SERULING GADING : JILID-29


Seperti telah diceritakan Tumenggung Jatisurya, senopati Ponorogo itu, kepada Muryani, kini Wiroboyo telah menjadi murid Wiku Menak Koncar, datuk dari Blambangan yang sakti mandraguna itu. Sesudah menerima gemblengan Wiku Menak Koncar, Wiroboyo menjadi semakin tangguh dan sakti. Dia menjadi Ketua Klabang Wilis, dibantu Warok Surosingo, yaitu adik mendiang Warok Surobajul dan Darsikun, kakak seperguruannya yang selama lebih dari satu tahun pernah menerima gemblengan dari Harya Baka Wulung.

Wiroboyo lalu mengumpulkan gerombolan sesat di sekitar daerah Gunung Wilis untuk dijadikan anak buahnya. Juga Wiku Menak Koncar yang menjadi gurunya masih berada di perkampungan Klabang Wilis.

Pada suatu hari, pagi-pagi Wiku Menak Koncar sedang duduk bercakap-cakap dengan Ki Wiroboyo. Bekas demang Dusun Pakis ini sekarang tampak lebih gagah dari pada dahulu ketika masih menjadi demang. Tubuhnya tinggi besar mengenakan pakaian ringkas serba hijau sebagai tanda bahwa dia adalah Ketua Klabang Wilis. Semua anak buah Klabang Wilis mengenakan pakaian hijau. Kumisnya masih tebal, sekepal sebelah dan dalam usia empat puluh lima tahun itu rambutnya sudah bercampur uban. Ketiga orang isterinya yang dahulu sudah diceraikan semua, dan kini dia mempunyai seorang isteri baru yang masih muda belia.

Wiku Menak Koncar yang duduk di depannya kini sudah berusia enam puluh enam tahun. Tubuhnya sedang dan wajahnya tidak kelihatan tua karena kulitnya yang hitam arang. Pakaiannya mewah, sepasang matanya sipit, hidungnya pesek dan bibirnya terlalu tebal. Wajahnya yang tidak tampan itu tidak menyembunyikan kenyataan bahwa dia seorang sakti karena sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar yang penuh wibawa.

“Wiroboyo, kini tibalah saatnya bagiku untuk membalas dendam kepada musuh besarku seperti yang pernah kuceritakan padamu,” kata Wiku Menak Koncar dengan suara kecil seperti suara perempuan.

“Maksud bapa Wiku, orang yang bernama Harjodento, ketua perguruan Nogodento itu?” tanya Ki Wiroboyo.

“Benar, kurang lebih sebelas tahun yang lalu, si Harjodento itu sudah membunuh kakang Klabangkolo, kakak seperguruanku. Karena Harjodento itu mempunyai banyak murid di perguruan Nogodento, sampai sekarang aku belum sempat membalas dendam kematian kakang Klabangkolo. Akan tetapi sekarang ada engkau beserta anak buahmu, dan musuh besar itu berada tidak jauh dari sini. Selama ini aku bersabar untuk menanti saat terbaik dan mengajarkan ilmu kepadamu. Sekarang kulihat engkau sudah cukup kuat dan engkau dapat membantu aku membalas dendam. Kita serbu Nogodento dan akan kubunuh si Harjodento!”

“Akan tetapi bapa Wiku belum menceritakan mengapa dan bagaimana pembunuhan atas diri kakak seperguruan bapa itu terjadi,” kata Wiroboyo.

“Hemm, si Harjodento itu adalah seorang yang membantu Mataram dan ketika itu terjadi pertempuran antara orang-orang yang setia kepada Mataram melawan orang-orang dari daerah yang akan ditundukkan Mataram. Kakang Klangbangkolo menentang Mataram dan dia terbunuh oleh tombak Harjodento si keparat!”

“Baik, bapa. Saya akan mengerahkan para anak buah dan ikut membantu bapa menyerbu perguruan Nogodento,” kata Wiroboyo yang ingin membuktikan bahwa dia adalah seorang murid yang setia.

“Tidak perlu semua anak buah diajak. Sebaiknya panggil Darsikun dan Warok Surosingo ke sini untuk diajak berunding,” kata Wiku Menak Koncar.

Wiroboyo bertepuk tangan tiga kali dan seorang anak buah berlari memasuki ruangan itu memenuhi tanda panggilan ketuanya.

