakang rombongan ini tampak seorang pemuda remaja yang menuntun seekor kuda, agaknya milik rombongan itu, atau mungkin sekali milik pemimpin mereka yang bermuka brewok.

Ketika mereka tiba di depan Muryani yang masih duduk di atas batu besar, tujuh orang itu berhenti dan mata mereka yang bengis liar itu seolah menggerayangi tubuh gadis cantik yang duduk di atas batu.

Muryani tampak cantik jelita. Wajah yang bulat dengan dagu runcing itu kemerahan akibat sengatan sinar matahari. Sepasang alisnya yang hitam kecil panjang melengkung itu agak dikerutkan melihat gerombolan laki-laki di depannya itu. Sepasang matanya yang bening dan bersinar-sinar dengan bulu matanya yang lentik, menyapu ke arah mereka penuh selidik. Hidungnya yang kecil mancung serasi sekali dengan bentuk mulutnya yang memiliki bibir merah basah dan menggairahkan. Mulut itu tersenyum mengejek. Melihat tujuh orang laki-laki itu, terutama yang berdiri paling depan dan mukanya brewokan memandang kepadanya dengan mata yang kurang ajar, Muryani menjadi marah.

“Hei, kalian ini mau apa mendekati aku dan mengganggu suasana damai tenteram yang kunikmati? Hayo cepat pergi dan jangan membikin aku marah!”

“Wah, galak seperti seekor kuda betina yang, binal!” seru seorang di antara mereka.

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Si brewok tertawa bergelak. “Semakin binal kuda betina maka semakin mengasyikkan dan menggembirakan untuk ditundukkan dan dijinakkan. Cah ayu, aku Mundingjaya adalah seorang laki-laki jantan sejati yang masih bujang, masih perjaka ting-ting! Ha-ha-ha-ha! Kulihat engkau pantas sekali untuk menjadi isteriku. Bukankah begitu, kawan-kawan?”

“Pantas sekali!”

“Cocok sudah!”

“Seperti Raden Gatotkaca dengan Dyah Pergiwa!”

Muryani mengangkat mukanya, kerut alisnya makin mendalam, sinar matanya berkilat dan senyum manisnya makin melebar. Orang-orang itu tidak tahu sama sekali bahwa dara yang tampak semakin manis menarik ini menjadi amat berbahaya kalau sudah seperti itu karena kerut alisnya, sinar mata dan senyum itu sesungguhnya merupakan tanda bahwa ia sedang marah sekali!

Dengan gerakan indah dan ringan tubuhnya sudah melompat turun dari atas batu dan kini ia berdiri berhadapan dengan laki-laki brewokan itu. Ternyata dara yang baru berusia tujuh belas tahun ini tingginya hanya sedada orang yang mengaku bernama Mundingjaya itu. Mereka berdiri dalam jarak kurang lebih empat meter.

Melihat tubuh dara itu demikian ramping dan padat, bagaikan bunga sedang mulai mekar, bagaikan buah mangga sedang ranum-ranumnya, Ki Mundingjaya memandang kagum dan tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang besar-besar.

“Waduh, engkau denok ayu manis merak ati, bocah ayu. Mari kupondong dan kubawa pulang ke rumahku!” katanya tanpa malu-malu.

Muryani melihat di sebelah kanannya terdapat setumpuk kotoran kerbau yang masih baru. Agaknya belum lama tadi ada kerbau lewat di tempat itu dan membuang kotoran di situ. Ia meraih sebatang kayu ranting pohon singkong yang tumbuh dekat batu, mematahkannya.

“Namamu Mundingjaya? Nah, silakan mandi tahi munding lebih dulu supaya engkau patut memakai nama itu!” kata Muryani dan tanpa menunggu jawaban, dengan tidak disangka-sangka dan amat cepat tangan Muryani menggerakkan ranting kayu, dicokelkan kepada tahi kerbau itu dan sekali ranting kayu bergerak, segumpal tahi kerbau yang masih lunak menyambar ke depan itu tepat mengenai muka si brewok!

Ki Mundingjaya yang sama sekali tidak menyangka, tak sempat mengelak dan mukanya berlepotan tahi kerbau. Bukan sekali saja karena Muryani sudah melakukan serangan tahi kerbau itu, namun berulang-ulang sehingga seluruh pakaian Mundingjaya berlepotan tahi kerbau.

Ki Mundingjaya muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah! Anak buahnya menjadi kaget akan tetapi juga geli melihat pemandangan yang lucu ini. Mereka menahan tawa, akan tetapi ada beberapa orang yang tak mampu menahan dan mengeluarkan suara tawa aneh karena ditahan-tahan.

Tentu saja Mundingjaya mencak-mencak saking marahnya. Dia, yang merupakan jagoan yang ditakuti seluruh penduduk pedusunan di sekitar Telaga Sarangan, sekarang dihina oleh seorang perawan remaja! Sesudah membersihkan lethong (tahi kerbau) dari muka, terutama dari mulut dan hidungnya, dia pun mencabut parang dari ikat pinggangnya dan mengacungkan senjata tajam mengkilap itu ke atas.

