SERULING GADING : JILID-23
Melihat mendung yang bergumpal tebal di angkasa itu, timbul kekhawatiran di dalam hati Muryani. Diam-diam dia berdoa di dalam hatinya supaya hujan jangan turun dulu sebelum jenazah gurunya terbakar sempurna menjadi abu.
Mungkin doanya terkabul, sebab kenyataanya hujan belum juga turun sementara nyala api semakin lahap memakan pondok serta semua isinya. Akhirnya nyala api padam dan yang tinggal hanya asap yang makin lama semakin berkurang.
Muryani melihat bahwa bekas pondok itu sekarang telah menjadi abu semua, rata dengan tanah. Tentu jenazah gurunya sudah menjadi abu dan hancur ketika tertimpa atap yang runtuh. Dia belum dapat mencari abu jenazah gurunya karena asap masih mengepul di sana-sini tanda bahwa masih terdapat api yang membara.
Pada saat asap telah mulai menipis dan dia sedang melangkah dari bawah pohon hendak menghampiri tumpukan puing dan abu itu, tiba-tiba saja nampak kilat menyambar disertai geledek yang menggelegar. Muryani sudah mendengar cerita tentang bahayanya kilat dan geledek itu, maka dia cepat surut kembali ke bawah pohon besar. Pada saat itulah hujan turun dari langit seperti dituangkan. Kandungan mendung agaknya sudah terlampau berat sehingga akhirnya bobol dan air yang berjatuhan merupakan tetesan yang besar-besar dan deras sekali.
Melihat ini Muryani segera menyambar buntalannya dan larilah secepatnya ke arah barat. Tak jauh dari situ terdapat sebuah goa yang cukup besar dan ke goa inilah ia berlari untuk berlindung. Dalam hujan sederas itu, pohon tak akan mampu melindunginya dan dia akan basah kuyup, termasuk pakaian di dalam buntalannya.
Hujan turun dengan deras sekali dan cukup lama. Muryani melihat betapa air berwarna kuning kemerahan, yaitu air hujan bercampur tanah, membanjir di depan goa, mengalir ke bagian yang lebih rendah. Ia tidak dapat melihat bekas pondok gurunya dari dalam goa itu.
Hatinya gelisah. Dia tahu bahwa pondok itu didirikan di bagian paling tinggi dari puncak. Biasanya, pada waktu turun hujan deras, dia sering melihat air hujan menjadi sungai yang membanjir turun dari sekeliling pondok. Dia tidak dapat membayangkan apa yang terjadi dengan puing dan abu pondok yang terbakar habis itu sekarang.
Hujan turun selama hampir setengah hari. Deras dan tiada hentinya. Ketika akhirnya hujan reda dan langit sudah mulai bersih dari awan mendung, tampak sinar matahari yang sudah mulai condong ke barat. Sudah lewat tengah hari.
Pada saat Muryani keluar dari dalam goa, ia meninggalkan buntalan pakaiannya di tempat perlindungan itu karena masih turun gerimis kecil yang mengakhiri hujan lebat. Ia langsung menuju ke tempat di mana pondok itu terbakar.
Begitu tiba di situ, dia tercengang, terpukau berdiri seperti berubah menjadi arca. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Pondok itu tidak tampak bekasnya sama sekali! Puing dan abu pondok itu tidak ketinggalan sedikit pun juga! Agaknya semua disapu bersih oleh banjir, terhawa hanyut air hujan yang menjadi seperti sungai itu. Habis sama sekali, hanya tinggal bekas lantai pondok dari tanah liat yang tampak mengkilap licin dicuci air hujan! Abu jenazah Nyi Rukmo Petak sudah lenyap, tidak ada bekasnya sedikit pun juga.
Akhirnya Muryani dapat mengatasi guncangan hatinya dan dia menjadi sadar dan tenang kembali. Ia berdiri dan merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, menyentuh ujung hidungnya dengan sepasang ibu jari dan berbisik, “Selamat jalan, eyang...!”