“Cepat minta kepada kakang Darsikun dan kakang Warok Surosingo untuk datang ke sini, diundang bapa Wiku,” kata Wiroboyo.

Anak buah itu mengangguk lalu cepat berjalan keluar. Tak lama kemudian dua orang yang diundang itu sudah memasuki ruangan lalu mereka mengambil tempat duduk berhadapan dengan Wiku Menak Koncar. Darsikun yang bertubuh tinggi kurus itu duduk di sebelah kiri Ki Warok Surosingo yang bertubuh pendek namun kekar berotot. Keduanya memandang kepada Wiroboyo dengan mata bertanya.

“Adi Wiroboyo, ada keperluan apakah andika memanggil kami?” tanya Ki Darsikun.

“Bapa Wiku yang mengundang kalian berdua. Saya persilakan bapa Wiku yang memberi penjelasan kepada kalian,” kata Wiroboyo.

“Begini, Darsikun dan Surosingo,” kakek bermuka hitam itu berkata. “Aku dan Wiroboyo hendak pergi menyerbu perguruan Nogodento dan membunuh ketuanya yang menjadi musuhku. Kami akan membawa anak buah Klabang Wilis, akan tetapi tidak semua. Cukup lima puluh orang saja. Sisanya tinggal di sini saja dan kalian berjagalah di sini memimpin mereka selagi Wiroboyo pergi.”

“Bapa Wiku, saya pernah mendengar bahwa perguruan Nogodento di daerah Ngawi itu sangat kuat, dan ketuanya kalau tidak salah bernama Ki Harjodento yang terkenal sakti mandraguna. Karena itu ijinkanlah saya ikut pergi membantu,” kata Warok Surosingo.

“Tidak perlu, Surosingo. Aku sendiri sudah cukup untuk membunuh Harjodento. Wiroboyo dan anak buah Klabang Wilis kuajak untuk menghadapi pengeroyokan anak-anak buah Nogodento. Engkau dibutuhkan di sini sebab perkampungan Klabang Wilis ini harus dijaga selagi Wiroboyo pergi. Engkau dan Darsikun bersama sisa anak buah yang bertanggung jawab untuk keamanan di sini,” kata Wiku Menak Koncar.

Dua orang itu mengangguk menyetujui.

Wiroboyo langsung membuat persiapan. Dia lalu memilih lima puluh orang anak buah dan memerintahkan mereka mempersiapkan diri dan membawa senjata. Setelah semua siap, berangkatlah rombongan itu menuruni lereng Gunung Wilis menuju ke perguruan pencak silat Nogodento yang berada di pinggir Bengawan Solo di daerah Ngawi. Ki Darsikun dan Warok Surosingo tinggal di perkampungan Klabang Wilis bersama sisa anak buah yang berjumlah sekitar tiga puluh orang.

Beberapa jam sesudah rombongan Wiku Menak Koncar pergi, tampak seorang wanita muda berjalan seorang diri mendaki Gunung Wilis. Matahari telah naik tinggi. Gadis cantik jelita yang dengan langkah tegap dan tangkas berjalan mendaki lereng Gunung Wilis itu bukan lain adalah Muryani!

Seperti sudah kita ketahui, Muryani mendapat keterangan dari senopati Ponorogo yaitu Tumenggung Jatisurya bahwa kini Wiroboyo menjadi Ketua Perkumpulan Klabang Wilis yang sarangnya berada di dekat puncak Gunung Wilis. Mendengar itu, dara perkasa ini segera berangkat meninggalkan Ponorogo menuju ke Gunung Wilis dan siang hari ini dia mendaki gunung itu.

Bagi seorang yang tidak mengenal medan, perjalanan mendaki gunung bukan merupakan pekerjaan mudah. Namun dara perkasa ini mempergunakan kepandaiannya dan ia dapat mendaki dengan cepat. Ia bersemangat sekali untuk mencari orang yang telah membunuh ayahnya.

Bagi orang biasa yang tak mengenal daerah Gunung Wilis, tentu akan sukar menemukan perkampungan Klabang Wilis. Akan tetapi tidak demikian bagi seorang dara perkasa yang sakti mandraguna seperti Muryani. Dengan ilmu berlari cepat dan meringankan tubuh, dia dapat berloncatan bagaikan seekor kijang, dapat mengayun tubuh dari pohon ke pohon seperti seekor kera dan melakukan pendakian cepat sekali. Jurang dan tebing curam tidak dapat merintanginya, juga bukit yang terjal dapat didakinya dengan mudah. Akhirnya dia pun tiba di depan pintu pagar perkampungan Klabang Wilis.