“Bocah perempuan keparat! Engkau sudah bosan hidup, berani menghina Mundingjaya?” bentaknya.

Muryani menudingkan ranting kayu di tangannya sambil, tersenyum manis. “Siapa yang menghinamu? Aku malah membikin engkau tampak gagah, dan sekarang lebih cocok bila namamu diganti menjadi Tahi Munding (kotoran kerbau)!”

Mundingjaya yang tadinya tergila-gila kepada kecantikan dara itu sehingga menghendaki ia menjadi isterinya, kini berubah pandang. Dia tidak lagi melihat Muryani sebagai seorang dara yang ayu manis merak ati, melainkan sebagai seorang wanita yang sama sekali tidak menarik dan tidak menyenangkan hatinya, yang membuat dia berafsu untuk menyiksa dan membunuhnya.

Demikianlah keadaan hati kita. Selama nafsu, terutama sekali nafsu benci dan marah tidak menguasai hati, maka wajah sesorang, bagaimana pun bentuk dan coraknya, akan tampak menyenangkan. Tetapi sekali nafsu benci dan marah mencengkeram hati, maka orang yang tadinya dicinta setengah mati pun akan terlihat memuakkan dan menimbulkan keinginan untuk menyiksanya!

“Perempuan keparat! Mampuslah kau!” Mundingjaya membentak dan dia pun sudah menerkam dan menyerang dengan bacokan parang atau goloknya yang tajam mengkilap.

Namun dengan cekatan sekali Muryani melompat ke samping, agak jauh karena ia tidak ingin berdekatan dengan orang yang berlepotan tinja kerbau itu agar tidak kena percikan dan tidak terserang bau yang memuakkan.

Melihat gadis itu mengelak, Mundingjaya mengejar dan menyerang lagi, lebih kuat dari pada tadi karena agaknya dia ingin sekali bacok membelah tubuh denok itu. Sekali lagi Muryani mengelak ke kanan dengan loncatan jauh. Ia sengaja melompat makin mendekati tepi telaga.

Mundingjaya tidak sadar bahwa gadis itu memancingnya agar mendekati telaga. Ia hanya mengira bahwa gadis itu merasa ngeri menghadapi serangan-serangannya yang ampuh sehingga sengaja menjauh untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan membiarkan gadis itu melarikan diri!

“Lari ke neraka pun akan kukejar kau!” bentaknya dan dia melompat dan menngejar lalu menyerang lagi.

Setelah mengelak sebanyak lirna kali sambil melompat, Muryani sudah tiba di tepi telaga. Karena ia tidak ingin melayani orang itu bertanding dalam jarak dekat, ketika melompat yang terakhir kalinya tadi ia sudah menyambar sebuah batu sebesar kepalan tangannya. Ia memindahkan ranting kayu ke tangan kiri dan kini memegang batu itu di tangan kanan.

“Haaahhhh!” Mundingjaya menyerang lagi, kini membacokkan goloknya ke arah pinggang Muryani.

Kini Gadis itu tidak dapat melompat ke belakang karena di belakangnya terdapat telaga sehingga kalau ia melompat ke belakang, ia tentu akan jatuh ke dalam air. Juga di kanan kirinya terdapat halangan, di kiri terdapat batu-batu besar dan di sebelah kanan terdapat semak-semak belukar yang berduri.

Mundingjaya menyeringai, agaknya sudah yakin bahwa sekali ini tubuh gadis yang berani menghinanya itu tentu akan terkena bacokannya dan pinggang yang ramping itu akan putus sehingga isi perutnya akan berceceran. Sudah timbul niatnya untuk minum darah yang akan bercucuran keluar dari mayat gadis itu!

Akan tetapi agaknya Muryani memang sudah sengaja memancing Mundingjaya ke bagian itu. Ketika lawannya datang menyerang seperti seekor kerbau gila, ia melompat lagi, akan tetapi bukan ke belakang, ke kanan atau ke kiri, melainkan ke depan! Tubuhnya dengan ringannya melompat tinggi bagaikan seekor kijang muda dan ia sudah melompat lewat atas kepala Mundingjaya!

Tentu saja serangan kepala gerombolan itu luput dan melihat betapa gadis itu mendadak lenyap dan dia hanya melihat sesosok bayangan yang berkelebat lewat di atas kepalanya, Mundingjaya terkejut dan cepat dia membalikkan tubuhnya.

Pada saat dia membalik itu, Muryani sudah melontarkan batu di tangan kanannya sambil membentak, “Makanlah ini!”

Mundingjaya terkejut sekali, tetapi karena sambaran batu itu datang cepat sekali bagaikan kilat menyambar pada saat dia memutar tubuh, maka dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengelak atau menangkis. Saking kaget dan heran ia membuka mulut dan hal nilah yang membuat ia celaka.

