SERULING GADING : JILID-24
Setelah berkata demikian, tanpa bicara apa-apa lagi Raden Tumenggung Jatisurya segera memutar tubuh meninggalkan Muryani pergi ke arah bangunan besar itu. Muryani merasa girang dan tanpa rasa takut sedikit pun ia lalu melangkah dan mengikuti lelaki tinggi besar itu.
Agaknya Raden Tumenggung Jatisurya memang hendak menguji gadis itu. Kedua kakinya yang panjang itu melangkah lebar dan cepat sekali. Akan tetapi ketika dia tiba di pendapa rumah itu dan menoleh, ternyata Muryani berada tepat di belakangnya.
“Silakan masuk!” kata Raden Tumenggung Jatisurya mengajak Muryani memasuki sebuah ruangan di sebelah kiri pendapa. Ruangan itu agaknya ruangan tamu, luas dan bersih.
“Duduklah, nona,” kata tuan rumah.
Muryani duduk di atas kursi, berhadapan dan terhalang meja besar dengan laki-laki tinggi besar itu. Sejenak mereka hanya saling pandang, kemudian Raden Tumenggung Jatisurya berkata, suaranya tetap tenang dan tegas, sama sekali tidak terdengar ramah.
“Sebelum kita bicara, terlebih dahulu kita perlu tahu dengan siapa kita saling berhadapan. Siapakah andika, nona?”
“Nama saya Muryani dan seperti sudah kukatakan tadi, Wiroboyo musuh besarku dan aku mencarinya untuk membunuhnya! Nah, apa bila andika tahu di mana dia, beri-tahukanlah kepadaku!”
“Nanti dulu, nimas Muryani. Aku boleh menyebutmu nimas, bukan?”
“Sesukamulah!”
“Sebelum kita bicara tentang Wiroboyo, perkenalkan dulu diriku. Aku Raden Tumenggung Jatisurya yang kini menjadi senopati di Ponorogo. Tadinya aku adalah seorang senopati muda Mataram.”
“Baiklah, paman Tumenggung, sekarang kita sudah saling mengenal nama. Harap segera ceritakan di mana aku bisa mendapatkan tempat tinggal Wiroboyo.”
“Wah, nimas Muryani, jangan sebut aku paman! Biar pun usiaku sudah empat puluh tahun tapi aku belum menikah. Andika mencari Wiroboyo dan bermaksud membunuhnya? Tidak begitu mudah, nimas. Andika bisa mendapatkan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang Wiroboyo dariku, akan tetapi ada syaratnya.”
“Hmm, apa syaratnya?” tanya Muryani, tidak mau menyebut apa pun.
“Syaratnya hanya satu, yaitu andika harus dapat mengalahkan aku dalam pertandingan adu kanuragan, sekarang dan di sini juga.”
Muryani mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong. “Hmm, apa artinya ini? Kenapa andika mengajukan syarat itu? Apakah ini berarti bahwa Wiroboyo adalah seorang sahabatmu yang akan andika bela?”
Tumenggung tinggi besar seperti Bimasena itu terkekeh dan jari-jari tangannya menyentuh kumisnya yang tebal. “Semua pertanyaan itu baru akan dapat kujawab kalau andika sudah memenuhi syarat itu, yaitu mengalahkan aku. Jika andika tidak mampu mengalahkan aku, maaf, terpaksa semua itu tidak dapat kujawab.”
Muryani bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya. “Baik, aku terima syarat itu! Mari kita mengadu kanuragan. Di mana dan kapan kita mulai?”
Raden Tumenggung Jatisurya terkekeh gembira. Dia adalah seorang senopati, seorang gagah yang paling suka mengadu kesaktian. “Sekarang juga dan di sini, nimas Muryani. Tempat ini cukup luas dan tak ada seorang pun akan berani mengganggu kita.”
Dia lalu mendorong meja kursi ke tepi ruangan itu agar lebih lega. Setelah itu dia berdiri di tengah ruangan itu dengan sikap gagah, kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan dia berkata dengan lantang.
“Karena kita tidak berkelahi sebagai musuh, melainkan saling menguji kepandaian, maka kita tidak perlu mempergunakan senjata, cukup dengan kaki tangan kita saja.”