Dua orang laki-laki muda berpakaian serba hijau segera berlari-lari dari dalam menyambut gadis yang berdiri di luar pintu pagar itu. Mereka berdua segera tertegun melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik jelita.

Seorang gadis yang bertubuh ramping padat dalam usia dua puluh satu tahun, bagaikan bunga sedang mekar. Wajahnya bulat dengan dagu runcing hingga tampak manis sekali. Sepasang alis hitam dan kecil panjang melengkung melindungi sepasang mata bintang yang jeli dan bersinar tajam dihias bulu mata yang lentik. Hidungnya mancung kecil dan sepasang bibirnya merah membasah dan menggairahkan. Kulitnya putih kuning mulus.

Dua orang anak buah Klabang Wilis itu terpesona, merasa seolah-olah melihat seorang bidadari yang tiba-tiba berada di depan pintu pagar perkampungan mereka. Biar pun hati mereka terangsang dan timbul keinginan untuk menyapa dan menggoda dara jelita itu, namun mereka berdua meragu dan tidak berani lancang.

Siapa tahu dara ini masih sanak dekat Ki Wiroboyo, atau Ki Darsikun atau juga Warok Surosingo. Lebih-lebih kalau dara itu masih sanak Wiku Menak Koncar. Mereka berdua tentu akan celaka apa bila berani menggoda gadis yang menjadi sanak keluarga para pimpinan itu. Karena itu mereka menghampiri dan seorang dari mereka bertanya dengan sikap sopan walau pun pandang matanya seolah melahap semua kecantikan itu.

“Andika siapakah dan andika datang ke sini hendak mencari siapa?”

Muryani tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia malah bertanya, “Apakah ini sarang perkumpulan Klabang Wilis?”

Dua orang anak buah Klabang Wilis itu saling pandang, kemudian seorang dari mereka menjawab, “Benar, ini adalah perkampungan kami, Perguruan Klabang Wilis.”

“Dan siapakah ketuanya? Apakah Ki Wiroboyo?” Muryani bertanya lagi.

Dua orang anak buah Klabang Wilis itu menduga bahwa gadis ayu ini tentu masih kerabat ketua mereka, maka mereka makin tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar. “Benar sekali. Ki Wiroboyo adalah ketua kami. Apakah andika sanak keluarga beliau yang datang berkunjung?”

Muryani memandang tajam kepada dua orang itu. “Dan kalian tentu anak buah Klabang Wilis, bukan?”

“Benar, kami berdua adalah murid Klabang Wilis!” Dua orang itu mengaku dengan suara mengandung kebanggaan.

Akan tetapi pada saat itu tubuh Muryani bergerak ke depan dengan kecepatan yang luar biasa. Dua orang itu bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa mereka diserang, tahu-tahu mereka telah terpelanting roboh dalam keadaan pingsan!

Pada saat itu tiga orang murid Klabang Wilis lain yang berada tidak jauh dari pintu pagar melihat robohnya dua orang teman mereka. Mereka terkejut dan segera berteriak-teriak memberi tanda bahaya. Bermunculanlah para murid lain dan tiga puluh lebih anak buah Klabang Wilis kini memenuhi pekarangan yang luas itu, mengepung Muryani yang sudah memasuki pekarangan dengan sikap tenang.

Tiga puluh orang lebih itu marah sekali melihat dua orang kawan mereka menggeletak di atas tanah tanpa bergerak seperti sudah tewas. Mereka sudah mencabut senjata mereka masing-masing, ada yang memegang klewang, ada yang mencabut pedang atau keris, dan ada pula yang membawa ruyung. Akan tetapi sebelum mereka bergerak menyerang karena mereka agak ragu melihat betapa orang yang dianggap membikin kacau itu ialah seorang gadis yang demikian ayu, tiba-tiba terdengar bentakan.

“Tahan semua senjata!”

Mengenal suara ini, para murid Klabang Wilis cepat membuka jalan dan muncullah Warok Surosingo yang bertubuh pendek kekar itu. Dia menghampiri dua orang anggota Klabang Wilis yang masih menggeletak di atas tanah. Setelah dilihatnya bahwa dua orang itu tidak mati melainkan pingsan saja, ia lalu menghampiri Muryani dan berdiri berhadapan dengan gadis itu.

