SERULING GADING : JILID-26


“Kami tinggal menanti berita dari Gusti Puteri Wandansari. Begitu kami dipanggil, kami akan segera berangkat untuk membantu gerakan Mataram kalau sekiranya membutuhkan bantuan kami. Ketika Mataram menundukkan Tuban, kami tidak dipanggil.”

“Eh, kakangmas Cangak Awu. Bukankah Sang Puteri Wandansari masih terhitung murid perguruan Jatikusumo dan menjadi adik seperguruanmu? Kenapa engkau menyebutnya Gusti Puteri?” tanya Retno Susilo yang pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu karena dahulu Sutejo pernah jatuh cinta kepada puteri istana itu.

“Kenapa engkau bertanya begitu, diajeng?” kata Sutejo. “Bagaimana pun juga dia adalah puteri Kerajaan Mataram, tentu saja kita semua menyebutnya Gusti Puteri.”

Cangak Awu melanjutkan keterangannya, “Akan tetapi untuk menghadapi Madura, Giri dan Surabaya, agaknya Mataram membutuhkan bantuan banyak orang yang sekiranya memiliki kemampuan. Aku mendengar bahwa Madura itu kuat bukan main karena selain diam-diam dibantu oleh Kumpeni, juga di sana terdapat banyak orang sakti mandraguna, di antaranya adalah Ki Harya Baka Wulung yang menjadi tokoh besar dan penasihat di Kadipaten Arisbaya.”

“Aku merasa heran kenapa Mataram masih hendak menaklukkan Madura dan Surabaya? Bukankah daerah-daerah yang menentangnya sudah ditundukkan semua?” tanya Retno Susilo.

Suaminya segera memandangnya dengan tatapan mata tajam. “Diajeng, bukankah sudah sering kuceritakan kepadamu tentang cita-cita Gusti Sultan Agung? Mataram sama sekali bukan berniat menaklukkan untuk menguasai, melainkan mengajak semua daerah supaya bersatu-padu untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang merupakan ancaman bagi tanah air. Tentu saja yang tidak mau bersatu lalu ditundukkan. Tujuan Gusti Sultan Agung hanya agar seluruh Nusantara menjadi sebuah kesatuan yang utuh, karena hanya dengan begitu maka setiap daerah akan menjadi perisai yang kokoh untuk mencegah berkembangnya kekuasaan Kumpeni Belanda di Nusantara. Kalau ada daerah, terutama di pasisiran, yang tidak mau bersatu dengan Mataram kemudian terbujuk Kumpeni dan mau menerima Kumpeni Belanda, maka hal itu menjadi sangat berbahaya bagi Mataram. Mengertikah engkau, diajeng?”

Retno Susilo mengangguk dan mengalah, tidak ingin berbantah dengan suaminya karena dia tahu bahwa suaminya adalah seorang yang sangat setia terhadap Kerajaan Mataram, seorang berjiwa pahlawan sejati yang mencinta tanah air dan siap untuk membelanya sampai mati sekali pun. Kalau tadi ia mengajukan rasa penasarannya terhadap Mataram, hal itu sesungguhnya hanya menyembunyikan perasaan cemburunya kepada Sang Puteri Wandansari!

Setelah puas bercakap-cakap, mereka lalu mengaso dan tidur, mempersiapkan diri untuk melaksanakan keinginan mereka memasuki sumur keramat dan melakukan pemeriksaan.

Matahari telah naik tinggi pada saat dua pasang suami isteri itu mendaki bukit di belakang perkampungan Jatikusumo. Tak ada murid Jatikusumo lain yang diperkenankan ikut. Para murid ikut terkejut dan kini melakukan penjagaan ketat setelah mereka semua mendengar keterangan Ki Cangak Awu bahwa tadi malam mereka semua sudah menjadi korban aji penyirepan dan bahwa Ki Cangak Awu dan isterinya diserang oleh Satya yang tadinya dianggap telah tewas dalam sumur tua akan tetapi dapat diusir dari situ.

Matahari telah naik tinggi dan sinarnya yang cerah menerangi seluruh permukaan bukit itu. Terangnya sinar matahari mengusir semua kesan seram dan ngeri dari hati Retno Susilo dan Pusposari. Memang tepat kata orang-orang tua bahwa setan tidak akan muncul pada siang hari dan didongengkan bahwa bangsa setan demit iblis takut dengan sinar matahari! Buktinya, pada waktu siang hari, ketika matahari bersinar terang, perasaan takut terhadap setan pun lenyap dari hati orang.

