SERULING GADING : JILID-28
“Akan tetapi kakangmas Seruling Gading tentu tak akan berangkat sekarang juga, bukan? Kami... saya ingin kakangmas tinggal lebih lama di sini agar kami dapat mengenal andika lebih baik!” kata Sarti.
“Terima kasih, Sarti. Tapi aku harus melanjutkan perjalananku karena masih banyak yang harus kulakukan,” kata Par madi.
“Anak-mas Seruling Gading benar, Sarti. Menurut perhitunganku malah sekarang juga dia harus berangkat dan hal ini justru demi kebaikanmu sendiri,” kata Kyai Brenggolo Sidhi.
“Demi kebaikan saya, eyang? Apa yang eyang maksudkan?”
“Jangan bertanya, tak dapat aku memberi tahu, percaya sajalah! Nah, anak-mas Seruling Gading, berangkatlah sekarang juga. Kebetulan kami mempunyai sebuah perahu di tepi bengawan. Pergunakan perahu itu, kami berikan kepadamu.”
“Tapi, eyang. Eyang sendiri dan nimas Sarti tentu membutuhkan perahu itu. Biarlah saya berjalan kaki saja menyusuri tepi bengawan.”
“Ah, tidak, anak-mas. Berjalan kaki akan makan waktu terlalu lama. Pakailah perahu kami itu. Tak lama lagi kami akan mendapatkan perahu lain.”
Parmadi masih meragu.
“Terima saja kakangmas. Eyang selalu berkata benar, dan aku pun percaya bahwa kami akan mendapatkan perahu lain seperti kata eyang, biar pun aku tidak tahu dari mana dan bagaimana datangnya.”
“Sarti, ajaklah anak-mas Seruling Gading ke tepi bengawan kemudian serahkan perahu itu kepadanya. Berangkatlah sekarang juga, anak-mas. Selamat jalan dan semoga Gusti Allah akan selalu membimbingrnu.”
“Mari, kakangmas!” kata Sarti.
“Terirna kasih atas budi kebaikan eyang...”
“Heh-heh-heh, bukankah kita sudah bersepakat bahwa hanya kepada Gusti Allah saja kita berterima kasih? Berangkatlah anak-mas. Kelak kalau Gusti Allah menghendaki, kita akan dapat saling berjumpa pula.”
“Selamat tinggal, eyang. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Parmadi memberi salam.
“Waalaikum salaam...!” gumam kakek itu yang mengantar sampai di pintu dan mengikuti bayangan Parmadi dan Sarti yang berjalan menuju ke tepi bengawan.
Sesudah sampai di tepi bengawan, Sarti lalu menyerahkan sebuah perahu kecil dengan dayungnya kepada Parrnadi. Perahu itu ditambatkan pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir bengawan. Setelah pemuda itu duduk di dalam perahu, sambil tersenyum Sarti berkata, “Selamat jalan, kakangmas. Andika seorang pemuda satria yang gagah perkasa dan budiman. Aku kagum sekali kepada andika, kakangmas Seruling Gading.”
Parmadi juga tersenyum. “Aku pun kagum sekali kepadamu, nimas Sarti. Andika seorang gadis dusun yang luar biasa, ayu, pintar, bijaksana dan setia. Semoga kelak engkau hidup berbahagia bersama Parno. Selamat tinggal, Sarti.”
Perahu meluncur ke tengah lalu hanyut terbawa aliran air. Parmadi menoleh dan melihat gadis itu melambaikan tangan. Dia pun melambaikan tangan. Gadis pilihan, satu di antara seribu, pikirnya. Tidak akan mudah melupakan seorang gadis seperti Sarti.
Karena perahu kecil itu sudah hanyut terbawa aliran air bengawan, maka ditambah tenaga dayungnya, perahu itu segera meluncur dengan cepat sekali ke depan. Parmadi menghela napas panjang dan merasa bersyukur. Benar juga ucapan Kyai Brenggolo Sidhi. Kalau dia berjalan kaki menyusuri sungai, selain lelah, juga akan memakan banyak waktu.