Hujan sudah berhenti sama sekali. Matahari tersenyum cerah. Hawa udara menjadi begitu hangat, nyaman dan bersih. Semua kotoran telah disapu bersih oleh air hujan. Daun-daun pohon berkilauan dalam warna hijau yang segar bersih. Bau tanah dan tanam-tanaman menghambur sedap dan menyehatkan.
Muryani menuruni puncak sambil menggendong buntalan pakaiannya. Dia harus berjalan hati-hati sekali karena ada banyak tanah lereng yang longsor dan hujan sudah membuat tanah menjadi licin. Terpeleset dapat membawa maut karena terjerumus ke dalam jurang!
Namun Muryani sekarang berbeda sekali dari Muryani empat tahun yang lalu. Kalau dulu Muryani sudah merupakan seorang gadis murid Perguruan Bromo Dadali yang digdaya, sekarang ia adalah seorang gadis dewasa yang sakti mandraguna! Nyi Rukmo Petak telah mewariskan seluruh aji kesaktiannya kepada Muryani.
Ilmu meringankan tubuh yang sangat terkenal dari Nyi Rukmo Petak, yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali, yaitu Aji Kluwung Sakti, telah dikuasai Muryani. Juga pukulan jarak jauh berdasarkan tenaga sakti, yaitu Aji Gelap Sewu, dan pukulan yang mengandung hawa beracun, yaitu Aji Wiso Sarpo.
Bukan saja kesaktian gadis itu yang bertambah hebat, akan tetapi juga kecantikannya. Bagaikan bunga, dia telah mekar indah. Bagaikan buah, dia telah masak. Ia telah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh satu tahun. Sepasang matanya yang laksana bintang itu kini dapat mencorong penuh wibawa yang amat kuat.
Begitu sempurnanya Muryani menguasai Aji Kluwung Sakti sehingga licinnya tanah yang dilaluinya ketika dia menuruni puncak, tidak merupakan halangan baginya. Kedua kakinya demikian ringan melangkah, bahkan makin lama tubuhnya meluncur turun semakin cepat bagaikan terbang saja!
Muryani menuruni Bukit Ular di Pegunungan Anjasmoro. Bukit Ular itu merupakan bukit yang amat ditakuti orang. Tidak ada orang berani mendaki bukit itu, baik dia pemburu atau pencari kayu, karena bukit itu terkenal dihuni banyak ular. Ada ular yang besar sekali yang mampu menelan tubuh seekor babi hutan, dan banyak ular-ular kecil yang berbisa.
Ketika menuruni bukit, Muryani melihat banyak ular. Agaknya mereka itu hanyut terbawa air yang membanjir. Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri. Setelah dia menguasai ilmu pawang ular yang diajarkan Nyi Rukmo Petak, dia sudah biasa bermain-main dengan ular-ular berbisa.
Karena dia menuruni Bukit Ular dengan menggunakan Aji Kluwung Sakti maka sebentar saja dia sudah tiba di kaki bukit. Mendadak dia mendengar suara jerit ketakutan seorang anak kecil. Cepat dia berlari menuju ke arah suara itu.
Dia melihat seorang anak laki-laki yang usianya sekitar delapan tahun dan agaknya tadi sedang bermain-main dan mandi di air hujan yang tergenang di selokan tepi sawah. Anak laki-laki itu telanjang bulat dan kini dia berdiri terbelalak dengan muka pucat.
Di depannya, hanya dalam jarak kurang dari dua meter, tampak seekor ular kobra sebesar lengan orang dewasa, mengangkat kepala dan lehernya yang mekar itu ke atas. Moncong ular itu mendesis-desis dan binatang itu siap mematuk.
Pengetahuannya tentang ular membuat Muryani maklum bahwa ular berbisa itu sedang marah dan siap untuk menyerang. Cepat sekali tubuh Muryani berkelebat ke depan dan dia sudah mengerahkan Aji Wiso Sarpo.
