SERULING GADING : JILID-31
“Pembunuhnya adalah orang yang bunuh diri tadi, akan tetapi yang menyuruhnya adalah Wiroboyo. Dialah musuh besarku yang sesungguhnya. Terima kasih untuk kesediaanmu membantuku, kakangmas. Aku pun merasa bahagia sekali dapat bersahabat denganmu.”
Dapatlah dibayangkan betapa gembira rasa hati Satyabrata. Dia benar-benar jatuh cinta kepada Muryani dan ia ingin sekali menguasai gadis itu secara suka rela, bukan paksaan, bukan pula dengan pengaruh aji pengasihan. Dia ingin dicintai oleh gadis itu dan dia tahu bahwa untuk mendapatkan cinta gadis itu, dia harus pandai mengambil hatinya, pandai merayunya.
“Mari kita lanjutkan perjalanan kita, diajeng. Nanti kalau kita lewat di sebuah dusun, kita mencari makanan untuk sarapan pagi.”
Mereka naik ke perahu dan Satyabrata segera mendayung perahu ke tengah sungai. Dia bersikap sopan, lembut dan amat menghormati dan menghargai Muryani. Tutur sapanya semanis madu, gerak-geriknya sopan memikat dan menarik hati, rayuannya halus dan mengelus hati.
Maka tidak mengherankan bila selama dalam perjalanan itu hati Muryani semakin tertarik. Ia menganggap Satyabrata seorang pemuda yang pandai, lembut, sopan, bahkan matang pengalamannya, sedikit-sedikit menyebut nama Gusti Allah seolah-olah dia seorang yang beribadat dan sangat saleh.
Muryani adalah seorang gadis yang berwatak keras, apa lagi sesudah menjadi murid Nyi Rukmo Petak yang pada dasarnya memiliki watak aneh dan keras. Akan tetapi gadis ini memiliki kelemahan, yaitu dia mudah sekali terbujuk oleh rayuan. Ia menilai orang, dalam hal ini laki-laki, dari sikap dan tutur sapanya juga dari perbuatannya.
Dilihatnya pemuda yang baru dikenalnya itu selalu berbuat baik dan menentang kejahatan, bertutur sapa semanis madu dan bersikap sopan dan lembut. Maka, menghadapi rayuan laki-laki seperti ini, runtuhlah hatinya dan dia pun percaya sepenuhnya bahwa Satyabrata adalah seorang laki-laki yang pantas untuk rnenjadi sahabat, bahkan pantas untuk dicintai!
Manusia lemah pada umumnya mudah dirayu, menilai seseorang dari sikap tutur sapa dan perbuatannya. Kadang mereka lupa bahwa sikap, tutur sapa dan perbuatan mudah diatur, dapat berpura-pura dan hanya dipakai sebagai topeng belaka. Belum tentu semuanya itu mencerminkan keadaan watak atau hati yang sesungguhnya. Semua itu hanya kulit, tak mencerminkan isinya dan semua keindahan lahiriah itu biasanya oleh para pria digunakan untuk memancing hati wanita, dipergunakan sebagai umpan.
Apa bila si wanita sudah terpancing dan berhasil didapatkan, lambat-laun barulah tampak belangnya, baru tampak isinya yang busuk, baru tampak apa yang berada di balik topeng yang indah. Bagai musang berbulu ayam, harimau bertopeng domba. Karena itu seorang yang bijaksana, terutama sekali para wanita, seyogianya selalu waspada terhadap rayuan manis, sikap sopan santun dan halus berlebihan, perbuatan baik yang selalu dipamerkan. Waspada dan menjenguk lebih dalam apa yang terkandung di balik semua itu. Lebih baik berhadapan dengan orang yang sikapnya kasar namun wajar, yang tutur sapanya tidak semanis madu karena kejujuran itu kadang tampak kasar dan tidak menyenangkan hati.
Dalam perjalanan menuju ke Ngawi ini, perlahan-lahan Muryani menjadi semakin mabok dan tenggelam oleh rayuan Satyabrata. Dia menganggap pemuda itu sakti mandraguna, pandai, bijaksana dan berbudi mulia.....!
