SERULING GADING : JILID-30
Dia mempergunakan Aji Kluwung Sakti yang membuat dia dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi pemuda itu tahu-tahu telah berada di depannya. Ini berarti bahwa pemuda itu dapat berlari lebih cepat dari padanya! Bagaimana mungkin? Pemuda itu duduk bersila dengan kedua tangan bersedakap (bersilang depan dada) seperti orang dalam samadhi!
Akan tetapi Muryan tidak peduli dan dia berlari terus. Dia merasa tidak mempunyai urusan dengan pemuda itu! Sekarang Muryani mengerahkan seluruh tenaganya mempergunakan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya bagaikan terbang meluncur menuruni lereng terakhir. Tetapi ketika dia tiba di kaki Gunung Wilis dan berada di jalan yang dibuat oleh penduduk daerah itu, tiba-tiba dia tertegun melihat pemuda yang tadi sudah berdiri menghadang di depannya!
Karena pemuda itu berdiri di tengah jalan seakan-akan sengaja menghadangnya, Muryani segera mengerutkan alisnya dan memandang marah. “Hei, mau apa engkau menghadang jalananku?” tegurnya ketus.
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya sungguh tampan menarik ketika tersenyum. “Nona, kenapa engkau begitu membenciku?”
Muryani mengerutkan alisnya, akan tetapi dia memandang heran mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya itu. “Siapa membenci siapa? Aku tidak mengenalmu, tidak ada urusan di antara kita, mengapa aku harus membencimu?”
Pemuda itu membungkuk dengan sikap hormat. “Maafkan aku, nona. Akan tetapi tadi kita saling berjumpa di sarang Klabang Wilis dan lereng gunung, dan nona sama sekali tidak menyapaku, bahkan memandang pun tidak seolah-olah engkau marah dan membenciku.”
Ucapan pemuda itu lembut, sama sekali tak mengandung teguran, hanya memberi alasan mengapa dia menganggap gadis itu membencinya. Muryani menatap tajam wajah pemuda itu. Sekarang tampak betapa tampan dan menyenangkan wajah yang penuh senyum dan matanya bersinar lembut dan sopan itu. Akan tetapi dia seorang gadis yang keras hati, tidak mau memperlihatkan perasaannya.
“Mengapa aku seorang wanita harus menyapamu? Engkau yang pria juga tidak menyapa aku!” jawabnya agak ketus.
“Aahh... begitukah? Tetapi, nona, aku telah membantumu menghajar para pengeroyokmu tadi!”
“Hemmm, siapa yang minta? Aku tidak butuh bantuanmu!”
“Ahh... benar juga. Engkau seorang wanita sakti mandraguna, tidak dibantu juga engkau akan dapat menghajar mereka semua. Maafkan kelancanganku, nona. Baiklah, sekarang aku tidak mengaku telah membantumu, tadi aku hanya penasaran melihat banyak laki-laki mengeroyok seorang wanita. Karena penasaran dan marah aku lalu menerjang mereka. Sekali lagi, harap engkau sudi memaafkan aku, nona.”
Muryani merasa tidak enak hati juga melihat pemuda itu berulang-ulang minta maaf dan mengaku salah. Padahal, andai kata ia tidak kalah sekali pun, namun harus ia akui secara diam-diam bahwa pengeroyokan demikian banyaknya orang tadi membuat ia repot dan agak kewalahan. Sesungguhnya bantuan pemuda itu tadi menguntungkan dirinya.
“Sudahlah, lupakan saja. Hanya lain kali kalau ingin membantu orang, katakanlah lebih dulu,” kata Muryani dan wajahnya tidak cemberut lagi, bahkan suaranya juga lembut dan sedikit senyuman membayang di bibirnya yang manis.
Melihat ini, pemuda itu kembali membungkuk dengan sikap hormat dan wajahnya berseri gembira. “Ahh, terima kasih, nona. Sejak tadi aku pun sudah yakin bahwa engkau adalah seorang dara perkasa yang bijaksana. Aku akan merasa bangga dan berbahagia kalau nona sudi berkenalan dengan orang hina dan bodoh macam saya. Nona, nama saya adalah Satyabrata, seorang pengembara berasal dari Cirebon. Bolehkan saya mengetahui siapa nama nona yang mulia?”
