SERULING GADING : JILID-25


“Ha-ha-ha, Cangak Awu, bagaimana engkau dapat menghukum aku kalau sebentar lagi engkau mati oleh pusakaku ini!”

Ki Cangak Awu marah sekali. “Manusia sombong sekali engkau! Bagaimana engkau dapat menentukan kematian seseorang? Awas, lihat senjataku!” Sesudah berkata demikian, Ki Cangak Awu lalu menerjang dengan senjatanya yang berat.

Senjata itu menyambar ke arah kepala Satyabrata. Kalau mengenai kepala, maka kepala itu pasti akan hancur lebur karena bukan saja senjata itu sangat berat dan keras, akan tetapi tenaga yang menggerakkan itu juga sangatlah kuatnya sehingga andai kata bukan kepala yang dihajar, melainkan batu karang, maka batu karang itu pun akan hancur lebur, tidak mungkin kuat menahan pukulan sehebat itu.

Namun Satyabrata dapat mengelak dengan kecepatan kilat sehingga serangan pertama itu luput dan menyambar di samping kepalanya. Setelah penggada itu lewat, secepat kilat Satyabrata membalas dengan tusukan kerisnya ke perut lawan.

Hampir saja Ki Cangak Awu terkena keris pada perutnya. Akan tetapi sebagai seorang yang banyak sekali pengalaman bertanding, dia dapat melompat ke belakang dan kembali penggada dan menyambar dari samping, kini menyerampang ke arah kaki lawan.

“Heiiiiit...!” Ki Cangak Awu membentak keras sekali ketika penggadanya menyambar.

Akan tetapi kembali Satyabrata dapat mengelak dengan lompatan ke samping lalu tangan kirinya yang menyambar dengan pukulan ke arah kepala. Pukulan itu adalah pukulan yang mengandung tenaga sakti sehingga anginnya menyambar ke arah dada Ki Cangak Awu.

Tapi Ki Cangak Awu juga mampu menghindarkan pukulan sakti itu dengan menggulingkan tubuh ke kanan. Dia memutar tubuh ke kiri kemudian penggadanya kembali menyambar, kini didorongkan ke perut dengan kekuatan yang dahsyat.

“Haaiiitt !” Kini Satyabrata yang rnengeluarkan.teriakan keras karena penggada itu benar-benar menjadi ancaman maut baginya. Kakinya diangkat ke kanan dan sambil mengubah kedudukan kaki dia sudah mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Kalau tendangan itu mengenai sasaran, tentu akan membahayakan nyawa Ki Cangak Awu.

Melihat suaminya terserang dan terdesak, Pusposari segera maju sambil menggerakkan kerisnya membantu sehingga pemuda itu kini dikeroyok dua oleh suami isteri itu.

Satyabrata segera menggerakkan keris dengan pengerahan tenaga sakti. Dua kali keris menyambar dan menangkis dua senjats lawan.

“Trang...! Tranggg...!” Tiga orang itu terdorong mundur sampai terhuyung saking kuatnya senjata-senjata itu bertemu. Karena gerakan mereka didukung tenaga sakti yang sangat kuat, maka ketiganya terhuyung ke belakang.

Akan tetapi yang lebih terkejut adalah suami isteri itu karena bukan saja mereka terhuyung ke belakang, bahkan senjata mereka pun terlepas dari pegangan.

Satyabrata cepat menyarungkan kerisnya dan sambil melompat berdiri dia mengerahkan tenaga sakti yang mukjijat, yang terbentuk dari latihan Aji Waringin Sungsang, yaitu cara bersamadhi dengan jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas. Begitu ia memukulkan kedua tangannya yang terbuka, didorongkan ke arah dua orang suami isteri yang sudah berdiri berhadapan dengannya itu, dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat!

“Ciaaaaattt...!”

Itulah pukulan Aji Margopati yang sangat dahsyat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terkejut bukan main. Karena maklum bahwa mereka sedang menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat berbahaya, keduanya cepat mengerahkan tenaga sakti mereka.

“Haiiiittt...!” Pusposari mendorong dengan tangan kanannya untuk menyambut serangan lawan dan ia mengerahkan aji pukulan Nogodento!