“Sudahlah, tak perlu berpanjang tutur kata, mari kita mulai, aku sudah siap!” kata Muryani, suaranya mengandung ketidaksabaran.
Dengan senyum lebar yang tak pernah meninggalkan bibirnya, Jatisurya berkata, “Andika adalah seorang wanita, masih sangat muda dan sebagai tamu pula. Oleh karena itu tidak pantaslah kalau sebagai pria dan tuan rumah aku membuka serangan. Silakan, nimas!”
Muryani tak sabar lagi. “Lihat seranganku!” bentaknya dan tangan kirinya sudah meluncur dalam sebuah tamparan kilat yang diarahkan ke pipi kanan lawan.
Tumenggung yang sudah kaya akan pengalaman bertanding itu memandang rendah. Dia menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis dan maksudnya dia hendak menangkis sekalian menangkap lengan yang berkulit halus dan kecil mungil itu.
“Wuuuttt..! Dukkk!”
Dua lengan yang berbeda jauh besarnya itu beradu dan seruan kaget terlepas dari mulut Jatisurya. Pertemuan lengan itu membuat kuda-kudanya gempur dan tubuhnya terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Padahal gadis itu masih terlihat tersenyum-senyum dan sama sekali tidak terguncang. Maklumlah senopati yang berpengalaman ini bahwa gadis lawannya sungguh-sungguh seorang yang “berisi”, memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Tidak heranlah bila lima orang prajuritnya terpelanting roboh begitu gadis itu membanting kakinya.
“Bagus!” Dia memuji untuk menutupi rasa malunya kemudian dia pun melanjutkan berseru, “Lihat seranganku!”
Tumenggung itu tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaganya. Serangannya dahsyat sekali, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh.
Muryani menghadapinya dengan tenang saja. Maklum bahwa serangan lawan ini tak boleh dipandang ringan, ia pun mengerahkan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya berkelebatan cepat sekali bagaikan bayang-bayang saja.
Permainan pencak silat Tumenggung Jatisurya benar-benar dahsyat. Tubuhnya bergerak dengan cepat dan kuat, serangannya sambung menyambung dan bertubi-tubi. Tamparan, tonjokan, tendangan, serangan dengan siku, dengan lutut, semua bagian tubuhnya dapat melakukan serangan yang berbahaya.
Secara diam-diam Muryani harus mengakui bahwa tingkat kepandaian senopati Ponorogo ini cukup hebat. Andai kata dia belum mendapat bimbingan ilmu dari mendiang Nyi Rukmo Petak, agaknya akan sulit baginya untuk bisa mengalahkan Raden Tumenggung Jatisurya ini. Tapi tingkatnya sekarang jelas jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Wiroboyo.
Sesudah merasa cukup mempermainkan lawan dengan kecepatan gerakannya, Muryani membuat lawan berputar-putar mengejar bayangannya hingga tubuh tinggi besar ini mulai berkeringat dan napasnya mulai memburu, Muryani menyudahi pertandingan itu. Tangan kirinya yang dimiringkan menyambar tengkuk dan kakinya menendang belakang lutut.
“Plak! Desss... !”
Maka tanpa dapat dicegah lagi tubuh tinggi besar itu ambruk seperti sebatang pohon jati ditebang.
Raden Tumenggung Jatisurya jatuh mendeprok, menggunakan tangan kanan menekan-nekan tengkuknya dan tangan kirinya mengurut-urut lutut, mengeluh lirih.
Kini Muryani berdiri sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya. “Bagaimana, paman Tumenggung. Apakah andika masih belum puas dan ingin melanjutkan pertandingan ini?”
Lelaki itu menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan, kemudian berkata, “Sudah... sudah... aku mengaku kalah. Andika benar-benar hebat, nimas Muryani... Aku... sungguh kagum sekali...” Dia bangkit dengan susah payah, kemudian menghampiri kursi dan duduk.
“Aku tidak butuh pujianmu, paman. Aku butuh keteranganmu tentang Wiroboyo,” jawab Muryani.
“Duduklah, akan kuceritakan semua.”