Menghadapi sikap dan ucapan yang lembut dan penuh kesopanan itu, Muryani merasa tak enak kalau bersikap keras. Dia mulai tersenyum dan menjawab, “Aku bernama Muryani dan berasal dari lereng Gunung Lawu.”
“Ahh, nama yang sangat indah. Bagaimana aku harus menyebutmu? Den-ajeng Muryani, begitukah?”
“Ah, aku bukan puteri bangsawan. Sebut saja Muryani,” kata Muryani yang pada dasarnya memiliki watak yang ramah dan sama sekali tidak angkuh.
“Baiklah, karena aku yakin bahwa aku jauh lebih tua darimu, usiaku kini sudah dua puluh enam tahun, maka kalau engkau tidak keberatan, aku akan menyebutmu diajeng Muryani. Bagaimana?”
“Sesukamulah, bagiku sama saja.”
“Nah, diajeng Muryani, sesudah kita berkenalan dan kalau engkau sudi menganggap aku sebagai sahabat, mari kita bicara tentang niatmu melakukan pengejaran terhadap orang yang bernama Wiroboyo ketua Klabang Wilis itu.”
“Hmm, kakangmas Satyabrata, apa hubungannya niatku itu denganmu? Kurasa tidak ada sangkut-pautnya denganmu kalau aku melakukan pengejaran terhadap musuh besarku.” Muryani terpaksa menyebut pemuda itu dengan kakangmas karena pemuda itu lebih dulu menyebutnya diajeng.
Satyabrata gembira bukan main mendengar sebutan itu. Pemuda ini sejak dewasa, yaitu beberapa tahun yang lalu ketika dia belum menemukan ilmu-ilmu yang hebat di sumur, ketika dia masih ikut dengan Willem Van Huisen perwira kumpeni Belanda sebagai anak angkatnya, sudah menjadi seorang pemuda petualang cinta. Banyak wanita yang tergila-gila kepadanya karena dia memang tampan gagah dan pandai membawa diri dan dia pun menyambut wanita-wanita yang dianggapnya cantik menarik dengan penuh gairah.
Satyabrata berkembang menjadi seorang pemuda mata keranjang yang senang mengejar dan mempermainkan wanita-wanita cantik. Maka tidaklah mengherankan kalau sekarang dia menjadi tergila-gila sesudah bertemu dengan Muryani. Bukan hanya kecantik-jelitaan Muryani yang membuat dia tergila-gila, terutama sekali kesaktiannya. Sepak terjang gadis itu ketika mengamuk dikeroyok banyak orang membuat dia terkagum-kagum.
Biar pun sudah banyak gadis atau janda yang terkulai dalam pelukannya, namun belum pernah dia mendapatkan seorang kekasih yang memiliki kesaktian seperti Muryani. Dia kagum dan terpesona, dan seketika dia jatuh cinta.
Mendengar kata-kata Muryani tadi, Satyabrata tersenyum. “Tentu saja, diajeng. Urusan pribadimu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku dan aku juga tidak berhak mencampuri. Tetapi maafkan aku, diajeng Muryani. Sebelum meninggalkan sarang Klabang Wilis tadi, aku sudah memaksa seorang anak buah mereka mengaku dan menurut pengakuannya, ketua Klabang Wilis yang bernama Wiroboyo itu pergi menyerang Perguruan Nogodento di pinggir Bengawan Solo daerah Ngawi didampingi gurunya yang bernama Wiku Menak Koncar dengan membawa anak buah sebanyak lima puluh orang. Berbahaya sekali kalau engkau melakukan pengejaran, diajeng.”
“Hemm, aku tidak takut!” kata Muryani.
