SERULING GADING : JILID-22


“Hendak lari ke mana kalian, jahanam-jahanam busuk?” Muryani memaki dan ia melompat untuk melakukan pengejaran.

Akan tetapi tiba-tiba dia jatuh tersungkur karena kedua kakinya dihalangi tongkat ular di tangan nenek itu. Muryani melompat berdiri dan memandang nenek itu dengan heran dan penasaran.

“Nenek yang aneh! Andika tadi menolongku akan tetapi mengapa sekarang menghalangi aku mengejar dua orang penjahat itu?”

“Nini, aku menghalangi engkau melakukan pengejaran karena kalau kubiarkan, tidak urung engkau akan terjatuh lagi ke tangan mereka. Mereka orang-orang yang berbahaya sekali, nini. Apa lagi kalau Harya Baka Wulung berdiri di belakang mereka!”

“Ki Harya Baka Wulung?” Muryani bertanya heran, tidak berniat mengejar karena dia pun teringat bahwa jika dia melakukan pengejaran, selain belum tentu dapat menyusul karena hutan itu sangat lebat, juga siapa tahu dia akan terjebak dan tertangkap lagi seperti tadi. “Siapakah itu, eyang (nenek)?”

“Dia itu datuk yang sakti mandraguna dari Madura, dan orang tinggi kurus yang bernama Ki Darsikun tadi adalah muridnya. Juga yang seorang lagi...”

“Si Wiroboyo itu?” Muryani memotong.

“Hemm, jadi engkau sudah mengenalnya nini?”

“Tentu saja! Dia itu musuh besarku, orang jahat yang sudah membunuh ayahku,” jawab Muryani.

Nenek itu tersenyum melihat sikap Muryani yang keras. Gadis cantik jelita yang keras hati ini mengingatkan dia akan keadaan dirinya sendiri dahulu puluhan tahun yang lalu ketika dia masih jadi seorang gadis muda. Hatinya tertarik dan dia lalu duduk di atas sebuah batu yang berada di tepi jalan itu.

“Nah, kalau begitu cepat ceritakan kepadaku kenapa engkau bermusuhan dengan mereka dan bagaimana engkau tadi sampai tertangkap mereka. Dan ini tentu kudamu, bukan?” Ia menuding ke arah bangkai kuda yang rebah di situ.

Muryani mengerutkan alisnya. Dia menyadari bahwa laki-laki jangkung bernama Darsikun tadi tentulah orang yang sudah membantu Wiroboyo sehingga sampai berhasil membunuh ayahnya dan dahulu melukainya. Orang itu sakti dan dua orang musuhnya itu berbahaya sekali. Akan tetapi dia melihat betapa mudahnya tadi nenek ini mengalahkan mereka.

Sesudah berpikir sejenak dia lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan batu yang diduduki nenek itu dan berkata, “Saya akan menceritakan semuanya kalau eyang sudah menerima saya menjadi murid. Eyang, sudilah kiranya eyang menerima saya sebagai murid!”

Sejenak nenek itu termangu, memandang pada gadis yang berlutut sambil menundukkan mukanya itu.

“Coba angkat mukamu dan pandang aku!” perintahnya.

Muryani mengangkat muka dan memandang wajah nenek itu dengan sinar mata tajam. Matanya yang mencorong itu agaknya menyenangkan hati nenek itu. Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang saling selidik. Nenek itu mengamati wajah yang ayu manis itu dan dia tersenyum. Bukan hanya sikap keras gadis itu yang menarik hatinya, juga wajah ayunya pun menyenangkan hatinya.

“Agaknya engkau seorang gadis yang pernah mempelajari ilmu kanuragan. Murid siapakah engkau?”

“Saya pernah belajar ilmu silat di perguruan Bromo Dadali, eyang.”

“Ah, he-heh-heh! Kiranya engkau murid Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali di Gunung Muria? Coba kau perlihatkan apa yang pernah kau pelajari di sana agar aku mengetahui sampai di mana tingkatmu. Hayo mulai!” kembali nenek itu memerintah.