Ular itu terkejut dan menjadi semakin marah ketika melihat ada orang menghadapinya dan melindungi bocah itu. Akan tetapi ketika Muryani menggerak-gerakkan kedua lengannya yang melenggok seperti dua ekor ular, ular kobra itu tiba-tiba saja menurunkan kepalanya.
Muryani berjongkok di depan anak itu sambil menghadapi ular yang berada dekat sekali di depannya. Agaknya ular kobra itu seperti terpesona, kemudian dengan perlahan merayap mendekati Muryani yang mengulurkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. Ular itu menghampiri tangan kiri Muryani lalu menjilati telapak tangan itu! Muryani tahu bahwa ular itu tentu terbawa hanyut oleh air hujan dan ketika tiba di selokan, tanpa sengaja anak laki-laki itu menginjaknya sehingga ular itu menjadi marah dan hendak mematuknya.
Muryani memegang leher ular itu, mengangkatnya ke depan mukanya. Matanya bersinar mencorong memandang muka ular itu dan ia berkata lirih, “Tidak boleh engkau menyerang manusia yang tidak mengganggumu. Hayo pergilah, kembali ke bukit!” Sesudah berkata demikian, dia melepaskan ular itu yang segera merayap naik ke atas bukit dengan cepat, sepertl ketakutan!
Muryani memandang anak lak-laki yang masih ketakutan itu. “Di manakah rumahmu, Le (nak)?”
Anak laki-laki itu menunjuk ke arah belakangnya di mana terdapat sebuah dusun. Dari situ tampak atap rumah-rumah sederhana di dusun itu.
“Cepatlah pulang dan katakan kepada teman-temanmu agar jangan bermain-main dulu di tempat ini. Banyak ular yang hanyut oleh air hujan turun dari bukit.”
Anak itu mengangguk-angguk dan dia pun berlari ke arah dusun sambil membawa pakaian yang belum dikenakannya. Muryani mengikuti larinya anak itu sambil tersenyum geli.
Muryani melanjutkan perjalanannya. Setelah ditinggal mati ayahnya, dan kini ditinggal mati gurunya, ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Neneknya di Demak juga sudah meninggal dunia dan selain nenek itu, tidak ada sanak keluarga lain. Ia benar-benar hidup seorang diri di dunia ini. Kembali ke Pakis? Ah, di sana dia hanya akan terkenang kepada ayahnya yang telah tiada. Parmadi juga tidak ada di dusun itu.
Tidak, dia tidak akan kembali ke Pakis, entah kalau kelak ada kesempatan untuk itu dan ada keinginan untuk mengunjungi makam ayahnya. Tapi sekarang ia harus melaksanakan tugas pertamanya, yaitu mencari pembunuh ayahnya! Dia tahu bahwa Wiroboyo berdiri di belakang layar pembunuhan ayahnya dan bekas demang itu dibantu oleh seseorang yang digdaya. Ia harus mencari Wiroboyo dan memaksa orang itu mengaku siapa orang yang telah menjadi algojo ayahnya dan yang telah menyerangnya dengan pukulan ampuh.
Dengan hati penuh dendam ia segera pergi ke Ponorogo. Ia akan membunuh Wiroboyo! Tiba-tiba Muryani yang sedang berlari cepat itu menahan kakinya dan berhenti berlari. Sebuah pikiran seperti cahaya kilat memasuki benaknya.
Ia hendak membunuh orang. Jahatkah ini? Gurunya meninggalkan pesan kepadanya agar dia tidak mempergunakan ilmunya untuk berbuat jahat. Ia harus membela kebenaran dan keadilan dan dia harus membela orang-orang yang namanya Sutejo dan Retno Susilo.