“Aahhhh...!” Ki Cangak Awu juga mengeluarkan teriakan nyaring dan mengerahkan tenaga sakti dalam tangan kanannya yang didorongkan menyambut serangan Satyabrata dengan aji pukulan Gelap Musti.

“Wuuuuttt...! Blaaarrr...!”

Tenaga dahsyat Aji Margopati beradu di udara dengan Aji Gelap Musti dan Aji Nogodento! Hebat bukan main pertemuan antara tiga tenaga sakti itu. Tenaga yang menggetarkan sekeliling tempat itu. Akibatnya juga hebat. Ki Cangak Awu dan Pusposari terjengkang lalu roboh telentang keras, sedangkan Satyabrata terhuyung-huyung ke belakang.

Satyabrata merasa dadanya sesak dari agak nyeri. Ketika dia merasa bibirnya basah, dia mengusap dengan tangannya dan melihat bahwa yang membasahi bibirnya itu adalah darah. Dia terluka dalam. Akan tetapi melihat suami isteri itu roboh telentang tak bergerak, dia menjadi girang dan bangga sekali.

Ia pun mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan, lalu mencabut keris pusaka Ilat Nogo dan melangkah maju, maksudnya hendak menyusulkan serangan dengan tikaman kerisnya pada dua orang suami isteri yang sudah tak berdaya itu.

“Heii! Apa yang terjadi di sini?” Tiba-tiba terdengar suara dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali menuju tempat itu.

Satyabrata terkejut. Maklum bahwa dua orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia dalam keadaan terluka. Karena itu tanpa banyak cakap lagi dia memutar tubuhnya lalu melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan perkampungan Jatikusumo itu.

“Hei, siapa kamu? Berhenti!” terdengar bentakan suara wanita melengking dan satu di antara dua sosok bayangan itu hendak mengejar larinya Satyabrata.

“Diajeng, jangan kejar! Lihat ini, kita harus menolong mereka!” kata bayangan kedua yang sudah berjongkok dekat tubuh Cangak Awu dan Pusposari.

Wanita itu menahan langkahnya lalu menghampiri laki-laki yang berjongkok itu. Ia pun ikut berjongkok.

“Mereka siapakah, kakangmas?” tanyanya.

“Lihat baik-baik. Mereka adalah kakang Cangak Awu.”

“Ahh, benar! Dan ini mbakayu Pusposari!”

“Mereka terluka dan pingsan. Mari kita bawa mereka masuk,” kata laki-laki itu.

Dia lalu memondong tubuh Cangak Awu yang tinggi besar itu dengan ringannya seperti memondong seorang bayi saja. Wanita itu pun memondong tubuh Pusposari dan mereka membawa suami isteri yang pingsan itu memasuki rumah induk. Ruangan dalam rumah itu masih diterangi sinar lampu. Siapakah pria dan wanita itu?

Mereka adalah seorang pendekar perkasa dan pembela Mataram yang setia dan berjasa besar, bernama Sutejo atau Tejomanik, putera Ki Harjodento ketua perguruan Nogodento. Ada pun wanita itu adalah isterinya yang bernama Retno Susilo, juga seorang pendekar wanita yang sakti karena ia adalah murid Nyi Rukmo Petak yang kemudian mematangkan ilmunya di bawah bimbingan suaminya. Sutejo berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun dan Retno Susilo berusia dua puluh sembilan bilan tahun.

Biar pun kedua orang ini, seperti juga para pendekar lain, telah membantu Sultan Agung dalam menundukkan semua daerah, terutama sekali daerah Jawa Timur, namun suami isteri ini juga tidak mau menerima anugerah pangkat. Sesudah perang selesai dan Jawa Timur dapat ditundukkan dan menakluk, suami isteri ini lalu meninggalkan Mataram dan berdiam di lereng Gunung Kawi. Sutejo memilih tinggal di lereng Gunung Kawi yang dulu menjadi tempat tinggalnya ketika masih hidup bersama gurunya, mendiang Bhagawan Sidik Paningal. Mereka hidup tenteram di lereng gunung itu sebagai petani.

Setelah memondong tubuh Cangak Awu dan Pusposari masuk ke dalam rumah, mereka merebahkan tubuh suami isteri pimpinan Jatikusumo itu di atas pembaringan. Keduanya lalu memeriksa keadaan suami isteri yang pingsan itu dan tahulah mereka bahwa suami isteri itu tidak terluka parah, hanya terguncang sehingga pingsan oleh hawa pukulan yang amat dahsyat.