Karena munculnya di waktu malam gelap itulah maka setan kadang-kadang disebut kuasa kegelapan, yang samar-samar atau merupakan bayangan atau juga suara tanpa wujud. Padahal sesungguhnya setan demit iblis yang suka muncul pada waktu malam itu hanya menakut-nakuti saja dan sama sekali tidak berbahaya.

Yang amat berbahaya sekali adalah setan yang tidak tampak, setan yang bercokol dalam hati akal pikiran kita, yang menyalah-gunakan nafsu-nafsu kita untuk mencengkeram dan menguasai kita, menyeret kita ke dalam pengejaran kesenangan dengan menghalalkan segala cara sehingga tanpa kita sadari kita melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat. Setan yang tak tampak itu menyeret kita ke dalam dosa dengan mempergunakan nafsu-nafsu daya rendah kita sebagai umpan. Dan setan iblis yang bercokol di dalam hati akal pikiran kita inilah yang sesungguhnya teramat berbahaya sekali bagi kita.

Pertama-tama iblis yang bercokol di dalam pikiran kita memberi bayangan kesenangan-kesenangan dengan segala kenikmatannya sehingga kita lupa diri, tertarik dan mengejar-ngejar. Pengejaran kesenangan menjadi tujuan utama dan untuk mendapatkannya kadang kala kita akan menggunakan segala macam cara, menghalalkan segala cara.

Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh materi, dalam hal ini intinya adalah uang karena segala materi dapat diperoleh dengan uang, menimbulkan kejahatan-kejahatan seperti pencurian, perampokan, penipuan, korupsi, manipulasi, dan lain-lain. Pengejaran kesenangan yang didatangkan oleh sex sering menimbulkan tindak kejahatan seperti perkosaan, perjinahan, pelacuran, dan sebagainya.

Sekali lagi, setan yang tak nampak inilah yang berbahaya karena dia muncul kapan saja dan di mana saja, tak peduli siang atau malam. Kita tidak usah takut terhadap setan yang muncul menakut-nakuti kita di waktu malam gelap, namun kita harus selalu waspada dan hati-hati terhadap godaan setan yang bercokol dalam benak kita sendiri.

Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak mungkin dapat mengusir setan yang bercokol di dalam pikiran kita. Satu-satunya yang dapat mengusir setan supaya meninggalkan kita hanyalah Kekuasaan Gusti Allah yang Maha Kuasa, Sang Maha Pencipta. Bila kita selalu mendekatkan diri kepada Gusti Allah, batin kita selalu memuja dan memujiNya, dengan kepasrahan lahir batin, doa di dalam batin yang terus-menerus tiada hentinya sehingga setiap pernapasan kita merupakan nyanyi pujaan kepada-Nya, sehingga setiap perbuatan kita merupakan kebaktian kepadaNya dan kita lakukan atas namaNya, maka Kekuasaan Gusti Allah akan selalu menyertai kita, selalu melindungi dan menuntun kita dan kalau sudah begitu, setan iblis sudah pasti melarikan diri ketakutan dan kekuasaannya atas diri kita hilang.

Akan tetapi setan tak akan pernah berhenti mengamati kita, bagaikan harimau mengintai calon mangsanya. Sedikit saja kita lengah, sebentar saja kita menjauhkan diri dari Gusti Allah sehingga hubungan antara kita dengan Allah menjadi renggang, iblis akan segera menyergap masuk untuk menerkam dan menguasai hati akal pikiran kita, seperti harimau kelaparan menerkam mangsanya!

Dua pasang suami isteri itu telah tiba di pinggir sumur tua. Ketika mereka menjenguk ke bawah, hanya tampak kegelapan menghitam.

“Ihh, gelap pekat di bawah sana!” seru Retno Susilo.

“Kita tidak tahu berapa dalamnya sumur ini. Jangan-jangan tidak ada dasarnya!” kata pula Pusposari yang seperti juga Retno Susilo, kembali merasa ngeri setelah menjenguk ke dalam sumur dan tidak dapat melihat apa-apa kecuali hitam gelap.