********************
Perguruan Nogodento merupakan perguruan silat yang dahulu terkenal sebagai tempat menggembleng para pendekar yang berjiwa patriot, pembela nusa dan bangsa. Ketuanya adalah Ki Harjodento yang sakti mandraguna dan selalu setia kepada Mataram. Dibantu oleh isterinya Padmosari, Ki Harjodento memimpin perguruan itu dengan baik dan sudah menghasilkan banyak murid yang gagah perkasa dan yang telah banyak berjasa terhadap Kerajaan Mataram. Suami isteri ini hanya rnemiliki seorang anak yang bukan lain adalah Tejomanik atau Sutejo yang kini tinggal di lereng Gunung Kawi bersama isterinya, yaitu Retno Susilo.
Kini perguruan Nogodento tidaklah sebesar dahulu. Murid-murid yang kini masih belajar dan tinggal di perkampungan Nogodento hanya tinggal kurang lebih dua puluh orang, ini pun merupakan murid-murid baru yang tingkat kepandaiannya masih rendah. Mereka itu baru belajar silat paling lama lima tahun. Hal ini adalah karena kini Ki Harjodento tidak lagi menerima murid baru. Dia sudah merasa terlalu tua dan tidak bersemangat lagi. Usianya memang sudah tua, sudah tujuh puluh enam tahun.
Isterinya, Padmosari, yang lebih muda dua puluh tahun darinya, juga tidak muda lagi, sudah berusia lima puluh enam tahun. Suami isteri itu ingin menikmati sisa hidup mereka dengan tenteram dan banyak istirahat. Karena inilah maka perkumpulan atau perguruan Nogodento kini tidak sebesar dahulu.
Perkampungan Nogodento terletak di lembah Bengawan Solo, di daerah Ngawi. Kehidupan Harjodento kini lebih mirip kehidupan seorang pertapa. Dia lebih sering duduk bersamadhi dan para murid Nogodento yang rnengerjakan cocok tanam atau mencari ikan, lebih mirip para cantrik dari pada murid-murid perguruan silat. Mereka yang menginginkan kemajuan dalam ilmu silat sudah meninggalkan perguruan itu, namun mereka yang mengutamakan ketenteraman dan kedamaian hati, menemukan semuanya itu di sana dan tetap tinggal di perkampungan Nogodento. Mereka lebih banyak mendengarkan wejangan Ki Harjodento tentang kehidupan dari pada berlatih pencak silat.
Pada suatu pagi Ki Harjodento memanggil semua muridnya untuk berkumpul di pendopo rumah induk yang luas. Para murid yang jumlahnya dua puluh dua orang itu merasa heran sebab selama ini tidak pernah Ki Harjodento memanggil mereka semua berkumpul seperti itu. Mereka yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu berkumpul sambil duduk bersila di lantai pendopo, menduga bahwa tentu ada hal yang amat penting maka ketua perguruan itu memanggil mereka semua untuk berkumpul.
Setelah semua murid duduk di lantai pendopo, Ki Harjodento muncul diiringi Padmosari. Biar pun usianya sudah tujuh puluh enam tahun tetapi Ki Harjodento masih tampak sehat, tubuhnya masih tegap dan wajahnya tidak tampak setua usianya walau pun rambut dan kumis jenggotnya sudah putih semua.
Isterinya, Padmosari yang berusia lima puluh enam tahun itu pun tampak masih anggun dan jelas tampak bekas kecantikannya, juga tampak gagah perkasa karena wanita ini pun memang seorang yang sakti mandraguna. Kedua suami isteri itu duduk di atas kursi yang telah tersedia di situ, di hadapan dua puluh dua orang murid yang rnenduga-duga dengan heran apa gerangan yang akan diperintahkan guru mereka itu kepada mereka.
Ki Harjodento melayangkan pandang matanya kepada para murid itu, lalu dia menghela napas panjang dan berkata, “Para murid Nogodento sekalian, kalian semua tentu merasa heran dan bertanya-tanya mengapa pagi hari ini aku memanggil kalian semua berkumpul di pendopo ini.”