Untung bahwa mereka berdua mempunyai tenaga sakti yang cukup kuat sehingga daya pukulan lawan itu dapat tertangkis dan tidak membuat mereka terluka parah. Sutejo dan Retno Susilo tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi agar tidak keliru, Retno Susilo bertanya kepada suaminya.

“Kakangmas, kita harus membantu mereka, menggunakan tenaga sakti untuk memulihkan tenaga mereka sehingga jalan darah mereka menjadi lancar kembali. Benarkah?”

Sutejo mengangguk. “Benar, diajeng. Mari kita bantu mereka.”

“Aku harus berhati-hati, kakangmas, karena kulihat bahwa mbakayu Pusposari tampaknya sedang mengandung.”

“Begitukah? Kalau begitu jangan menggunakan tenaga yang terlampau besar, cukup untuk menghangatkan dan melancarkan jalan darahnya saja.”

Retno Susilo lalu menempelkan tangan kanannya ke pundak kiri Pusposari, kemudian dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga keluar getaran tenaga memasuki tubuh Pusposari yang pingsan, menggetarkan jantung dan jalan darahnya.

Sutejo juga menempelkan tangannya ke dada Cangak Awu dan mengalirkan hawa sakti ke dalam tubuh pendekar tinggi besar itu.

Tidak sampai lima menit, suami isteri itu sudah siuman. Mereka mengeluh dan membuka mata mereka. Mula-mula mereka terkejut mendapatkan diri mereka sudah rebah di atas pembaringan dan ada orang duduk di dekat mereka. Akan tetapi ketika mengenal Sutejo dan Retno Susilo, keduanya menjadi girang sekali, lalu bangkit duduk.

“Ahh, adi Sutejo...!” seru Cangak Awu,

“Retno Susilo...!” kata pula Pusposari.

“Tenanglah, kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari,” kata Sutejo lembut, “Andika berdua baru saja siuman dari pingsan, agaknya terkena pukulan yang ampuh. Mari kita duduk dan bicara.”

Kemudian mereka berempat turun dari atas pembaringan dan duduk di kursi-kursi dalam ruangan di luar kamar itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan beberapa orang murid Jatikusumo memasuki ruangan itu. Wajah mereka mengunjukkan ketegangan. Lima orang itu adalah murid-murid kepala atau adik-adik seperguruan Ki Cangak Awu.

“Syukurlah kalau kakang Cangak Awu berdua dalam keadaan selamat,” kata seorang dari mereka dengan lega sesudah melihat Cangak Awu dan Pusposari duduk di sana dalam keadaan sehat.

Cangak Awu memandang kepada mereka dan bertanya, “Wiro, apa yang telah terjadi?”

Wiro mewakili saudara-saudara seperguruannya menjawab, “Kami juga tidak tahu apa yang telah terjadi, kakang. Kami semua serentak terbangun seperti dibangunkan sesuatu lalu kami keluar. Ternyata ada beberapa pondok yang daun pintunya jebol, juga daun pintu rumah andika sudah jebol dan terbuka. Kami tidak tahu apa yang telah terjadi, maka kami berlima memasuki rumah andika untuk melapor. Apakah yang telah terjadi, kakang?”

“Besok saja kami ceritakan. Sekarang keluarlah dan malam ini atur penjagaan yang ketat. Malam ini kami tak ingin diganggu,” kata Cangak Awu dan lima orang itu mengangguk lalu keluar lagi dari rumah itu.

Setelah mereka keluar dari ruangan itu, Retno Susilo berkata, “Kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari, sebetulnya apakah yang telah terjadi?”