“Tidak mungkin ada sumur tanpa dasar,” kata Sutejo. “Kita coba dengan ini!”

Dia melemparkan sebuah batu sebesar kepala orang ke dalam sumur dan mereka semua menghitung dalam hati sambil menunggu dengan penuh perhatian yang mereka kerahkan pada pendengaran mereka.

“Bukk...!” Setelah lewat belasan detik, terdengar suara berdebuk.

“Nah, agaknya tidak terlalu dalam dan dasarnya tanah lunak. Biarlah aku akan turun dulu, kakang Cangak Awu. Turunkan tali itu,” kata Sutejo.

“Jangan, adi Sutejo. Ini adalah tugas dan kewajabanku. Aku yang akan turun dulu. Setelah aku berada di dasar sumur dan keadaannya aman, aku akan memberi isyarat dengan tarikan pada tali dan andika baru menyusul turun,” kata Cangak Awu dan suaranya yang tegas menunjukkan bahwa dia tidak mau dibantah.

“Biar aku yang menurunkan dan memegangi tali,” kata Pusposari.

Mereka memang sudah mempersiapkan dan membawa segulung tali yang amat kuat dari rumah. Kini Pusposari membuka gulungan dan membiarkan ujung tali menuruni sumur.

“Sebaiknya ujung yang lain diikatkan pada pohon itu!” kata Sutejo dan dia pun membawa ujung lain dari tali itu ke pohon yang tumbuh tak jauh dari sumur, lalu mengikatkan ujung tali pada batang potion.

“Sekarang turunlah, kakangmas,” kata Pusposari sambil memegangi tali dan dibantu oleh Retno Susilo.

Ki Cangak Awu lalu memegang tali itu dan merayap turun memasuki sumur. Sesudah kedua kakinya menginjak tanah dasar sumur, dia melihat bahwa di depan sana terdapat cahaya dan tampak ada terowongan yang menembus dasar sumur itu. Cepat dia memberi isyarat ke atas dengan menarik-narik tali.

Pusposari yang memegangi tali merasakan tarikan itu dan dia berkata girang, “Dia sudah sampai di dasar sumur dengan selamat dan memberi isyarat dengan tarikan pada tali ini.”

“Kalau begitu aku akan menyusulnya!” kata Sutejo. Dia lalu menuruni sumur rnelalui tali yang dipegang oleh Pusposari yang dibantu Retno Susilo.

Tak lama kemudian Sutejo telah berdiri di dasar sumur seperti Cangak Awu.

“Adi Sutejo, lihat. Itu tentulah kerangka Paman Kakek Resi Ekomolo dan kakang Priyadi!” Cangak Awu menunjuk ke depan. Bagian itu sudah tersentuh sinar yang berada di depan sana.

Sutejo memandang dan melihat tulang-tulang kerangka dua orang manusia bertumpuk di situ. Dia mengangguk, lalu berkata. “Kakang Cangak Awu, apakah andika tidak melihat itu? Agaknya ada orang yang membuat jalan untuk keluar dari sumur ini.”

Cangak Awu melihat ke arah dinding sumur yang ditunjuk Sutejo dan baru sekarang dia dapat melihat sesudah pandang matanya terbiasa dengan cuaca yang remang-remang itu. Ada lubang-lubang pada dinding itu menuju ke atas, seperti tangga. Dengan memanjat dinding dengan bantuan lubang-lubang itu, seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh akan dapat dengan mudah merayap ke atas tanpa bantuan tali. Dari atas, lubang-lubang itu sama sekali tidak tampak karena gelap.

“Terowongan ini menuju ke tempat yang terang. Mari kita masuk dan memeriksa ke sana,” kata Cangak Awu.

Mereka lalu melangkah maju memasuki terowongan, melangkah supaya jangan sampai menginjak tulang-tulang itu. Makin ke dalam cuaca semakin terang dan akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang terang. Kiranya sinar matahari masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu melalui celah-celah yang terdapat di antara batu-batu bukit.

Ruangan itu cukup luas dan Sutejo berkata, “Lihat, kakang Cangak Awu. Dinding-dinding ini dirusak orang!”

