SERULING GADING : JILID-27
“Hmm, engkau telah ketularan kakekmu Kyai Brenggolo Sidhi, pandai memberi wejangan! Pendeknya, aku cinta padamu dan aku tidak ingin berpisah lagi darimu. Biar pun aku tidak akan memaksamu untuk menjadi isteriku, akan tetapi engkau tidak boleh meninggalkanku lagi. Kita harus hidup bersama karena aku tidak dapat hidup tanpa engkau, Sarti!”
“Kakang Parno, aku akan merasa sedih sekali kalau melihat engkau melakukan hal yang menyimpang dari kebenaran. Buktikanlah jika engkau memang mencintaku dengan tulus. Buktikanlah bahwa sejak hari ini, selama setahun engkau akan mengubah jalan hidupmu, tidak mabok-mabokan, tidak bermain judi, tidak berkeliaran dengan gerombolanmu. Nah, kalau sesudah satu tahun kulihat engkau sudah benar-benar berubah, suruh orang tuamu meminangku dan aku pasti akan menerimamu sebagai calon suamiku dengan hati penuh bahagia.”
Pemuda itu menggelengkan kepala. “Tidak, Sarti. Aku tidak mau melepaskanmu lagi dari sampingku. Engkau tentu akan dinikahkan dengan pemuda lain oleh kakekmu.”
“Tidak, kakang. Kalau engkau memegang janjimu, selama setahun aku pun berjanji untuk menunggumu dengan setia.”
“Tidak, aku tidak percaya padamu!”
“Kakang Parno?”
“Sudahlah, mari ikut denganku, Sarti,” kata pemuda itu sambil menarik ujung tali sehingga gadis yang diikat kedua pergelangan tangannya itu terpaksa melangkah maju mengikuti pemuda yang sudah nekat itu.
“Perlahan dulu, sobat!” terdengar teguran lernbut kemudian sesosok bayangan berkelebat. Parmadi sudah berdiri berhadapan dengan Parno, menghadang jalannya.
Dengan alis berkerut dan muka marah Parno menatap wajah Parmadi.
“Hei, ki-sanak, siapa andika dan mau apa andika menghadang perjalanku!” bentak Parno dengan marah.
“Siapa namaku tidak penting,” kata Parmadi dengan sikap tenang. “Aku sudah mendengar bahwa namamu Parno dan yang paling penting bagimu adalah untuk menyadari bahwa engkau telah bersikap sebagai sorang laki-laki yang tersesat, menyimpang dari kebenaran dan tidak mengenal budi! Juga engkau adalah seorang laki-laki pengecut yang tidak tahu malu!”
Saking marahnya Parno melepaskan ujung tali panjang pengikat kedua pergelanan tangan Sarti dan dengan kedua tangan terkepal dia maju menghampiri Parmadi. Mereka berdiri berhadapan dalam jarak dekat, hanya satu meter. Tubuh mereka sama tegap dan sedang, dan keduanya juga tampan walau pun dalam sikapnya Parno kelihatan kasar dan marah. Juga kulit Parno lebih gelap.
Parno memandang dengan mata berapi-api, alis berkerut dan mulut cemberut, sebaliknya Parmadi memandang dengan sikap tenang dan mulutnya mengembangkan senyum.
“Keparat! Lancang sekali ucapanmu. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau sedang berhadapan? Aku adalah Parno, Macan Sukowati berotot kawat bertulang besi! Tidak ada seorang pun di daerah Sukowati yang tidak mengenal aku! Dan engkau berani memaki-maki aku sebagai seorang tersesat, tak mengenal budi dan pengecut? Apa engkau sudah bosan hidup?”
Parmadi tersenyum. “Aku sama sekali bukan memaki, tetapi hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Engkau tidak tahu diri, padahal engkau dicinta oleh seorang gadis yang bijaksana dan berbudi mulia. Sepatutnya engkau bersyukur karena orang dengan watak macam engkau dapat dicinta seorang gadis yang wataknya seperti dewi! Kekasihmu ini berkata benar, Parno. Sadarlah dan bertobatlah, penuhilah permintaannya dan berjanjilah bahwa engkau akan mengubah jalan hidupmu dalam setahun ini, kemudian nikahi dia dan hidup berbahagia bersama isterimu yang bijaksana.”
“Tutup mulutmu! Tak seorang pun di dunia ini yang boleh mengatur cara hidupku! Sarti ini adalah milikku dan dia harus ikut denganku, hidup bersamaku sebab kami saling mencinta dan tak seorang pun boleh menghalangiku!”