Sejenak keduanya saling pandang dan melihat kakek pendek kokoh itu memiliki sebuah kolor (ikat pinggang) dari lawe yang besar, tahulah Muryani bahwa ia berhadapan dengan seorang warok. Warok Surosingo mengerutkan alisnya dengan marah akan tetapi juga heran melihat orang yang membuat dua orang anggota Klabang Wilis roboh pingsan dan yang kini dikepung puluhan orang tanpa kelihatan takut itu hanyalah seorang gadis muda yang cantik.

“Nona, siapakah engkau dan mengapa engkau membikin ribut di sini?”

“Panggil Wiroboyo keluar, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan dia!” kata Muryani.

“Hemm, aku adalah pembantunya. Katakan apa yang menjadi keperluanmu maka hendak bertemu dengan Ki Wiroboyo!”

Muryani tersenyum. “Keperluanku? Aku hendak membunuhnya!”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Warok Surosingo dan semua anak buah Klabang Wilis terkejut dan marah sekali. Akan tetapi Warok Surosingo tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Engkau bocah ayu ini sungguh lancang mulut! Engkau hendak membunuh Ki Wiroboyo? Ha-ha-ha-ha! Apa yang kau andalkan? Dengan adanya aku, Warok Surosingo di sini, tak seorang pun dapat berbuat sesuka hati. Bocah ayu, sebaiknya engkau menyerah untuk kelak kuhadapkan ketua kami. Engkau sudah mendatangkan keributan, merobohkan dua orang anggota kami!”

“Warok Surosingo, kalau engkau hendak menghalangi, engkau pun akan kuhajar!” bentak Muryani.

Si pendek itu membelalakkan mata dan membuka mulutnya tertawa. “Ha-ha-ha-ha, kalian dengar itu, kawan-kawan? Bocah ayu ini hendak menghajar aku!”

Mereka semua tertawa karena merasa amat lucu. Seorang gadis muda cantik jelita yang kelihatan ringkih seperti itu hendak menghajar Warok Surosingo yang digdaya?

Muryani mengerutkan alisnya melihat betapa semua orang mentertawakannya. Tiba-tiba dia memutar tubuh, mengerahkan tenaga sambil mendorongkan telapak tangan kirinya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di depannya. Jarak antara dia dengan pohon itu sekitar dua meter. Angin bersiutan menyambar ke arah pohon itu.

“Wuuuttt...! Krakkkkk...!” Pohon sebesar pinggang manusia itu patah dan tumbang!

“Oohhhhh...!” Banyak mulut itu ternganga mengeluarkan seruan keget ini.

“Warok Surosingo, kalau engkau membela Wiroboyo maka engkau akan tumbang seperti pohon itu!” kata Muryani sambil bertolak pinggang menghadapi jagoan pendek kokoh itu.

Surosingo adalah seorang warok, seorang jagoan kawakan yang sangat digdaya. Melihat demonstrasi yang dipamerkan Muryani tadi, tahulah dia bahwa gadis itu bukan orang sembarangan dan gertakannya bukan sambal belaka. Namun tentu saja dia tidak merasa gentar karena dia sendiri juga seorang gemblengan yang mempunyai kesaktian. Dia tidak ingin dipandang rendah dan ditertawakan para anggota Klabang Wilis. Maka, mendengar ucapan Muryani tadi, dia segera memutar kolornya yang panjang dan besar sehingga senjata istimewa yang diputar-putar itu mengeluarkan suara bersiutan.

“Bocah sombong! Engkaulah yang akan tumbang oleh pusakaku ini!” katanya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang ke depan dan kolornya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyambar ke arah dada Muryani.

Melihat sikap warok yang menyerangnya dengan senjata pusakanya padahal dia sendiri bertangan kosong itu, Muryani sudah dapat menilai bahwa warok itu bukan seorang yang berwatak gagah dan hal ini telah menunjukkan bahwa kepandaiannya tentu tak seberapa. Dia masih berwatak sewenang-wenang dan licik.

Bagaimana pun juga sambaran senjata pusaka kolor itu bukan tidak berbahaya. Muryani cepat mengelak ke belakang dan sambil memutar tubuhnya, dia balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung Aji Gelap Sewu. Karena dara perkasa itu sudah mengerahkan Aji Kluwung Sakti, maka gerakannya cepat sekali, tubuhnya menjadi ringan dan saking cepatnya dia bergerak, tubuh itu seolah berubah menjadi bayangan.