Muryani yang merasa yakin bahwa nenek ini seorang sakti mandraguna, tidak ragu-ragu lagi. Setelah menyembah, dia lalu bangkit berdiri dan mulai bersilat di depan nenek itu. Ia membuka gerakannya dengan pasangan kuda-kuda Dadali Anglayang, kemudian mulai bersilat dan sengaja mengerahkan seluruh kecepatan serta tenaganya. Bahkan beberapa kali ia memukul dengan Aji Bromo Latu sehingga terasa oleh nenek itu hawa panas keluar dari pukulan itu.

“Cukup!” nenek itu berseru dan Muryani menghentikan gerakannya, lalu menjatuhkan diri lagi duduk bersimpuh di depan batu yang diduduki nenek itu.

“Kemampuan saya masih rendah, eyang,” kata Muryani merendah.

“Hemm, memang masih belum dapat diandalkan dan mengandung banyak kelemahan. Ki Ageng Branjang agaknya masih belum pandai mengajarkan ilmu silat pada muridnya, atau memang barang kali hanya sampai sekian saja tingkat kepandaiannya.” Ucapan nenek itu mengandung ketinggian hati yang memandang rendah kemampuan orang lain.

Diam-diam Muryani merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya. Ia menganggap nenek itu terlalu sombong dan merendahkan gurunya yang menjadi ketua Bromo Dadali. Akan tetapi tentu saja ia diam saja, tidak berani menyatakan perasaan tidak senangnya dengan kata-kata.

“Aha, engkau tidak percaya kepadaku dan menganggap aku membual?” tiba-tiba nenek itu bertanya.

Muryani menjadi terkejut. “Ahh, bukan begitu, eyang, akan tetapi... “

“Sudahlah, hayo bangkitlah, cepat!” Perintah ini mengandung suara yang demikian penuh wibawa sehingga mau tidak mau Muryani bangkit juga.

“Hayo seranglah aku dengan semua ilmumu yang paling ampuh. Pergunakan pukulanmu yang mengandung hawa panas tadi!”

Muryani terkejut. “Akan tetapi...”

“Tidak ada tapi! Apa kau tidak percaya bahwa aku akan mampu menahan pukulanmu? Hayo cepat pukul!”

Terpaksa Muryani lalu mengerahkan Aji Bromo Latu, yaitu ilmu pukulan yang merupakan aji pamungkas dan menjadi andalan perguruan Bromo Dadali, kemudian memukul ke arah dada nenek itu. Akan tetapi dia hanya mengerahkan sebagian dari tenaganya saja karena dia tidak ingin melukai nenek tua renta itu.

“Awas serangan saya, eyang!” Dia masih memperingatkan dan pukulan tangan kanannya yang terbuka itu menyambar ke depan.

“Wuuutttt...! Desss...!”

Tubuh Muryani terpental ke belakang dan dia terhuyung-huyung. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas tadi seperti membentur sesuatu yang lunak namun lentur, yang membuat tenaga pukulannya membalik sehingga dia tidak dapat mempertahankan diri lalu terhuyung. Muryani terkejut sekali.

“Ke sinilah kau!” nenek itu membentak dan Muryani melangkah maju menghampiri.

“Hemm, bocah tolol! Kalau engkau tidak percaya akan kemampuanku, untuk apa engkau hendak menjadi muridku? Engkau memukul hanya dengan tenaga sebagian saja. Engkau takut kalau aku terluka. Begitu rendahkah engkau menilai aku?”

Muryani beradu pandang dengan nenek itu dan dia terkejut sekali. Sinar mata nenek itu mencorong seolah menembus sampai hatinya!

“Saya tidak berani, eyang,” katanya lirih.

“Kalau tidak berani memandang rendah, hayo pukul aku lagi dengan seluruh tenagamu. Aku ingin mengukur tingkatmu, tahu?”

Muryani cepat memasang kuda-kuda mengumpulkan seluruh tenaganya. Kini dia percaya penuh akan kesaktian nenek itu. Sambil mengerahkan seluruh tenaga ia memukul dengan dorongan kedua telapak tangannya ke arah tubuh nenek yang masih duduk di atas batu itu dan berseru, “Maafkan saya, eyang!”

Dahsyat sekali Aji Bromo Latu yang dipergunakan Muryani untuk melakukan pukulan itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang sangat panas, mendahului tenaga pukulan yang dahsyat.

“Wuuuttt...! Blarrrr...!”