Mereka duduk lagi berhadapan, terhalang meja. Setelah mengamati wajah yang cantik itu dengan sepasang mata penuh kagum, Raden Tumenggung Jatisurya menghela napas dan berkata, “Nimas Muryani, ketahuilah. Ketika tadi bertemu denganmu dan mendengar bahwa andika hendak membunuh Wiroboyo, diam-diam aku mendukungmu karena kami semua di sini juga tidak suka dengan manusia itu.”
“Hmm,” Muryani mengerutkan alisnya dan menatap wajah tumenggung itu penuh selidik.
“Kalau begitu kenapa andika tadi menantangku bertanding?”
“Terus terang saja aku melakukan hal itu untuk mengujimu, nimas Muryani. Aku khawatir akan keselamatanmu. Tidak mudah membunuh si Wiroboyo itu, bahkan berbahaya sekali. Karena itulah maka aku sengaja menantangmu untuk menguji. Kalau andika tidak mampu menandingi aku, sama saja dengan membunuh diri bila andika pergi menentang Wiroboyo. Maka, andai kata tadi andika kalah olehku, tentu aku tidak memberi tahu agar andika tidak mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana.”
“Akan tetapi aku melihat bahwa tingkat kepandaian andika jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian jahanam itu, paman. Dia sama sekali tidak berbahaya bagiku dan aku pasti dapat membunuh dia!”
Tumenggung Jatisurya mengangguk-angguk sambil tersenyum, matanya menatap wajah jelita itu dengan penuh kagum. “Aku harus mengakui bahwa andika masih muda dan sakti mandraguna, juga sangat pemberani. Tapi agaknya andika kurang pengalaman. Wiroboyo itu orangnya licik dan dia memiliki sekutu dengan orang-orang sakti mandraguna, bahkan dia kini menjadi murid seorang datuk besar.”
“Maaf, paman Tumenggung!” kata Muryani dengan alis berkerut dan matanya menatap tajam penuh wibawa. “Aku sama sekali tidak ingin mendengar andika memuji-muji keparat jahanam Wiroboyo itu. Aku hanya ingin mendengar darimu di mana sekarang dia berada!”
Raden Tumenggung Jatisurya menghela napas panjang. Biar pun pada saat pertama kali bertemu dengan Muryani dia merasa tertarik sekali dan diam-diam telah jatuh hati, namun sekarang dia pun sadar sepenuhnya bahwa dia tidak bisa mengharapkan gadis seperti ini menjadi isterinya. Gadis ini sakti mandraguna, juga berwatak keras dan angkuh sehingga dia tak akan mampu menundukkan hati gadis itu melalui kedudukannya sebagai senopati sekali pun! Gadis seperti ini hanya bisa ditundukkan oleh perasaan cintanya sendiri, bukan oleh bujuk rayu dari luar dirinya.
“Sungguh aku tidak memuji-muji Wiroboyo untuk menakut-nakutimu, nimas Muryani. Akan tetapi biarlah aku menceritakan keadaan yang sebenarnya. Wiroboyo itu pada tiga tahun yang lalu telah diusir keluar dari Ponorogo karena Gusti Adipati meragukan kesetiaannya. Dia dikabarkan melakukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi Mataram dan agaknya dia mengumpulkan orang-orang dari golongan sesat. Sesudah diusir keluar dari Ponorogo, menurut penyelidikan kami, dia menguasai perkampungan yang dahulu menjadi pusat perkumpulan Welut Ireng di lereng Gunung Wilis. Agaknya dia berhasil menguasai bekas para anggota Welut Ireng yang sudah bubar. Menurut hasil penyelidikan kami, dia mendirikan sebuah perkumpulan di sana, yang diberi nama perkumpulan pencak silat Kelabang Wilis. Kedudukannya kuat sekali karena dia telah menjadi murid seorang datuk besar yang bernama Wiku Menak Koncar, seorang datuk besar dari Blambangan yang sakti mandraguna. Bahkan kakek itu kini tinggal bersama Wiroboyo. Di samping datuk ini, Wiroboyo dibantu pula oleh Warok Surosingo dan seorang sakti lain bernama Darsikun yang pernah menjadi murid Ki Harya Baka Wulung yang terkenal itu. Nah, dapat andika bayangkan betapa kuat kedudukan Wiroboyo, nimas Muryani. Kami tidak dapat berbuat apa-apa kepada Wiroboyo karena tidak ada bukti bahwa dia melakukan pelanggaran atau kejahatan, walau pun kami semua tidak suka padanya dan tahu bahwa dia bukan orang baik-baik.”