Hampir saja pelipis Warok Surosingo terkena tamparan. Warok itu terkejut setengah mati. Gerakan gadis itu begitu cepat sehingga sukar dia mengikuti dengan pandangan matanya. Bagaikan seekor burung srikatan, gadis itu berkelebatan di sekeliling dirinya.

Warok Surosingo menyerang bertubi-tubi dengan ngawur. Ujung kolornya menyambar-nyambar ke arah bayangan yang berkelebatan itu, namun tak pernah mengenai sasaran. Tiba-tiba kaki kiri Muryani mencuat dan dapat mencuri bagian yang kosong.

“Wuuuttt...! Bukkkk!”

Perut yang gendut itu tercium kaki yang mungil itu. Tampaknya tendangan dari samping itu tidak terlalu kuat. Akan tetapi ternyata tubuh Warok Surosingo gelayaran (terhuyung-huyung) lalu terpelanting dan terguling-guling. Namun agaknya tendangan itu tidak cukup kuat sehingga dia mampu melompat bangkit lagi, walau pun napasnya agak terengah dan mulutnya menyeringai menahan rasa nyeri dan mulas dalam perutnya. Biar pun dia sudah melindungi perutnya dengan aji kekebalan tetapi tetap saja perutnya terasa mulas karena terguncang oleh kekuatan dahsyat yang terkandung dalam tendangan kaki mungil tadi.

Melihat Warok Surosingo roboh tertendang, para anggota Klabang Wilis menjadi terkejut dan marah. Mereka serentak maju mengepung dengan senjata siap di tangan. Warok Surosingo juga tidak menghalangi karena dia pun mulai merasa jeri terhadap dara yang ternyata sakti mandraguna itu. Muryani hanya berdiri bertolak pinggang dan tersenyum melihat pengepungan mereka.

Pada saat itu pula terdengar teriakan seseorang. “Heii, kawan-kawan! Jangan membunuh gadis itu. Mari kita menangkapnya hidup-hidup karena ketua kita menginginkan gadis ini!”

Seorang lelaki tinggi kurus berusia lima puluhan tahun lebih muncul dan melihat orang ini, Muryani segera teringat bahwa orang itu adalah orang yang dulu bersama Wiroboyo telah menjatuhkannya dan menangkapnya. Untung pada waktu itu dia ditolong oleh Nyi Rukmo Petak yang kemudian menjadi gurunya selama empat tahun.

Melihat musuhnya ini, Muryani menjadi marah. Memang orang ini yang dicarinya, orang ini dan Wiroboyo.

“Jahanam busuk, kebetulan engkau berada di sini!” bentaknya dan langsung saja tubuh Muryani menerjang ke arah Darsikun dengan pukulan dahsyat sekali karena dia langsung menggunakan aji pukulan Gelap Sewu yang tadi telah menumhangkan sebatang pohon.

“Wuuuttt...!”

Darsikun yang sekarang telah menjadi semakin tangguh setelah menerima gemblengan Ki Harya Baka Wulung selama hampir dua tahun, dapat mengenal pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam yang ampuh. Dia cepat menghindarkan diri dengan elakan ke kanan dan lengannya menyambar ke depan untuk mencengkeram pundak kiri gadis itu. Namun Muryani juga sudah mengelak dengan cepat.

Pada saat itu Warok Surosingo telah menubruk dari belakang. Juga para anggota Klabang Wilis sudah berlomba untuk menyergap dan meringkus gadis itu. Agaknya mereka semua berlomba untuk dapat meringkus dan mendekap tubuh ranum menggairahkan itu.

Akan tetapi dengan trengginas Muryani menggerakkan tubuh berkelebatan di antara para pengeroyoknya, kedua tangan dan kedua kakinya menyambar-nyambar dan berturut-turut empat orang anggota Klabang Wilis terpelanting lalu roboh terbanting keras tanpa mampu bangkit kembali karena menderita tulang patah atau otot terkilir!

Melihat ini para anak buah Klabang Wilis terkejut. Muryani tidak berhenti sampai di sana saja. Dia terus berkelebatan, sukar sekali untuk dapat ditangkap karena tubuhnya seakan sudah berubah menjadi bayangan dan kembali serangkaian serangannya membuat empat orang lain terjungkal!