“Aku yang akan menghalangimu, Parno. Sarti ini hanya boleh ikut denganmu apa bila dia memang suka rela menghendaki demikian. Akan tetapi kalau engkau menggunakan cara memaksa seperti ini, akulah orangnya yang akan menghalangimu.”
“Apa? Engkau... engkau berani menentangku?” Parno bertanya heran. Selama ini tak ada orang berani menentangnya, tetapi pemuda asing ini berani menghalangi kehendaknya.
“Tentu saja aku berani menentang segala kejahatan. Apa yang kau lakukan ini jahat, maka aku akan menentangnya. Kejahatanmulah yang kutentang, bukan engkau.”
“Jahanam! Kubunuh engkau!”
“Kakang Parno, jangan! Dia hanya hendak mengingatkan dan menyadarkanmu. Jangan ganggu dia, kakang! Ki-sanak pergilah dan jangan berkelahi dengan kakang Parno. Aku tidak ingin dia membunuh orang dan aku tidak ingin melihat andika terluka. Pergilah dan jangan korbankan dirimu untukku,” kata Sarti.
Parmadi makin kagum kepada gadis itu. Seorang gadis dusun sederhana namun memiliki kebijaksanaan seperti itu. Dia tersenyum.
“Betapa besar dan anehnya kekuasaan cinta! Seorang bidadari dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang tersesat! Kisanak Parno, engkau seorang yang berbahagia sekali menerima kasih sayang seorang gadis seperti Sarti ini. Karena itu bersihkanlah batinmu untuk menerima anugerah Gusti Allah yang amat membahagiakanmu ini. Bertobatlah.”
“Keparat, sambutlah ini!” Parno menjawab ucapan Parmadi dengan ayunan tangan kanan yang memukul ke arah muka Parmadi. Tangan kanan itu dikepal dan pukulannya cukup kuat, mendatangkan angin menyambar. Tapi dengan amat mudahnya Parmadi mengelak.
“Sadarlah!” kata Parmadi.
Akan tetapi pukulan yang luput itu sehingga membuat Parno menjadi semakin marah. Dia lalu menerjang lagi, bahkan kini mengirim pukulan dan tendangan dengan kedua pasang kaki tangannya secara gencar dan bertubi-tubi.
Biar pun Parno dianggap jagoan di daerah Sukowati, tetapi bagi Parmadi gerakan pemuda itu masih terlampau lambat sehingga mudah saja baginya untuk menghindarkan diri dari semua sambaran pukulan dan tendangan itu. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di sana terdapat seorang gadis budiman yang sungguh-sungguh mencinta Parno, tentu dia sudah menjatuhkan hajaran keras kepada pemuda keras kepala itu. Akan tetapi Parmadi merasa kasihan kepada Sarti maka dia masih bersikap sabar dan selalu mengelak.
Sesudah melihat betapa Parno tetap nekat, walau pun semua serangannya gagal namun pemuda itu tidak mau menyadari kenyataan bahwa lawannya adalah orang yang digdaya, melainkan terus menyerang seperti kerbau bila, Parmadi menangkap pergelangan tangan kanan Parno yang memukul, memuntir dan menarik dengan sentakan kuat. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Parno terputar dan terpelanting, terbanting keras ke atas tanah dan terguling-guling sampai ke dekat kaki Sarti.
“Kakang...!” Sarti segera menghampiri, lalu berjongkok dan dengan kedua tanganya yang terbelenggu dia menyentuh pundak pemuda itu.
Akan tetapi Parno menepiskan tangan gadis itu, bangkit kembali dan dengan muka merah dan mata melotot dia menghampiri Parmadi. Agaknya Parno memiliki tubuh yang kuat dan kebal sehingga bantingan keras tadi seperti tidak terasa olehnya. Akan tetapi agaknya pemuda Sukowati itu kini menyadari bahwa lawannya memang tangguh maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap congkak.
“Babo-babo, kiranya andika memiliki kesaktian. Nah, coba sambutlah pusakaku ini. Hayo, keluarkan pusakamu kalau andika memang seorang gagah!” Parno menentang sambil mencabut sebatang keris luk tujuh yang tadi terselip di pinggangnya.
“Kakang Parno, ingatlah! Jangan bunuh orang yang tidak bersalah!” Sarti berseru dengan cemas melihat pria yang dicintanya itu mencabut keris dan mengancam Parmadi.