Cangak Awu menghela napas berulang-ulang. Wajahnya membayangkan kemarahan dan penyesalan, kemudian dia pun bercerita. “Peristiwa pada malam ini merupakan akibat dari kebodohan dan kecerobohanku sendiri. Sekitar lima tahun yang lampau, seorang pemuda yang mengaku bernama Satya datang ke sini dan memohon kepadaku agar dia diterima menjadi murid Jatikusumo. Dia pandai membawa diri, tampan, sopan dan lembut. Dan ketika aku mencoba memukulnya, dia sama sekali tidak dapat melawan seolah dia sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Akan tetapi baru beberapa lama di sini, dia sudah menyebar bujukan kepada para murid Jatikusumo, memburuk-burukkan Gusti Sultan Agung dan memuji-muji Kumpeni Belanda! Mendengar laporan ini aku jadi marah, tentu dia itu seorang telik sandi Kumpeni Belanda. Aku mencarinya dan mendapatkan dia berada di bukit larangan, di belakang perkampungan kami. Aku menyerangnya dan dia juga menyerangku dengan senjata api. Akan tetapi diajeng Pusposari menolongku dengan lemparan batu pada tangannya dan aku berhasil menyerangnya sehingga dia terjatuh ke dalam sumur setelah dia berhasil menembak mati seorang murid Jatikusumo. Dia terjatuh ke dalam sumur tua. Karena sumur itu merupakan sumur maut yang berhantu, maka kami mengganggap dia sudah mati.”

“Pengkhianat seperti si Satya itu memang layak mati!” kata Retno Susilo gemas.

Cangak Awu menghela napas panjang. “Sayang sekali, dia sama sekali tidak mati! Malam ini kami berdua tiba-tiba terserang kantuk yang luar biasa kuatnya. Kami menduga bahwa rasa kantuk itu tentu tak wajar dan agaknya ada orang yang mengerahkan aji penyirepan. Maka kami lalu menolaknya dengan pengerahan tenaga sakti. Kemudian terdengar suara tertawa seperti iblis dan terdengar suara gaduh seperti runtuhnya pintu-pintu perumahan kami. Kami berdua lalu mengambil senjata dan melompat keluar. Dan dia berada di sana, di luar rumah kami.”

“Si Satya jahanam itu?” tanya Retno Susilo.

“Ya, dialah orangnya,” kata Pusposari yang semenjak tadi diam saja. “Kami segera dapat mengenalinya dan menyerangnya, akan tetapi dia memiliki kepandaian yang hebat sekali, gerakannya cepat seperti setan!”

“Hmm, kakang Cangak Awu, bagaimana dalam waktu lima tahun lebih saja dia sudah bisa menjadi sepandai itu? Bukankah ketika mula-mula datang ia tidak pandai ilmu silat seperti ceritamu tadi?” tanya Sutejo heran.

“Benar, ketika dia datang dan sengaja kucoba memukulnya, dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis. Tentu saja kini aku tahu bahwa dia hanya bermain sandiwara dan sebetulnya dia sudah mempunyai ilmu silat yang tinggi. Hanya kalau tingkatnya sudah tinggi saja maka dia mampu berpura-pura seperti itu, maklum bahwa pukulanku itu hanya hendak mengujinya saja.”

“Akan tetapi, kalau dia memang merupakan telik sandi Kumpeni Belanda dan bermaksud untuk menyerangmu, mengapa tidak dia lakukan ketika dia datang melainkan menunggu sampai setahun bahkan membiarkan dirinya kau serang sampai jatuh ke dalam sumur?”

Cangak Awu menghela napas. “Itulah kebodohanku yang kedua kali. Kebodohku pertama kali adalah pada saat aku dapat dia kelabui dan menerimanya sebagai murid Jatikusumo. Kemudian, kebodohanku yang kedua adalah ketika aku percaya bahwa dia telah terjatuh ke dalam sumur maut dan mati! Sekarang aku mengerti. Agaknya dia memang sengaja menjatuhkan diri ke dalam sumur itu. Agaknya dia menemukan pelajaran ilmu-ilmu yang ditinggalkan paman Eyang Guru Ekomolo di dalam sumur itu dan sempat mempelajarinya. Pada saat kami menyerangnya tadi, memang dia memiliki kesaktian seperti iblis sendiri. Semua serangan kami tidak mengenai sasaran dan ketika senjata kami beradu dengan kerisnya yang kukenal sebagai keris pusaka Ilat Nogo mllik mendiang kakang Priyadi, kami terpental ke belakang. Ketika kami bangkit, dia menyerang kami dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Kami sudah mengerahkan aji pukulan kami untuk melawannya, akan tetapi kami roboh terbanting ke belakang sehingga tidak ingat apa-apa lagi.”