Melihat ini Darsikun terkejut bukan main. Gadis ini tidak seperti empat tahun yang lampau! Sekarang ia memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya dan Darsikun teringat akan nenek berambut putih yang dahulu mengalahkan dia dan Wiroboyo. Dia dapat menduga bahwa gadis yang membuat Wiroboyo tergila-gila itu tentu sudah memperoleh gemblengan dari nenek berambut putih dan kini merupakan seorang lawan yang amat tangguh.

Dalam beberapa gerakan saja gadis itu telah merobohkan delapan orang pengeroyok, jadi semua sudah sepuluh orang anak buah Klabang Wilis yang roboh sehingga tidak mampu mengeroyok lagi. Kalau diteruskan, mungkin tak lama lagi semua anak buah Klabang Wilis akan roboh, dan dia harus menghadapi gadis sakti mandraguna itu berdua saja dengan Warok Surosingo. Ah, gadis ini amat berbahaya. Mereka tak akan menang kalau mencoba untuk menangkapnya hidup-hidup.

“Serang dengan senjata! Bunuh gadis setan ini!” bentak Darsikun dengan suara lantang dan dia pun sudah mencabut kerisnya. Warok Surosingo tetap menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu kolornya.

Ketika mendengar perintah ini, dua puluh orang sisa anak buah Klabang Wilis langsung bangkit kembali keberanian mereka. Mereka mencabut senjata masing-masing lalu mulai mengeroyok Muryani.

“Mampus kau!” bentak Darsikun.

Dia menerjang dengan kecepatan tinggi, kerisnya menusuk ke arah perut gadis itu dan tangan kirinya dari bawah memukul ke atas, ke arah muka Muryani. Pukulan tangan kiri itu hebat bukan main, bahkan lebih berbahaya dari pada serangan kerisnya. Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia dapatkan dari Ki Harya Baka Wulung.

Muryani terkejut juga melihat serangan ganda itu. Dia melangkah ke belakang sehingga tusukan keris luput, namun pukulan tangan kiri itu terus menghantam ke arahnya dengan tenaga pukulan jarak jauh yang dahsyat. Muryani menggerakkan tangan kanannya, lalu menangkis dengan Aji Gelap Sewu. Pukulan tangan kiri Darsikun terpental ketika bertemu dengan hawa pukulan yang menangkis dari tangan kanan gadis itu. Pada saat itu kolor Warok Surosingo menyambar dari atas, menghantam ke arah kepala Muryani.

“Wuuttt...! Darrr...!”

Ujung kolor bertemu dengan tangan kiri Muryani yang menangkis ke atas dan kolor itu terpental. Beberapa batang klewang dan keris sudah datang menyerbu bagaikan hujan ke arah tubuh dara perkasa itu.

“Eiiittt...!” Muryani mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, lalu membuat gerakan jungkir-balik di udara beberapa kali dan turun di luar kepungan.

Akan tetapi dua puluh lebih orang anak buah Klabang Wilis, dipimpin Darsikun dan Warok Surosingo sudah mengepungnya kembali dan menyerang dengan ganas. Mereka semua menyerang dengan niat membunuh gadis yang berbahaya itu.

Muryani menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan kadang kala menangkis dengan kedua lengannya. Agak repot juga gadis itu karena pengeroyokan banyak orang bersenjata, terutama sekali karena Darsikun ternyata cukup tangguh, dibantu warok yang juga bukan orang lemah itu. Muryani tidak terdesak, akan tetapi ia pun menemui kesulitan untuk merobohkan para pengerokknya.

Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat disusul suara seorang lelaki mencela. “Puluhan orang laki-laki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong! Huh, tidak tahu malu!”

Setelah berkata demikian laki-laki itu mengamuk, menendangi mereka yang mengeroyok Muryani. Hebat sekali sepak terjangnya. Terdengar suara para anak buah Klabang Wilis yang berteriak kesakitan dan tubuh mereka berpelantingan, roboh dan tak mampu bangkit kembali!

Muryani melihat bahwa pemuda yang membantunya itu bertubuh tinggi tegap, tidak terlalu besar namun dadanya bidang. Wajahnya tampan sekali, dengan kulit putih bersih dan rambutnya agak berombak. Tentu saja ia tidak dapat mengamati dengan jelas dan melihat betapa pemuda itu mengamuk dengan tangkasnya, Muryani menjadi makin bersemangat dan dia pun mengerahkan kegesitan dan tenaganya untuk merobohkan para pengeroyok sebanyak mungkin. Kini kedua orang muda itu seakan berlomba cepat merobohkan para pengeroyok!

