SERULING GADING : JILID-21


“Baik, nona. Ambillah kuda itu, saya berikan kepadamu dengan senang hati,” kata kepala penjahat itu dengan harapan agar segera dibebaskan.

“Ada satu syarat lagi yang paling penting. Hayo katakan, apakah engkau mengetahui di mana adanya orang yang bernama Ki Wiroboyo? Dulu dia menjadi demang dusun Pakis.”

Mundingjaya mengerutkan alisnya yang tebal. Sekarang dia sudah bangkit duduk. Sambil menengadah memandang wajah Muryani, dia lalu menggeleng kepala dan berkata, “Maaf, nona. Saya tidak pernah mendengar nama itu.”

Melihat sikap dan pandang mata laki-laki kasar itu, Muryani percaya dan ia bertanya pula, “Akan tetapi engkau tentu mengenal jagoan Ponorogo yang bernama Warok Surobajul. Ceritakan tentang dia!”

“Warok Surobajul? Tentu saja saya megenalnya, nona. Namanya sangat terkenal mulai dari Ponorogo sampai ke daerah ini. O ya, kurang lebih sebulan yang lalu saya sempat bertemu dengan dia. Katanya ia hendak pergi ke sebuah dusun di pegunungan ini, entah apa keperluannya dia tidak bercerita kepada saya.”

“Hemm, ketika itu dia pergi dengan siapa?”

Mundingjaya mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Dia melakukan perjalanan bersama seorang lelaki gagah yang berpakaian mewah dan berkumis tebal. Akan tetapi saya tidak mengenalnya dan dia pun tidak memperkenalkan diri. Orangnya tampak angkuh, sikapnya seperti priyayi.”

Muryani mengangguk. Ia tahu bahwa yang dimaksudkan itu tentulah Ki Wiroboyo. Mereka berdua itu tentu sedang dalam perjalanan menuju dusun Pakis, pikirnya.

“Tahukah engkau di mana tempat tinggal Warok Surobajul itu?”

“Tahu, nona. Dia tinggal di Ponorogo. Semua orang pun tahu di mana rumah warok yang terkenal itu.”

“Cukup, aku mau mengampunimu kali ini, akan tetapi ingat, engkau dan kawan-kawanmu harus mengubah jalan hidup kalian dan tidak melakukan kejahatan lagi. Awas, kalau aku pulang dan lewat sini mendapatkan bahwa kalian masih lakukan kejahatan, aku tidak akan memberi ampun lagi dan pasti akan membunuh kalian semua!”

Tanpa menanti jawaban penjahat itu, Muryani sudah melompat ke atas punggung kuda rampasannya dan membalapkan kuda itu meninggalkan Telaga Sarangan.

Mundingjaya bangkit berdiri sambil menyumpah-nyumpah. Bagi seorang sesat seperti dia sukarlah sekali untuk dapat bertobat, menyadari akan dosa-dosanya dan berusaha untuk mengubah jalan hidupnya. Dia tetap tidak merasa bersalah, bahkan menyumpahi Muryani yang dia anggap jahat dan kalau tadi dia menyatakan bertobat dan bersikap lunak adalah karena rasa takut kepada gadis sakti itu. Sekarang hatinya penuh dendam kebencian dan kalau ada kesempatan, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas dendam kepada Muryani.....!

********************

Demikian pula halnya dengan Ki Wiroboyo. Bekas demang dusun Pakis ini tidak pernah mau menyadari akan kesalahannya, tak pernah mau bertobat, apa lagi menyesali segala tingkah lakunya yang tidak baik. Dia hanya menyesal karena dia sudah dikalahkan oleh Muryani dan sampai kehlangan kedudukannya, bahkan terusir dari Pakis. Dia tidak pernah merasa dirinya bersalah, bahkan dia selalu merasa bahwa dia adalah seorang demang yang bijaksana, yang baik terhadap warga dusunnya.