Secara diam-diam Muryani harus mengakui betapa kuatnya kedudukan musuh besarnya itu. Keterangan yang jelas dari tumenggung itu amat penting baginya. Setelah mengetahui keadaan musuh maka ia dapat berhati-hati. Ia memang tidak boleh sembrono. Mendiang gurunya, Nyi Rukmo Petak juga sudah memperingatkan kepadanya supaya ia berhati-hati berhadapan dengan para datuk besar.
Kini Wiroboyo sudah menjadi murid seorang datuk besar dari Blambangan yang bernama Wiku Menak Koncar. Tentu ilmu kepandaian bekas demang Pakis itu kini tidak seperti dulu lagi, pasti sudah meningkat tinggi.
Memang ia tidak perlu takut menghadap musuh besarnya itu, karena sekarang ia sendiri pun sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi Wiroboyo kini memiliki banyak anak buah. Apa lagi di sana ada gurunya, datuk besar dari Blambangan itu. Bahkan ada pula pembantu-pembantunyo yang bukan orang lemah, yang bernama Warok Surosingo dan Darsikun.
Dia dapat menduga bahwa yang dahulu membunuh ayahnya dan melukainya tentu orang bernama Darsikun itu, yang bersama Wiroboyo telah menjebaknya, membunuh kuda dan menangkapnya kemudian dua orang itu dikalahkan mendiang Nyi Rukmo Petak. Keadaan Wiroboyo amat kuat dan dia hanya seorang diri! Dia harus berhati-hati.
Muryani bangkit berdiri lantas membungkuk dengan hormat kepada tuan rumah. “Paman Tumenggung, keterangan andika ini benar-benar sangat berharga bagi saya, maka saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan paman.”
Tumenggung Jatisurya cepat bangkit berdiri. “Mengapa terburu-buru hendak pergi, nimas Muryani? Andika hendak pergi kemanakah?”
“Saya hendak pergi mencari Wiroboyo, paman.” Sekarang sikap Muryani menghormat karena dia tahu betapa bangsawan berniat baik ketika menantangnya bertanding.
“Ah, nimas! Kenapa tergesa-gesa. Duduklah dulu, kita belum berkenalan. Aku ingin sekali mengenalmu lebih baik, mengetahui dari mana andika berasal, siapa keluarga andika dan mengapa andika memusuhi orang macam Wiroboyo itu?”
“Terima kasih, paman Tumenggung. Tapi maafkan, saya tidak dapat menunda lebih lama lagi, saya harus segera mencari jahanam itu. Mohon pamit.” Ia melangkah hendak keluar dari ruangan itu.
“Nimas Muryani, tunggu sebentar,” kata Raden Tumenggung Jatisurya. Dia melangkah mengejar dan Muryani menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh dan mereka berdiri saling berhadapan.
“Ada apakah, paman?”
“Nimas, aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu. Biarlah aku akan memimpin sebuah pasukan untuk menyertai dan membantumu menghadapi mereka!”
Muryani mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Tidak, paman. Jangan bantu aku. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan paman atau dengan Kadipaten Ponorogo. Selamat tinggal, paman Tumenggung!” Sesudah berkata demikian Muryani melompat keluar dengan cepat dan meninggalkan rumah itu.
Raden Tumenggung Jatisurya mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya dan dia menggeleng-geleng kepalanya. Jika saja dia mampu mengalahkan kedigdayaan gadis itu, pikirnya, mungkin ada harapan baginya untuk memenangkan hati Muryani sehingga gadis itu dapat menjadi pendamping hidupnya.....
********************
Bukit di belakang perguruan silat Jausumo yang letaknya di daerah Pacitan itu sepi sekali. Apa lagi waktu itu malam hari. Walau pun bulan purnama nampak terang, memandikan seluruh permukaan bukit dengan cahayanya yang lembut, namun tak tampak seorang pun manusia di tempat itu. Jangankan di waktu malam, bahkan di waktu siang hari pun, tidak ada murid Jatikusumo yang berani berkeliaran di bukit itu.