“Aku tahu, diajeng. Seorang dara sakti mandraguna seperti andika ini pasti tak akan takut menghadapi lawan yang bagaimana pun juga dan aku mengagumi keberanianmu. Tetapi ketahuilah, diajeng Muryani. Aku sudah pernah mendengar tentang kakek yang bernama Wiku Menak Koncar ini. Dia adalah seorang datuk besar dari Blambangan yang benar-benar sakti mandraguna dan merupakan seorang lawan yang tangguh dan berbahaya. Belum lagi Wiroboyo yang telah menjadi murid orang sakti itu, tentu dia juga mempunyai kepandaian yang tinggi dan jangan dilupakan bahwa mereka masih dibantu lima puluh orang anak buah Klabang Wilis.”
“Kalau begitu, mengapa?”
“Begini, diajeng. Kita telah saling berkenalan dan engkau telah kuanggap sebagai seorang sahabat. Karena itu aku merasa tidak tega membiarkan engkau seorang diri menghadapi lawan yang demikian tangguh dan banyak. Apa bila engkau tidak berkeberatan, aku ingin sekali menemanimu dan membantumu menghadapi mereka.”
Muryani mengamati wajah pemuda itu dan mempertimbangkan. Pemuda ini mempunyai kepandaian tinggi. Hal itu bukan hanya terbukti ketika dia tadi membantunya, tetapi juga sudah dibuktikan bahwa pemuda itu memiliki ilmu berlari yang lebih cepat dari padanya! Tadi dia telah menggunakan Aji Kluwung Sakti, namun tetap saja pemuda itu dapat tiba di kaki gunung lebih cepat dari padanya. Bantuan pemuda ini tentu saja amat mengntungkan baginya dan pemuda ini pun bersikap baik sekali dan bagaimana pun juga Muryani harus mengakui bahwa diam-diam ia kagum dan tertarik kepada pemuda Cirebon ini.
Kalau dia menolak tawaran pemuda itu yang ingin membantunya, dia akan menderita rugi. Kalau dia menerimanya, selain lebih besar harapannya untuk bisa mengalahkan Wiroboyo beserta teman-temannya, juga dia akan dapat mengenal pemuda ini lebih baik lagi sambil mengamati wataknya.
“Tapi... aku tidak minta bantuanmu, kakangmas Satyabrata,” katanya meragu.
Pemuda itu tersenyum. “Aku juga bukan hendak membantumu, diajeng. Aku hanya ingin menentang Wiroboyo beserta kawan-kawannya dan karena tujuan kita sama, maka apa salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama?”
“Akan tetapi kenapa engkau ingin menentang mereka?”
“Kenapa? Engkau menentang mereka dan kenyataan itu saja sudah cukup bagiku. Karena engkau menentang mereka maka aku yakin bahwa mereka adalah orang-orang jahat, maka aku ingin menentang mereka.”
Sesudah berpikir sejenak, membayangkan bahwa tentu akan jauh lebih menyenangkan melakukan perjalanan dengan pemuda yang pandai membawa diri dan sopan santun ini dari pada sendirian, Muryani berkata, “Baiklah, kalau engkau ingin melakukan perjalanan bersama, aku tidak keberatan.”
Satyabrata girang sekali. “Kalau begitu mari kita melanjutkan perjalanan, diajeng Muryani. Aku mengetahui jalan yang lebih enak, lebih cepat dan tidak melelahkan menuju daerah Ngawi.”
“Begitukah, kakang-mas Satyabrata?”
“Benar, kita bisa mengambil jalan melalui sungai. Di barat sana, tak jauh dari sini, terdapat Kali Ngebel. Kali itu mengalir ke utara melalui Kadipaten Madiun dan terus menuju ke Ngawi. Dengan naik perahu mengikuti aliran sungai Ngebel, kita tidak akan terlalu lelah dan perjalanan dapat dilakukan lebih cepat.”
Muryani merasa girang. Kiranya tidak rugi melakukan perjalanan dengan pemuda ini yang ternyata memiliki pengetahuan luas. Mereka lalu melakukan perjalanan ke arah barat dan menjelang senja tibalah mereka di tepi sebuah sungai. Itulah Kali Ngebel yang mengalir ke utara.