Tubuh Muryani tepental jauh dan dia terbanting jatuh, tidak dapat bangkit kembali karena dia telah jatuh pingsan lagi!

Nenek itu turun dari atas batu, menghampiri Muryani kemudian berjongkok di dekatnya, menggunakan jari tangan kanan menotok tiga kali ke arah ulu hati, di antara sepasang payudaranya, kemudian mengurut bagian tengkuknya.

Muryani mengeluh lirih dan membuka matanya. Ketika melihat nenek itu berjongkok di dekatnya, dia cepat bangkit lalu duduk menyembah dengan hormat.

“Maafkan saya yang bodoh dan lemah,” katanya lirih.

“Hik-hik-hik, sekarang aku telah mengukur tingkatmu. Ternyata engkau boleh juga, sudah mewarisi dasar-dasar aji kesaktian yang lebih tinggi. Tidak sulit bagimu untuk melatih dan menguasai ilmu-ilmuku yang tinggi.”

“Ahh, kalau begitu eyang menerima saya menjadi murid?”

Nenek itu tersenyum dan mengangguk. Muryani girang sekali dan dia cepat menyembah-nyembah. “Eyang guru, terimalah sembah sujud saya!” katanya.

Nenek itu menyentuh pundaknya dan bagaikan kemasukan hawa yang amat kuat Muryani tersentak bangun berdiri. Nenek itu pun sudah berdiri lalu duduk kembali di atas sebuah batu.

“Duduklah di sini dan sekarang ceritakan semua tentang dirimu, siapakah engkau dan apa yang terjadi denganmu sampai kita saling berjumpa di sini.”

Muryani mengambil tempat duduk di atas batu, di sebelah nenek itu. “Eyang guru yang mulia. Nama saya Muryani. Mendiang ayah saya tinggal di dusun Pakis di Gunung Lawu. Semenjak kecil saya ikut nenek saya di Demak sedangkan mendiang ayah meninggalkan Demak dan pergi merantau sampai ke Gunung Lawu. Ketika saya ikut nenek itulah saya menjadi murid perguruan Bromo Dadali. Pada saat saya berusia enam belas tahun, baru setahun lalu, nenek saya di Demak sakit dan meninggal dunia. Ayah lalu membawa saya ke Pakis.”

Muryani lalu bercerita tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak mengambilnya sebagai selir dan betapa ia memberi pelajaran kepada Ki Wiroboyo yang mata keranjang itu. Dia juga menuturkan tentang warok Surobajul yang diundang Ki Wiroboyo untuk menculiknya dan betapa akhirnya Warok Surobajul tewas dikeroyok penduduk dan Ki Wiroboyo diusir dari dusun.

“Akan tetapi ternyata Wiroboyo menaruh dendam. Pada suatu malam, kurang lebih satu bulan yang lalu, rumah kami kedatangan penjahat yang lalu membunuh ayah dan melukai saya. Ayah saya, Ki Ronggo Bangak, tewas oleh pukulan jarak jauh. Sesudah sembuh, saya lalu pergi meninggalkan Pakis untuk mencari Wiroboyo, dan saya menduga bahwa tentu dia yang berdiri di belakang pembunuhan terhadap ayah dan penyerangan terhadap saya itu. Dari rumah mendiang Warok Surobajul saya mendapatkan keterangan mengenai rumah Wiroboyo dan pada saat saya mengunjungi rumahnya, saya mendapat keterangan bahwa Wiroboyo baru saja meninggalkan rumahnya menuju ke utara. Saya cepat-cepat mengejarnya dan di hutan ini saya melihat dia berlari di depan. Saya lalu mengejar, akan tetapi tiba-tiba kuda saya roboh terkena anak panah. Saya ikut terbanting dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika siuman saya melihat eyang guru sedang berkelahi melawan mereka dan mengusir mereka. Demikianlah keadaan saya, eyang. Menyaksikan kesaktian eyang, maka saya mohon menjadi murid supaya saya memiliki kesaktian seperti eyang sehingga dapat membalas dendam kematian ayah saya dan membasmi penjahat-penjahat yang berkeliaran di permukaan bumi ini.”

“Hemm! Muryani, setelah engkau menjadi muridku, engkau harus dapat memenuhi syarat-syarat yang harus kau taati.”