Apa lagi terkadang tepian sungai merupakan daerah yang sukar dilalui dengan jalan kaki, ada yang merupakan rawa, ada pula dipenuhi semak belukar dan ada yang berupa tebing yang curam. Dengan perahu maka perjalanannya tidak akan melelahkan dan juga tidak menghadapi kesulitan, di samping dapat cepat sekali.
Matahari mulai condong ke barat ketika Parmadi merasa perutnya sangat lapar. Tiba-tiba saja dia melihat lima buah perahu meluncur dari pinggir bengawan dan memotong jalan menghadangnya. Dia melihat seorang pemuda di atas sebuah perahu terdepan memberi isyarat dengan tangan agar supaya dia menepi.
“Minggir! Cepat bawa perahu ke tepi bengawan atau kami terpaksa akan menggulingkan perahumu!” bentak pemuda itu dan kalau tadinya Parmadi tidak mengenal pemuda itu, kini suara pemuda mengingatkannya dan tahulah dia bahwa pemuda itu bukan lain adalah Parno! Lima buah perahu itu siap menghadangnya dan agaknya ucapan Parno itu bukan gertakan kosong belaka.
Parmadi mendayung perahunya ke tepi dan setelah melompat ke darat, dia lalu menyeret perahunya ke tepi bengawan yang landai. Ketika dia menengok, dia melihat Parno datang menghampirinya. Di sampingnya berjalan seorang lelaki berkepala gundul, bermuka bulat dan semua anggota tubuhnya mendatangkan kesan bulat, bermata lebar, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Di belakang kedua orang ini terdapat pula tujuh orang laki-laki yang dari sikapnya seperti jagoan-jagoan yang suka mengandalkan kekuatan dan kekerasan.
Hemm, agaknya Parno membawa kawan-kawannya, pikir Parmadi yang berdiri dengan sikap tenang waspada.
Dengan cepat sembilan orang itu tiba di depan Parmadi. Setelah dia berdiri berhadapan dengan Parno dan kawan-kavamnya, Parmadi bertanya dengan suara lembut, “Kiranya andika, Parno? Ada urusan apakah andika rnenghadang perjalananku dan rnenyuruhku minggir?”
Wajah Parrno yang tampan itu tampak marah. “Ki-sanak, sebelum kita bicara lebih lanjut, katakan dulu siapa namamu?”
“Sebut saja aku Seruling Gading,” kata Parmadi.
Parno memandang ke arah suling yang terselip di pinggang Parmadi dengan alis berkerut. “Seruling Gading, engkau tahu mengapa aku menghadangmu. Kita harus menyelesaikan urusan kita!”
“Parno, di antara engkau dan aku tidak ada urusan apa pun. Lebih baik kau tinggalkan kawan-kawanmu ini. Kembalilah kepada Sarti, dia menunggumu dengan hati penuh kasih dan kesetiaan.”
“Tutup mulutmu!” Parno membentak nyaring. Agaknya ucapan Parmadi itu seperti minyak menyiram api, membuat amarahnya makin berkobar. “Justru kelancanganmu mencampuri urusanku dengan kekasihku sendiri yang memaksaku harus membuat perhitungan denganmu. Engkau harus membayar apa yang kau lakukan kepadaku tadi, merendahkan aku di di mata kekasihku!”
“Parno, tenang dan sabarlah. Sarti sama sekali tidak memandang rendah kepadamu. Bahkan ia memujimu sebagai seorang pemuda gagah. Akan tetapi kukira dia benar-benar akan merasa kecewa dan memandang rendah padamu kalau sekarang dia melihat betapa engkau menghadangku dengan kawan-kawanmu ini. Engkau yang dianggap gagah berani itu ternyata hanyalah seorang pengecut yang hendak mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok aku!”
“Manusia sombong!” bentak Parno. Siapa yang hendak mengeroyokmu? Aku bukan lelaki pengecut seperti yang kau kira. Aku memang sudah kalah bertanding melawanmu. Paman Gandarwo, guru teman-temanku, merasa penasaran dan marah setelah mendengar akan kekalahanku dan dialah yang akan mewakili aku memberi hajaran kepadamu yang sudah lancang mencampuri urusan pribadiku!”