Sebuah sumur tua yang berada di puncak bukit itulah yang menjadi sebabnya. Sumur tua yang menyimpan peristiwa-peristiwa mengerikan pada masa yang lalu. Sumur tua penuh rahasia, yang pernah menjadi tempat tahanan seorang tokoh Jatikusumo puluhan tahun yang lampau.
Tokoh besar Jatikusumo ini menjadi sesat dan jahat seperti iblis setengah giIa. Dia adalah mendiang Resi Ekomolo. Karena kejahatannya dia bentrok dengan adik seperguruannya sendiri yang bernama Resi Limut Manik dan sesudah melalui pertandingan mati-matian yang berlangsung lama, akhirnya Resi Ekomolo dapat dirobohkan sehingga kedua kakinya lumpuh.
Karena maklum bahwa Resi Ekomolo sangat jahat bahkan otaknya tidak waras, terpaksa Resi Limut Manik yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo memasukkannya ke dalam sumur tua di atas bukit di belakang perguruan Jatikusumo itu. Di dasar sumur itu terdapat sebuah terowongan dan ruangan bawah tanah. Bertahun-tahun Resi Ekomolo hidup di dasar sumur itu, tidak mungkin dapat keluar dari situ karena kedua kakinya telah lumpuh. Tetapi setiap hari dia mendapat kiriman makanan dan minuman dari Resi Limut Manik dan kebiasaan ini masih terus dilanjutkan ketika ketua Jatikusumo itu sudah digantikan oleh muridnya yang tertua, yaitu Bhagawan Sindusakti.
Pada suatu hari ada seorang murid Jatikusumo, murid Sang Bhagawan Sindusakti, dapat turun ke dalam sumur dan bertemu dengan Resi Ekomolo. Dia membantu sang resi yang sangat sakti namun gila itu keluar dari sumur dan diam-diam menjadi muridnya sehingga Priyadi, demikianlah nama murid Jatikusumo itu, berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna melebihi semua tokoh Jatikusumo, akan tetapi wataknya menjadi jahat dan setengah gila! Priyadi bentrok sendiri dengan para murid Jatikusumo dan para pendekar lainnya.
Akhirnya guru dan murid yang sama-sama gila itu bermusuhan sendiri. Dengan licik Priyadi telah memukul jatuh Resi Ekomolo ke dalam sumur kembali! Dia sendiri akhirnya kalah melawan seorang murid muda Resi Limut Manik yang bernama Tejomanik atau Sutejo. Ketika kedua orang ini bertanding di atas bukit, dekat sumur tua, Priyadi terpukul jatuh ke dalam sumur. Di dasar sumur, dia disambut oleh Resi Ekomolo yang ternyata belum tewas dan kedua orang ini bergumul sehingga akhirnya mati sampyuh. Priyadi mati dicekik dan Resi Ekomolo mati ditusuk keris pusaka Ilat Nogo.
Demikianlah riwayat singkat sumur tua yang menyeramkan itu, yang seolah-olah berhantu dan tempat ini menjadi tempat yang tidak pernah dikunjungi orang.
Seperti yang sudah diceritakan di bagian depan kisah ini, Satyabrata, pemuda keturunan Portugis yang sangat cerdik itu, yang oleh Willem Van Huisen, seorang perwira Kumpeni Belanda, ditugaskan menjadi mata-mata, berhasil menyusup ke perguruan Jatikusumo dan diterima menjadi murid perguruan itu.
Kini yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Ki Cangak Awu, seorang pendekar gagah perkasa yang berwatak jujur dan kasar. Ki Cangak Awu yang jujur dapat dikelabui sikap Satyabrata yang amat pandai membawa diri sehingga pemuda itu diterima menjadi murid.
Sesudah menjadi murid Jatikusumo, perlahan-lahan dengan cerdik Satyabrato menyebar cerita, memburuk-burukkan Mataram yang menindas dan menaklukkan daerah-daerah, sambil memuji-muji kebaikan Kumpeni Belanda. Saking pandainya dia bercerita, banyak murid Jatikusumo yang terpengaruh.