Warok Surosingo dan Darsikun kaget bukan main melihat munculnya pemuda asing yang merobohkan banyak anak buah itu.

“Keparat! Engkau sudah bosan hidup!” bentak Warok Surosingo dan dia pun menerjang dengan kolornya.

Kolor itu berubah menjadi sinar kuning menyambar ke arah dada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan dia membusungkan dadanya dan menyambut hantaman pusaka berupa kolor lawe berwarna kuning itu.

“Wuuuuttt...! Darrrr...!”

Ujung kolor itu seperti meledak bertemu dengan dada yang bidang, akan tetapi pemuda itu tidak tergetar sedikit pun juga, bahkan secepat kilat dia menangkap ujung kolor dan sekali tangannya menyentak kuat, tubuh pendek gendut Warok Surosingo yang berat itu sudah terlontar ke atas! Warok itu mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya meluncur turun, pemuda itu memapakinya dengan pukulan tangan terbuka.

“Wuuuuttt...! Dessss...!”

Tubuh warok itu terlempar dan roboh tak dapat bangkit kembali, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah. Dia tewas seketika.

Pemuda itu melanjutkan amukannya, merobohkan para pengeroyok yang tinggal beberapa orang saja itu. Muryani juga tidak mau kalah. Gadis ini mengamuk dan akhirnya semua anak buah Klabang Wilis yang membantu Darksikun dan ikut mengeroyoknya telah roboh satu demi satu.

Kini tinggal Darsikun seorang yang masih melawan mati-matian, menggunakan kerisnya. Namun gerakan Muryani yang luar biasa cepatnya itu membuat Darsikun terdesak hebat walau pun gadis itu bertangan kosong saja. Serangan keris Darsikun tak pernah mengenai sasaran karena lawannya sukar sekali diserang, berkelebatan bagaikan bayang-bayang. Bahkan sebaliknya Darsikun terdesak karena dia merasa seolah diserang oleh lawan yang bertangan banyak.

Darsikun menjadi panik dan mulai ketakutan melihat betapa semua anak buah Klabang Wilis yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu, termasuk Warok Surosingo, telah roboh! Pemuda sakti yang datang membantu Muryani sekarang berdiri menonton pertandingan antara dia dan Muryani. Darsikun maklum bahwa keadannya berbahaya sekali, akan tetapi dia tidak melihat jalan untuk melarikan diri.

“Hyaaaatttt...!” Sambil mengerahkan segenap tenaganya, Darsikun menyerang ke arah bayangan di depannya. Kerisnya meluncur cepat sekali ke arah dada Muryani. Akan tetapi seperti juga tadi, kerisnya hanya mengenai tempat kosong dan sebelum dia bisa menarik kembali senjatanya, dari samping tangan kanan Muryani menepis dengan bacokan tangan miring ke arah pergelangan tangan kanan Darsikun yang memegang keris.

“Dukk!”

Darsikun mengeluarkan seruan tertahan. Ia merasa tulang pergelangan tangannya seperti remuk dan tanpa dapat dicegah lagi keris yang dipegangnya terlepas dan mencelat. Cepat dia melangkah ke belakang lalu mengerahkan seantero tenaganya untuk memukul dan mendorong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya berjongkok rendah dan ketika dia mendorongkan kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke depan.

“Ciaaattt...!” Itulah aji pukulan Cantuka Sakti yang dia pelajari dari Ki Harya Baka Wulung.

Biar pun aji pukulan itu belum dikuasainya sepenuhnya, namun dia sudah dapat memukul dengan hebat sekali. Pukulan jarak jauh ini mampu merobohkan lawan dalam jarak tiga meter. Sekarang jarak antara Darsikun dan Muryani kurang dari dua meter, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahayanya pukulan yang dilakukan Darsikun yang sudah menjadi nekat itu.

Begitu Darsikun berjongkok rendah, Muryani sudah bisa menduga bahwa lawannya akan melakukan pukulan ampuh, maka ia pun cepat mengerahkan tenaganya dan ketika lawan memukul dengan dorongan, ia pun mendorongkan kedua tangannya depan, menggunakan Aji Gelap Sewu yang ia pelajari dari Nyi Rukmo Petak selama empat tahun menjadi murid nenek sakti itu.