“Tahu-tahu aku sudah siuman di kamar tadi,” sambung Pusposari. “Apa yang terjadi ketika kami pingsan itu? Bagaimana andika berdua dapat datang malam-malam dan tepat pada waktunya? Agaknya andika berdua yang telah menolong kami.”

Kini giliran Sutejo dan Retno Susilo, sepasang suami isteri dari lereng Gunung Kawi itu, yang menghela napas panjang mendengar pertanyaan ini.

“Seperti juga andika berdua, kakang Cangak Awu, kami pun tidak membawa kabar baik,” kata Sutejo dengan wajah muram.

“Heh, apakah yang telah terjadi, adimas Sutejo? Ketika kami berdua mengunjungi kalian di lereng Gunung Kawi, kalian berdua hidup dengan tenteram bahagia di lereng yang subur indah itu, bersama putera kalian... ehh, siapa namanya... oh ya, Bagus Sajiwo. Anak yang mungil dan lucu itu berusia dua tahun ketika kami berkunjung ke sana, lima tahun yang lalu. Kini dia tentu telah menjadi seorang perjaka kecil yang tampan!” kata Ki Cangak Awu.

“Itulah, kakangmas Cangak Awu. Kabar buruk itu mengenai anak kami Bagus Sajiwo...” kata Retno Susilo dengan suara sedih.

“Hei...! Apa yang terjadi dengan keponakanku itu?” teriak Ki Cangak Awu sambil bangkit berdiri dari kursinya.

“Tenanglah, kakangmas,” bujuk Pusposari. “Biar kita dengarkan dulu cerita mereka.”

Mendengar bujukan isterinya, Ki Cangak Awu yang berwatak kaku dan keras seperti Bimasena itu mengangguk dan duduk kembali.

“Ceritakanlah, adimas Sutejo. Ceritakan yang jelas!” katanya.

Sesudah menghela napas panjang Sutejo lalu bercerita. “Terjadinya kurang lebih setahun yang silam. Ketika itu Bagus Sajiwo berusia kurang lebih enam tahun. Pada suatu pagi seorang penduduk dusun di kaki Gunung Kawi datang berlari-lari, melaporkan kepada kami bahwa dusun itu diserbu gerombolan perampok. Karena sudah beberapa kali kami menentang gerombolan penjahat di sekitar daerah Gunung Kawi dan berhasil mengusir mereka, maka kami dikenal sebagai orang-orang yang mampu menolong para penduduk dusun yang diganggu gerombolan penjahat. Kami berdua lalu pergi turun gunung menuju dusun itu. Kami meninggalkan Bagus Sajiwo berdua dengan bibi Sikem, pembantu rumah tangga kami. Kami berhasil menghalau gerombolan penjahat yang mengganggu dusun itu. Bahkan mereka melarikan diri ketika kami datang. Sesudah kami pulang ke rumah kami, baru kami tahu bahwa gangguan gerombolan ke dusun itu hanyalah merupakan siasat licik untuk menjauhkan kami dari rumah kami...”

“Hemm, siasat memancing harimau meninggalkan sarangnya?” kata Cangak Awu.

Sutejo mengangguk. “Benar, kakangmas Cangak Awu. Pada saat kami tiba di rumah, bibi Sikem pembantu kami telah tewas dan Bagus Sajiwo sudah hilang...”

“Hilang?!” Cangak Awu dan Pusposari berseru kaget.

“Anakku Bagus Sajiwo hilang, agaknya diculik orang,” kata Retno Susilo, suaranya agak menggetar menahan isak.

Cangak Awu sudah bangkit berdiri dan tinjunya yang besar bergerak menimpa meja.

“Keparat! Jahanam dari mana yang berani menculik keponakanku? Katakan, adi Sutejo, katakan siapa penculik itu! Aku akan mencarinya, merampas kembali Bagus Sajiwo dan meremukkan kepala penculik itu!”

“Kakangmas, tenanglah dahulu dan biarkan adimas Sutejo melanjutkan ceritanya,” kata Pusposari sambil menarik tangan suaminya agar duduk kembali.

“Kalau aku mengetahui siapa jahanam itu, tentu sekarang sudah kupenggal kepalanya dan anakku sudah dapat kurampas kembali!” kata Retno Susilo dengan suara gemas.