Mendengar keanehan sumur itu, dia menjadi tertarik. Pada suatu hari dia nekat memasuki sumur itu lantas menemukan kerangka Resi Ekomolo dan Priyadi. Dia menemukan pula gambar-gambar dan ukiran pada ruang bawah tanah itu kemudian mengambil keputusan untuk mempelajari semua ilmu itu.
Akan tetapi perbuatannya yang memburuk-burukkan Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda itu akhirnya ketahuan juga oleh Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari, dan tentu saja Ki Cangak Awu menjadi marah sekali lalu menyerang dan mereka bertanding di dekat sumur. Akhirnya pemuda yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu terpukul lalu terjatuh ke dalam sumur tua itu.
Semua mengira bahwa dia telah tewas. Padahal sebetulnya pemuda itu sama sekali tidak tewas, bahkan dia dapat mempunyai kesempatan besar sekali untuk mempelajari semua ilmu peninggalan Ki Ekomolo tanpa gangguan sedikit pun juga.
Ilmu-ilmu yang aneh membuat pemuda itu menjadi amat sakti, akan tetapi juga membuat pikirannya menjadi tidak waras dan setengah gila. Setelah tamat mempelajari semua ilmu aneh itu, pada suatu malam hari terang bulan purnama pemuda itu mengambil keputusan untuk keluar dari sumur dan seterusnya meninggalkan lempat itu.
Sesosok bayangan seperti terbang keluar dari sumur itu. Kalau pada saat itu ada orang melihatnya, tentu akan mengira bahwa iblis sendiri yang keluar dari sumur itu. Seperti bukan manusia lagi, karena gerakannya amat cepatnya seperti terbang keluar dari dalam sumur.
Sesudah bayangan itu berhenti di dekat sumur dan cahaya bulan purnama menerangi wajahnya, barulah dapat dilihat bahwa dia adalah seorang pemuda yang sangat tampan. Pemuda yang matanya agak kebiruan dan memiliki ketampanan yang bahkan mendekati kecantikan seorang wanita. Dia bukan lain adalah Satyabrata!
Kini Satyabrata telah menjadi seorang yang amat sakti. Ilmu-ilmu yang telah dikuasainya antara lain adalah Aji Jerit Nogo dan ilmu menghimpun tenaga sakti dengan bersamadhi jungkir balik yang diberi nama Aji Waringin Sungsang. Selain dari itu dia pun mendapatkan keris pusaka Ilat Nogo, peninggalan dari Priyadi.
Setelah tiba di atas dan memandang bulan purnama, tiba-tiba pemuda itu berdongak lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan seluruh permukaan bukit itu. Kalau sekiranya ada orang yang berada di sana dan mendengarkan pekik itu, orang itu dapat roboh dan tewas seketika. Itulah Aji Jerit Nogo yang dapat membuat lawan roboh dan hancur jantungnya karena tekanan suara yang melengking tinggi.
Akan tetapi pada saat itu tidak ada seorang pun di puncak bukit. Betapa pun juga jeritnya itu terdengar sampai ke bawah bukit. Tentu saja jerit itu pun terdengar dari perkampungan Jatikusumo, di mana tinggal semua murid Jatikusumo.
Mereka ada yang terkejut dan terbangun dari tidurnya, akan tetapi merasa seperti dalam mimpi. Hal ini adalah karena Aji Jerit Nogo itu asing bagi mereka semua. Mereka mengira bahwa itu adalah jeritan yang keluar dari mulut hewan liar. Bahkan Ki Cangak Awu dan isterinya, Pusposari juga terbangun dari tidurnya. Ki Cangak Awu menggeliat dan bangun terduduk. Dia memandang ke kanan kiri dan melihat isterinya sudah terbangun pula.
“Kau juga mendengar suara tadi?” tanyanya kepada Pusposari.
“Ya, aku mendengarnya. Apakah itu, kakangmas? Suara apakah yang terdengar aneh itu? Dan jantungku masih terasa berdebar mendengarnya,” tanya Pusposari dengan heran.