Suwondo yang berusia tiga puluh dua tahun dan merupakan murid tertua di situ dan dialah yang kadang mewakili gurunya untuk membimbing para murid lain berlatih silat, mewakili teman-temannya bertanya dengan sikap hormat. “Bapa guru, kami para murid sudah siap semua untuk menerima dan melaksanakan perintah bapa guru dengan taat.”
Ki Harjodento mengangguk-angguk. “Bagus, Suwondo, itulah yang karni harapkan. Mudah-mudahan semua murid Nogodento, hingga murid terakhir, bisa tetap mengharumkan nama perguruan Nogodento kita. Dengarlah kalian baik-baik. Pada waktu ini Mataram sedang membutuhkan bantuan kalian. Gusti Sultan Agung sedang berusaha untuk menundukkan beberapa daerah yang belum mau bersatu, di antaranya Madura dan Surabaya, supaya dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utama nusa dan bangsa kita, yaitu Kumpeni Belanda. Karena itu kami minta kepada kalian agar sekarang juga meninggalkan perkampungan kita dan menjadi pasukan suka rela yang membantu Mataram dalam menaklukkan daerah-daerah yang belum mau tunduk itu.”
Hening sesudah Ki Harjodento mengakhiri ucapannya itu. Para murid itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka diperintahkan untuk pergi dan membantu Mataram dalam berperang. Hal ini berarti akan terjadi perubahan besar dalam kehidupan mereka. Mereka harus meninggalkan perkampungan Nogodento yang aman tenteram dan menjadi prajurit menempuh bahaya maut!
Padmosari bisa merasakan keheningan yang menegangkan hati ini. Ia lalu berkata dengan suara yang nyaring namun merdu dan mengandung kelembutan.
“Murid-murid Nogodento sekalian! Ingatlah bahwa guru kalian tadi hanya meminta supaya kalian membantu Mataram, tapi sama sekali bukan berarti kami hendak memaksa kalian. Kami tak mau memaksa kalian untuk menjadi prajurit dan membantu Mataram berperang. Akan tetapi membantu Mataram merupakan kewajiban bagi seluruh kawula Mataram dan kalian tentu tahu, membantu nusa bangsa banyak sekali caranya, di antaranya membantu dalam perang melawan musuh, atau bisa juga membantu negara mengamankan daerah-daerah, menentang kejahatan-kejahatan. Pendeknya, membela kebenaran dan keadilan di mana pun kalian berada dengan mempergunakan segala kekuatan dan kepandaian yang pernah kalian pelajari di sini. Dengan demikian kalian akan menjadi pendekar-pendekar Nogodento yang berguna bagi kepentingan bangsa dan negara. Mengertikah kalian?”
Kembali Suwondo yang mewakili kawan-kawannya. “Kami mengerti, akan tetapi jika kami semua pergi, lalu siapa yang akan melayani bapa guru berdua?”
“Kami justru ingin hidup menyendiri berduaan saja menikmati kesunyian dan kedamaian,” kata Ki Harjodento.
Pada saat itu mendadak terdengar suara banyak orang, gaduh dan hiruk-pikuk datang dari luar perkampungan Nogodento. Semua orang terkejut.
Sungguh pun suami isteri itu juga terkejut namun mereka bersikap tenang dan Harjodento berkata, “Suwondo, ajak semua saudaramu keluar dan lihatlah apa yang terjadi. Kalau ada hal-hal yang tidak baik, lekas laporkan kepada kami dan jangan lancang bertindak sendiri-sendiri.”
“Baik, bapa guru!” Suwondo lalu memberi isyarat kepada semua murid dan mereka keluar dari pendopo itu dengan tertib lalu menuju ke pintu gerbang perkampungan Nogodento.
Ketika Suwondo dan kawan-kawannya tiba di dekat pintu gerbang, mereka merasa heran dan terkejut karena ternyata puluhan orang sudah memasuki pintu gerbang, dipimpin oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun bertubuh sedang dengan kulit hitam sekali dan pakaian mewah. Di samping kakek ini berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan kumisnya tebal, tampak gagah.