Parmadi masih tersenyum dan berkata kepada Sarti, “Jangan andika khawatir, Parno tidak akan dapat membunuhku.”
Parno yang sudah memuncak kemarahannya itu membentak, “Hayo cepat keluarkan senjatamu!”
Parmadi menatap wajah pemuda yang marah itu. “Ah, andika masih belum mau menerima kenyataan bahwa andika bersalah dan karenanya maka andika kalah? Andika minta aku menggunakan senjata? Baiklah, ini senjataku!” Permadi mencabut seruling gading yang terselip di pinggangnya.
Melihat lawannya memegang sebatang seruling, Parno mengerutkan alisnya. “Aku bukan orang licik yang mempergunakan pusaka untuk menyerang orang yang tidak bersenjata. Yang andika pegang itu sebuah seruling, alat gamelan, bukan senjata!”
Parmadi tersenyum. Pemuda ini keras kepala dan agaknya terseret oleh lingkungan yang tidak sehat, namun berwatak gagah. Pantas Sarti jatuh cinta kepadanya.
“Parno, menjadikan sebuah benda menjadi benda bermanfaat atau menjadi benda jahat yang mengerikan, tergantung dari orang yang menggunakannya. Keris di tanganmu itu pun dapat menjadi hiasan dinding yang indah atau menjadi pelengkap pakaian yang baik. Akan tetapi kalau hendak andika pergunakan untuk membunuh orang, ia menjadi senjata yang jahat dan mengerikan. Seruling Gading di tanganku ini pun dapat menjadi senjata yang siap menandingi kerismu itu.”
“Baiklah, andika sendiri yang menentukan. Nah, sambutlah serangan pusakaku ini!” Parno menyerang dengan tusukan kerisnya. Gerakannya yang tangkas dan kuat menunjukkan bahwa dia memang seorang yang mahir menggunakan senjata keris.
Seperti tadi, Parmadi menggunakan kecepatan gerakan badannya untuk mengelak. Parno cepat mengejar dengan tusukan-tusukan berikutnya. Ia menyerang bertubi-tubi, menusuk dengan keris di tangan kanannya diseling pukulan-pukulan tangan kirinya.
Parmadi sengaja mengelak sampai belasan jurus. Setelah merasa cukup ‘memberi muka’ di depan Sarti agar tidak tampak Parno dikalahkan dengan cepat, kemudian tiba-tiba dia menggerakkan seruling gadingnya. Tampak sinar kuning berkelebat.
“Cringgg...!”
Keris di tangan Parno terlempar jauh sesudah terlepas dari tangannya karena tangkisan seruling gading itu. Parno terkejut bukan main, akan tetapi pada saat itu jari-jari tangan kiri Parmadi sudah mengusap dan menekan pundak kanannya.
“Aduhhh...!” Parno rnerasa betapa tiba-tiba tubuhnya seperti kemasukan hawa yang amat panas dan pundak kanannya terasa amat nyeri, rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh membuat ubun ubun kepala rasanya berdenyut-denyut dan jantung seperti ditusuk-tusuk.
“Aduhhh... tobaaattt...!” Dia mengeluh, menggunakan kedua tangan untuk meraba pundak kanan dan ubun-ubun kepala.
“Kakang...!” Sarti cepat berlari menghampiri lalu berjongkok di dekat pemuda yang sudah jatuh mendeprok itu. “Kakang... engkau kenapa ?” tanya Sarti sambil meraba-raba pundak dan punggung Parno dengan kedua tangannya yang terbelenggu.
Melihat pemuda itu tampak tersiksa sekali, peluh besar-besar memenuhi mukanya yang berkerut-kerut menahan rasa nyeri, Sarti lalu menoleh kepada Parmadi.
“Den-mas... tolonglah... ampuni kesalahan kakang Parno...!”
Parmadi menghampiri mereka. “Hmm, Parno, tidak malukah dengan kelakuanmu sendiri? Lihat, Sarti begini setia dan mencintarnu, kenapa andika tidak mau bertobat dan menuruti permintaannya? Karena melihat Sarti biarlah aku akan membebaskanmu dari hukuman ini!”
Parmadi lalu menepuk pundak kanan, menggunakan jari tangannya menekan dan seketika Parno pulih dan sehat kembali. Rasa nyeri itu menghilang. Akan tetapi dasar wataknya amat keras, dia menepis tangan Sarti yang menyentuh pundaknya, lalu bangkit berdiri, memandang Parmadi dengan alis berkerut, lalu memutar tubuhnya dengan cepat dan dia lari dari situ tanpa mengeluarkan kata-kata.