Satyabrata mencari perahu. Sesudah menemukan perahu milik seorang nelayan, dia lalu membeli perahu itu. Dia membayar mahal dan royal sekali sehingga petani nelayan itu menerima pembayaran dengan gembira. Hal ini menambah rasa suka dalam hati Muryani terhadap pemuda itu.
Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu mulai perjalanan mereka ke utara melalui Kali Ngebel, naik sebuah perahu yang beratap sederhana.
Malam pun tiba. Karena malam itu gelap, tiada bulan, Satyabrata tidak berani melanjutkan perjalanan mereka. Sungguh berbahaya berperahu di malam gelap seperti itu. Apa bila perahunya menabrak sesuatu dalam gelap, perahu kecil itu dapat terbalik. Terpaksa dia menunda perjalanan, mendayung perahu ke pinggir, melompat ke darat dan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon.
“Kita tidak melanjutkan perjalanan, kakang-mas?” tanya Muryani.
“Tidak mungkin, diajeng. Malam gelap sekali sehingga kita tidak dapat melihat apa-apa di depan kita. Kalau perahu membentur sesuatu, dapat terbalik, berbahaya sekali. Terpaksa kita melewatkan malam di sini. Engkau tidurlah, diajeng, aku akan membuat api unggun di tepi sungai.”
Muryani merebahkan diri dalam perahu, di bawah atap anyaman bambu. Ia merasa lelah sekali dan rebah telentang di dalam perahu yang bergoyang-goyang sedikit itu sungguh nyaman, rasanya seperti diayun-ayun.
Satyabrata mengumpulkan ranting dan daun-daun kering lalu membuat api unggun di tepi sungai. Akan tetapi sejak tadi matanya memandang ke arah perahu. Pemuda ini merasa jantungnya berdebar-debar. Sejak tadi dia menahan perasaan hatinya.
Dia tergila-gila kepada Muryani! Gairah nafsunya timbul dan sekarang bernyala, berkobar seperti api unggun yang mulai membesar. Cahaya api unggun menerangi sampai ke atas perahu dan dia dapat melihat tubuh gadis itu dari pinggang ke bawah terjulur keluar dari bawah atap. Dia harus menundukkan gadis itu, dia ingin memiliki gadis yang membuatnya tergila-gila itu!
Diam-diam Satyabrata segera mengerahkan tenaga batinnya, memasang Aji Pengasihan Mimi Mintuno. Hawa yang dingin sejuk semilir ke arah tubuh Muryani yang rebah telentang di dalam perahu.
Gadis itu belum tidur. Tiba-tiba dia merasa seluruh permukaan kulit tubuhnya merinding dan jantungnya berdebar-debar. Gadis itu sudah digembleng dengan keras oleh mendiang Nyi Rukmo Petak. Mengalami hal aneh itu dia menjadi waspada. Bulu tengkuknya yang meremang dan rasa dingin sejuk yang dirasakannya merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak wajar, sesuatu yang tidak baik dan merupakan tanda bahaya.
Mungkin hal ini terasa karena dia rebah di dalam perahu yang bergoyang-goyang, atau mungkin juga di tempat yang sunyi ini ada sesuatu yang angker. Tempat-tempat seperti itu memang terkadang dihuni roh-roh penasaran yang suka mengganggu manusia. Maka Muryani cepat mengerahkan tenaga batinnya untuk melindungi dirinya dari pengaruh yang tidak wajar.
Melihat betapa setelah beberapa lamanya dia mengerahkan aji Pengasihan Mimi Mintuno namun gadis itu tidak tampak terpengaruh, masih tetap rebah dengan tenang, Satyabrata lalu menghentikan pengerahan aji itu. Dia maklum bahwa Muryani seorang gadis sakti mandraguna. Mungkin saja aji pengasihannya tidak cukup kuat untuk mempengaruhinya.
Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono menghadapi gadis ini. Kalau sampai ketahuan oleh gadis itu bahwa dia mempergunakan aji pengasihan, tentu gadis itu akan marah dan mengamuk. Dia tidak ingin kehilangan Muryani, tidak ingin gadis itu memusuhi dan membencinya. Dia benar-benar terpikat dan tergi-gila, jatuh cinta seperti yang belum pernah dia alami.
Satyabrata lalu mengerahkan tenaga batin untuk memasang aji yang lain sama sekali, kini ia hendak menggunakan aji Penyirepan Begonondo. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, tangan kirinya mengambil tanah, kemudian dia melemparkan tanah itu ke atas atap perahu.
Dia mendengar suara berkerotoknya tanah berpasir itu ke atas atap perahu dan menanti. Tidak tampak atau terdengar gadis itu bergerak. Dia lalu makin memperkuat pengerahan tenaga batinnya untuk membuat gadis itu pulas senyenyak-nyenyaknya. Setelah merasa yakin bahwa gadis itu benar-benar berada dalam pengaruh aji penyirepannya, Satyabrata lalu menambahkan ranting kering pada api unggun sehingga api bernyala semakin besar. Kemudian dia menghampiri perahu dan naik ke perahu. Dia berjongkok di dekat tubuh Muryani dan melihat bahwa gadis itu benar-benar telah tidur pulas.
Aji penyirepannya memang ampuh bukan kepalang. Pernapasan yang panjang lembut dari gadis itu menunjukkan bahwa dia benar-benar tertidur pulas. Sinar api unggun membuat penerangan cukup sehingga dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas.
Muryani tersenyum dalam tidurnya sehingga nampak ayu manis menggairahkan. Bibir itu sedikit terbuka penuh tantangan. Tanpa terasa tangan Satyabrata bergerak menyentuh pundak gadis itu.
Sentuhan lembut itu membuat jari-jari tangannya tergetar dan getaran ini lantas menjalar ke seluruh tubuhnya, membangkitkan berahi dan gairahnya berkobar-kobar. Akan tetapi ketika perlahan-lahan dia mendekatkan mukanya untuk mencium mulut yang agak terbuka itu, tiba-tiba dia seperti tersentak dan menarik kembali mukanya ke belakang.
“Tidak...! Tidak mungkin aku melakukan ini...!” Dia menampar kepalanya sendiri kemudian duduk bersila.
Dia tidak tega untuk memperkosa Muryani seperti ini! Dia sudah jatuh cinta kepada gadis itu, jatuh cinta dengan setulus hati. Dia ingin Muryani menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, dengan tulus, bukan karena terpengaruh aji penyirepan dan aji pengasihan, apa lagi bukan karena diperkosa! Dia merindukan balasan cinta kasih Muryani.
“Jangan mengharapkan hal yang muluk-muluk,” suara lain terdengar di kepalanya. “Kalau begitu caranya engkau tidak akan mendapatkannya, engkau akan kehilangan dia! Ambil saja sekarang dan dia akan menjadi milikmu. Lihat betapa indah mulutnya, betapa indah tubuhnya, betapa mulus kakinya.”
Bisikan itu membuat gairahnya makin berkobar membakarnya. Kembali kedua tangannya bergerak ke depan, hendak memegang, memeluk. Akan tetapi seperti juga tadi, kasih sayangnya yang tulus membuat dia tersentak kembali, menarik kedua tangannya, bahkan dia lalu bangkit berdiri.
“Tidak! Tidak boleh! Aku cinta kepadanya, aku menginginkan cintanya, bukan sekedar tubuhnya!” Dia berkata dan dia melompat keluar dari perahu.
Gairahnya masih berkobar, seluruh tubuhnya gemetar karena tidak kuat menahan gelora berahinya. Mukanya menjadi merah sekali dan matanya menjadi liar. Setiap kali menoleh dan memandang ke arah tubuh Muryani di perahu, rasanya ingin dia menubruknya. Akan tetapi selalu ditahannya dan akhirnya Satyabrata tak kuat bertahan lagi dan dia melarikan diri dari tepi sungai, masuk ke dalam kegelapan malam.