Barulah Cangak Awu menyadari bahwa Sutejo dan Retno Susilo merupakan orang-orang yang sakti mandraguna. Tadi dia hampir lupa akan kenyataan ini dan sikapnya didorong oleh kemarahan yang membakar hatinya mendengar Bagus Sajiwo diculik orang. Maka dia pun duduk kembali.

“Kami tidak tahu siapa penculik itu,” kata Sutejo. “Satu-satunya orang yang menyaksikan penculikan itu tentulah bibi Sikem, akan tetapi dia sudah terbunuh, tentu penculik itu pula yang membunuhnya.”

“Hmm, kalau begitu penculik itu tentu seorang pengecut. Dia membunuh pembantu rumah tangga tentu dengan maksud agar wanita itu tidak akan dapat membuka rahasianya. Jelas dia takut kalau kalian mengetahui siapa dia,” kata Cangak Awu.

“Benar, tentu begitu,” kata Pusposari. “Dan penculik itu jelas takut kepada kalian maka dia menggunakan siasat memancing kalian keluar dari rumah. Mereka tidak berani melakukan penculikan itu sewaktu kalian berada di rumah,” kata Pusposari.

“Heiii...! Ada cara untuk mengetahui siapa jahanam itu!” Tiba-tiba Cangak Awu, berteriak. “Adi Sutejo, kita cari para perampok yang memancing kalian keluar ineninggalkan rumah itu karena mereka itu tentu disuruh oleh penculik dan mengetahui siapa penculik itu!”

Isterinya membenarkan dan menganggap usul suaminya ini baik sekali. Akan tetapi Sutejo menggeleng kepala dan menghela napas. “Hal itu sudah kami lakukan, kakang Cangak Awu. Kami sudah pergi mencari para perampok itu, bahkan berhasil menangkap kepala perampok. Kami memaksanya untuk mengaku siapa yang menyuruh mereka melakukan perampokan itu. Akan tetapi dia mengaku bahwa penyuruhnya adalah seorang lelaki tinggi besar yang menutupi mukanya dengan topeng hitam dan dia tidak tahu siapa penyuruh itu. Mula-mula dia tidak mau, akan tetapi setelah dihajar setengah mati dan anak buahnya juga diamuk, maka kepala perampok itu terpaksa memenuhi perintah orang yang sakti mandraguna itu. Jadi tidak ada seorang pun yang tahu siapa penculik itu. Hanya diketahui bahwa dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar.”

“Akan tetapi bisa saja dia membohongimu, adi Sutejo!”

“Tidak mungkin dia berbohong!” kata Retno Susilo. “Aku sudah mematahkan kedua tulang kakinya! Tak mungkin dia berani berbohong!”

“Benar, kakang Cangak Awu,” kata Sutejo. “Kepala perampok itu tidak berbohong. Aku sudah menanyai beberapa orang anggota perampok dengan ancaman dan hasilnya sama. Mereka hanya tahu bahwa yang memaksa mereka mengganggu dusun itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang memakai kedok sehingga mereka bahkan tidak tahu berapa kira-kira usia laki-laki itu.”

“Hemm, kalau begitu sukar juga melacak jejaknya,” kata Cangak Awu.

“Memang tidak mudah. Sejak anak kami diculik, kami berdua sudah meninggalkan rumah dan mencari-cari namun tidak ada hasilnya. Karena itulah kami ingat kepadamu, kakang Cangak Awu. Engkau memiliki banyak anggota perguruan, siapa tahu engkau dan para anggota Jatikusumo bisa membantu kami untuk mendengar-dengar, barang kali di antara mereka ada yang kebetulan mendengar tentang anak kami itu. Anak kami Bagus Sajiwo itu kini berusia kurang lebih tujuh tahun.”

“Menurut pendapatku, sementara mencari Bagus Sajiwo, kalian tidak perlu gelisah. Orang itu hanya ingin menculik anak kalian, dan hal ini menunjukkan bahwa dia tidak bermaksud membunuhnya. Kalau dia bermaksud demikian, tentu pembunuhan itu sudah dia lakukan seperti yang dilakukannya kepada pembantu rumah tangga itu, tidak perlu bersusah payah melakukan penculikan,” kata Pusposari dengan nada menghibur kepada Retno Susilo.