“Apakah syarat-syarat itu, eyang guru?”

“Yang pertama, sungguh pun dalam berapa tahun ini aku akan mewariskan semua ilmuku padamu, akan tetapi dilarang keras bagimu untuk memperkenalkan aku sebagai gurumu. Orang menyebut aku Nyi Rukmo Petak (Rambut Putih) dan namaku sendiri dahulu adalah Ken Lasmi. Akan tetapi hanya telingamu saja yang mendengar nama dan julukanku itu. Engkau tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun juga sebelum aku mati!”

“Perintah eyang guru ini sangat aneh, akan tetapi saya berjanji untuk mematuhinya,” kata Muryani dengan tegas dan janji ini memang keluar dari lubuk hatinya.

“Syarat kedua, engkau tidak boleh sekali-kali mempergunakan ilmu-ilmu yang kau pelajari dariku untuk melakukan kejahatan.”

“Saya bukan orang jahat yang suka melakukan kejahatan, eyang guru!” kata Muryani tegas karena kata-kata ini menyinggung perasaannya.

“Bagus kalau begitu. Syarat ketiga, kau tidak boleh jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak mencintaimu. Kalau engkau memaksakan cintamu kepada seorang pria yang tidak mencintaimu, maka hidupmu akan terkutuk dan selama hidupmu engkau akan menderita sengsara!”

Wajah Muryani menjadi kemerahan. Entah kenapa tiba-tiba saja wajah Parmadi terbayang di depan pelupuk matanya. Dia mengeraskan hatinya dan berkata, “Saya bukan seorang wanita yang tidak tahu malu, eyang. Saya tidak akan sudi memaksakan cinta saya kepada seorang pria yang tidak mencintai saya!”

Nenek itu tersenyum. “Heh, mudah saja berkata begitu. Akan tetapi sekali engkau jatuh cinta dan tergila-gila kepada seorang pria, barulah engkau tahu apa yang kumaksudkan. Sekarang syarat yang ke empat atau yang terakhir. Ingat baik-baik pesanku yang terakhir ini. Aku ingin agar engkau tidak melupakan dua nama, yaitu Retno Susilo dan suaminya yang bernama Tejomanik atau Sutejo. Mereka itu, terutama Retno Susilo, adalah orang yang kukasihi, bahkan wanita itu dahulu pernah menjadi muridku yang terkasih. Karena itu aku berpesan kepadamu, kalau kelak engkau bertemu Retno Susilo, bantulah dia dalam segala hal seperti engkau membantu aku sendiri.”

“Baik, eyang guru. Pesan eyang guru akan selalu saya ingat.”

“Nah, mulai sekarang engkau ikut denganku ke mana pun aku pergi, dan engkau harus mentaati semua perintahku, dengan tekun melatih semua aji kanuragan yang kuajarkan,” kata nenek itu dan nada suaranya masih mengandung kekerasan yang tak dapat dibantah lagi.

Muryani mengikuti nenek itu menuju timur dan ternyata nenek yang berjuluk Nyi Rukmo Petak itu tinggal sebagai seorang pertapa di Bukit Ular yang terletak di Pegunungan Anjasmoro.

Dahulu Nyi Rukmo Petak ini bernama Ken Lasmi, seorang gadis cantik jelita dan terkenal di mana-mana sebagai seorang gadis yang sakti mandraguna. Dia lalu berjumpa dengan seorang pemuda gagah perkasa bernama Harjodento yang kemudian menjadi ketua dari perguruan Nogo Dento di daerah Ngawi. Ken Lasmi tergila-gila kepada Harjodento. Akan tetapi pemuda yang semula mencintanya, akhirnya meninggalkannya setelah mengetahui bahwa Ken Lasmi mempunyai watak yang kejam dan mudah membunuh orang yang dia anggap bersalah atau menentangnya.

Harjodento meninggalkannya, kemudian pendekar ini menikah dengan seorang gadis lain bernama Padmosari yang juga seorang wanita yang digdaya. Ken Lasmi merasa sakit hati sekali ditinggalkan Harjodento yang dicintanya, apa lagi mendengar pemuda itu menikah dengan gadis lain.

Pada malam pengantin Ken Lasmi menyerbu rumah Harjodento dan berusaha membunuh Padmosari yang dianggap telah merebut kekasihnya. Akan tetapi ia dapat dikalahkan oleh Harjodento yang membantu isterinya.