Tidak lama kemudian sampailah dia di tempat yang dicari-carinya, yaitu di dalam sebuah dusun. Satyabrata mengintai dari rumah ke rumah, mencari-cari. Akhirnya ia menemukan apa yang dia butuhkan dan cari. Dalam sebuah bilik bambu yang sederhana itu dia melihat seorang gadis dusun sedang rebah miring dan tidur pulas.
Wajah Satyabrata tampak beringas menakutkan, terutama kedua matanya yang bersinar-sinar seperti mata seekor harimau di dalam gelap. Dia menemukan apa yang dicarinya. Dengan mudah dia membongkar pintu belakang rumah itu lalu menyelinap masuk tanpa mengeluarkan suara gaduh. Dengan mudah saja dia membuka pintu kamar gadis itu dan melangkah masuk. Begitu melihat gadis itu, dia lalu menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan menerkam seekor domba!
Gadis itu menjerit. Lampu kecil di atas meja, bergoyang-goyang.
Seorang laki-laki setengah tua memasuki kamar itu. “Sumi... ada apakah...?!” seru laki-laki itu.
Sebuah tamparan menyambut laki-laki itu. Tamparan yang kuat dan cepat sekali, tepat mengenai pelipisnya dan laki-laki dusun itu pun terpelanting roboh, tak bergerak lagi.
Satyabrata yang sudah merobohkan laki-laki itu lalu kembali menubruk mangsanya yang menggigil ketakutan di atas pembaringan kayu.
Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu, jika terkendali merupakan berkah dan nikmat, akan tetapi sekali lepas kendali, nafsu menjadi alat iblis untuk menyeret manusia ke dalam dosa sehingga manusia berubah menjadi iblis yang kejam dan jahat. Nafsu berahi adalah sesuatu yang indah, bahkan suci bagi sepasang suami isteri yang saling mencinta suci karena selain menjadi pencurahan kasih sayang yang paling mendalam antara dua orang manusia berlawanan kelamin, juga menjadi sarana perkembang-biakan manusia.
Tetapi sekali nafsu berahi lepas kendali, menjadi alat iblis untuk memperhamba manusia, maka manusia bisa melakukan segala macam kekejian dan kehinaan sehingga terjadilah perjinahan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya.
Pada saat itu Satyabrata sudah bukan manusia lagi, melainkan menjadi iblis sendiri yang menguasai dirinya melalui nafsu binatangnya. Satyabrata dapat melakukan kekejian ini karena memang sejak berada di Cirebon dahulu dia sudah terlalu menuruti gairah nafsu berahinya sehingga dia menjadi hamba nafsunya, sering bermain gila dengan gadis, janda atau bahkan isteri orang yang menarik hatinya karena kecantikan wanita itu.
Maka sekarang, ketika gairah nafsunya bangkit karena dia tergila-gila kepada Muryani tapi dia tidak tega memperkosa gadis yang benar-benar telah meruntuhkan hatinya itu, gairah nafsunya menuntut pelepasan sehingga dia lalu mencari korban wanita mana saja asalkan mempunyai daya tarik baginya. Dan gadis dusun yang tidak berdosa itulah yang menjadi korban dan mangsanya.
Tak lama kemudian bayangan Satyabrata telah berkelebat di malam gelap, meninggalkan dusun itu, meninggalkan gadis dusun yang menangis sesenggukan, menangisi diri sendiri yang telah ternoda, dan menangisi ayahnya yang telah tewas. Bagaikan setan Satyabrata berjalan menyusuri sungai dalam kegelapan. Kalau ada orang melihatnya, tentu orang itu akan lari ketakutan dan mengira bahwa dia adalah setan karena memang tingkahnya tidak seperti manusia. Dia tertawa-tawa menyeramkan, tertawa penuh kepuasan seperti orang gila.
Memang dia bukan manusia waras lagi. Satyabrata sudah menjadi tidak waras, pikirannya sudah kacau dan miring, dia sudah menjadi gila setelah mempelajari semua ilmu di dalam sumur tua, ilmu-ilmu peninggalan mendiang Resi Ekomolo.