Tidak, dia tidak berbuat jahat. Bahkan dia hendak menentang dan membasmi seorang penjahat besar yang membahayakan kehidupan banyak orang yang tak berdosa, terutama sekali kaum wanita. Dia akan menentang dan membunuh Wiroboyo dan kawan-kawannya, bukan hanya karena Wiroboyo beserta para pembantunya telah membunuh ayahnya dan telah menyerang dan melukainya, bahkan ia telah dijebak, ditangkap dan nyaris diperkosa kalau tidak ditolong gurunya.
Ia akan membasmi Wiroboyo beserta kawan-kawannya seperti membasmi segerombolan binatang yang amat berbahaya dan jahat bagi manusia. Mereka merupakan sampah dunia yang memang sudah semestinya disapu bersih dari permukaan bumi! Dengan membunuh orang-orang macam Wiroboyo dan kawan-kawannya, ia tidak melakukan perbuatan jahat. Bahkan sebaliknya ia sudah membasmi kejahatan dan melakukan kebaikan!
Jalan pikiran Muryani seperti ini adaIah akibat pengaruh pendidikan mendiang Nyi Rukmo Petak yang selama empat tahun menjadi gurunya dan membimbingnya. Nyi Rukmo Petak adalah seorang wanita yang semenjak mudanya berwatak keras dan pernah menjadi datuk yang ditakuti karena kekerasan dan kekejamannya.
Dia pernah menderita kekecewaan besar yang membuat hatinya diracuni dendam walau pun di hari tuanya dengan susah payah dia sudah dapat meredakan dendamnya. Namun sisa kekerasan yang menjadi dasar wataknya sejak muda masih ada dan kekerasan inilah yang kini menguasai hati Muryani.
Balas kebaikan orang dengan kebaikan, berikut bunganya! Juga balas kekerasan orang dengan kekerasan pula berikut bunganya! Orang yang jahat harus diperlakukan jahat pula. Orang kejam harus diperlakukan kejam. Ini namanya adil! Beginilah seharusnya pendirian seorang gagah atau seorang pendekar, demikian jalan pikirannya yang dianggapnya sudah tepat dan benar.
Muryani agaknya sudah lupa akan wejangan-wejangan mendiang ayahnya. Biar pun tidak dapat mengajarkan aji kanuragan namun mendiang Ki Ronggo Bangak telah mengajarkan ilmu-ilmu yang jauh lebih indah dan lebih bermanfaat sebagai bekal untuk perjalanan di sepanjang jalan raya yang dinamakan hidup ini.
Dia mengajarkan kesusastraan, kesenian, dan terutama sekali pengertian tentang hidup, tentang isi kehidupan dan bagaimana sebaiknya mengisi kehidupan ini. Bukan sekedar pelajaran menghafal filsafat-filsafat jiplakan yang sudah mapan dan sudah ada, kemudian hanya untuk dihafal di luar kepala sehingga kemudian hanya menjadi semacam peri-bahasa atau motto.
Ki Ronggo Bangak memaklumi bahwa puterinya sudah menguasai aji kanuragan, sudah menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna, penuh dengan kekuatan dan kekerasan. Karena itu dia pernah menasihati puterinya ketika Muryani mengatakan bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan pula, pembunuhan harus dibalas dengan pembunuhan juga.
Ketika itu Ki Ronggo Bangak berkata, “Muryani, kalau kita membalas kekerasan dengan kekerasan, membalas pembunuhan dengan pembunuhan pula, lalu apa bedanya di antara kita dengan mereka yang melakukan kekerasan dan pembunuhan? Kalau kita membunuh seorang pembunuh, bukankah kita menjadi pembunuh juga?”
“Akan tetapi jelas tidak sama, ayah!” bantah Muryani. “Kita membunuh karena dia seorang yang jahat sedangkan dia...”
“Dia pun tentu mempunyai alasan terentu untuk membenarkan perbuatannya itu, anakku. Semua itu hanya alasan yang dicari dan digunakan orang untuk menutupi kesalahannya atau perasaan bersalahnya.”