Cangak Awu melihat ke arah dinding dan benar saja. Dinding-dinding itu agaknya dirusak orang. Masih tampak sisa-sisa coretan huruf dan gambar yang terlewat sehingga belum terhapus. Agaknya tadinya ada coretan gambar dan huruf-huruf di atas dinding dan ada orang yang sudah menghapus semua itu dengan cara merusak dengan bacokan-bacokan senjata tajam.

“Hemm, sekarang tahulah aku. Si jahanam Satya itu tentu telah memasuki sumur ini dan menemukan pelajaran ilmu-ilmu peninggalan Paman Kakek Guru Ekomolo yang ditulis dan digambar pada dinding. Dia mempelajarinya dan sesudah menguasai semua ilmu itu, dia merusak dinding lalu keluar dan menjadi orang yang sakti mandraguna.”

“Agaknya dugaanmu memang tepat, kakang Cangak Awu. Akan tetapi aku yakin bahwa sebelum mempelajari semua aji kesaktian yang hebat itu, si Satya itu tentu telah memiliki dasar kesaktian yang cukup. Tanpa dasar itu, tidak mungkin dia mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi melalui tulisan saja, apa lagi hanya dalam waktu beberapa tahun.”

Ki Cangak Awu mengangguk sambil menarik napas panjang. “Itu adalah kelengahan dan kebodohanku yang pertama. Dia dapat mengelabui aku. Ketika aku mengujinya dengan menyerangnya, dia diam saja seolah tidak mempunyai kepandaian silat apa pun dan aku percaya. Kiranya dia hanya berpura-pura!”

“Sudahlah, kakang Cangak Awu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan. Aku berdua isteriku akan membantumu, kami akan mencari keterangan pula tentang orang bernama Satya itu dan kalau kami bertemu dengan dia yang menjadi mata-mata Kumpeni Belanda itu, pasti akan kami hajar dia!”

“Adi Sutejo, aku pun akan mengerahkan para murid Jatikusumo untuk mencari keterangan tentang anakmu yang diculik orang itu.”

Dua orang gagah itu lalu meneliti semua bagian ruangan bawah tanah itu, tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang penting. Ketika kembali ke ternpat di mana dua kerangka manusia itu berada, Cangak Awu mengamati kerangka itu dan berkata, “Agaknya Uwa Kakek Guru Resi Ekomolo dan kakang Priyadi saling bunuh dan mati sampyuh. Lihat, ini tentu tengkorak kakek itu karena kedua tulang pahanya kelihatan bekas remuk dan dia mencengkeram dengan kedua tangannya ke leher kakang Priyadi. Tentu kakang Priyadi juga membunuh kakek itu dengan senjatanya, yaitu Keris Ilat Nogo yang kini berada di tangan Satya. Tentu pemuda jahat itu telah mengambil keris pusaka itu.”

Sesudah merasa yakin bahwa tidak ada apa-apa lagi yang perlu mereka ketahui, maka kedua orang itu lalu merayap naik keluar dari sumur tua itu. Ketika mereka tiba di atas, kedua orang isteri mereka menghujani mereka dengan pertanyaan.

Cangak Awu lalu menceritakan segala sesuatu yang ditemukannya di dasar sumur kepada Pusposari dan Retno Susilo.

Mendengar cerita kedua orang yang memasuki sumur tua itu, Pusposari menghela napas. Dia berkata kepada suaminya, “Hemm, tidak terduga sama sekali bahwa kakek bernama Resi Ekomolo yang dihukum ke dalam sumur karena kejahatannya itu, menjadi kutukan bagi perguruan Jatikusumo. Dahulu ilmu-ilmu sesatnya menurun kepada Priyadi, sesudah Priyadi dapat dibinasakan, kini mendadak muncul Satya itu.”

Cangak Awu juga menghela napas panjang.

“Adi Sutejo sudah berjanji bahwa dia berdua isterinya akan membantu mencari keterangan tentang Satya itu dalam perjalanan mereka, dan sebaliknya aku berjanji akan membantu mereka dengan mengerahkan para anggota Jatikusumo untuk rnencari keterangan tentang keponakanku Bagus Sajiwo yang hilang diculik orang. Akan tetapi sumur terkutuk ini akan kututup saja, kusuruh menimbuni batu dan tanah sampai rata dengan tanah agar semua kebusukan itu terpendam dan tempat ini tidak berhantu lagi,” kata Cangak Awu.