Kegilaannya memang luar biasa. Dalam keadaan biasa dia bahkan dapat bersikap cerdik dan licik bukan main, pandai membawa diri sehingga tampak sopan santun, lembut dan bijaksana. Akan tetapi saat itu, ketika berjalan menyusuri sungai untuk kembali ke tempat di mana dia meninggalkan Muryani dalam perahunya, dia lebih pantas disebut iblis. Suara tawanya saja sudah bukan suara tawa manusia lagi.
Setelah tiba di dekat perahu, Satyabrata dapat menguasai dirinya lagi. Dia melihat bahwa api unggunnya telah padam. Hawa udara menjelang pagi itu dingin sekali, maka dia cepat menyalakan api dan membuat api unggun hingga api menyala besar menerangi keadaan sekelilingnya.
Dia duduk termenung di dekat api unggun, membelakangi perahu. Kadang dia tersenyum-senyum dan jelas dia menahan gelak tawanya. Agaknya dia masih gembira mengenang kembali keganasannya di dalam bilik rumah dusun tadi. Sementara itu pagi sudah hampir menyingsing dan di sana-sini mulai terdengar kicau burung.
Satyabrata menoleh dan melihat kedua kaki Muryani, agaknya dia baru teringat kepada gadis itu. Betapa dia amat mencinta Muryani! Perasaan hangat memenuhi dadanya. Akan tetapi kehangatan hatinya karena cintanya itu terganggu oleh bayangan kenangan di atas pembaringan di dalam bilik kamar tidur gadis dusun tadi.
Tiba-tiba dia merasa betapa dia telah mengkhianati cintanya terhadap Muryani! Kini timbul penyesalan yang amat besar dalam hatinya, bukan menyesal karena dia telah melakukan kejahatan memperkosa gadis dusun itu, sama sekali bukan. Dia merasa sangat menyesal karena sudah mengkhianati cinta kasihnya terhadap Muryani. Inilah yang mendatangkan penyesalan luar biasa dan tanpa dapat ditahannya lagi, Satyabrata menangis di depan api unggun, menangis sampai mengguguk seperti anak kecil!
Lama sekali Satyabrata menangis, seakan hendak mengimbangi tawanya yang terbahak-bahak tadi. Dia tidak tahu bahwa suara tangisnya telah terdengar oleh Muryani sehingga membangunkan gadis itu dari tidurnya.
Muryani segera bangkit duduk dan merasa heran sekali melihat dan mendengar pemuda itu menangis. Dia menjulurkan tangannya keluar perahu, menggunakan air sungai yang di bagian itu amat bening untuk membasuh mukanya sehingga ia merasa segar kembali dan sudah sadar sepenuhnya.
Tadinya ia masih ragu, merasa bahwa ia bermimpi melihat pemuda yang gagah perkasa itu menangis sampai mengguguk. Tetapi setelah membasuh mukanya dan masih melihat Satyabrata menangis, ia menjadi heran dan penasaran. Ia keluar dari perahu menghampiri pemuda yang agaknya begitu terbenam dalam kesedihannya sehingga tidak mendengar Muryani keluar dari perahu.
“Kakangmas Satyabrata !” Muryani memanggil setelah ia berdiri di belakang pemuda itu.
Satyabrata terkejut dan menengok, mengangkat mukanya. Muryani melihat betapa kedua mata pemuda itu merah dan agak membengkak oleh tangis, wajahnya nampak memelas sekali sehingga merasa iba sekali. Wajah itu seperti wajah orang yang dilanda kedukaan yang teramat mendalam.
Pada saat itu Satyabrata sudah menguasai dirinya dan dia kini menjadi seorang pemuda yang luar biasa cerdiknya. Karena merasa iba, Muryani lalu duduk di dekat pemuda itu.