Kalau dia tergila-gila kepada Muryani dan ingin mengambil gadis itu sebagai selir, hal ini dianggapnya wajar dan sama sekali tidak salah. Oleh karena itu perlawanan Muryani yang membuat dia kehilangan segala-galanya itu menimbulkan dendam dalam hatinya.

Dia menganggap Muryani seorang gadis yang tidak tahu diri, sombong dan jahat! Apa lagi setelah usahanya mendapatkan Muryani dengan kekerasan, dibantu Surobajul, gagal dan menyebabkan kematian jagoan itu juga mengakibatkan dia kehilangan kedudukannya. Dia menaruh dendam dan sakit hati terhadap Muryani.

Karena itu, setelah dia membawa keluarganya pergi meninggalkan Pakis, dia lalu pergi ke Ponorogo. Dia mengabarkan mengenai kematian Warok Surobajul kepada keluarga warok itu lalu dia tinggal dengan keluarganya di Kadipaten Ponorogo dari mana dia berasal. Dia tidak pernah lupa akan dendamnya kepada Ki Ronggo Bangak serta puterinya, Muryani.

Sesudah lama mencari akhirnya dia menemukan seorang sahabat lama yang dulu pernah menjadi saudara seperguruannya dan sekarang orang itu tinggal di Lamongan. Orang itu berusia lima puluh tahun, bertubuh jangkung kurus bernama Darsikun. Kini bekas kakak seguruannya ini sudah menjadi seorang jagoan yang digdaya karena dia pernah berguru lagi kepada Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura itu.

Walau pun dia hanya belajar selama satu tahun lebih kepada datuk itu, namun dia telah memperoleh kemajuan pesat dan menjadi seorang tokoh yang terkenal di Lamongan dan sekitarnya. Darsikun ini ditemui Ki Wiroboyo dan dengan senang hati dia mau membantu bekas adik seperguruan ini untuk membalas dendam kepada Muryani dan ayahnya. Apa lagi karena sekarang keadaan Ki Wiroboyo makmur, dapat membelikan pakaian indah dan barang-barang berharga untuknya. Demikianlah, Ki Darsikun ikut bersama Ki Wiroboyo pergi ke Ponorogo.

Kemudian pada malam hari itu, seperti sudah direncanakan oleh Ki Wiroboyo, Ki Darsikun menggunakan kepandaiannya untuk memasuki rumah Ki Ronggo Bangak hingga berhasil membunuh Ki Ronggo Bangak dan melukai Muryani dengan pukulan jarak jauhnya yang dahsyat. Dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu juga sudah tewas karena pukulannya, maka dia pergi meninggalkan rumah itu dan kembali ke Ponorogo dengan hati bangga dan girang.

Ki Wiroboyo menyambut kakak seperguruan ini dengan girang sekali. Mendengar bahwa Ki Ronggo Bangak telah tewas, demikian juga Muryani, hatinya merasa puas. Dendam kebenciannya telah terbalas dan terlampiaskan. Tetapi ada sedikit kekecewaan bahwa dia tidak dapat menguasai Muryani yang digilainya itu.

Dia menahan Ki Darsikun untuk tinggal di rumahnya dan setiap hari menjamunya dengan pesta. Setelah satu bulan lebih Ki Darsikun tinggal di rumah Ki Wiroboyo dan dimanjakan seperti seorang tamu agung, dia mengambil keputusan untuk pulang ke Lamongan.

“Ah, mengapa begitu tergesa-gesa, kakang Darsikun? Bukankah kakang senang tinggal di sini bersama kami?” kata Ki Wiroboyo yang ingin menahan kakak seperguruannya selama mungkin di rumahnya karena bagaimana pun juga dia masih merasa khawatir kalau-kalau ada musuh datang untuk membalaskan kematian Muryani dan ayahnya.