Muryani masih merasa penasaran. “Kalau begitu, lalu untuk apa orang bersusah payah belajar aji kanuragan selama bertahun-tahun dan menjadi pendekar?”
“Nah, justru di sinilah letak salah pengertian yang harus dipahami oleh semua orang yang mempelajari aji kanuragan dan yang menganggap dirinya sebagai pendekar. Aji kanuragan berarti ilmu olah raga yang tujuannya jelas untuk manfaat raga, yaitu kesehatan. Jadi aji kanuragan adalah untuk membuat raga menjadi sehat dan kuat, atau menolak serangan penyakit, dan intinya yang lebih mendalam adalah menyehatkan lahir dan batin. Pencak silat adalah suatu ilmu bela diri, sebagai pelindung dan penyelamat diri terhadap ancaman serangan dari luar yang kuat. Bela diri ini bisa dikembangkan menjadi membela orang lain yang terancam kekerasan sehingga orang yang terancam itu luput dari tindak kekerasan. Jadi pencak silat adalah ilmu membela diri, bukan ilmu untuk memukul orang! Sekarang mengenai arti pendekar. Pendekar berarti seorang yang berani membela kebenaran dan keadilan yang bersifat umum, bukan kebenaran dan keadilan menurut penilaian sendiri atau penilaian golongan sendiri. Membela kepentingan pribadi atau kepentingan golongan sendiri. Siapa saja bisa menjadi pendekar, asalkan dia berjiwa pembela rakyat dan berani berkorban untuk tindakannya itu tanpa rasa penyesalan. Dia harus berprinsip berdasarkan bimbingan Gusti Allah, berlandaskan kebenaran dan kalau perlu berani menentang arus. Kalau orang hanya mengandalkan kekuatan main pukul dan main bunuh, belum tentu dia pendekar. Tukang pukul dan penjahat tukang bunuh juga berbuat seperti itu dengan dalih dan alasan masing-masing. Mengertikah engkau, Muryani? Sungguh pun aku tahu bahwa engkau memiliki kebaktian, aku tidak ingin anakku menjadi tukang pukul atau pembunuh!”
Pada saat mendengar petuah itu, Muryani menjadi terkesan sekali. Nasihat itu diucapkan ayahnya setelah terjadinya peristiwa pengusiran Wiroboyo dari Dusun Pakis, dan dia amat memperhatikan nasihat itu. Tapi sejak ayahnya terbunuh, kemudian dia terluka parah oleh pembunuh ayahnya, apa lagi setelah ia menjadi tangkapan dan nyaris diperhina Wiroboyo, semua itu mendatangkan rasa sakit hati yang mendalam. Ditambah lagi selama empat tahun dia menjadi murid Nyi Rukmo Petak yang masih berwatak keras walau pun sudah mampu mengatasi kekejamannya, hati Muryani penuh kekerasan dan tekadnya membulat untuk mencari dan membunuh Wiroboyo.
Dengan melakukan perjalanan cepat tanpa menanggapi atau melayani segala macam gangguan atau penghalang, dia menuju ke Ponorogo. Kalau ada yang menghalanginya dalam perjalanan, dia menggunakan Aji Kluwung Sakti untuk menghindar dan aji itu dapat membuat dia berkelebat menghilang dari para penghalangnya. Ia tak ingin terganggu dan tertunda oleh hal-hal yang dianggapnya tidak ada artinya dibandingkan usahanya mencari Wiroboyo yang amat dibencinya.
Pada suatu pagi tibalah ia di depan pintu gerbang kota Kadipaten Ponorogo. Tak nampak banyak perubahan pada kota itu. Bangunan-bangunannya masih seperti empat tahun yang lalu. Dia langsung saja melangkah menuju ke rumah Wiroboyo yang pernah dikunjunginya empat tahun yang lalu. Begitu dia melihat rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Seolah-olah dia telah melihat musuh besarnya sedang menantinya di depan rumah!