Melihat sikap mereka yang beringas dan marah, Suwondo bersikap hati-hati. Dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan dia sendiri maju lalu memberi hormat kepada dua orang yang memimpin puluhan orang itu.
“Mohon tanya, andika sekalian ini siapakah dan keperluan apakah yang membawa andika mengunjungi perkampungan kami?”
Pertanyaan itu dijawab oleh kakek berkulit hitam. Dia adalah Wiku Menak Koncar, datuk besar dari Blambangan yang kini menjadi guru Wiroboyo. Seperti kita ketahui, datuk besar ini ditemani oleh Wiroboyo beserta lima puluh orang anak buah Klabang Wilis mendatangi perguruan Nogodento dengan niat untuk membalas dendam kepada Ki Harjodento. Ketua Nogodento ini sebelas tahun yang lalu sudah menewaskan Ki Klabangkolo dalam sebuah pertempuran dan Ki Klabangkolo adalah saudara seperguruan Wiku Menak Koncar.
“Hayo panggil keluar Ki Harjodento untuk bertemu dengan aku!” demikian jawaban Wiku Menak Koncar dengan suaranya yang kecil seperti suara wanita. “Cepat atau kami akan membunuh kalian semua dan membakar habis perkampungan ini!”
Mendengar jawaban yang nadanya marah penuh permusuhan ini, Suwondo dan kawan-kawannya tentu saja menjadi marah. Akan tetapi mengingat akan pesan Ki Harjodento dan melihat bahwa jumlah para penyerbu dua kali lebih banyak dari pada jumlah mereka, Suwondo menahan kemarahannya dan dia berpesan kepada kawan-kawannya,
“Kalian tunggu saja di sini, aku akan melaporkan kepada bapa guru!”
Setelah berkata demikian Suwondo melompat lalu berlari menuju ke bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ki Harjodento dan isterinya.
“Bapa guru, celaka, bapa guru!” Suwondo berlutut di depan gurunya dan berkata dengan sikap khawatir sekali.
“Tenanglah, Suwondo. Engkau bersikap bukan seperti seorang murid Nogodento!” tegur Ki Harjodento. “Katakan dengan tenang, apa yang terjadi?”
“Bapa guru, perkampungan kita didatangi puluhan orang, banyak sekali, sikap mereka bermusuhan dan mereka dipimpin seorang kakek bermuka hitam yang bengis. Kakek itu minta supaya bapa guru keluar menghadapinya dan dia mengancam akan membunuh kita semua dan membakar habis perkampungan kita.”
Mendengar laporan ini, Nyi Padmosari melompat dan bayangannya berkelebat masuk ke bagian dalam rumah. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan berpakaian ringkas sambil membawa keris di pinggang dan tangannya memegang sebatang tombak yang ia serahkan kepada suaminya.
“Mari kita keluar menemui mereka,” kata wanita itu dengan sikap gagah dan tenang.
Ki Harjodento menerima senjata tombak yang menjadi pusakanya yang ampuh, kemudian bangkit berdiri dan mengangguk. “Mari kita lihat siapa yang datang mencari keributan itu. Suwondo, atur para murid agar jangan bergerak kalau tidak diserang.”
Tiga orang itu keluar dari bangunan dan berjalan menuju ke pintu gerbang perkampungan. Meski pun Ki Harjodento sudah berusia tujuh puluh enam tahun, namun langkahnya masih gesit dan sikapnya tenang saja.
Para rnurid Nogodento memberi jalan dan akhirnya Ki Harjodento dan Padmosari saling berhadapan dengan Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo. Sejenak mereka berempat berhadapan dan saling pandang, kemudian Ki Harjodento berkata, suaranya mengandung penuh wibawa dan ketenangan.
“Ki-sanak, sepanjang ingatan kami rasanya kami tidak mengenal andika. Siapakah andika dan ada urusan apakah andika mencari kami?”