“Sudah satu bulan lebih aku tinggal di sini, adi Wiroboyo. Terima kasih atas sambutanmu yang baik. Biarlah lain kali aku datang lagi berkunjung. Aku sudah rindu pada keluargaku di Lamongan.”

“Ya, apa boleh buat kalau begitu, kakang. Kapan engkau hendak berangkat? Aku akan mempersiapkan segala keperluanmu.

“Besok pagi-pagi aku akan berangkat, adi Wiroboyo.”

Ki Wiroboyo lalu mengajak tamunya itu minum-minum. Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang tampak gugup dan tergesa-gesa. Wiroboyo mengenalnya sebagai sebagai pelayan dari mendiang Warok Surobajul.

“Ada apakah? Apakah mbak-ayu Suro yang mengutusmu ke sini?” tanya Wiroboyo sambil bangkit berdiri dari kursinya.

“Celaka, den-mas Wiroboyo! Celaka...!”

“Hushh! Bicara yang benar dan jelas! Ada apakah?” Wiroboyo membentak.

“Di rumah Nyi Suro kedatangan seorang gadis cantik yang galak sekali, den-mas. Dara itu menghajar dan merobohkan tiga orang murid mendiang ki warok yang berada di sana dan dia mengancam Nyi Suro untuk memberi tahu di mana den-mas berada!”

“Ahh?” Ki Wiroboyo terkejut sek: “Siapa nama gadis itu?”

“Tidak tahu, den-mas. Ia tidak menyebutkan nama. Saya masih sempat menyelinap pergi dari belakang dan cepat mengabarkan ke sini.”

“Sudah, pergilah!” kata Wiroboyo. Setelah orang itu pergi, dia berkata kepada Ki Darsikun, “Kakang, apa yang kukhawatirkan ternyata terjadi! Ada orang mencariku, seorang gadis yang digdaya. Tentu ada orang hendak membalaskan kematian Muryani dan ayahnya.”

“Jangan khawatir, adi Wiroboyo. Aku di sini! Lagi pula, kalau ia hanya seorang gadis, ia akan mampu berbuat apakah terhadap kita?” kata Ki Darsikun dengan lagak angkuh.

“Akan tetapi sungguh tak enak kalau terjadi keributan di sini, kakang. Tentu akan menarik perhatian dan kalau Adipati Ponorogo mendengar, mungkin akan dilakukan pemeriksaan dan. penyelidikan. Hal ini bisa berkelanjutan dan amat tidak enak bagiku.”

“Lalu, bagaimana kehendakmu?”

“Kita lari keluar kota kadipaten dan kita akan menghadang ia di tempat sepi di luar sana.”

Tanpa menunggu jawaban Wiroboyo lalu meninggalkan pesan kepada keluarganya bahwa kalau ada seorang gadis mencarinya, jangan dilayani secara kasar dan supaya diberi tahu bahwa dia baru saja keluar melalui pintu gerbang utara dan agar mengatakan bahwa dia pergi seorang diri. Sesudah meninggalkan pesan ini, Wiroboyo mengajak Darsikun untuk menunggang kuda dan melarikan diri ke luar kota Kadipaten Ponorogo dengan cepat.

Tepat di luar kota itu, di bagian utara, terdapat hutan yang lebat dan dua orang yang menunggang kuda itu lenyap ditelan hutan.....

********************

Memang benarlah laporan pelayan keluarga mendiang Warok Surobajul itu. Muryani telah tiba di Ponorogo dan ia segera mencari rumah Warok Surobajul. Dengan mudah saja ia menemukan rumah besar itu karena nama warok itu sudah sangat terkenal di Kadipaten Ponorogo.

Dia memasuki pekarangan rumah yang luas itu, lalu melompat turun dari atas kudanya, mengikatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang banyak tumbuh di pekarangan dan melangkah menuju ke beranda depan.