Akan tetapi bukan! Bukan Wiroboyo yang dilihatnya, melainkan lima orang prajurit yang duduk di atas bangku sebuah gardu yang berdiri di dekat pintu gerbang pekarangan rumah itu. Keadaan rumah besar itu telah berubah! Lima orang itu berpakaian seragam. Mereka adalah prajurit!
Apakah Wiroboyo kini sudah menjadi seorang pembesar dan berpangkat tinggi sehingga rumahnya dijaga prajurit? Tidak mungkin, pikirnya. Wiroboyo adalah bekas demang yang telah diusir rakyat dusun yang dipimpinnya. Namanya tentu telah dicoret oleh pemerintah sebagai seorang ponggawa yang tidak baik. Tidak mungkin kini diangkat menjadi seorang yang berpangkat tinggi.
Namun Muryani sekarang berbeda dengan empat tahun yang lalu. Biar pun hatinya sudah merasa tegang dan panas berada di depan rumah musuh besarnya, namun dia tidak mau sembrono menggunakan kepandaiannya memasuki rumah itu. Bagaimana pun juga ada kemungkinan rumah itu tidak dihuni Wiroboyo lagi. Dia harus mendapat keterangan pasti lebih dulu.
Ia pun memasuki pekarangan, lalu menghampiri para penjaga yang duduk di atas bangku panjang yang ada di luar gardu. Lima orang penjaga yang masih muda-muda itu serentak bangkit berdiri melihat masuknya seorang gadis cantik jelita ke dalam pekarangan. Sikap mereka seolah-olah menyambut kedatangan seorang pembesar tinggi yang harus mereka hormati!
“Selamat pagi, nona,” kata seorang antara mereka.
“Nona ada keperluan apakah?” sambung orang kedua.
“Nona mencari siapakah?” tanya orang ke tiga.
“Apa yang dapat saya lakukan untukmu, nona?” orang keempat tidak mau ketinggalan.
Dari sikap dan pandang mata mereka, jelas bahwa empat orang itu saling berebut mencari muka dan perhatian. Tetapi orang ke lima yang usianya sudah kira-kira lima puluh tahun hanya diam dan tersenyum geli menyaksikan ulah rekan-rekannya. Akan tetapi sepasang matanya memandang penuh selidik.
Melihat sikap mereka, Muryani memilih orang ke lima yang diam saja itu untuk bertanya. “Paman, tolong memberi keterangan kepadaku, apakah Ki Wiroboyo berada di rumah?” Ia menuding ke arah bangunan besar itu.
Yang ditanya memandang heran. “Wiroboyo? Siapakah itu, nona?”
“Wiroboyo dan keluarganya penghuni rumah itu. Bukankah itu rumah Wiroboyo?” tanya Muryani penasaran.
Penjaga itu menggeleng kepalanya. “Nona salah alamat. Penghuni dan pemilik rumah ini adalah Raden Tumenggung Jatisurya, senopati Ponorogo.”
Tentu saja Muryani menjadi terkejut dan heran, juga ragu. “Akan tetapi empat tahun yang lalu rumah ini masih menjadi tempat tinggal Ki Wiroboyo bersama keluarganya. Apakah dia sudah pinpah? Kalau dia sudah pindah, tolong katakan kepadaku ke mana dia pindah, paman.”
Orang itu menggelengkan kepala. “Kami tidak tahu, nona. Kami adalah anggota pasukan pengawal Raden Tumenggung Jatisurya yang menerima tugas dari Kanjeng Gusti Sultan Agung untuk diperbantukan di Kadipaten Ponorogo dan kami datang tiga tahun yang lalu. Ketika kami datang rumah ini sudah kosong, lalu menjadi tempat tinggal atasan kami itu.”