Ken Lasmi masih penasaran. Berulang kali dicobanya untuk membunuh Padmosari tetapi selalu gagal karena selain Padmosari juga bukan wanita lemah, terutama karena tingkat kepandaian Harjodento masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Ken Lasmi. Hal ini membuat Ken Lasmi jengkel, sakit hati dan berduka serta mendadak rambut di kepalanya berubah putih semua! Sejak saat itulah dia lebih dikenal dengan sebutan Nyi Dewi Rukmo Petak!

Dia mendendam sakit hati yang amat mendalam dan meningkatkan ilmu kepandaiannya. Namun tetap saja dia tidak dapat mengungguli suami isteri itu.

Empat tahun sudah lewat sejak Harjodento menikah dengan Padmosari dan suami isteri ini mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Tejomanik yang sudah berusia tiga tahun. Dan terjadilah mala petaka bagi suami isteri itu. Tejomanik yang baru berusia tiga tahun itu pada suatu hari lenyap! Tentu saja penculiknya adalah Rukmo Petak.

Akan tetapi anak itu ditolong oleh seorang pendeta sakti bernama Bhagawan Sindusakti yang kemudian merawat dan mendidik anak itu karena tidak diketahui siapa orang tuanya. Sementara itu Nyi Rukmo Petak lalu mengambil seorang anak perempuan bernama Retno Susilo sebagai murid. Ia menyayangi anak itu dan menurunkan semua ilmunnya. Setelah Retno Susilo menjadi gadis, Nyi Rukmo Petak mengutusnya untuk membunuh Harjodento dan Padmosari!

Akan tetapi apa yang terjadi? Retno Susilo bertemu dan saling jatuh cinta dengan seorang pemuda bernama Sutejo yang bukan lain adalah Tejomanik! Mengetahui ini, Nyi Rukmo Petak berhasil membujuk Sutejo, menuturkan betapa jahatnya Harjodento dan Padmosari sehingga Sutejo bersedia membantu Retno Susilo untuk membunuh suami isteri yang sesungguhnya orang tuanya sendiri itu.

Nyi Rukmo Petak merasa girang dan puas bukan main. Dia dapat mengadu suami isteri musuh besarnya itu dengan anak mereka sendiri! Dan usahanya itu hampir saja berhasil, namun kemudian gagal karena ulahnya sendiri.

Ia mengintai dan menonton pertempuran itu. Melihat betapa Harjodento dan Sutejo sama-sama terluka, ia keluar dan menertawakan suami isteri itu! Setelah Sutejo dan Harjodento tahu bahwa mereka adalah ayah dan anak, mereka menandingi Nyi Rukmo Petak. Biar pun sudah terluka, mereka berempat, Sutejo, Harjodento, Padmosari dibantu Retno Susilo yang menentang gurunya sendiri yang dianggapnya jahat, maju bersama mengeroyok Nyi Rukmo Petak.

Nyi Rukmo Petak kalah kemudian melarikan diri. Sejak saat itulah ia menjadi pertapa dan perlahan-lahan bisa menyadari kesalahannya. Akhirnya ia bertobat tidak lagi mau berbuat kejam, tidak mau membunuh orang, biar pun wataknya yang keras masih ada bekasnya. Kebetulan pada hari itu dia melihat Muryani tertawan oleh Wiroboyo dan Darsikun. Meski pun dia marah, akan tetapi dia tidak mau membunuh mereka.

Melihat wajah dan watak Muryani yang keras, timbul rasa sukanya dan ia lalu mengambil gadis itu sebagai muridnya, mengajaknya pulang ke Bukit Ular di Pegunungan Anjasmoro.

Kurang lebih empat tahun lamanya Muryani digembleng oleh Nyi Rukmo Petak di Bukit Ular. Dia belajar dengan tekin sekali dan mewarisi berbagai aji kesaktian yang hebat.