Kini Parmadi memandang kepada laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang berdiri di sebelah kanan Parno itu. Orang itu rnemiliki tubuh yang serba bulat sehingga tampak lucu. Setelah mendengar ucapan Parno, laki-laki yang disebut bernama Gandarwo itu langsung menanggalkan bajunya sehingga tampaklah tubuh atasnya yang gendut bulat, dada yang mempunyai dua tonjolan buah dada seperti wanita.
“Uhh... badanku terasa pegal-pegal. Anak-anak, coba kalian pijiti dulu badanku sebelum aku bertanding supaya segar!”
Mendengar ini, dua orang laki-laki yang berdiri di belakangnya segera mencabut senjata mereka. Seorang mencabut sebuah klewang (golok) dan yang kedua mencabut sebatang keris. Kemudian, setelah si gundul itu menganggukkan kepalanya yang bulat kelimis, dua orang muridnya itu lalu menyerangnya dengan klewang dan keris mereka. Keris meluncur dan menusuk perut pada saat klewang menyambar membacok leher.
“Plakk! Tukk!”
Klewang dan keris itu terpental seolah-olah serangan tadi mengenai benda dari karet yang kenyal dan kuat sekali! Dua orang itu menyerang terus secara bertubi-tubi. Klewang itu membacok-bacok dan keris itu menusuk-nusuk bagian tubuh sebelah atas, dari pinggang sampai kepala. Kepala yang gundul itu pun tidak luput dari sasaran, akan tetapi kalau dibacok atau ditusuk, hanya terdengar suara tak-tuk-tak-tuk dan kepala itu sama sekali tak terluka.
Parmadi tersenyum dalam hatinya. Kepala gundul itu memiliki kekebalan, namun baginya hal itu seperti mainan kanak-kanak saja. Setelah belasan kali dibacok klewang dan ditikam keris yang kesemuanya tidak dapat melukai tubuhnya yang gendut, Gandarwo menyuruh dua orang muridnya berhenti.
“Sudah, cukup!” Dia menggeliat. “Hemm, sekarang badanku terasa enak.” Dia melangkah maju mendekati Parmadi. “Heh, bocah, siapa namamu tadi? Seruling Galing?” Matanya yang bundar lebar itu memandang ke arah suling yang terselip di ikat pinggang Parmadi. “Hm, agaknya namamu diambil dari benda itu, bukan? Itukah senjatamu? Hayo pukulkan senjatamu itu pada tubuhku, boleh kau pilih bagian yang mana saja!”
“Paman Gandarwo, di antara kita tidak ada persoalan, mengapa aku harus memukulmu? Aku tidak mencari musuh,” kata Parmadi dengan suara tenang penuh kesabaran.
“Tidak ada persoalan? Heh, bocah! Kamu mendengar sendiri kata-kata Parno tadi. Kamu sudah mencampuri urusannya, apa lagi mengalahkannya, berarti kau sudah menghinanya. Menghina dia yang menjadi kawan kami berarti menghina kami pula. Maka aku yang akan membalaskan penghinaanmu atas dirinya. Hayo maju dan lawan aku Gandarwo, jagoan duk-deng, gegeduk Bengawan Solo!”
“Paman, aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun, akan tetapi itu bukan berarti aku takut menghadapi tantangan siapa pun. Kalau paman hendak menyerangku, silakan!”
“Kamu menantangku? Keparat, kamu sudah bosan hidup. Tunggu sebentar!” Gandarwo lalu duduk bersila sambil bersedakap, mulutnya kemak-kemik dan matanya terpejam. Tak lama kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara pekik menyeramkan, parau menggetar, seperti bukan suara manusia lagi dan seluruh tubuhnya menggigil, lalu ia melompat berdiri dan sikapnya berubah sama sekali. Kini wajahnya berubah menyeramkan, menyeringai, matanya melotot hampir keluar, mulutnya berbusa dan air liur menetes dari ujung bibirnya, kedua tangannya membentuk cakar. Dia lebih pantas disebut iblis atau siluman dari pada manusia.