Kunjungan ini segera disambut tiga orang laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan melihat bentuk tubuh mereka, tiga orang ini tergolong orang-orang yang kuat. Di beranda berdiri seorang wanita setengah tua yang wajahnya masih membayangkan kecantikan dan wanita itu memandang ke arah Muryani dengan sinar mata tajam penuh selidik. Tiga orang laki-laki itu menghampirinya dan menghadangnya. Seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya, suaranya berat dan parau.

“Siapakah andika dan ada keperluan apakah andika datang ke sini?”

Muryani memandang ke arah rumah besar itu kemudian menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, “Apakah benar di sini rumah Ki Surobajul?”

Wanita setengah tua yang berada di beranda itu melangkah maju, menuruni anak tangga dan menjawab, “Benar, nini. Ini rumah mendiang suamiku Ki Surobajul. Siapakah andika dan ada urusan apakah?”

Muryani maju menghampiri wanita itu dan bertanya, “Kalau begitu katakan kepadaku, bibi, di mana adanya Wiroboyo bekas demang dusun Pakis?”

Wanita itu mengerutkan alisnya, tampak kaget dan bingung, lalu menggelengkan kepala dan berkata, “Aku tidak tahu, aku tidak mengenal nama itu. Mengapa andika bertanya kepadaku?”

“Bibi, jangan berbohong padaku! Engkau adalah isteri mendiang Ki Surobajul dan semua orang tahu bahwa warok itu diajak Wiroboyo pergi ke Pakis untuk membuat onar di sana dan dia tewas dikeroyok penghuni dusun. Nah, engkau pasti tahu siapa Wiroboyo dan di mana dia sekarang berada. Jawablah sebenarnya supaya aku tidak perlu menggunakan kekerasan.”

“Heh, bocah wadon (anak perempuan) lancang mulut! Pergilah kau dan jangan membikin ribut di sini!” Si kumis tebal menggerakkan tangan kanannya hendak menangkap lengan Muryani untuk ditarik keluar dari pekarangan itu.

Akan tetapi ketika dia berhasil menangkap lengan Muryani, dengan sentakan kuat gadis itu tiba-tiba memutar lengannya dan melangkah maju sambil memuntir lengan si kumis tebal. Gerakannya demikian mendadak, cepat dan kuat sekali sehingga kini keadaannya menjadi terbalik. Lengan kanan laki-laki itulah yang dipuntir dan ditelikung di belakang tubuhnya.

Ketika laki-laki itu hendak meronta, Muryani cepat mendorong lengan itu ke atas sehingga laki-laki itu berteriak kesakitan. Muryani menendang belakang lututnya dan orang itu tak dapat bertahan lagi lalu jatuh bertekuk lutut. Sekali dorong tubuh laki-laki itu terjungkal, hidungnya mencium tanah dengan keras sehingga berdarah!

Dua orang murid Surobajul yang lainnya menjadi sangat marah. Mereka cepat menerjang dan menyerang Muryani dengan pukulan tangan dan tamparan, namun Muryani cepat mengelak dengan lompatan ke kiri. Seorang dari mereka yang berada di sebelah kiri cepat mengejar akan tetapi dara perkasa itu menyambut dengan tendangan ke arah perutnya.

“Ngekkk...!”

Orang itu terpelanting dan setelah terbanting jatuh dia memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas. Orang ketiga menerkam ke depan dengan marah. Kembali Muryani mengelak cepat dan sebelum penyerangnya itu membalik, tangan kiri Muryani yang kecil mungil itu menghantam dengan tamparan kilat.

“Wuutttt...! Plakkk!”

Orang itu terputar, rasanya seperti disambar petir dan dia terguling roboh. Akan tetapi karena Muryani tidak ingin membunuh orang, maka ketika ia merobohkan tiga orang itu, ia membatasi tenaganya sehingga mereka tidak terluka berat.