“Kakang Parno... !” Sarti berseru memanggil, akan tetapi pemuda itu tidak menjawab, juga tidak menoleh.
Sarti berlari, menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangan yang pergelangannya masih terikat tali. Tiba-tiba ia merasa sentuhan pada kedua pergelangan tangannya dan tahu-tahu tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya itu telah putus dan terlepas. Ia menurunkan kedua tangannya yang sudah bebas dan memandang kepada Parmadi yang sudah berdiri di depannya. Sepasang mata bening itu sekarang kemerahan dan bibir yang bentuknya indah itu agak gemetar.
“Sarti,” kata Parmadi lembut, “maafkanlah aku kalau aku telah membuat engkau berduka karena aku telah menghajar Parno sehingga dia lari meninggalkanrnu.”
“Oh, tidak, tidak, den-mas... '“
“Sarti, aku juga hanya seorang pemuda pegunungan, jangan sebut den-mas padaku.”
“Tapi, ki-sanak... jangan andika minta maaf karena andika memang benar dan apa yang sudah andika lakukan tadi adalah benar: Kakang Parno yang bersalah dan harap andika suka memaafkan sikap dan kelakuannya yang kasar. Agaknya dia memang membutuhkan pelajaran keras seperti itu karena dengan bujukan halus dia tidak pernah menurut.”
“Akan tetapi mengapa engkau menangisinya?”
Gadis itu menyusut sisa air matanya dan mengangguk. “Aku kasihan padanya.”
“Hemm, dan engkau tetap cinta padanya?”
Kembali Sarti mengangguk. “Cinta adalah keadaan perasaan hati. Bagaimana cinta dapat berubah? Aku tetap cinta padanya, ki-sanak.”
“Kalau begitu engkau ingin bersamanya dan menjadi isterinya?”
Kini Sarti menggeleng kepala keras-keras. “Tidak, aku tidak mau menjadi istrinya selama dia tidak mau mengubah kelakuannya, karena aku akan hidup menderita apa bila menjadi isterinya.”
“Sungguh andika seorang gadis yang luar biasa sekali, Sarti. Andika seorang gadis dusun yang masih muda tapi memiliki kebijaksanaan dan pendapat yang lain sama sekali dengan orang lain. Dari manakah andika memperoleh pandangan aneh seperti itu?”
“Eyang yang mengajarkan bagaimana harus menghadapi kenyataan hidup, ki-sanak. Aku adalah seorang anak yatim piatu dan sejak kecil aku tinggal bersama eyang. Sejak kecil aku mengenal kakang Parno. Kami teman sepermainan. Sesudah dewasa aku merasa bahwa aku mencintanya dan dia pun mencintaku. Kalau saja kemudian kelakuannya tidak berubah, hidup ugal-ugalan, bergerombol dengan orang-orang yang tak bersusila, mabok-mabokan, suka berjudi dan adu ayam, tidak mau bekerja di sawah. Kalau saja dia masih lugu seperti dulu, tentu saja aku akan merasa bahagia sekali hidup menemaninya untuk selamanya, sebagai isterinya. Akan tetapi dia tidak pernah mendengar nasihatku, maka aku menjauhkan diri. Dan pagi tadi, dia... dia memaksaku pergi bersamanya. Ketika aku menolak dan memberontak, dia mengikat kedua pergelangan tanganku. Bahkan dia pun tidak mau berjanji untuk mengubah kehidupannya selama satu tahun sebagai syarat aku mau menjadi isterinya.”
“Tetapi sekarang engkau sudah terbebas darinya. Biarlah aku akan mengantarmu pulang, Sarti. Di mana engkau tinggal?”
“Aku tinggal di sebelah utara sana, ki-sanak, di seberang bengawan. Aku tinggal bersama kakekku.”
“Siapakah kakekmu itu?”
“Ia adalah Kyai Brenggolo Sidhi yang mengasingkan diri dan bertapa di lembah bengawan di pondok yang terpencil. Aku menemaninya.”
Parmadi menjadi tertarik. Kiranya Sarti, gadis dusun ini tinggal bersama seorang pertapa yang menjadi kakeknya. Pantas saja dia mempunyai pandangan hidup yang luar biasa dan bijaksana. Tentu Kyai Brenggolo Sidhi itu yang memberi wejangan kepadanya. Dia menjadi ingin sekali bertemu dengan Kyai Brenggolo Sidhi itu.
“Mari kuantar engkau pulang, Sarti.”