“Dan aku yakin bahwa yang melakukan penculikan ini tentulah seorang yang mendendam sakit hati kepada kalian, adi Sutejo,” kata pula Ki Cangak Awu.

Sutejo mengangguk. “Apa yang andika berdua katakan itu memang benar. Penculik itu tentu melakukan penculikan atas diri anak kami untuk membalas dendam, dan dia tentu tidak bermaksud membunuh anak kami. Yang sangat kuherankan, kenapa Bagus Sajiwo mengalami nasib seperti bapaknya? Aku sendiri dulu juga diculik orang dari orang tuaku, bahkan aku diculik ketika masih kecil sehingga tidak ingat lagi siapa orang tuaku. Hanya berkat kemurahan Gusti Allah saja akhirnya aku dapat bertemu dengan ayah bundaku.”

Sutejo termenung dengan sedih, teringat akan pengalamannya sendiri. Ketika dia masih kecil, berusia tiga tahun, dia pun diculik oleh seorang wanita bernama Ken Lasmi yang kemudian dikenal sebagai Nyi Rukmo Petak karena wanita itu mendendam sakit hati terhadap ayah dan ibu kandungnya, yaitu Ki Harjodento ketua perguruan Nogo Dento dan Padmosari. Sakit hati Ken Lasmi itu karena cintanya ditolak oleh Ki Harjodento. Karena tidak kuasa menandingi Ki Harjodento dan Padmosari, Ken Lasmi lalu menculiknya pada waktu dia berusia tiga tahun dan tidak ingat siapa orang tuanya. Bahkan yang diingat dari namanya, yaitu Tejomanik, hanyalah ‘Tejo’ saja.

Dia ditolong dan dibebaskan dari tangan Ken Lasmi oleh Bhagawan Sidik Paningal yang kemudian menjadi gurunya, bahkan menjadi ayah angkatnya pula. Karena dia mengaku bernama Tejo, maka Bhagawan Sidik Paningal memberinya nama Sutejo. Baru sesudah dia dewasa, dia tahu bahwa penculiknya adalah Nyi Rukmo Petak yang menjadi guru Retno Susilo yang kini menjadi isterinya, dan dia pun tahu dari Nyi Rukmo Petak sendiri bahwa dia adalah putera Ki Harjodento dan Padmosari. Kisah tentang peristiwa itu dapat diikuti dalam cerita ‘Pecut Sakti Bajrakirana’.

“Sudahlah, jangan terlampau berduka, adi Sutejo. Percayalah bahwa Gusti Allah akan senantiasa melindungi keponakanku Bagus Sajiwo dan aku berjanji akan mengerahkan anak buahku supaya memasang mata dan telinga baik-baik untuk mendengarkan tentang anak kita itu. Tapi kalian belum menceritakan bagaimana kalian dapat datang berkunjung malam-malam begini dan kebetulan sekali dapat menolong kami.”

Sutejo menoleh kepada isterinya. “Diajeng, kau ceritakanlah peristiwa tadi kepada kakang Cangak Awu dan mbakayu Pusposari.”

Retno Susilo mengangguk dan melanjutkan cerita suaminya. “Pada waktu kami sampai di Ponorogo, kami teringat akan perguruan Jatikusumo di sini. Akan tetapi hari sudah sore. Walau pun begitu, karena ingin sekali bertemu dengan kalian di sini dan minta bantuan mencari jejak anak kami, kami melanjutkan perjalanan. Ketika kami sampai di sini, malam telah tiba. Akan tetapi kami melanjutkan perjalanan ke perkampungan Jatikusumo, yakin bahwa kami pasti tidak akan mengganggu kalian, bahkan kami mungkin akan merupakan kejutan yang menggembirakan.”

“Memang kami akan kaget dan gembira sekali menerima kalian berkunjung malam-malam begini kalau saja tidak terjadi penyerangan tadi,” kata Pusposari.

“Ketika kami memasuki perkampungan, kami merasa heran sekali akan kesunyiannya dan melihat dua orang anggota Jatikusumo tertidur di atas bangku depan gardu penjagaan. Kami merasa heran dan curiga, lalu berlari cepat menuju ke rumah induk. Pada saat itu kami melihat seorang memegang keris dan hendak menyerang kalian yang sudah roboh. Agaknya orang itu juga terkejut, dan melihat kami dia lalu melarikan diri. Kemudian kami mendapat kenyataan bahwa dua orang yang roboh pingsan adalah kalian berdua, maka kami cepat memondong kalian masuk ke rumah ini yang daun pintunya sudah jebol.”