Agaknya mereka tidak menjadi jera, bahkan merasa penasaran sekali. Mereka bangkit berdiri dan mencabut senjata pisau belati panjang yang terselip di pinggang mereka. Pada saat itulah pelayan Nyi Surobajul lari dari pintu belakang kemudian pergi melapor kepada Wiroboyo.

Muryani menjadi marah ketika melihat tiga orang itu tidak mundur, bahkan mereka kini memegang pisau besar mengancamnya. Akan tetapi beberapa gebrakan tadi saja sudah membuat dia tahu bahwa tiga orang itu bukan merupakan lawan tangguh. Maka dia pun bersikap tenang saja.

Ketika tiga orang yang mengepung dari depan, belakang dan kiri itu mulai bergerak untuk menerjangnya. Muryani bergerak cepat sekali, menghindar sambil menggerakkan kaki dan tangannya. Hampir berbareng saatnya, tangan kirinya menampar kepala orang pertama, tangan kanan menonjok dada orang yang ke dua, sedangkan kaki kanannya menyambar dan menendang perut orang ke tiga. Gerakannya sekali ini lebih kuat dari pada tadi.

Tiga orang itu bergelimpangan sambil mengaduh-aduh. Yang ditampar kepalanya merasa kepalanya pecah dan bintang bertaburan di depan matanya yang menjuling. Yang ditonjok dadanya terengah-engah karena napasnya seolah berhenti tersumbat dan yang ditendang perutnya merasa perutnya mulas dengan hebat hingga dia bergulingan sambil mengaduh-aduh.

Nyi Surobajul memandang dengan muka pucat. Ia hendak berlari masuk, akan tetapi sekali melompat Muryani telah berada di depannya.

“Bibi, aku tidak ingin bertindak kasar terhadap seorang perempuan tua sepertimu, akan tetapi katakanlah, bibi. Di mana adanya Wiroboyo? Bibi pasti mengetahuinyal.”

Wanita itu berkata lirih, “Dia... dia berada di rumahnya sendiri...“

“Di mana rumahnya, bibi?” tanya Muryani, hatinya merasa girang karena akhirnya ia dapat mengetahui rumah musuh besarnya.

“Tanyakan di ujung utara kota ini, semua orang di sana tentu mengetahuinya.”

“Terima kasih, bibi!” Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan tiga orang yang masih merintih kesakitan, Muryani melepaskan tambatan kudanya, melompat ke punggung kuda lalu melarikan kudanya keluar dari pekarangan itu. Dengan cepat ia menuju ke ujung utara kota dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah ia bisa menemukan rumah besar tempat tinggal Ki Wiroboyo.

Ia menambatkan kudanya di pekarangan, lalu berlari menuju ke serambi depan. Di situ ia melihat dua orang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah bangkit berdiri dan memandangnya. Muryani menduga dua orang wanita muda cantik dan pesolek ini tentulah isteri-isteri Wiroboyo, maka ia pun cepat bertanya.

“Mbakyu, aku ingin bertanya, apakah Ki Wiroboyo berada di rumah? Kalau dia berada di rumah, harap dipanggil keluar. Katakan bahwa aku ada urusan penting sekali dengan dia!”

Dua orang wanita itu saling pandang. Mereka bersikap tenang, akan tetapi Muryani dapat melihat dari pandang mata mereka bahwa mereka merasa tegang dan takut.

“Kakangmas Wiroboyo baru saja keluar rumah,” kata seorang dari mereka sedangkan yang lain segera mengangguk membenarkan.

“Ke mana dia pergi? Dengan siapa?”

“Menurut katanya tadi, dia hendak pergi ke Madiun dan perginya seorang diri.”

“Hmm, benarkah ucapanmu ini? Tidak bohong?” Muryani membentak dengan nada suara mengancam.

“Mengapa mesti bohong?” wanita itu berkata dengan alis berkerut.

“Di mana letaknya Madiun?”

“Di sebelah utara. Tadi kakangmas Wiroboyo menuju pintu gapura utara itu,” kata wanita itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah utara.