“Terima kasih sebelumnya atas kebaikan andika, ki-sanak. Andika telah menolongku dan terutama sekali andika sudah memberi pelajaran dan mau memaafkan kakang Parno, dan kini andika hendak mengantarku pulang, akan tetapi aku belum mengenal siapa andika. Hal ini amat janggal dan eyang tentu akan menegurku kalau mengetahui bahwa aku belum rnengenal nama penolongku.”
Parmadi tersenyum. Gadis ini bijaksana, pandai membawa diri dan juga pandai bicara. Sungguh seorang gadis dusun yang luar biasa.
“Sarti, aku adalah seorang perantau dan apa yang sudah kulakukan, semua ini merupakan tugas kewajiban bagiku. Karena itu aku tidak ingin dikenal karena semua perbuatan itu. Selama ini aku hanya dikenal melalui serulingku ini.” Parmadi menyentuh suling yang terselip pinggangnya, “dan biarlah aku dikenal sebagai Seruling Gading.”
“Nama yang indah sekali. Aku pun akan menyebutmu kakangmas Seruling Gading. Mari, kangmas, aku akan memperkenalkanmu dengan eyangku.”
Mereka lalu keluar dari hutan itu dan Sarti menjadi penunjuk jalan. Setelah sampai di tepi Bengawan Solo yang airnya sedang pasang, mereka menumpang perahu milik seorang nelayan yang mengantar mereka ke seberang.....
********************
Kyai Rrenggolo Sidhi tinggal di sebuah pondok padepokan yang berdiri di tepi bengawan sebelah utara. Pondok itu berada di lembah yang sunyi, jauh dari tetangga dan memang tempat itu merupakan tempat yang baik sekali bagi orang yang bertapa dan menjauhkan diri dari keramaian.
Lembah bengawan yang amat indah dan tanahnya amat subur. Juga bagian yang menjadi tempat tinggal itu merupakan bukit kecil yang cukup tinggi sehingga di waktu musim hujan dan air bengawan naik tinggi, tidak sampai air menghampiri pondok yang berdiri aman di atas bukit kecil di tepi bengawan itu.
Ketika Parmadi dan Sarti tiba di depan pondok, dari dalam pondok muncul seorang kakek yang segera menarik perhatian Parmadi. Kakek itu berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang berwarna putih, pakaian hitam sederhana membungkus tubuhnya yang tinggi kurus, tetapi sepasang matanya mencorong tajam dan lembut.
“Eyang... !” kata Sarti sambil berlari menghampiri kakek itu.
Kakek itu menaruh kedua tangannya di pundak Sarti dan berkata, “Syukurlah engkau telah terlepas diri bahaya. Tentu anak-mas ini yang telah menolongmu!”
“Eyang mengetahui bahwa saya dipaksa lari bersama kakang Parno?” tanya gadis itu.
Kakek itu mengangguk-angguk. “Aku tahu engkau dalam bahaya, akan tetapi aku tahu pula bahwa akan ada orang yang menolongmu terlepas dari bahaya.”
“Eyang memang benar, ki-sanak ini yang menolongku dan dia mengantarkan aku pulang. Dia bernama Seruling Gading, eyang.”
Dengan sikap hormat Parmadi membungkuk kepada kakek itu. Kyai Brenggolo Sidhi, kakek itu, memandang ke arah seruling gading yang terselip di pinggang Parmadi dan dia terkekeh, “Heh-heh, apa artinya sebuah nama? Bukan nama, bukan pakaian, bukan rupa, bukan pula sikap dan perbuatan, yang menentukan mutu seorang manusia.”
“Wah, eyang! Memang bukan nama, pakaian, rupa, kekayaan atau kedudukan seseorang yang menentukan baik buruknya orang itu, akan tetapi kenapa bukan pula perbuatan dan sikap? Bukankah baik buruknya seseorang itu dapat dinilai dari sikap dan perbuatannya?”
“Heh-heh-heh, bantahan dan pertanyaan yang bagus, Sarti. Akan tetapi ketahuilah bahwa sikap dan perbuatan itu dapat saja dibuat-buat, dapat dipergunakan sebagai kedok yang menyembunyikan wajah aslinya. Sikap serta perbuatan dapat saja berlawanan dengan isi hatinya. Karena terlalu percaya akan sikap dan perbuatan inilah banyak manusia terkecoh dan tertipu, terutama sekali para wanita yang mudah terpikat dan tunduk kepada bujuk rayu, sikap manis, tutur kata halus dan sopan.”