“Aarrrggghh...!” Sambil menggereng dia menyerang, menubruk dengan cepat dan dari dua lengannya menyambar angin pukulan yang dahsyat.
Parmadi menghindar dengan tenang namun cepat dan dia pun maklum bahwa orang ini memiliki ilmu yang disebut prewangan seperti yang pernah dia dengar dari gurunya. Ilmu ini membuat Gandarwo membuka diri memasukkan roh jahat yang kemudian mengambil alih tubuhnya sehingga sepak terjangnya bukan manusia lagi, melainkan roh jahat yang memasukinya, roh jahat yang membantunya.
Parmadi maklum bahwa dia tidak akan dapat melukai roh jahat. Kalau dia menggunakan aji kesaktian, yang akan menderita dan cidera adalah tubuh Gandarwo, padahal dia tidak menghendaki hal itu. Gandarwo hanya membela Parno, maka tidak perlu dia melukainya walau pun ilmu prewangan itu saja sudah membuktikan bahwa orang ini mempelajari dan menguasai ilmu sesat yang akan menyeretnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran.
Setelah tubrukan pertamanya luput, Gandarwo menjadi makin marah dan dia mengamuk, menyerang kalang kabut dan dahsyat, bahkan kini serangannya ditambah semburan dari mulutnya yang mengeluarkan air ludah panas seperti air mendidih! Akan tetapi dengan kecepatan yang membuat tubuhnya seperti berubah menjadi bayangan, Parmadi dapat selalu mengelak. Sesudah belasan jurus serangan Gandarwo dapat dia elakkan, ketika kakek bulat itu menubruk lagi, Parmadi melompat ke samping sehingga tubrukan itu luput dan secepat kilat kaki Parmadi menyambar ke arah lutut.
“Dukk!”
Karena sambungan lututnya tercium kaki Parmadi yang menendang dengan kuat, tanpa dapat dihindarkan lagi Gandarwo jatuh berlutut dengan kaki kanan yang tertendang. Dia tidak terluka dan sudah hendak bangkit lagi, akan tetapi pada saat tubuhnya merendah itu Parmadi sudah menggerakkan tangan kirinya dan menepuk punggungnya sambil berseru dengan suara mengandung penuh wibawa.
“Demi Allah, kernbalilah ke tempat asalmu!”
Hebat tepukan itu karena selain disertai tenaga dalam yang sangat kuat, juga seruan tadi mengandung kekuatan yang timbul dari jiwa. Gandarwo mendeprok, kemudian terdengar lengkingan tinggi keluar dari mulutnya. Wajahnya berubah seperti biasa lagi, akan tetapi dia tidak cidera. Dia bangkit berdiri dan memandang Parmadi dengan alis berkerut. Kuasa roh jahat yang tadi menyusup ke dalam dirinya telah meninggalkannya seperti ketakutan akan tetapi tubuhnya yang kebal belum mengalami cidera.
“Paman Gandarwo, harap sudahi saja pertandingan ini,” kata Parmadi membujuk.
“Babo-babo, jangan dulu merasa menang karena kamu dapat memunahkan satu ajianku, Seruling Gading. Sekarang mari kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang. Kamu boleh memukulku dengan senjatamu sebanyak tiga kali, kemudian aku akan balas memukulmu dengan senjata kepalaku ini sebanyak tiga kali. Siapa yang roboh dia kalah!”
“Aku tidak suka memukul orang, juga tidak suka dipukul. Begini saja, paman Gandarwo. Engkau mengandalkan aji kekebalanmu. Nah, aku tidak akan menggunakan senjata, akan tetapi hanya akan menamparmu dengan sebelah tangan, satu kali saja. Kalau engkau mampu menahan satu kali tamparanku, maka aku mengaku kalah. Akan tetapi sebaliknya kalau engkau tidak kuat menahan satu kali tamparan tanganku, berarti engkau yang kalah. Bagaimana?”