“Dia menunggang kuda? Atau naik kereta?” Muryani mendesak.

Dua orang wanita itu menggelengkan kepala. “Tadi dia berjalan kaki.”

Sesudah mendengar keterangan ini dan melihat sikap dua orang wanita itu yang tenang dan agaknya tidak berbohong, tanpa pamit Muryani sudah lari menghampiri kudanya dan tak lama kemudian ia telah membalapkan kudanya keluar dari pintu gapura sebelah utara, melakukan pengejaran.

Matahari sudah mulai menggulir ke arah barat pada saat Muryani membalapkan kudanya memasuki hutan yang lebat itu. Jalan itu sunyi, tidak nampak ada orang lain di atas jalan raya itu. Tiba-tiba Muryani melihat seorang laki-laki berjalan di sebelah depan.

Ketika mendengar derap kaki kuda, lelaki itu memutar tubuhnya memandang. Pada saat itulah Muryani melihat dan mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Wiroboyo! Tubuhnya yang tinggi besar. Kumisnya yang sekepal sebelah seperti Gatutkaca!

Tak salah lagi. Orang itu adalah Ki Wiroboyo! Agaknya lelaki itu pun mengenalnya karena tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke arah depan, menjauhinya.

“Berhenti! Hendak lari ke mana kau keparat?” Muryani membentak marah dan membedal kudanya agar lari lebih kencang lagi. Jarak di antara mereka paling jauh sekitar lima puluh meter.

Muryani adalah seorang gadis yang telah digembleng di perguruan Bromo Dadali sehingga memiliki kedigdayaan. Akan tetapi bagaimana pun juga ia masih sangat muda dan kurang pengalaman. Ia tidak tahu atau belum mengenal benar keadaan di dunia sesat.

Dunia sesat memiliki banyak orang yang sakti, tetapi yang lebih berbahaya lagi, mereka adalah orang-orang yang licik dan curang, memiliki banyak tipu muslihat berbahaya. Ia sama sekali tidak pernah curiga atau menduga bahwa sesungguhnya sejak tadi ia telah terancam bahaya. Kemunculannya telah diketahui musuh, bahkan musuh telah mengatur siasat licik untuk menjebaknya.

Munculnya Wiroboyo itu memang disengaja, merupakan pancingan untuk membuat gadis itu kehilangan kewaspadaan dan seluruh perhatiannya ditujukan untuk menangkap orang yang melarikan diri di depan itu. Karena itu ia kurang peka akan keadaan di sekelilingnya pada saat dua batang anak panah menyambar dari samping.

“Srrtttt...!”

Dua batang anak panah meluncur dengan cepatnya dari arah kiri. Muryani yang sejak tadi menujukan pandangan mata dan seluruh perhatiannya ke depan, tidak melihat sambaran anak panah dari kiri yang menyusur rendah itu dan tahu-tahu dua batang anak panah itu telah menancap di perut dan dada kuda yang ditungganginya.

Kuda itu meringkik dan mendengus, melompat miring lantas roboh. Muryani yang sama sekali tidak bersiaga, terbawa roboh dan gadis itu terbanting keras, kepalanya terbentur tanah keras dan ia pun roboh pingsan!

Pada waktu melihat Muryani jatuh pingsan, Ki Wiroboyo menjadi girang sekali. Bersama Darsikun bekas kakak seperguruan yang membantunya dan yang tadi melepaskan anak panah merobohkan kuda yang ditunggangi Muryani, Darsikun sudah mencabut kerisnya untuk membunuh gadis yang jatuh pingsan itu, tetapi Wiroboyo memegang lengannya.

“Jangan bunuh, kakang!”

“Eh, adi Wiroboyo! Gadis ini berbahaya sekali, ia tentu mendendam kepadamu dan tentu akan berusaha membunuhmu!” Darsikun memperingatkan.