“Akan tetapi, eyang...”
“Heh-heh-heh, Sarti, tahan rasa penasaran dan pertanyaanmu sampai kita duduk di dalam pondok. Apakah engkau akan membiarkan penolongmu mendengarkan perdebatan kita sambil berdiri di luar pondok?”
“Oh iya, saya sampai lupa! Maafkan saya, kakangmas Seruling Gading, dan mari, silakan memasuki pondok agar kita dapat bicara dengan leluasa,” Sarti berkata kepada Parmadi.
Sejak tadi Parmadi memandang kagum. Dugaannya tidak salah. Kakek gadis itu memang seorang yang arif bijaksana, sementara Sarti adalah seorang gadis muda yang kritis, suka bertanya dan agaknya belum puas jika belum mendapatkan keterangan yang sejelasnya. Tidak mengherankan kalau gadis itu memiliki pandangan yang luas dan bijaksana.
Dia mengikuti kakek dan cucu itu masuk ke dalam pondok yang sederhana namun terjaga kebersihannya dan duduk di ruangan depan, di atas lantai bertilamkan tikar, mengelilingi sebuah meja bundar rendah.
Sesudah mereka duduk, langsung saja Sarti mengeluarkan isi hatinya yang semenjak tadi membuatnya merasa penasaran. “Eyang, kata-kata eyang tadi membuat Sarti merasa penasaran dan ingin sekali mengajukan pertanyaan.”
Kyai Brenggolo Sidhi mengelus jenggotnya sambil tersenyum lebar dan melirik ke arah Parmadi. “Maafkan dia, anak-mas. Bocah ini selalu merasa penasaran tidak dapat tenang bila pertanyaan yang mengganggu pikirannya belum terjawab. Nah, Sarti, katakanlah apa yang menjadi uneg-uneg hatimu?”
“Begini, eyang. Kalau menurut perkataan eyang tadi, sikap serta perbuatan orang tidak menentukan baik buruknya orang itu. Kalau begitu, mengapa semua orang menekankan pelajaran murid atau anaknya agar bersikap dan bertindak baik?”
Kyai Brenggolo Sidhi rnemandang kepada Parmadi yang duduk di depannya lalu tertawa. “Heh-heh, pertanyaanmu ini mungkin mewakili pertanyaan sebagian orang di jagad ini, Sarti. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa anak-mas Seruling Gading ini dapat memberi penjelasan kepadamu. Bukankah begitu, anak-mas?”
Diam-diam Parmadi merasa kagum. Kakek ini agaknya mampu menjenguk dan melihat isi hatinya! Tentu saja dia bisa memberi penjelasan karena gurunya, Resi Tejo Wening, sudah banyak membicarakan hal ini sehingga membuat dia mengerti, mengerti yang tidak hanya terbatas kepada pengertian akal, melainkan mengerti karena mengalaminya sendiri. Akan tetapi dia berkata hormat.
“Kanjeng eyang, saya juga ingin sekali untuk memperdalam pengertian saya.”
“Heh-heh-heh, tunduk rendah seperti batang padi yang subur. Kerendahan hati yang bijak! Dengarlah Sarti. Orang-orang condong mementingkan sikap dan perbuatan karena semua orang menilai baik buruknya seseorang dari sikap dan perbuatan itu. Karena itulah orang berusaha keras untuk bersikap dan berbuat baik agar dapat disebut orang baik. Keinginan dianggap baik inilah yang menimbulkan kepalsuan sikap dan perbuatan baik, digunakan sebagai pakaian bersih untuk menutupi badan yang kotor, atau pakaian indah untuk menutupi cacad badan. Sikap dan perbuatan baik bahkan menjadi semacam umpan untuk menipu orang lain, menjadi bujuk rayu yang dalam kalangan orang muda di sebut rayuan gombal.”
“Kalau begitu, eyang, apakah kita tidak perlu berusaha untuk bersikap baik dan berbuat baik?” Sarti mendesak.
“Sarti, sikap dan perbuatan hanyalah merupakan akibat, merupakan buah. Sebab atau pohonnya adalah batin. Kalau pohonnya baik, pasti akan mengeluarkan buah yang baik. Apa bila batinmu penuh kasih dan iba kepada orang lain, pasti sikap dan perbuatanmu terhadap orang itu baik dan benar. Sebaliknya, bila hatimu penuh kebencian kepada orang lain, sikap dan perbuatanmu terhadap orang itu sudah pasti tidak baik dan jahat. Kalau hatinya kotor akan tetapi perbuatanmu bersih jelas bahwa perbuatan dan sikaprnu yang bersih itu hanya palsu belaka. Atau jika pohonnya tidak baik akan tetapi buahnya tampak baik, tentu buah itu tampak baik karena diasap, hanya kulitnya saja yang baik akan tetapi sebelah dalamnya busuk. Mengertikah engkau, Sarti?”