Nyi Rukmo Petak terkenal sekali dengan ilmunya meringankan tubuh sehingga dia dapat bergerak cepat seperti menghilang. Ilmu ini disebut Aji Kluwung Sakti yang kini berhasil dikuasai Muryani. Selain itu dia pun menguasai Aji Gelap Sewu, semacam pukulan tenaga sakti dahsyat dan juga ilmu pukulan yang mengerikan, yang disebut Aji Wiso Sarpo (Bisa Ular). Pukulan ini kalau digunakan dengan aji tersebut, mengandung hawa racun sehingga akibatnya, yang terkena pukulannya akan keracunan seperti tergigit ular berbisa!

Di samping tiga ilmu yang dahsyat ini, Muryani juga diberi ilmu pawang ular. Semua ular, betapa liar dan berbisa pun, akan menjadi jinak dan tunduk kepadanya! Setelah dia tamat belajar, pada suatu malam Nyi Rukmo Petak mengajukan permintaan yang sangat aneh bagi Muryani.

“Muryani, malam ini aku ingin engkau menemaniku. Aku ingin tidur satu pembaringan dan sebantal denganmu!”

Tentu saja Muryani merasa heran sekali. Akan tetapi ia tidak berani membantah. Ketika malam tiba, ia merebahkan diri di samping gurunya, tidur berbagi bantal. Muryani merasa terharu sekali ketika Nyi Rukmo Petak merangkul dan menciuminya sambil berulang kali berbisik, “Anakku..., cucuku... yang terkasih...!”

Dan dia merasa betapa pipinya basah terkena air mata yang keluar dari mata nenek itu. Gurunya, Nyi Rukmo Petak yang berhati sekeras baja itu menangis!

Dia teringat akan keadaan dirinya sendiri. Neneknya sudah meninggal dunia, Ibunya telah meninggal dunia sejak ia kecil, kemudian ayahnya meninggal dunia pula dibunuh orang. Ia menyadari bahwa pada saat itu ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali Nyi Rukmo Petak sebagai gurunya dan pengganti nenek atau ibunya! Maka perasaan haru mendorongnya untuk balas memeluk tubuh nenek itu dan keduanya bertangisan!

Setelah tangisnya reda, Muryani bertanya pada Nyi Rukmo Petak yang masih merangkul pundaknya. “Eyang guru, apakah eyang tidak mempunyai anak atau cucu?”

“Aku... aku tidak pernah menikah, Muryani,” jawab nenek itu lirih dan suaranya menjadi parau karena tangis.

“Tetapi kenapa, eyang? Dahulu Eyang tentu seorang wanita yang sangat cantik. Sekarang pun masih kelihatan bekas kecantikan eyang. Tentu banyak pria yang jatuh cinta kepada eyang.”

Nenek itu menghela napas dan melepaskan rangkulannya untuk menyusut air matanya. “Pria yang kucinta membelakangiku... dia menikah dengan wanita lain dan sejak itu aku tidak pernah berdekatan dengan pria lain. Aku tidak mau menikah dengan pria lain.”

“Ahh, dia jahat sekali, membikin hidup eyang merana dengan menolak cinta eyang!” kata Muryani penasaran. Ingin dia menghajar laki-laki yang membuat eyang gurunya patah hati dan sengsara seperti itu.

“Tidak, Muryani. Dia sama sekali tidak jahat. Bahkan dia seorang pendekar gagah perkasa dan bijaksana. Akulah yang jahat. Dahulu aku seorang gadis yang galak, liar dan kejam. Aku yang jahat dan karena itulah dia menolak cintaku. Kau masih ingat akan syarat ketiga yang kuajukan kepadamu?”

Muryani mengangguk. “Saya tidak boleh jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang tidak mencintaiku. Ah, jadi itukah sebabnya mengapa eyang mengajukan syarat seperti itu?”

“Benar, Muryani. Aku sangat sayang kepadamu dan aku tidak ingin kelak engkau hidup menderita seperti aku. Muryani, muridku, anakku, cucuku, peluk dan ciumlah aku sekali lagi. Setelah itu tinggalkan aku, tidurlah di kamarmu sendiri.”

Muryani memeluk dan menciumi kedua pipi gurunya. “Eyang, saya ingin menemani eyang semalam penuh, tidur di sini. Saya juga amat sayang kepada eyang.”

“Tidak, Muryani. Cukup sudah bagiku. Kasih sayangmu ini membahagiakan aku. Sungguh aku berterima kasih kepada Gusti Allah yang mempertemukan aku denganmu. Aku lelah sekali. Tinggalkanlah aku sendiri, aku hendak bersamadhi.”