“Wuuuttt...! Blarrr...!”

Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, Darsikun terpental lalu roboh terguling-guling!

Muryani cepat melompat mendekatinya. Ia tadi memang membatasi aji pukulannya karena ia ingin menangkap Darsikun hidup-hidup. Dan ternyata lawannya memang belum tewas. Dia menderita luka dalam yang cukup parah sehingga tidak mampu melawan lagi. Sambil merintih Darsikun bangkit dan duduk bersila, mengatur pernapasan. Dari ujung bibirnya mengalir darah.

“Hayo mengaku, siapa yang telah membunuh ayahku empat tahun yang lalu itu? Mengaku atau aku akan menyiksamu!” Muryani membentak.

Darsikun maklum bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk dapat lolos dari ancaman maut. Dia tersenyum mengejek dan berkata dengan tegas, “Akulah yang membunuh Ki Ronggo Bangak malam itu atas permintaan Ki Wiroboyo!”

Muryani merasa betapa dadanya panas dan hampir meledak saking menahan marahnya, akan tetapi dia masih dapat menahan diri. Memang hal ini sudah diduganya. Orang yang menyerangnya malam itu memang bertubuh tinggi kurus seperti ini.

“Di mana Wiroboyo si jahanam itu sekarang? Hayo katakan atau aku akan menyiksamu sehingga engkau akan mati perlaahan-lahan!”

“Ki Wiroboyo kini sedang menyerbu Perguruan Nogodento di Ngawi. Kalau dia berada di sini, jangan harap engkau akan dapat lolos!”

“Jahanam busuk!” bentak Muryani.

Akan tetapi pada saat itu Darsikun menggerakkan kedua tangannya. Muryani menyangka bahwa orang itu akan menggunakan tenaga terakhir untuk menyerangnya, maka ia cepat melangkah mundur. Akan tetapi ternyata Darsikun menggerakkan dua tangannya ke atas dan menghantam kepalanya sendiri.

“Krakk!”

Dia roboh telentang dan tewas seketika dengan kepala retak-retrik!

Muryani menghampiri seorang anggota Klabang Wilis yang belum tewas. Laki-laki yang mengalami patah tulang pundaknya dan merintih-rintih itu menjadi pucat ketakutan ketika Muryani menghampirinya.

“Ampuni saya...” katanya lirih.

“Cepat katakan di mana Perguruan Nogodento itu dan jangan bohong!”

“Di... di tepi Bengawan Solo daerah Ngawi... begitu yang saya dengar... tapi saya sendiri belum pernah ke sana, den-ajeng...”

Muryani meninggalkan orang itu. Ia melihat pemuda yang tadi membantunya masih berdiri sambil bersedakap memandang kepadanya dengan bibir tersenyum. Tetapi dia tak peduli. Bagaimana pun juga dia tidak minta pemuda itu membantunya!

Muryani lalu masuk rumah besar untuk mencari Wiroboyo. Akan tetapi dia hanya melihat wanita dan kanak-kanak di sebuah bangunan yang terdapat di perkampungan itu. Tadinya dia berniat untuk membakar semua rumah, akan tetapi sesudah melihat para wanita dan kanak-kanak, dia pun mengurungkan niatnya.

Mereka tak bersalah, pikirnya, maka tak semestinya menjadi korban. Yang patut dibunuh hanyalah Wiroboyo dan Darsikun tadi, juga mereka yang membantu Wiroboyo. Anak buah Klabang Wilis itu pun hanya bawahan saja, maka sudah cukup kalau mereka dihajar dan dirobohkan, tidak perlu dibunuh.

Sesudah melakukan penggeledahan di seluruh perkampungan tanpa berhasil menemukan Wiroboyo, dan mendapat keterangan dari isteri Wiroboyo yang masih muda itu bahwa suaminya benar-benar pergi dengan Wiku Menak Koncar dan lima puluh orang anak buah untuk menyerang Perguruan Nogodento di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi, Muryani keluar dari rumah besar itu.

Dia telah memeriksa semua rumah di perkampungan itu dan tidak menemukan Wiroboyo, maka cepat-cepat dia berlari keluar dari perkampungan itu tanpa mempedulikan pemuda yang tadi telah membantunya! Dengan mengerahkan Aji Kluwung Sakti tubuhnya sudah berkelebat cepat dan sebentar saja dia sudah menuruni Gunung Wilis.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)