“Saya mengerti, eyang. Lalu apakah yang harus kita lakukan, eyang? Bagaimana supaya pohon itu menjadi sehat dan baik, bagaimana agar batin kita selalu dipenuhi kasih sayang dan iba terhadap sesama kita?”
Kyai Brenggolo Sidhi memandang Parmadi dan kini suaranya terdengar mendesak ketika dia berkata, “Anak-mas, sekali ini aku minta sukalah kiranya anak-mas yang menjawab pertanyaan Sarti. Aku meminta kepadamu karena aku tahu bahwa andika dapat memberi jawaban yang tepat.”
Parmadi merasakan adanya desakan pada permintaan kakek itu, maka dia lalu berkata dengan tenang, “Akan saya coba, eyang, kalau keliru harap eyang betulkan dan maafkan. Nimas Sarti, pohon itu baru dapat menjadi sehat dan buruk, batin itu baru dapat selalu dipenuhi kasih saying dan iba terhadap sesama kita, apa bila jiwa kita manunggal dengan kekuasaan Gusti Allah, karena hanya Gusii Allah saja yang akan dapat membimbing dan menghidupkan pohon kebajikan di dalam batin kita. Kalau sudah begitu, kita manusia ini akan menjadi alat Gusti Allah yang mendatangkan berkah bagi manusia seperti halnya sinar matahari, hawa udara, air, tanah dan tumbuh-tumbuhan.”
“Kakangmas Seruling Gading, apakah yang harus kita lakukan supaya kita dapat menjadi alat Gusti Allah?” Sarti mengejar.
“Kita tidak usah melakukan apa-apa, nimas. Kita hanya bisa berserah diri, pasrah dengan sepenuh iman dan keikhlasan sehingga apa pun yang kita lakukan adalah berkat bimbingan-Nya dan Pohon Kasih akan tumbuh subur dalam jiwa kiia karena Kasih adalah satu di antara sifat-sifatNya. Gusti Allah itu Maha Kasih, nimas. Eyang, harap maafkan kalau pernyataan saya ini tidak benar.”
“Alhamdulillah...! Puji syukur dan terima kasih kepada Gusti Allah bahwa kami berdua diberi kesempatan untuk mendengarkan kenyataan yang keluar melalui ucapanmu tadi, anak-mas Seruling Gading. Semoga Gusti Allah Yang Maha Kasih akan sudi menerirna penyerahan ketawakalan dan keikhlasan kita, amiin.”
“Amin...!” kata Parmadi dan Sarti berbareng.
“Sarti, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka engkau pulang bersama anak-mas Seruling Gading ini.”
“Bukankah eyang sudah mengetahui semuanya? Eyang tadi sudah mengatakan bahwa saya terancam bahaya dan ada yang menolong... “
“Hanya itu yang kuketahui karena perasaanku rnengatakan begitu. Akan tetapi aku tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ceritakanlah, Sarti.”
“Eyang, tadi ketika saya pergi memetik daun kangkung, tiba-tiba muncul kakang Parno dan dia memaksa saya untuk ikut dia pergi. Ketika saya menolak, dia mengikat kedua pergelangan tanganku dan menarik aku pergi menyeberangi bengawan dan hendak diajak pergi entah ke mana.”
“Hemm, bocah itu semakin jauh tersesat,” kata Kyai Brenggolo Sidhi.
“Setelah kami tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba muncul kakangmas Seruling Gading ini yang menegur kakang Parmadi. Mereka bertanding hingga kakang Parno terpukul roboh. Akan tetapi kakangmas Seruling Gading memaafkannya dan menyembuhkannya. Dia lalu pergi, eyang, dia pergi meninggalkan saya.”
“Hemm, sayang bocah yang dahulu begitu baik kini menjadi berubah seperti itu,” kata pula Kyai Brenggolo Sidhi.