Wiku Menak Koncar memandang ketua Nogodento itu dengan mata bersinar. “Hemmm, apakah andika yang bernama Ki Harjodento, ketua Perguruan Nogodento?”
“Tidak keliru, ki-sanak. Aku adalah Harjodento dan dia ini adalah isteriku, Nyi Padmosari. Siapa gerangan andika?”
“Aku adalah Wiku Menak Koncar!” Kakek bermuka hitam itu memperkenalkan diri dengan suaranya yang meninggi membayangkan kecongkakan dan kesombongan sebab dia yakin bahwa namanya amat terkenal.
Diam-diam Harjodento dan Padmosari kaget. Tentu saja mereka pernah mendengar nama ini. Akan tetapi Harjodento masih bersikap tenang dan dia berkata sambil menatap wajah berkulit hitam itu,
“Hemm, pernah kami mendengar bahwa Sang Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk besar dari Blambangan yang sakti mandraguna! Akan tetapi kami tak pernah mempunyai urusan dengan andika. Kenapa sekarang andika datang sambil membawa sekian banyak anak buah berkunjung ke perkampungan kami?”
“Ki Harjodento, aku merasa yakin bahwa andika belum lupa akan nama Ki Klabangkolo, Bahurekso Gunung Ijen!” kata Wiku Menak Koncar dan suaranya mengandung ejekan.
“Ki Klabangkolo?” Ki Harjodento mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Ya aku masih ingat. Ki Klabangkolo adalah seorang di antara para tokoh yang memberontak terhadap Mataram pada sepuluh tahun lebih yang lalu.”
“Baguslah kalau andika masih ingat. Tentu andika ingat pula siapa orangnya yang sudah membunuh Ki Klabangkolo?”
Ki Harjodento mengerutkan alisnya yang berwarna putih. “Aku masih ingat bahwa dalam pertempuran antara mereka yang memberontak terhadap Mataram dan mereka yang setia kepada Mataram, Ki Klabangkolo roboh dan tewas. Tidak kusangkal bahwa dia tewas oleh senjata pusakaku ini.”
“Babo-babo, keparat Harjodento. Bagus bahwa andika telah mengaku sebagai pembunuh Ki Klabangkolo! Ketahuilah bahwa dia adalah saudara seperguruanku dan sekarang aku datang untuk membalas dendam atas kematiannya di tanganmu!”
Ancaman ini tidak menggoyahkan ketenangan Ki Harjodento. “Wiku Menak Koncar, perkelahian dalam perang hanya mempunyai dua akibat. Menang atau kalah, terluka atau tewas dalam perang merupakan hal yang biasa saja. Tidak ada persoalan pribadi dalam perang karena semua itu adalah urusan negara. Ki Klabangkolo bukan tewas karena bermusuhan dengan aku pribadi, melainkan karena dia berpihak kepada pemberontak!”
“Memang benar! Kerajaan Mataram yang menyebabkan saudara seperguruanku itu mati dalam perang dan karena itu pula aku akan selalu menentang Kerajaan Mataram. Tetapi dia tewas di tanganmu, maka aku harus membalaskan kematiannya dan membunuhmu agar arwahnya dapat tenang di alam baka!”
“Terserah kepadamu kalau itu sudah menjadi tekadmu yang sesat, Wiku Menak Koncar. Jadi karena maksud itukah maka andika membawa sekian banyaknya anak buah untuk mengeroyokku?”
“Heh, Harjodento manusia sombong. Kau sangka aku tidak mampu membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri? Maju dan bersiaplah untuk mampus kemudian bertemu dengan saudaraku, Ki Klabangkolo!”
“Wiku Menak Koncar, andika yang menantang bertanding, andika pula yang harus mulai!” kata Ki Harjodento sambil melintangkan tombaknya di depan dada.
“Baik, sambutlah ajiku Bayu Bajra. Heeehhhh...!” Kakek muka hitam itu mengembangkan kedua tangan, mendorong ke depan dan muncul angin yang menyambar ke depan dengan dahsyat sekali sehingga anak-anak buah Nogodento yang berdiri agak jauh di belakang Ki Harjodento juga tidak mampu bertahan dan banyak di antara mereka yang terhuyung dan terjengkang, terdorong oleh angin ribut yang keluar dari kedua telapak tangan Wiku Menak Koncar.