Bingung juga hati Muryani mendengar keterangan ini. Tak disangkanya jahanam itu sudah pergi lagi dan dia tidak tahu harus mencarinya ke mana. Dia menjadi jengkel dan seperti biasanya, bila mana hatinya kesal, tanpa disengaja dia membanting kaki kanannya sambil berseru, “Sialan!'
Namun saking jengkel dan marahnya, dia lupa diri sehingga ketika membanting kakinya, dia mengerahkan tenaga saktinya seakan-akan kakinya itu sedang menginjak-injak tubuh Wiroboyo. Tentu saja kekuatan bantingan kakinya itu hebat bukan main dan akibatnya, lima orang penjaga yang berdiri di depannya itu terpelanting roboh! Mereka terkejut dan berteriak-teriak.
Pada saat itulah dari luar masuk seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya agak gelap. Wajahnya ganteng gagah seperti Sang Bimasena tokoh Pandawa. Tadi dia melihat semua peristiwa yang terjadi dan diam-diam hatinya terkejut bukan main melihat seorang gadis muda cantik jelita membuat lima orang prajuritnya berpelantingan hanya dengan membanting kaki kanan ke atas tanah. Sebagai seorang ahli aji kanuragan, maklumlah dia bahwa gadis itu tentu seorang yang sakti mandraguna.
Pria gagah perkasa ini adalah Raden Tumenggung Jatisurya. Dia adalah seorang senopati muda Mataram yang digdaya. Melihat munculnya seorang gadis muda yang mempunyai tenaga sakti sehebat itu, tentu saja dia menjadi tertarik sekali dan curiga.
“Heii! Apa yang terjadi di sini?” Dia membentak, suaranya nyaring penuh wibawa.
Lima orang petugas jaga tadi roboh sudah berhasil bangkit berdiri kembali. Mereka masih terkejut dan heran ketika terpelanting jatuh tanpa diserang tadi. Melihat munculnya Raden Tumenggung Jatisurya, mereka merasa lega. Seorang di antara mereka segera membuat laporan.
“Raden, ketika kami sedang berjaga datang gadis ini. Dia bertanya kepada kami tentang orang bernama Ki Wiroboyo. Kami menjawab bahwa kami tidak tahu. Agaknya dia marah, lalu membanting kakinya. Entah mengapa kami berlima terpelanting roboh.”
Kecurigaan dalam hati Tumengguni Jatisurya menjadi semakin besar. Dia menatap wajah yang cantik jelita itu dengan penuh selidik. Dia sendiri mengenal betul siapa Ki Wiroboyo. Bekas demang Dukuh Pakis yang diusir oleh penduduknya itu dan kemudian tinggal di Ponorogo. Orang itu sudah diusir oleh Adipati Ponorogo karena diragukan kesetiaannya kepada Mataram. Bahkan ada penyelidik kadipaten yang melaporkan bahwa beberapa kali Ki Wiroboyo menerima tamu-tamu orang Madura dan orang Surabaya.
Ketika pada suatu hari Sang Adipati mendengar bahwa Wiroboyo menerima secara diam-diam di waktu malam kehadiran Ki Harya Baka Wulung, sebagai tamu kehormatan, Sang Adipati memerintahkan agar Wiroboyo diusir keluar dari Ponorogo. Pada waktu itu sepak terjang Ki Harya Baka Wulung sebagai seorang yang menentang Mataram sudah sangat dikenal.
Adipati Ponorogo sendiri sudah pernah dibujuk oleh tokoh Madura itu untuk memberontak terhadap Mataram dan bekerja sama dengan Madura untuk melawan Mataram. Tentu saja bujukan itu ditolaknya dengan keras. Karena itu Ki Wiroboyo dianggap sebagai orang berbahaya yang diragukan kesetiaannya terhadap Ponorogo dan Mataram.