“Heh-heh-heh-ha-ha!” Si gundul itu terkekeh-kekeh saking geli hatinya. “Sarapan pagiku tusukan keris, makan siangku bacokan klewang dan makan malamku pukulan penggada! Bagaimana aku dapat roboh oleh satu kali tamparan tanganmu yang kecil itu? Baik, aku terima tantanganmu!”
“Nanti dulu, paman. Kalau paman dapat menahan tamparannya lalu dia hanya dinyatakan kalah begitu saja, terlampau enak buat dia dan hanya rasa penasaran buatku. Taruhannya harus ditambah. Kalau paman kalah, kita habiskan saja urusan dengannya, akan tetapi kalau dia yang kalah, dia harus berlutut dan menyembahku tujuh kali sambil minta maaf atas kelancangannya tadi!” kata Parno yang masih sangat penasaran karena dia merasa dikalahkan dan dibikin malu di depan kekasihnya.
“Bagus! Itu usul yang bagus! Bagaimana, Seruling Gading, beranikah kamu menerima taruhan itu?” tanya Gandarwo.
Parmadi tersenyum. Tentu saja dia sudah ‘mengukur’ kekuatan dan kesaktian lawan. Dia mengangguk. “Baiklah, kalau hal itu akan dapat memuaskan hati Parno. Kuterima taruhan itu.”
“Bagus! Nah, kalian semua lihat baik-baik. Bocah ini bersumbar dapat mengalahkan aku dengan satu kali tamparan tangan, heh-heh-heh!”
Tujuh orang laki-laki muda yang beraida di situ ikut tertawa bergelak, hanya Parno yang tidak tertawa melainkan menandang dengan alis berkerut karena dia tahu bahwa Seruling Gading adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna.
Gandarwo segera memasang kuda-kuda. Kedua kakinya terpentang, agak ditekuk dan dia menggunakan kedua telapak tangan untuk menekan di atas pusar. Keika mengerahkan tenaga maka tubuh atasnya yang tidak berbaju itu mulai bergerak-gerak seolah-olah ada sesuatu yang hidup di bawah kulitnya. Agaknya sesuatu yang bergerak-gerak di bawah kulitnya itu adalah hawa yang melindungi kulitnya dan membuat kulit itu kebal.
“Seruling Gading, aku telah siap. Lakukanlah tamparanmu!” terdengar Gandarwo berseru.
“Awas, paman, aku akan menampar pundak kananmu!” kata Parmadi sambil mengangkat tangan kirinya yang terbuka ke atas.
Dia melihat betapa pundak kanan Gandarwo dilindungi sesuatu yang bergerak-gerak di bawah kulit pundak, akan tetapi dia tidak khawatir gagal. Memang dia sengaja memilih pundak, bagian yang tidak berbahaya karena dia tidak ingin mencelakai orang. Diam-diam dia mengerahkan Aji Sunya Hasta, lalu tangan kirinya menyambar turun dan menimpa pundak Gandarwo dengan tamparan yang tampaknya tidak begitu kuat.
“Wuuuttt...! Plakk...!”
Biar pun tangan kiri itu menimpa pundak dan tampaknya tidak terlalu kuat, tetapi seketika itu pula tubuh yang gendut itu terkulai dan terjerembab di atas tanah, kemudian tubuh itu menggigil dan mulut Gandarwo mengaduh-aduh.
“Aduuhhh...! Tobaattt...! Adduuhhh...!“
Begitu Gandarwo roboh, tujuh orang muridnya serentak mencabut senjata mereka. Ada yang mencabut keris, ada yang mencabut klewang dan ada pula yang memegang ruyung. Mereka serentak maju menerjang dan mengeroyok Parmadi.
“Heiii...?! Apa-apaan ini? Mundur semua! Mundur dan jangan melakukan pengeroyokan!” Parno melompat ke depan kemudian mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada tujuh orang kawannya itu agar tidak mengeroyok Parmadi.