Ki Harjodento maklum akan dahsyat dan kuatnya serangan angin ribut ini, maka dia pun cepat memutar tombaknya di depan dada sambil mengerahkan tenaga saktinya. Tombak berputar, berubah menjadi gulungan sinar yang merupakan perisai di depan tubuhnya. Ki Harjadento merasa betapa angin serangan lawan itu menghantam gulungan sinar tombak. Terasa berat, namun angin serangan itu tidak sampai mampu menembus gulungan sinar tombaknya, hanya lewat di kanan kiri tubuhnya.
Melihat serangannya berhasil digagalkan lawan, Wiku Menak Koncar menjadi penasaran. Dia menghentikan Aji Bayu Bajra itu dan kini dia menyerang dengan aji pukulan Nandaka Kroda. Dua tangannya segera menyambar-nyambar dengan pukulan tangan terbuka atau tamparan yang luar biasa kuatnya, yang mendatangkan angin bersuitan.
Ki Harjodento cepat bergerak, mengelak dan membalas dengan tusukan tombaknya. Akan tetapi Wiku Menak Koncar juga dapat mengelak dan terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan mati-matian. Karena keduanya maklum bahwa berhadapan dengan lawan tangguh, maka masing-masing mengerahkan segenap tenaga dan melakukan serangan maut.
Gerakan kedua orang sakti mandraguna ini demikian kuatnya sehingga tidak ada yang berani mencampuri. Bahkan mendekat pun berbahaya karena angin serangan mereka menyambar-nyambar sampai jauh.
Wiroboyo merasa penasaran. Tak disangkanya bahwa musuh besar gurunya itu ternyata seorang yang sakti mandraguna, yang agaknya mampu menandingi gurunya sehingga mereka kini bertanding dengan seru dan sukar diduga siapa antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Dia pikir, apa artinya dia dan lima puluh orang anak buahnya ikut datang ke tempat itu kalau tidak membantu Wiku Menak Koncar?
Dia melihat isteri musuh gurunya, Nyi Padmosari, berdiri dengan gagahnya, juga para murid Nogoderito yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu tampak sudah siap siaga. Maka Wiroboyo lalu mencabut kerisnya dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
“Serbuuu...!” Dia sendiri, dibantu lima orang murid utama Klabang Wilis, langsung maju menerjang Padmosari.
Dengan trengginas wanita perkasa ini lantas mencabut keris dan melakukan perlawanan. Sementara itu para anak buah Klabang Wilis sudah serentak maju menyerang anak buah Nogodento sehingga terjadi pertempuran yang hiruk-pikuk.
Akan tetapi segera ternyata bahwa pertempuran itu berat sebelah. Pertandingan antara Ki Harjodento melawan Wiku Menak Koncar memang semula tampak ramai seolah mereka itu setanding atau setingkat. Akan tetapi segera ternyata bahwa Ki Harjodento kini sudah amat tua dan dia pun sudah jarang berlatih olah raga, maka setelah melawan mati-matian dia mulai terdesak dan nafasnya mulai terengah-engah.
Sementara itu lawannya, Wiku Menak Koncar, serangannya menjadi semakin beringas. Aji Nandaka Kroda yang dikerahkan datuk besar Blambangan itu memang dahsyat sekali dan semakin lama serangan-serangannya terasa semakin berat bagi Ki Harjodento yang mulai lelah dan kehabisan tenaga.
Melihat keadaan lawan yang mulai kepayahan, Wiku Menak Koncar mengerahkan seluruh tenaganya dan kembali dia menyerang dengan Aji Nandaka Kroda. Sepasang tangannya didorongkan ke depan dan angin pukulan menyambar dahsyat.
Karena maklum bahwa putaran tombaknya tak akan mampu menahan serangan dahsyat itu, Ki Harjodento lalu bertindak nekat untuk mengadu tenaga sakti. Dia menancapkan tombaknya ke tanah lalu mengerahkan seluruh tenaga Nogo Dento, mendorong dengan kedua tangan terbuka ke depan menyambut pukulan Aji Nandaka Kroda dari lawan.