“Ohh... diajeng Muryani... engkau sudah bangun...? Ah, aku... aku... maafkan aku...” kata pemuda itu gagap dan dengan kedua tangannya dia berusaha untuk mengusap air mata yang membasahi mukanya.
“Kakangmas, engkau kenapa? Apa yang membuat engkau menjadi begini sedih? Hampir aku tak percaya melihat engkau menangis tadi, kakangmas,” tanya Muryani dan suaranya terdengar halus karena ia merasa kasihan.
Pada saat itu yang berhadapan dengan Muryani bukanlah Satyabrata yang gila, melainkan Satyabrata yang cerdik luar biasa. Mendengar pertanyaan itu, Satyabrata mengusap-usap air mata yang mulai menetes dari kedua matanya dan dia berkata dengan suara parau dan gemetar. “Aduh... diajeng... terima kasih atas perhatianmu kepadaku... Ketika tadi aku duduk seorang diri di sini, teringat olehku betapa hidupku... sebatang kara... tak seorang pun mempedulikan diriku... aku terlunta-lunta, tersia-sia... aku menjadi sedih, diajeng...”
Muryani merasa tersentuh hatinya dan dia terharu sekali. “Kakangmas, di manakah ayah ibumu?”
Satyabrata menutupkan kedua tangan di depan matanya dan Muryani melihat betapa air mata menetes keluar dari celah-celah jari kedua tangan itu. “Ahh, diajeng... justru karena teringat kepada ayah ibuku maka hatiku merasa sedih... Ayah... ayahku seorang bangsa kulit putih, seorang Portugis... dia sudah meninggal dunia... juga ibuku, seorang Jawa... sudah meninggal dunia. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, diajeng...”
Muryani merasa jantungnya seperti diremas. Semua pengakuan pemuda itu laksana keris yang menghunjam hatinya, mengingatkan dia akan keadaan dirinya sendiri.
“Kakangmas Satyabrata...” suara Muryani gemetar, matanya basah dan tangannya sudah berada di ujung bibirnya yang bergerak-gerak, hatinya dipenuhi keharuan, “...engkau tidak sendirian, kakangmas, aku pun... ibuku sudah tiada dan ayahku... ayah terbunuh orang... aku pun hidup sebatang kara di dunia ini...”
“Aduh Gusti...! Tidak kusangka... sungguh kasihan sekali engkau, diajeng Muryani...” kata Satyabrata sambil memegang kedua tangan gadis itu.
Muryani mulai menangis. “Engkau... engkau pun kasihan sekali, kakangmas...” Keduanya menangis sambil saling merangkul, bertangisan dan saling menggunakan pundak masing-masing untuk bersandar.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, bertangisan sambil berangkulan, tenggelam ke dalam keharuan.
Mendadak Muryani terkejut. Dia melihat kenyataan yang terjadi dalam hatinya. Dia bukan hanya merasa kasihan, bukan hanya terharu. Ia merasa betapa ia telah jatuh cinta kepada pemuda ini!
Bagaikan kilat wajah Parmadi terbayang depan matanya. Parmadi yang baik hati dan yang pernah menjatuhkan hatinya. Akan tetapi sekarang dia melihat perbedaan yang mencolok antara dua orang pemuda itu.
Parmadi seorang pemuda yang berwatak gagah berani, akan tetapi dia seorang pemuda biasa yang lemah, sebaliknya Satyabrata adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna! Seorang pemuda yang juga sebatang kara seperti ia dan Parmadi, seorang pemuda yang tidak kalah tampan dibandingkan Parmadi dan yang bersikap baik sekali, lembut, sopan dan amat menarik hati di samping kesaktiannya yang mengagumkan hatinya.
Kesadaran bahwa dia telah jatuh cinta, mengejutkan hati Muryani dan dengan lembut dia merenggangkan tubuhnya, menarik kepalanya ke belakang dan melepas rangkulannya. Akan tetapi dengan lembut Satyabrata memegang kedua tangannya dan Muryani tidak tega menarik lepas tangannya setelah memandang wajah pemuda itu, begitu penuh duka dan harapan.....
Komentar
Posting Komentar