Terpaksa Muryani turun dari atas pembaringan. Akan tetapi sebelum ia keluar dari kamar itu, gurunya berkata, suaranya lirih dan tersendat, agaknya napasnya sesak. “Muryani, jangan lupa... besok, sesudah sinar matahari menyentuh pondok, kau bakarlah pondok ini sampai semuanya menjadi abu.”

Muryani terkejut bukan main. “Eyang guru! Apa artinya ini? Kenapa saya harus membakar pondok ini?”

“Sudahlah, jangan banyak bertanya. Taati saja semua pesan dan perintahku. Engkau akan mengerti sendiri besok. Tidurlah, Muryani, sayangku...”

Muryani ingin merangkul lagi, akan tetapi takut kalau gurunya yang keras hati itu marah. Dia lalu keluar dari kamar, dengan hati-hati menutup daun pintunya, kemudian memasuki kamarnya sendiri.

Akan tetapi semalaman itu ia tidak dapat tidur pulas. Ia selalu ingat kepada gurunya, ingat kepada keadaan diri sendiri, ingat akan semua pesan gurunya dan bertanya-tanya apakah yang akan dilakukan gurunya besok. Kenapa ia harus membakar pondok!

Pagi-pagi sekali ia keluar dari kamarya, dengan tubuh terasa lesu karena kurang tidur. Ia melangkah dengan hati-hati agar jangan mengagetkan gurunya yang sedang tidur. Ia pergi mandi di pancuran air yang berada di belakang pondok, berganti pakaian lalu memasak air untuk membuatkan minuman bagi gurunya.

Ia tidak melihat Nyi Rukmo Petak keluar dari kamarnya. Padahal biasanya nenek itu telah bangun pagi-pagi sekali dan kesukaannya duduk di luar pondok, di atas bangku menikmati kesejukan udara pagi. Setelah ia menyelesaikan semua pekerjaan pagi dan melihat sinar matahari mulai mengintai dari balik puncak dan menyinari pondok, Muryani menjadi kaget karena ia teringat akan pesan gurunya agar ia membakar pondok sesudah sinar matahari menyentuh pondok!

Jantungnya berdebar tegang dan cepat dia memasuki pondok. Ada perasaan tidak enak di hatinya. Di depan pintu kamar gurunya dia merasa ragu. Biasanya dia tidak pernah berani memasuki kamar gurunya tanpa dipanggil. Akan tetapi hatinya merasa tak enak sekali dan jantungnya berdebar. Diketuknya pintu kamar itu perlahan.

“Tok-tok-tok...”

Muryani menanti sambil mengerahkan pendengarannya. Tidak ada jawaban, bahkan tidak terdengar gerakan sedikit pun juga di dalam kamar itu. Muryani merasa semakin tegang dan tidak enak hatinya.

Biasanya gurunya itu memiliki pendengaran yang peka sekali. Dalam keadaan tidur sekali pun gurunya pasti terbangun apa bila terdengar suara yang tidak wajar. Setelah mengetuk pintu sekali lagi dan tetap tidak ada jawaban, dia memberanikan diri mendorong daun itu perlahan.

Dengan mudah daun pintu itu terbuka kerana tak pernah diganjal dan selalu hanya ditutup begitu saja. Muryani melangkah masuk. Cuaca dalam kamar masih gelap remang-remang karena jendela kamar itu masih tertutup dan tidak ada lampu penerangan di dalam kamar.

Sesudah pandangan matanya dapat disesuaikan dengan keremangan kamar itu, Muryani dapat melihat sosok tubuh gurunya sedang duduk bersila menghadap ke luar. Sepasang mata nenek itu terpejam, agaknya tenggelam ke dalam samadhinya. Muryani tidak berani mengganggu gurunya yang tampaknya sedang bersamadhi itu. Tapi perasaan tidak enak dalam hatinya memaksa ia memberanikan diri melangkah maju menghampiri pembaringan itu.

“Eyang... “ panggilnya lirih.

Sosok tubuh nenek itu tidak menjawab, tidak bergerak dan yang membuat hati Muryani berdebar tegang dan gelisah adalah ketika ia mengerahkan pendengarannya, ia tidak bisa menangkap pernapasan gurunya sama sekali!