“Dia tidak menggangguku, eyang. Dia hanya mengajak saya pergi bersamanya karena selama ini saya sengaja menjauhinya. Sudah berulang kali saya membujuknya supaya dia segera menjauhi pergaulan sesat, menghentikan kebiasaan berjudi, adu ayam dan mabok-mabokan dan saya berjanji akan menerimanya kembali dalam waktu setahun. Akan tetapi dia tidak percaya dan bersikeras mengajak saya pergi.”
“He-heh-heh, sebetulnya Parno itu bocah yang watak dasarnya baik. Dia takut kehilangan engkau, Sarti.”
“Memang begitulah yang dia katakan eyang.”
“Nah, ini merupakan bukti kuatnya iblis dan betapa ringkihnya manusia. Dengan umpan segala macam kesenangan iblis memancing manusia sehingga manusia tanpa disadarinya menyimparig dari jalan kebenaran. Pengaruh lingkungan amatlah kuatnya, maka benarlah kata nenek moyang kita bahwa kita harus mencari pergaulan yang baik dan menjauhi pergaulan dengan orang-orang yang menjladi hamba napsu sendiri. Satu-satunya jalan bagi manusia agar kuat menanggulangi semua godaan iblis hanyalah berserah diri kepada Gusti Allah sehingga Kekuasaan Gusti Allah yang akan melindungi dari godaan iblis. Akan tetapi, percayalah bahwa akan datang saatnya Parno akan sadar, bertobat dan kembali kepadamu, Sarti.”
“Mudah-mudahan begitu, eyang,” kata Sarti dengan nada mengandung penuh harapan.
“Begitulah, eyang, setelah kakang Parno lari pergi, kakangmas Seruling Gading kemudian mengantar saya pulang.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Parmadi. “Kami berterima kasih sekali karena anak-mas telah menolong cucuku Sarti,.”
“Kanjeng eyang, seyogianya kalau kita semua berterima kasih kepada Gusti Allah, karena hanya Dia Maha Penolong, bukan kepada saya.”
“Heh-heh-heh, andika seorang pemuda yang bijaksana. Dari manakah andika datang dan hendak ke manakah, anak-mas?”
“Saya berasal dari lereng Gunung Lawu, eyang dan baru saja saya turun gunung untuk pergi merantau. Ketika saya melihat nimas Sarti hendak dipaksa ikut pergi pemuda itu, terpaksa saya turun tangan dan mendengar bahwa dia tinggal di sini bersama eyang, hati saya tertarik ingin bertemu dengan eyang yang arif bijaksana.”
“Dan ke manakah andika hendak pergi.”
“Ke mana saja kedua kaki ini membawa saya pergi, eyang.”
“Aku melihat bahwa andika seorang pemuda yang sakti mandraguna. Akan sia-sia sajalah andika mengorbankan sekian banyak waktu, tenaga dan pikiran kalau semua kepandaian itu tidak andika gunakan dengan benar. Juga dia yang pernah mendidik dan mengajarmu tentu akan menjadi kecewa kalau apa yang selama ini andika pelajari tidak dimanfaatkan untuk pekerjaan yang berguna.”
“Kanjeng eyang adalah seorang yang arif bijaksana, oleh karena itu saya mohon petunjuk eyang.”
Kyai Brenggolo Sidhi mengangguk-angguk, lalu dia menundukkan muka dan memejamkan kedua matanya, seolah-olah hendak menutup kedua mata badan yang hanya menghalangi ketajaman mata batinya. Dengan kedua mata masih terpejam dia berkata lirih dan lembut,
“Kini Kanjeng Sultan Agung sedang menghimpun kekuatan untuk menentang bangsa kulit putih yang hendak menguasai nusantara. Tidak ada pekerjaan yang lebih sempurna bagi seorang satria selain mengabdi kepada raja yang arif bijaksana untuk membela tanah air dan bangsa. Berangkatlah andika dan gunakan perahu untuk mengikuti aliran Bengawan Solo. Kini Gusti Sultan sedang berusaha menundukkan Madura, Surabaya dan Giri untuk menyusun dan mempersatukan kekuatan. Bantulah Mataram, anak-mas Seruling Gading.” Setelah berkata demikian, kakek itu membuka kedua rnatanya, memandang pemuda itu dan bertanya, “Sudah mengertikah andika akan petunjuk tadi, anak-mas?”
Parmadi mengangguk. Di dalam hatinya dia merasa gembira sekali karena petunjuk yang diberikan kakek itu sangat sejalan dengan pendiriannya. Gurunya, Ki Tejo Wening adalah seorang yang mendukung Mataram, sungguh pun hal itu tidak dinyatakan dengan terang-terangan.....
Komentar
Posting Komentar