Ki Cangak Awu menghela napas panjang dan dia menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, diajeng. Aku juga mendengar dan aku dapat merasakan suatu tenaga yang sangat kuat terkandung dalam pekik melengking itu. Akan tetapi rasanya tidak mungkin kalau suara seperti itu keluar dari kerongkongan seorang manusia. Akan tetapi andai kata keluar dari mulut seekor binatang, lalu binatang apakah yang dapat memekik seperti itu? Setahuku hanya singa dan harimau saja yang suaranya mengandung daya melumpuhkan dan pengaruh yang menyerang jantung.”
“Ibliskah yang bersuara tadi, kakangmas? Dan rasanya suara itu datang dari belakang sana, dari bukit.” Jelas tampak betapa wanita gagah perkasa yangi memiliki kesaktian itu bergidik.
Padahal Pusposari adalah anak angkat dari ketua perguruan Nogo Dento yang bernama Ki Harjodento. Pusposari sudah mewarisi ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari ayah angkatnya dan dia memiliki tingkat kepandaian yang tak kalah hebat dibandingkan suaminya sendiri. Akan tetapi, mendengar suara jerit melengking tadi, dia merasa ngeri!
“Perasaanmu tidak keliru, diajeng. Aku sendiri juga merasakan sesuatu yang tidak beres. Walau pun tidak masuk akal, akan tetapi menurut perasaanku suara itu seolah keluar dari sumur tua itu!” kata Ki Cangak Awu kepada isterinya.
“Ihh! Mana mungkin, kakangmas? Bukankah semua orang yang memasuki sumur itu telah mati? Resi Ekomolo, Priyadi, dan lima tahun yang lalu si Satya itu. Mereka semua sudah mati. Tak mungkin mereka yang mengeluarkan jerit seperti tadi, kecuali... kecuali kalau... kalau ada yang masih hidup, atau boleh jadi arwah mereka yang penasaran.”
Ki Cangak Awu mengangguk-angguk. “Setan penasaran memang dapat saja mengganggu manusia, diajeng. Bagaimana pun juga malam ini kita harus berlaku waspada. Marilah kita bersamadhi dan mengerahkan tenaga batin kita, siap dan waspada menghadapi hawa dan pengaruh jahat. Siapa tahu roh jahat berkeliaran dan hendak mengganggu kita.”
“Benar sekali, kakang-mas. Aku pun mempunyai perasaan yang amat tidak enak.”
“Karena itulah kita harus berhati-hati, diajeng. Apa lagi keadaanmu sekarang ini. Engkau tengah mengandung tiga bulan, kita harus berhati-hati menjaga anak kita yang baru akan muncul setelah sepuluh tahun kita menikah dan menanti-nanti.”
Pusposari mengelus perutnya. “Semoga Hyang Maha Esa melindungi kita dan melindungi anak kita,“ katanya penuh haru.
Malam semakin larut. Bulan semakin tinggi dan semakin tegang. Tiba-tiba terdengar suara benda-benda kecil menjatuhi genteng rumah itu dan suami isteri itu merasa ada semacam pengaruh yang sangat kuat, yang seolah-olah memaksa mereka agar tidur. Mata mereka terserang rasa kantuk yang hebat.
Suami isteri yang sudah berpengalaman itu segera tahu bahwa ada pengaruh yang sama sekali tak wajar. Ada sesuatu yang menyerang mereka dan membuat mereka mengantuk. Ilmu hitam, ilmu sihir. Aji penyirepan, pikir mereka!
Dari pengalaman dan pelajaran aji kesaktian, mereka segera tahu bahwa hal yang tidak wajar itu disebabkan oleh aji penyirepan yang sangat luat, yang hendak memaksa mereka agar tidur! Keduanya segera maklum dan cepat mereka mengerahkan kekuatan batinnya, mengerahkan tenaga sakti untuk menahan dan melawan pengaruh kantuk yang menekan perasaan mereka itu.
Dugaan suami isteri itu memang tidak keliru. Pada saat itu pula di luar bangunan induk di perkampungan Jatikusumo, berdiri sosok tubuh yang menengadahkan kedua tangannya ke atas. Tadi dia mengambil sekepal tanah kemudian dilempar-lemparkan ke atap seluruh bangunan di perkampungan itu, bibirnya bergerak-gerak membaca mantera. Bayangan itu bukan lain adalah Satyabrata dan dia sedang mempergunakan satu di antara ilmu hitam yang dipelajarinya di dalam sumur. Ilmu hitam ini adalah aji penyirepan Begonondo, satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya di dalam sumur tua.