“Kukira memang sebaiknya begitu, kakang Cangak Awu,” kata Sutejo dan dua orang wanita perkasa itu pun merasa setuju.

Cangak Awu segera memanggil para anggota perguruan Jatikusumo dan puluhan orang anak buah itu bekerja menguruk sumur dengan batu dan tanah. Sebentar saja sumur itu telah tertutup dan rata dengan tanah.

Sejak saat itu bukit itu tidak menjadi bukit larangan lagi. Kesan angkernya lenyap, bahkan para murid mulai menggarap tanah permukaan bukit yang subur itu dan menjadikannya sebagai tegalan.

Sutejo dan Retno Susilo berpamit lalu meninggalkan perguruan Jatikusumo dan menuju perkampungan Nogodento yang terletak di tepi Bengawan Solo, di daerah Ngawi. Ketua Nogodento adalah Ki Harjodento, ayah kandung Sutejo. Mereka akan berkunjung ke sana dan mengabarkan tentang terculiknya anak mereka agar para murid perguruan itu dapat ikut mencari keterangan tentang hilangnya Bagus Sajiwo.....

********************

Sesudah berhasil menolong penduduk dusun Sukuh dari gangguan Koloyitmo, Parmadi segera melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Gunung Lawu. Di setiap dusun yang dilaluinya, dia bertanya-tanya kepada penduduk, barang kali ada yang melihat Muryani. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengenal gadis seperti yang digambarkan oleh Parmadi.

Dia tidak menjadi putus asa dan melanjutkan perjalanannya dan terus mencari keterangan di sepanjang perjalanan. Dia melewati Batujamus dan tiba di daerah Sukowati. Daerah di lembah Bengawan Solo ini subur sekali. Sawah ladang terbentang hijau di antara hutan-hutan kecil yang bergerombol.

Ketika memasuki sebuah hutan di tepi Bengawan Solo, mendadak telinganya mendengar suara orang. Dia cepat menyelinap di antara rumpun bambu dan pohon jati, mendekat ke arah datangnya suara. Setelah dekat dia mengintai dari balik semak belukar dan dengan heran melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis.

Pemuda itu cukup tampan dan tubuhnya tegap, sedangkan gadis itu berkulit hitam manis. Keduanya mengenakan pakaian sebagai orang dusun yang sederhana, akan tetapi yang membuat Parmadi merasa heran dan penasaran adalah ketika dia melihat bahwa kedua pergelangan tangan gadis itu terikat tali yang panjang dan ujung tali itu dipegang oleh si pemuda! Maka dia pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Sarti, kenapa engkau membuat aku merasa kecewa dan sedih sekali? Sungguh mati aku merasa kasihan sekali dan tidak enak harus mengikat kedua tanganmu seperti ini. Akan tetapi kalau tidak kuikat, engkau selalu hendak memberontak dan melarikan diri. Aku takut kehilangan engkau, Sarti,” kata pemuda itu, suaranya lembut dan terdengar penuh kasih sayang

“Kakang Parno, apa yang hendak kau lakukan kepadaku?” tanya gadis itu dengan suara mengandung kemarahan akan tetapi juga ketakutan.

“Engkau tentu tahu bahwa sampai mati pun aku tidak akan mencelakaimu, Sarti. Engkau tahu bahwa aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintamu. Cintaku setia, Sarti, tidak seperti engkau. Dahulu kita sudah saling menyatakan cinta kita masing-masing, akan tetapi kenapa engkau kini selalu menjauhiku dan engkau menolak pinangan orang tuaku? Kenapa engkau menolak untuk menjadi isteriku, padahal dahulu engkau pun menyatakan cintamu kepadaku? Sekarang aku terpaksa menahanmu dan mengajakmu pergi, entah ke mana. Pendeknya kita akan hidup bersama, engkau akan ikut denganku dan walau pun aku tidak akan memaksamu menjadi isteriku, tetapi engkau tidak kuperkenankan berpisah lagi dariku.”

“Kakang Parno, engkau tak berhak memaksaku untuk hidup bersamamu! Kita tidak dapat menjadi suami isteri, karena kalau hal itu kita lakukan, kelak kita akan hidup sengsara dan penuh derita.”

“Siapa bilang begitu? Kita saling mencinta dan kita pasti akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia,” kata Parno dengan kukuh.