“Syuuutt...! Krakkk!”

Bunyi berderak itu adalah bunyi barisan giginya yang diterjang batu. Karena pada saat itu dia sedang membuka mulutnya, maka batu itu menghantam giginya sehingga semua gigi atas bawah bagian depan rompal dan copot!

“Auhhhhh...!” Mundingjaya berteriak, lukanya berdarah-darah dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Karena dia memang berada dekat sekali dengan pinggir telaga, maka tanpa dapat dihindarkannya lagi tubuhnya terjatuh ke dalam air.

“Byuurrrr...!” Air muncrat ke atas dan Muryani tertawa-tawa!

Akan tetapi pada saat itu pula enam orang anak buah Mundingjaya telah tiba di situ dan mereka semua melihat betapa pimpinan mereka terjatuh ke dalam air telaga dan mukanya tadi berdarah-darah. Mereka terkejut sekaligus juga marah sekali. Dengan golok terhunus mereka lalu megepung Muryani yang kini berada di tempat lapang sehingga ia terkepung.

“Cah ayu, menyerahlah saja dari pada kami harus menggunakan kekerasan!” kata salah seorang di antara mereka yang agaknya masih merasa sayang kalau harus membunuh gadis cantik jelita ini.

“Mengapa kalian tidak mengikuti pemimpin kalian itu?” kata Muryani sambil tersenyum mengejek, siap dengan ranting kayu di tangan kanannya.

Melihat betapa gadis itu hanya bersenjatakan sebatang ranting kecil yang hanya sebesar ibu jari, tentu saja enam orang itu tidak merasa takut.

“Menyerahlah, manis. Asalkan engkau suka menjadi isterinya, tentu kakang Mundingjaya akan suka memaafkanmu!” kata pula seorang lain.

Muryani tertawa bebas lepas. “Heh-heh-hik, dia menjadi suamiku? Untuk menjadi budakku atau menjadi alas kakiku pun kalian masih belum pantas! Pantasnya kalian menjadi katak-katak dalam air telaga ini!”

Kini marahlah enam orang itu, apa lagi mereka melihat Mundingjaya kini keluar dari dalam telaga, merangkak dan wajahnya yang basah kuyup itu masih mengeluarkan darah. Wajah itu tampak mengerikan sekali.

“Bunuh...! Bunuh... perempuan itu...!” bentak Mundingjaya terengah-engah dan suaranya menjadi pelo karena giginya bagian depan sudah ompong semua.

Enam orang itu kini menyerang dari segala jurusan. Golok mereka menyambar dengan bacokan dan tusukan maut. Akan tetapi Muryani sudah siap siaga. Ia memutar tubuhnya dan dengan kecepatan kilat ranting kayu di tangannya menyambar-nyambar, dan ranting sekecil itu dapat menangkis sambaran golok yang berat dan kuat.

Muryani lalu membalas, tangan kirinya mendorong dengan Aji Bromo Latu. Angin pukulan yang panas menyambar-nyambar dan enam orang itu mengeluh. Seorang demi seorang terpelanting roboh, tak ada yang kuat menerima pukulan Bromo Latu yang berhawa panas itu. Mereka itu hanyalah gerombolan penjahat yang mengandalkan tenaga otot besar saja.

Muryani cepat menyusulkan tendangan-tendangan kakinya hingga enam orang itu segera terlempar ke sana-sini. Mereka menjadi ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan yang setangguh ini. Begitu dapat merangkak bangun, mereka lalu lari menjauhkan diri.

Mundingjaya yang melihat betapa enam orang anak buahnya semua roboh oleh gadis itu, menjadi terkejut bukan main dan dia juga ketakutan. Dia mengumpulkan sisa tenaganya untuk bangkit berdiri dan melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan jauh Muryani telah berada di dekatnya dan sekali kakinya menendang, Mundingjaya segera roboh.

Kini ujung ranting kayu di tangan Muryani sudah menodong dan menekan leher kepala gerombolan itu.

“Tobaat... ampunkan saya, nona...” kepala gerombolan itu memohon dengan wajah pucat ketakutan.

“Panggil penuntun kuda itu ke sini!” Muryani memerintah dan menekan ujung rantingnya ke leher Mundingjaya yang sudah tidak berdaya itu.

“Heii! Kayun...! Cepat bawa kudaku itu ke sini!” teriak Mundingjaya yang masih rebah menelungkup.

Mendengar teriakan ini, pemuda remaja yang menuntun kuda dan berada agak jauh dari situ segera menuntun kuda itu mendekat. Muryani mengambil kendali kuda dari tangan pemuda remaja itu dan membentak kepadanya, “Hayo engkau cepat pergi dari sini!”

Pemuda remaja itu tampak meragu, akan tetapi Mundingjaya langsung menghardiknya, “Pergi tinggalkan tempat ini, tolol!”

Mendengar ini, pemuda itu lalu berlari pergi.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)