Namun tujuh orang itu tidak mau mundur. Mereka semua marah melihat Gandarwo roboh dan ingin membunuh pemuda yang mengalahkan guru mereka. Parmadi cepat mengelak dengan lompatan ke sana-sini, menghindarkan diri dari hujan serangan.
“Mundur atau terpaksa kuhajar kalian?” teriak Parno.
Akan tetapi dua orang di antara mereka yang memegang ruyung menjadi marah melihat Parno membela musuh.
“Parno, pengkhianat kau!” bentak mereka dan dua orang itu menggunakan ruyung atau penggada untuk menyerang Parno.
Pemuda ini mengelak dan melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian dua kelompok. Dua orang mengeroyok Parno dan lima orang yang lainnya mengeroyok Parmadi.
Melihat betapa Parno terdesak oleh serangan ruyung dua orang pengeroyoknya, Parmadi merasa khawatir. Ia segera mempercepat gerakannya, bukan hanya mengelak melainkan berkelebat membagi-bagi tamparan. Lima orang pengeroyoknya berpelantingan dan roboh tak dapat bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh memegangi bagian tubuh yang terkena tamparan, seperti keadaan Gandarwo.
Sementara itu Parno yang tadinya mencabut sebatang keris dan melakukan perlawanan, sudah terdesak hebat. Kerisnya terpukul jatuh, lengan kirinya terluka berdarah ketika dia pergunakan untuk menangkis ruyung dan pipi kanannya membengkak karena terpukul ujung ruyung. Akan tetapi dia masih melakukan perlawanan mati-matian.
Begitu melihat keadaan Parno, Parmadi yang sudah berhasil merobohkan kelima orang pengeroyoknya segera melompat dan dua kali tangannya bergerak menampar, dua orang pengeroyok Parno itu pun terpelanting roboh.
Kini mereka berdiri saling berhadapan, Parno dengan pipi kanan bengkak dan lengan kiri berdarah berdiri memandang Parmadi dengan kagum. Sama sekali tak pernah diduganya bahwa pemuda yang telah menghalangi dia melarikan Sarti itu ternyata memiliki kesaktian yang demikian hebatnya. Bukan saja mampu mengalahkan Gandarwo yang dianggapnya digdaya, bahkan mampu merobohkan tujuh orang kawannya secara demikian mudahnya. Padahal pemuda itu hanya bertangan kosong!
Di lain pihak Parmadi juga memandang Parno sambil tersenyum senang. Sikap pemuda ini yang menentang para pengeroyok itu saja sudah menunjukkan bahwa pemuda ini pada dasarnya memang berwatak gagah. Sementara itu delapan orang yang terkena tamparan tangan Parmadi masih mengeluh kesakitan.
“Aduhh... ampun...”
“Tobat...”
“Den-mas... ampunilah kami...!” Gandarwo juga mengeluh karena tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum di sebelah dalam.
Parmadi merasa kasihan dan dia pun menghampiri mereka. Satu demi satu dia tepuk dan raba. Seketika orang-orang itu sembuh. Yang terakhir dia sembuhkan adalah Gandarwo sendiri. Setelah pundaknya ditotok dan tengkuknya diurut, maka lenyaplah rasa nyeri yang menyiksanya. Jagoan gundul itu bangkit berdiri dan membungkuk terhadap Parmadi.
“Den-mas Seruling Gading, terima kasih dan maafkan kami,” katanya dengan sikap yang merendah.
“Tidak ada apa-apa di antara kita. Kalau ingin minta ampun, mintalah ampun kepada Gusti Allah. Bertobatlah dan mulai saat ini jangan bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan kekerasan.”
Gandarwo mengangguk-angguk. “Kami mohon pamit, den-mas.”
“Pergilah,” kata Parmadi. Gandarwo menoleh kepada Parno.
“Parno, mari kita pergi,” kata jagoan berkepala gundul itu.
“Tidak!” seru Parno dengan marah. “Mulai sekarang aku tak sudi lagi berdekatan dengan kalian. Kalian membikin malu, bersikap pengecut dan main keroyokan. Aku bukan kawan kalian lagi!”