“Kakang, tidak bisa menjadi suami isteri kalau hanya berbekal cinta. Terus terang saja, aku memang suka kepadamu, aku mempunyai perasaan cinta padamu. Tapi sejak engkau menjadi seorang pemuda yang malas menggarap sawah, setiap hari hanya berkeliaran, berjudi dan adu jago, sampai bosan aku mengingatkan namun engkau masih saja tidak berubah, aku yakin bahwa tidak mungkin aku menjadi isterimu. Sesudah menjadi isterimu lalu kau tinggalkan berkeliaran, bermain judi dan bergerombol dengan pemuda-pemuda malas lainnya, aku pasti akan menderita dan perasaan cinta saja tak mungkin akan dapat menolongku. Akhirnya kehidupan rumah tangga kita tentu akan hancur karena perbedaan paham dan cara hidup. Dan akulah yang paling menderita sebab aku seorang perempuan, sebaliknya engkau mendapat hiburan dari teman-teman gerombolanmu. Oleh karena itu, kakang, lepaskanlah aku, biarlah kita mencari jalan hidup masing-masing dan aku hanya mendoakan semoga kelak engkau memperoleh seorang jodoh yang lebih cocok.”

“Tidak bisa, Sarti! Aku cinta padamu. Sungguh mati, aku cinta padamu. Tahukah engkau bahwa setiap kali aku tidur, aku selalu memimpikan dirimu? Bayangan wajah dan tubuhmu tak pernah meninggalkan hati dan pikiranku, betapa manis ayu merak ati engkau, betapa rinduku untuk selalu berdekatan denganmu, Sarti.”

Gadis itu cemberut dan memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut. Matanya yang bening dan jeli itu bersinar.

“Hemm, sekarang aku tahu benar bahwa cintamu kepadaku selama ini hanya merupakan cinta nafsu belaka, kakang Parno. Bukan aku seutuhnya yang kau cinta, melainkan wajah dan tubuhku yang kau anggap ayu manis dan menarik hatirnu. Cintamu yang seperti itu hanya setebal kulit, kakang. Andai kata hidungku ini gruwung (putus) atau bibirku robek, mataku pece (juling, cacad) atau kakiku pincang, aku yakin cintamu pasti akan lenyap dan mungkin cintamu akan berubah menjadi kemuakan dan kebencian. Cintamu amat dangkal sehingga harga diriku kau anggap lebih rendah dari pada kesenanganmu berkeliaran dan berjudi. Engkau bukan seorang laki-laki yang baik untuk dijadikan suami, kakang, dan biar pun rasanya pahit, aku harus berani menutupi rasa cintaku kepadamu dengan kenyataan tentang dirimu ini.”

Parmadi yang mengintai dan mendengarkan diam-diam tertegun. Perawan desa ini benar-benar luar biasa, pikirnya. Dia seolah sedang mendengarkan wejangan seorang yang arif bijaksana!

Ucapan gadis sederhana, seorang perawan desa bernama Sarti itu sudah membongkar rahasia cinta antara pria dan wanita yang penuh kepalsuan! Setebal kulit saja! Yang dicinta hanyalah kecantikan wajah dan tubuh belaka. Cinta nafsu!

Parmadi seperti terbuka matanya. Dia melihat dengan jelas betapa tepat dan benarnya ucapan gadis itu. Cinta nafsu merupakan perasaan suka akan suatu yang merangsang dan menarik hatinya, menimbulkan keinginan untuk memiliki, untuk menikmati. Akan tetapi kalau daya tarik itu berkurang, karena cacad dan lain sebagainya yang membuat orang yang ‘dicinta’ itu menjadi kurang menarik, cinta nafsu itu pun kabur, bahkan mungkin terganti benci yang muncul dari rasa tidak suka.

Gadis itu jujur sekali dan mungkin cintanya terhadap pemuda itu lebih murni. Dia dengan jujur menyatakan cinta, akan tetapi cintanya bukanlah cinta nafsu, bukan sekedar ingin memiliki dan dimiliki, melainkan cinta dari hati yang mendorong keinginan melihat orang yang dicintanya itu berbahagia. Bukan kesenangan karena tercapai gairah nafsunya, tapi berbahagia karena hidup dalam garis kebenaran.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)