Setelah dia diusir dari Ponorogo, bekas rumahnya ditempati oleh Tumenggung Jatisurya, senopati muda dari Mataram yang diperbantukan ke Ponorogo dalam persiapan Mataram untuk menyerbu ke Surabaya dan Madura. Dengan sepasang matanya yang lebar dan mencorong, Tumenggung Jatisurya memandang wajah Muryani dan bertanya, suaranya nyaring dan langsung tanpa basa-basi lagi.
“Nona, ada urusan apakah antara andika dan Wiroboyo sehingga andika mencarinya?”
Muryani sedang jengkel mendengar bahwa Wiroboyo tidak tinggal di situ lagi dan tidak ada yang tahu ke mana perginya. Maka, mendengar pertanyaan yang nadanya kasar dari pria tinggi besar itu, dia memandang dengan mata galak dan alis berkerut.
“Aku mencari Wiroboyo adalah urusanku sendiri dan sedikit pun tak ada sangkut pautnya dengan siapa juga termasuk kamu!”
Tumenggung Jatisurya tertegun. Belum pernah ada wanita, masih muda lagi, yang berani bersikap demikian galak terhadap dirinya, apa lagi setelah dia menjadi seorang senopati. Akan tetapi pandangan matanya bersinar gembira. Gadis ini memiliki semangat berapi-api, watak yang dikaguminya. Dia tidak suka melihat kelemahan dan kecengengan. Mungkin karena inilah maka setua ini dia masih belum dapat menemukan jodohnya untuk dijadikan isterinya.
“Hmm, jika memang tidak ada urusannya dengan kami, lalu kenapa kamu datang mencari keterangan ke sini?”
Jawaban yang sama kerasnya ini membuat Muryani tertegun pula. Biasanya para lelaki menghadapinya dengan sikap lembut, bahkan menjilat. Akan tetapi laki-laki yang satu ini demikian kasarnya! Kalau dipikir, benar juga apa yang dikatakan pria ini.
Ia pun lalu berkata dengan mulut cemberut yang di luar kesengajaannya malah membuat wajahnya tampak semakin cantik.
“Aku mencari Wiroboyo karena ada urusan pribadi yang tak perlu kuceritaka kepada orang lain. Katakan saja kalau andika mengetahui di mana dia kini berada.”
“Nanti dulu! Jawab dulu, andika mencari dia sebagai kawan atau lawan? Sebagai sahabat atau musuh?”
Muryani tidak tahu siapa pria ini, sahabat Wiroboyo atau bukan, tapi dia tidak peduli. Andai kata sahabat musuhnya dan hendak membela Wiroboyo, maka akan dihajarnya sekalian. “Sebagai musuh besar! Aku akan membunuhnya!” dia berkata tegas dan lantang.
Kembali tumenggung itu amat terkejut. Gadis ini betul-betul seorang pemberani. Tidaklah mudah membunuh seorang seperti Ki Wiroboyo. Bukan saja karena dia mendengar berita bahwa akhir-akhir ini Wiroboyo sudah mendapatkan seorang guru dan menjadi seorang yang digdaya, namun juga dia bergabung dengan orang-orang yang sakti mandraguna.
Dia pernah mengirim beberapa orangnya untuk melakukan penyelidikan atas gerombolan Wiroboyo itu, untuk melihat keadaan mereka. Kalau gerombolan itu hendak mengadakan kerusuhan dan mengancam keamanan Ponorogo, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk membasminya.
Akan tetapi para penyelidiknya melaporkan bahwa Wiroboyo dan teman-temannya tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan. Mereka hanya mendirikan semacam perguruan pencak silat dan kini mendiami bekas perkampungan perguruan Welut Ireng yang sudah meninggalkan perkampungannya di lereng Gunung Wilis itu.
Karena mereka tidak membuat keributan, maka Raden Tumenggung Jatisurya tidak dapat berbuat apa-apa, juga Sang Adipati Ponorogo tak ingin mengganggu mereka dan mencari keributan. Dan kini gadis ini seorang diri hendak mencari dan membunuh Wiroboyo.....!
Komentar
Posting Komentar