“Eyang... ?” Dia memanggil lagi, agak keras.

Nenek berambut putih itu tetap tidak menjawab dan tidak bergerak, seolah tubuhnya telah menjadi arca.

“Eyang...“ Dia menghampiri dan menyentuh pundak nenek itu. Ketika dia mendorongnya, tubuh Nyi Rukmo Petak terjengkang kemudian roboh telentang dalam keadaan kedua kaki masih bersila dan kedua tangan menyembah di depan dada!

“Eyang...!” Muryani merangkul dan ternyata tubuh gurunya telah kaku dan dingin. Gurunya telah mati dalam keadaan duduk bersila!

“Eyanggg... ahh, eyang telah mati...!”

Muryani menangis sambil memeluk tubuh nenek itu dan menciumi mukanya hingga muka jenazah nenek itu basah oleh air matanya. Sesudah tangisnya mereda, dia teringat akan pesan nenek itu.

“Eyang guru ingin mati dalam keadaan duduk bersamadhi dan ingin jenazahnya dibakar bersama pondok ini.” Setelah berkata pada dirinya sendiri, Muryani lalu merangkul kedua pundak nenek itu dan membangkitkannya kembali, duduk bersila seperti tadi. Jenazah itu kaku dan ketika didudukkan, seperti arca, tidak terguling kembali.

Kamar itu mulai terang dan Muryani dapat melihat bahwa nenek ilu telah berganti pakaian, mengenakan pakaian serba putih yang bersih. Rambutnya yang putih digelung rapi dan tongkat ular kobra kering berada di dekatnya. Betapa hebat gurunya, pikir Muryani kagum. Pasti gurunya sudah tahu bahwa saat kematiannya segera tiba, maka ia berpesan kepada muridnya untuk membakar pondok itu.

Muryani berlutut di depan pembaringan, di depan jenazah nenek yang duduk bersila itu, menyembah dengan sikap hormat.

“Baiklah, eyang. Saya akan mentaati pesan dan perintah eyang. Saya akan membakar pondok ini.”

Setelah memberi hormat Muryani segera berkemas, mengumpulkan seluruh pakaiannya, membungkusnya dengan kain, memasukkan perhiasan-perhiasan emas yang dibawanya ketika meninggalkan Dusun Pakis dan selama ini tidak pernah dipakainya, kemudian dia menggendong buntalan itu dan kembali memasuki kamar Nyi Rukmo Petak.

Jenazah itu masih duduk bersila bagaikan arca. Muryani menjatuhkan diri berlutut lagi di depan jenazah itu.

“Eyang, saya akan melaksanakan pesan dan perintah eyang, yaitu membakar pondok ini. Selamat tinggal, eyang.”

Dia meragu, masih berlutut karena pada saat itu dia teringat akan wejangan mendiang ayahnya, Ki Ronggo Bangak. Dulu Ayahnya pernah berkata bahwa kematian merupakan kelanjutan dari pada kehidupan. Yang mati dan akhirnya lenyap menjadi tanah hanyalah jasadnya, badannya. Namun rohnya tidak akan lenyap, melainkan pindah ke alam lain, ke alam baka.

Jadi bukan ia yang meninggalkan gurunya. Yang akan ia tinggalkan hanyalah bekas tubuh yang tadinya dihuni roh gurunya dan kini tubuh itu ditinggalkan karena sudah lapuk, sudah tua. Roh gurunyalah yang meninggalkannya!

“Selamat jalan, eyang... !” Dia berkata lagi, bangkit dan mencium wajah jenazah itu lalu keluar dari situ, keluar dari pondok yang didiaminya bersama Nyi Rukmo Petak selama kurang lebih empat tahun.

Setelah tiba di luar pondok, Muryani menggantungkan buntalan pakaiannya pada sebatang pohon, lalu dia mengumpulkan daun dan kayu kering, ditumpuk di dalam dan di sekeliling pondok. Sesudah merasa cukup, dia menyalakan api lalu membakar tumpukan daun dan jerami serta kayu kering di luar pondok.

Pondok itu segera terbakar. Api bernyala, berkobar, membubung ke atas disertai bunyi ledakan-ledakan kayu dan bambu yang dimakan api.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)