“Wuuuuttt...! Blaarrrr...!”
Hebat bukan main pertemuan kedua tenaga sakti itu. Akan tetapi, tingkat kekuatan Wiku Menak Koncar memang lebih tinggi, apa lagi pada saat itu Ki Harjodento yang sudah tua mulai kehabisan tenaga sehingga tenaga sambutannya tadi kurang kuat.
Ketika kedua tenaga itu bertemu, jarak antara dua pasang tangan itu masih ada setengah depa. Tubuh Ki Harjodento terpental dan dia terjengkang lalu terbanting roboh telentang, tak mampu bergerak lagi dan dari mulutnya mengalir darah segar!
Melihat keadaan lawannya, Wiku Menak Koncar tertawa. Dia tahu bahwa lawannya telah menderita luka yang parah dan nyawanya tak mungkin dapat terselamatkan lagi. Dia lalu memandang ke arah muridnya. Dilihatnya Wiroboyo tidak mampu menandingi kesaktian wanita itu yang biar pun dikeroyok oleh Wiroboyo dan lima orang murid kepala perguruan Klabang Wilis, Nyi Padmosari masih tampak tangguh dan sama sekali tidak terdesak.
Melihat ini, Wiku Menak Koncar menjadi penasaran sekali. Apa lagi melihat betapa para murid perguruan Nogo Dento yang hanya berjumlah dua puluh lebih itu mampu menahan serbuan lima puluh orang murid Klabang Wilis, dia menjadi marah.
“Haiiiiittt...! Ahhhh!” Dia melompat dan langsung memukul dengan Aji Nandaka Kroda ke arah Nyi Padmosari.
Wanita perkasa ini sudah merasa gelisah sekali melihat suaminya roboh. Ia bingung dan panik, apa lagi karena dia tidak mampu membantu atau menengok suaminya. Dia hanya dapat melampiaskan kemarahannya dengan mengamuk dan pada saat itu pukulan ampuh Wiku Menak Koncar melandanya.
“Wuuuuttt...! Desss!”
Tubuh wanita itu terpental dan dia pun roboh terbanting, tanpa mampu bangkit kembali. Setelah suami isteri pimpinan Nogodento itu roboh, para murid Nogodento menjadi kaget sekali. Namun mereka masih melakukan perlawanan mati-matian. Tidak ada seorang pun dari mereka merasa ragu untuk melawan sampai titik darah terakhir, sesuai dengan jiwa kependekaran yang telah ditanamkan di dalam hati mereka oleh Ki Harjodento dan Nyi Padmosari.
Tiba-tiba terdengar lecutan meledak-ledak dan teriakan melengking-lengking dan banyak anak buah Klabang Wilis berpelantingan sehingga keadaan menjadi kacau.
“Tar-tar-tar-tarrr...!”
Tampak sinar hitam berkelebatan menyambar-nyambar sambil mengeluarkan suara yang meledak-ledak ketika sebuah pecut (cambuk) di tangan seorang laki-laki gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun mengamuk dengan dahsyatnya.
“Haiiiittt...! Yaaaahhh...!”
Segulung sinar hijau menyambar-nyambar lantas merobohkan beberapa orang anak buah Klabang Wills dan sinar hijau itu adalah sebatang pedang yang digerakkan oleh seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun.
Mereka yang baru datang dan mengamuk ini bukan lain adalah Sutejo atau Tejomanik, pendekar dari lereng Gunung Kawi dan isterinya, Retno Susilo.
Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ini dalam perjalanan mencari anak mereka yang hilang diculik orang. Mereka meninggalkan perguruan Jatikusumo di daerah Pacitan lalu pergi menuju perguruan Nogodento di daerah Ngawi. Harjodento dan Padmosari adalah ayah dan ibu kandung Sutejo dan kunjungan suami isteri pendekar itu selain menengok orang tua, juga hendak menceritakan tentang diculiknya anak mereka Bagus Sujiwo dan ingin minta agar orang tua itu suka membantu mengerahkan anak buah Nogodento untuk mencari jejak penculik anak rnereka.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika sampai di perkampungan Nogodento mereka melihat pertempuran hebat yang sedang terjadi di situ. Apa lagi ketika melihat Ki Harjodento dan Nyi Padmosari telah menggeletak dan banyak pula anak buah Nogodento yang telah roboh. Tanpa banyak cakap lagi pasangan suami isteri pendekar ini menerjang dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah Klabang Wilis dengan senjata mereka.
Sutejo mengamuk dengan senjata pusakanya, yaitu Pecut Bajrakirana yang menyarnbar-nyambar dan meledak-ledak bagaikan halilintar. Sedangkan isterinya mengamuk dengan senjatanya yang menggiriskan, yaitu pedang pusaka Nogo Wilis yang berubah menjadi gulungan sinar hijau. Sepak terjang suami isteri yang marah melihat Nogodento diserang dan kedua orang tua mereka menggeletak roboh itu laksana sepasang naga dari angkasa yang mengamuk.
Melihat para anak buah Klabang Wilis roboh bergelimpangan diterjang oleh suami isteri itu, Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo terkejut dan marah sekali. Sang Wiku Menak Koncar dan Ki Wiroboyo segera berlompatan. Kakek datuk Blambangan itu menghadapi Sutejo dan Ki Wiroboyo menghadapi Retno Susilo.
“Teja-teja sulaksana! Siapakah andika yang begini lancang berani mencampuri urusan kami dan menyerang anak buah kami?” kakek itu membentak sambil mengamati Sutejo dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Kakek itu diam-diarn merasa heran. Belum pernah dia bertemu dengan pria yang berusia kurang lebih tiga puluh tiga tahun, bertubuh tinggi tegap dan kokoh ini. Wajahnya tampan gagah, kedua matanya lebar penuh semangat, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan. Kulitnya bersih dan rambutnya yang panjang ditekuk menjadi gelung ke atas.
Sutejo juga memandang kakek itu penuh perhatian. Seorang kakek yang usianya sekitar enam puluh enam tahun, tubuhnya sedang-sedang saja tetapi mukanya berwarna hitam arang mengerikan, dan ketika berbicara tadi, suaranya melengking seperti suara wanita. Pakaiannya mewah. Matanya agak sipit, hidungnya pesek dan bibirnya tebal.
Sungguh merupakan wajah yang aneh. Akan tetapi sama sekali tidak menarik, bahkan dapat dikatakan buruk sekali dan menakutkan.
“Kakek jahat, akulah yang sepatutnya bertanya kepadamu. Siapakah andika yang begini jahat datang menyerang Nogodento?”
“Babo-babo! Aku adalah Wiku Menak Koncar, datuk besar Blambangan! Aku datang menyerbu Nogodento karena aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Ki Harjodento! Siapa andika berani lancang rnencarnpuri urusan pribadiku?”
“Hemm, kiranya Wiku Menak Koncar jagoan Blambangan. Sekarang aku mengerti. Andika tentu masih ada hubungan dengan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo!”
“Benar! Mereka adalah saudara-saudara seperguruanku. Kematian Klabangkolo di tangan Harjodento yang membuat aku datang membalas dendam kepada Harjodento.”
“Wiku Menak Koncar! Mereka itu tewas dalam peperangan karena mereka membela para pemberontak terhadap Mataram. Ketahuilah, aku adalah Sutejo, putra Bapa Harjodento!”
“Bagus, kalau begitu kau pun harus mampus!” bentak Wiku Menak Koncar dan dia sudah menerjang ke depan, menyerang dengan Aji Bayu Bajra. Angin yang dahsyat menyambar ke arah Sutejo.
Pendekar ini sudah siap siaga. Dia maklum bahwa lawannya memiliki kesaktian. Maka dia pun telah mengerahkan tenaganya dan mendorongkan kedua tangan, menyambut dengan Aji Bromokendali.....
Komentar
Posting Komentar