“Benar, kakang Darsikun. Tetapi aku tidak ingin membunuhnya sekarang. Aku bersumpah untuk mendapatkan dirinya sebelum aku membunuhnya!” kata Wiroboyo sambil menatap penuh gairah ke arah tubuh gadis yang rebah telentang pingsan itu.

Darsikun tersenyum maklum. “Terserah kalau begitu. Akan tetapi jangan pandang ringan gadis ini, adi. Sebaiknya kau ikat dulu kaki tangannya sebelum engkau membawanya.”

“Aku tahu, kakang, aku tahu!” kata Wiroboyo dan dia mengeluarkan segulung tali yang kokoh kuat. Mulailah dia mengikat kedua tangan gadis itu ke belakang tubuhnya. Akan tetapi belum selesai dia mengikat dua pergelangan tangan itu...

“Demi para dewata! Apa yang kalian lakukan terhadap gadis itu? Kalian dua orang laki-laki gagah sungguh tidak tahu malu, mengganggu seorang gadis muda. Hayo cepat lepaskan dia dan tinggalkan tempat ini!”

Wiroboyo dan Darsikun terkejut bukan main ketika mendengar suara teguran di belakang pekarangan itu. Mereka yang tadinya berjongkok, cepat-cepat melompat berdiri kemudian membalikkan tubuh.

Kiranya yang berhadapan dengan mereka dalam jarak tiga meter adalah seorang nenek tua renta. Usianya tentu sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Wajahnya masih halus tanpa keriput, tetapi rambutnya yang panjang dibiarkan terurai putih mengkilap seperti benang perak. Tangan kanannya memegang sebatang tongat dari seekor ular kobra kering.

Biar pun usia nenek itu sudah tujuh puluh tahun lebih, masih tampak jelas bahwa dahulu ia tentu seorang wanita cantik. Melihat bahwa yang menegur mereka hanya seorang nenek tua, sungguh pun nenek itu kelihatan menyeramkan karena memegang sebatang tongkat bangkai ular kobra kering, tentu saja Wiroboyo dan Darsikun tidak merasa takut. Wiroboyo bahkan sudah berjongkok kembali untuk melanjutkan mengikat kedua pergelangan tangan Muryani karena dia khawatir kalau-kalau gadis keburu siuman.

“Laki-laki bandel! Lepaskan gadis itu!” nenek itu membentak dan begitu tangan kirinya digerakkan mendorong ke arah Wiroboyo yang sedang berjongkok hendak mengikat dua pergelangan tangan Muryani dengan tali, tiba-tiba saja tubuh Wiroboyo terpental kemudian bergulingan seperti sebuah bola ditendang!

Tentu saja dua orang laki-laki itu terkejut bukan main. Darsikun yang merupakan seorang jagoan yang berpengalaman maklum bahwa nenek ini ternyata memiliki kesaktian, maka dia pun telah mencabut kerisnya dan menghampiri nenek itu. Wiroboyo yang tidak terluka, hanya terkejut saja, sudah melompat dekat di samping Darsikun, siap untuk mengeroyok nenek itu.

Nenek itu tertawa melihat sikap mereka. Pada saat tertawa, tampak deretan giginya yang masih utuh dan putih bersih sehingga wajahnya tampak muda dan manis.

“Heh-heh-hik-hik, mau apa kalian dua orang laki-laki gagah ini memegang pusaka (keris) di depan seorang nenek? Mau membunuhku? Sungguh kalian jahat sekali. Bertobat dan sadarlah dari kejahatan kalian, dan pergilah dari sini dengan aman.”

Tentu saja dua orang itu tidak mau pergi begitu saja.

“Nenek yang lancang dan suka mencampuri urusan orang lain! Siapakah andika?” tanya Darsikun dengan suara membentak.