Supaya ilmu hitam Aji Penyirepan Begonondo ini dapat mencapai kekuatan sepenuhnya, sesungguhnya yang dipergunakan untuk disebarkan ke atas atap rumah orang-orang yang hendak disirep haruslah digunakan tanah yang diambil dari kuburan. Akan tetapi dengan menggunakan tanah biasa juga sudah memiliki daya yang ampuh sekali untuk membuat semua penghuni rumah itu tidur pulas.
Satyabrata ingin melihat apakah aji penyirepan yang dilakukannya itu berhasil. Maka dia menghampiri pondok yang berjajar-jajar itu lantas menendangi daun pintunya. Terdengar suara gaduh berturut-turut dan daun-daun pintu beberapa buah rumah jebol.
Satyabrata menanti sejenak dan ternyata tidak ada suara seorang pun. Dia merasa yakin bahwa semua penghuni rumah perkampungan itu telah terpengaruh aji penyirepannya dan telah tertidur pulas semua. Perasaan girang memenuhi hatinya dan dia bertolak pinggang, menengadah lalu tertawa bergelak dengan lagak sombong.
“Hua-ha-ha-ha-ha...!”
Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan yang berkelebat keluar dari pintu rumah induk yang terbuka dari dalam dan di lain saat Ki Cangak Awu dan Pusposari sudah berdiri di depan Satyabrata. Ketika itu sinar bulan purnama sedang terang sekali sehingga mereka segera dapat saling mengenal.
“Ah, kiranya engkau... Satya...!” Pusposari berseru, kaget dan heran karena semua orang menduga bahwa pemuda itu telah tewas, terjatuh ke dalam sumur tua.
“Jahanam busuk! Kiranya kamu, keparat!” Ki Cangak Awu juga membentak, marah sekali mendapat kenyataan bahwa yang memasang aji penyirepan dan yang membuat gaduh adalah Satya, pemuda yang menyusup menjadi murid Jatikusumo dan telah menyebarkan bujukan memusuhi Mataram dan memuji-muji Kumpeni Belanda.
Satyabrata agak terkejut ketika tiba-tiba saja melihat suami isteri pimpinan Jatikusumo itu muncul secara tidak terdua-duga. Akan tetapi dia segera dapat menguasai kekagetannya, maklum bahwa tentu suami isteri yang memiliki kesaktian itu telah mampu menolak daya aji penyirepannya tadi.
“Ha-ha-ha, Ki Cangak Awu! Bagus sekali engkau tidak jatuh tidur. Kebetulan sekali karena aku akan membunuhmu dan engkau dapat melihat kematian datang di depan matamu!”
“Setan alas! Engkaulah yang akan mati!” bentak Pusposari sambil mencabut kerisnya.
“Diajeng, biar aku saja yang menghadapinya,” kata Cangak Awu yang mengkhawatirkan keadaan isterinya yang sedang mengandung dan dia sudah melompat ke depan isterinya, menghadapi Satyabrata. Ki Cangak Awu mengamangkan sebatang tongkat penggada yang tadi memang dibawanya keluar karena dia maklum bahwa ada orang sakti datang mengacau Jatikusumo.
“Keparat Satya, manusia curang. Engkau pasti antek Kumpeni Belanda, maka bersiaplah untuk menerima hukuman dariku!”
Satyabrata masih menyeringai dengan senyumnya yang mengejek, lalu tangan kanannya mencabut sebatang keris yang berkarat dan berwarna kehitaman. Itulah keris pusaka Ilat Nogo peninggalan mendiang Priyadi yang tewas di dalam sumur. Karena keris itu sudah terpendam dalam tubuh mendiang Resi Ekomolo sampai tubuh itu membusuk dan hancur, maka kini menjadi semakin ampuh, racunnya semakin kuat dan ada hawa menyeramkan meliputi keris Ilat Nogo itu.....
Komentar
Posting Komentar