“Marilah kita pergi!” kata Gandarwo kepada tujuh orang muridnya. Mereka lalu mendorong perahu-perahu mereka ke sungai, naik perahu dan mendayung perahu mereka pergi dari situ.
Sekarang Parno kembali berhadapan dengan Parmadi.
“Parno, kenapa engkau tidak ikut mereka? Bukankah mereka itu adalah teman-temanmu yang baik dan selama ini memberi banyak kesenangan kepadamu?” kata Parmadi sambil mengamati wajah yang pipinya membengkak itu dengan penuh perhatian.
Parno menggelengkan kepala. “Tidak! Sekarang barulah aku menyadari. Mereka itu palsu dan curang, main keroyokan, memalukan sekali. Mereka bukan orang-orang gagah seperti yang kukira selama ini. Sebaliknya andika, ahh, andika adalah seorang satria yang sakti mandraguna. Mataku seperti telah menjadi buta selama ini.”
“Bagus, aku senang sekali melihat engkau tadi menentang mereka dan sekarang engkau menyadari. Parno, justru pergaulanmu dengan mereka itulah yang merusakmu sehingga engkau suka berkeliaran dengan mereka, bermain judi, mabok-mabokan, malas bekerja. Kalau terus kau lanjutkan, akhirnya engkau akan terjerumus ke dalam perbuatan jahat dan sewenang-wenang seperti mereka, menjadi penjahat. Ini yang membuat Sarti menjauhkan diri darimu karena kalau engkau terus tersesat seperti itu, engkau tak akan menjadi suami yang baik dan ia akan menjadi isteri yang menderita sengsara. Ia mencintamu dengan hati tulus, Parno, bukan cinta yang hanya terdorong nafsu berahi semata. Sarti ingin engkau bertobat, ingin melihat engkau kembali ke jalan benar. Mengapa engkau menyia-nyiakan cinta murni seorang gadis bijaksana seperti Sarti?”
“Aku... aku pun amat mencintanya...” kata Parno.
“Kalau begitu mengapa tidak kau tunjukkan cintamu itu secara benar? Mengapa tidak kau tunjukkan kepadanya bahwa engkau mampu bertobat, mampu mengubah jalan hidupmu yang tadi tersesat itu? Tunjukkanlah bahwa engkau mampu menjadi seorang calon suami yang baik. Aku yakin dia akan menantimu dengan setia.”
“Aku... aku akan menuruti nasihatmu. Kini aku sudah menyadari, aku akan bertobat dan menjadi seorang petani yang rajin dan baik, seperti dahulu sebelum aku berkawan dengan gerombolan tadi. Aku... aku minta rnaaf dan berterima kasih kepadamu, den-mas Seruling Gading.”
“Hemm, aku bukan den-mas, akan tetapi aku gembira sekali melihat sikapmu ini, Parno. Nah, sekarang cepatlah engkau kembali ke dusunmu dan buktikan janjimu tadi. Semoga engkau akan dapat hidup berbahagia dengan Sarti. Dia seorang gadis yang amat baik dan kakeknya juga seorang yang sangat bijaksana. Engkau seorang yang beruntung, Parno. Sekarang aku harus melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah dan sampaikan salamku kepada Sarti dan hormatku kepada Kyai Brenggolo Sidhi!”
Parno masih terkesima memandang pemuda yang membuatnya terpesona dan kagum itu mendorong perahunya ke air kemudian perahu itu terbawa arus air dan meluncur ke timur. Sikap, sepak terjang dan ucapan Parmadi sudah menggugah hatinya, sudah membuatnya sadar betul akan kesesatannya yang lalu. Setelah perahu semakin menjauh dan mengecil akhirnya lenyap dari pandangannya, Parno menghela napas panjang lalu memutar tubuh dan melangkah pergi.
“Sarti... maafkan aku, Sarti...” Dia mengeluh dan melangkah dengan cepat, hatinya penuh harapan.....
********************
Komentar
Posting Komentar