“Hemm, orang-orang yang tidak dapat menghormati orang tua! Sepatutnya kalianlah yang memperkenalkan nama kepadaku. Siapakah kalian ini yang berani melakukan kekerasan terhadap seorang wanita tanpa merasa malu sedikitpun?!”

“Nenek lancang. Buka telingamu baik-baik! Aku adalah Ki Darsikun, jagoan nomor satu di Lamongan dan murid Bapa Guru Ki Harya Baka Wulung! Dia adalah adik seperguruanku bernama Ki Wiroboyo dari Ponorogo!”

“Aha, kiranya murid Ki Harya Baka Wulung? Tetapi setahuku Ki Harya adalah seorang datuk sakti dari Madura yang gagah perkasa, mengapa sekarang muridnya seorang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita?”

“Nenek keparat! Mengakulah siapa andika!” bentak Ki Wiroboyo marah.

“Orang-orang macam kalian ini tidak pantas untuk mengenal namaku. Anggap saja aku orang yang menentang kalian dan melarang kalian mengganggu gadis itu!”

Ki Darsikun dan Wiroboyo tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi dan berbareng mereka menerjang ke depan, menggerakkan keris mereka menyerang nenek itu. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan nenek itu sudah lenyap dari depan mereka! Dua orang itu terbelalak dan selagi mereka kebingungan, ada suara di belakang mereka.

“Kalian mencari apa? Aku berada di sini!”

Mereka cepat membalik dan ternyata nenek itu sudah berdiri di belakang mereka sambil tersenyum. Kembali mereka menerjang dan tiba-tiba nenek itu menghilang untuk muncul di belakang mereka.

Sampai lima kali kedua orang itu menyerang, namun yang diserangnya seperti bayangan saja, tahu-tahu lenyap kemudian muncul di tempat lain. Dengan kaget Darsikun menyadari bahwa nenek itu memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepatan yang luar biasa, yang membuat ia seolah dapat menghilang!

Mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan seluruh kecepatan lalu menerjang lagi, bukan hanya rnenggunakan keris di tangan kanan, akan tetapi tangan kiri mereka juga bergerak, memukul dengan tenaga sakti untuk mencegah nenek itu menghilang. Akan tetapi dengan kecepatan kilat nenek itu sudah lenyap pula. Ketika mereka berdua membalik, nenek itu tidak berada di belakang mereka. Mereka mencari-cari, tetapi tetap saja tidak menemukan nenek itu.

Mendadak terdengar suara tawa nenek itu dan ketika mereka memandang ke arah suara yang datang dari atas itu, nenek itu telah duduk dengan kedua kakinya ongkang-ongkang sambil tersenyum mengejek.

“Nenek keparat! Jangan bermain gila. Kalau memang engkau berani, turunlah dan lawan kami, jangan hanya main mengelak!” bentak Darsikun yang merasa malu dan penasaran sekali.

“Hi-hik! Kalau beberapa tahun yang lalu kalian bertemu dengan aku, tentu sekarang kalian sudah menggeletak tanpa nyawa. Akan tetapi sekarang aku tidak suka membunuh dan kalau kalian ingin mendapatkan pelajaran, sambutlah!” Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dan menyambar ke arah dua orang itu seperti seekor burung garuda menyambar calon mangsanya.

Dua orang itu terkejut dan mereka menyambut bayangan putih yang menyambar ke arah mereka itu dengan tusukan keris mereka. Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, nenek itu menggerakkan tongkat ularnya dua kali yang dengan tepat memukul pergelangan tangan kanan mereka yang memegang keris.

“Tukk! Tukk!”

Dua orang itu berteriak kesakitan karena tulang lengan mereka telah retak-retak sesudah terpukul tongkat. Dengan sendirinya keris itu terlepas dari pegangan mereka dan karena maklum bahwa mereka tak mungkin melanjutkan perlawanan setelah tulang lengan kanan mereka patah, tanpa dikomando lagi kedua orang itu segera melompat lalu melarikan diri tunggang-langgang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)