“Ahh, kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Kalau tidak, tentu kami sudah mati di tangan jahanam keparat Satya itu. Agaknya Gusti Allah sendiri yang menuntun kalian sehingga malam-malam begini datang berkunjung untuk menyelamatkan kami secara tak disengaja,” kata Cangak Awu.

“Tetapi rasanya sukar sekali dapat dipercaya bahwa ada seorang pemuda yang terjungkal ke dalam sumur, dalam waktu lima tahun saja sudah berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan mampu merobohkan dua orang seperti kakangmas Cangak Awu dan mbakayu Pusposari!” kata Retno Susilo dengan suara mengandung penasaran.

“Hemm, diajeng, apakah engkau sudah lupa kepada mendiang Priyadi dan betapa hebat kesaktiannya? Bahkan selama hidupku belum pernah aku berjumpa dengan lawan yang setangguh Priyadi. Nah, menurut cerita kakang Cangak Awu tadi, pemuda bernama Satya itu terjerumus ke dalam sumur tua di mana dulu mendiang Priyadi terjatuh. Bahkan Satya itu juga telah mempunyai keris Ilat Nogo yang dulu menjadi milik Priyadi. Siapa tahu dalam waktu lima tahun itu dia sudah mampu mempelajari ilmu-ilmu yang dulu dikuasai Priyadi, entah melalui kitab atau mungkin juga tulisan atau gambar dalam sumur itu. Kalau benar demikian, tidak aneh kalau dia berubah menjadi seorang pemuda yang memiliki kesaktian hebat,” kata Sutejo.

“Aku sependapat dengan adi Sutejo. Pasti jahanam Satya itu telah mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang kakang Priyadi dan keris pusakanya. Oleh karena itu aku mengambil keputusan untuk besok pagi memasuki sumur itu dan melakukan pemeriksaan,” kata Cangak Awu.

“Ihhh...!” seru Pusposari dengan wajah membayangkan kengerian. “Itu berbahaya sekali, kakangmas! Sumur tua itu berhantu!” Ia bergidik. “Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa sejak dulu bukit tempat sumur itu berada menjadi tempat larangan bagi para murid Jatikusumo?”

Cangak Awu menghela napas panjang. “Sesungguhnya, kalau mau jujur, aku juga merasa ngeri dan takut memasuki sumur keramat itu. Namun dengan munculnya kasus jahanam Satya, mau tidak mau aku harus memasuki sumur itu untuk menyelidiki. Bagaimana pun juga aku berhak karena aku adalah murid Jatikusumo.”

“Bagus! Kalau begitu besok aku akan menemanimu turun ke sumur itu, kakang Cangak Awu!” kata Sutejo.

Retno Susilo yang juga merasa seram, berseru, “Tetapi orang luar mana boleh memasuki tempat terlarang itu?”

Sutejo tersenyum. “Siapa orang luar? Aku bukan orang luar. Aku juga murid Jatikusumo. Guruku yang pertama, Bapa Bhagawan Sidik Paningal, adalah adik seperguruan Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang dulu menjadi ketua Jatikusumo. Kemudian, guruku yang kedua, Eyang Guru Resi Limut Manik, malah menjadi tokoh besar Jatikusumo. Aku juga keturunan perguruan Jatikusumo, sebab itu seperti juga kakang Cangak Awu, aku berhak memasuki sumur tua itu.”

“Itu baik sekali! Hilanglah rasa takut dan ngeri di dalam hatiku apa bila adi Sutejo mau menemaniku masuk ke sumur melakukan pemeriksaan. Kalian berdua jangan khawatir. Kalian boleh menjaga di luar sumur. Kami tidak akan terancam karena bukankah yang berada di dalam sumur itu hanyalah sisa-sisa jenazah Paman Kakek Guru Ekomolo dan kakang Priyadi? Apa lagi kami memasuki sumur besok siang. Tak ada hantu yang berani muncul di siang hari, bukan?” kata Cangak Awu kepada dua orang wanita gagah perkasa yang merasa seram itu.

Dua pasang suami isteri itu bercakap-cakap dengan asyik, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)