SERULING GADING : JILID-32


Keduanya terorong ke belakang, dan mereka tahu betapa kuatnya tenaga lawan. Wiku Menak Koncar terkejut dan marah. Ki Harjodeno saja sudah dapat dia robohkan, masa dia tidak mampu mengalahkan anaknya?

“Aji Nandaka Kroda...!” bentaknya dan dia menyerang lagi dengan aji yang lebih dahsyat ini. Kedua telapak tangannya mengandung tenaga yang teramat kuat.

“Wuuuttt...! Tar-tar-tarrr...!”

Sang Wiku Menak Koncar terkejut bukan main. Kedua telapak tangannya yang ampuh itu bertemu dengan ujung cambuk yang menyambar bagaikan halilintar dan kedua tangannya terasa panas sekali.

“Pecut Bajrakirana !” serunya dengan suara yang mengandung perasaan gentar. Dia telah mendengar akan pecut sakti yang ampuh itu.

Sutejo yang mengkhawatirkan keadaan ayah ibunya yang menggeletak tak bergerak lalu menerjang dengan pecut saktinya hingga membuat Wiku Menak Koncar repot mengelak dan berusaha menangkis dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti.

Sementara itu tanpa banyak cakap lagi Wiroboyo telah menggunakan kerisnya menyerang Retno Susilo. Akan tetapi wanita perkasa ini juga sudah marah bukan main melihat ayah dan ibu mertuanya menggeletak di atas tanah.

“Jahanam anjing keparat!” bentaknya dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hijau menyambut serangan Wiroboyo.

“Cring-cring-traanggg...!”

Wiroboyo cepat melompat ke belakang dan matanya terbelalak, wajahnya berubah pucat. Pertemuan antara keris dengan pedang wanita itu membuat kerisnya terpental dan nyaris pergelangan tangannya terbabat pedang!

Maka maklumlah dia bahwa lawannya itu adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Padahal sekarang Wiroboyo telah memperoleh kemajuan pesat dalam hal ilmu kanuragan, setelah dia menjadi murid Wiku Menak Koncar. Namun, berhadapan dengan Retno Susilo, dia segera kewalahan.

Retno Susilo tidak memberi kesempatan kepadanya. Wanita perkasa ini sudah menerjang lagi dan pedangnya melakukan serangan maut bertubi-tubi yang membuat Wiroboyo harus berlompatan ke sana sini dalam usahanya untuk menghindarkar diri dari sambaran sinar hijau.

Maklumlah Wiroboyo bahwa maut mengancam dirinya. Karena itu, sesudah mendapatkan kesempatan, dia cepat melompat jauh ke belakang sambil berseru, “Bapa Wiku, lari...!”

Mendengar ini, Wiku Menak Koncar yang juga jeri menghadapi kedahsyatan Pecut Sakti Bajrakirana, cepat melompat dan mengejar Wiroboyo yang telah melarikan diri. Melihat ini para anak buahnya segera melarikan diri ketakutan.

Retno Susilo marah dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah Klabang Wilis yang berusaha melarikan diri. Setelah semua anak buah Klabang Wilis lari dan dapat menyusul pimpinan mereka, jumlah mereka tinggal setengahnya atau kurang lebih tiga puluh orang saja.

Retno Susilo hendak melakukan pengejaran, tetapi Sutejo berseru, “Tak usah dikejar!”

Retno Susilo menoleh dan melihat Sutejo berlutut di dekat tubuh Harjodento, kemudian suaminya mengangkat tubuh bagian atas kakek itu dan merangkulnya. Retno Susilo lalu cepat menghampiri Padmosari yang juga menggeletak tidak jauh dari situ. Wanita ini pun masih hidup walau pun napasnya sudah terengah-engah dan darah segar mengalir keluar dari ujung mulutnya, mukanya pucat sekali.

“Bapak...!” Sutejo yang memeluk tubuh Harjodento memanggil dan mengguncang tubuh itu.

Ki Harjodento membuka matanya, nafasnya terengah-engah dan darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya. Sutejo maklum bahwa ayahnya terluka parah sekali dan sulit untuk dapat menyembuhkannya. Melihat puteranya, Ki Harjodento tersenyum.

“...Tejo... kau bantulah... Mataram dalam menghadapi... Madura... dan Surabaya.” Setelah mengeluarkan ucapan itu, tubuh Ki Harjodento terkulai dan dia pun tewas dalam rangkulan puteranya!

“Bapak...!” Sutejo mendekap tubuh ayahnya. Pria gagah ini maklum bahwa ayahnya telah menghembuskan napas terakhir.

Padmosari yang berada dalam rangkulan Retno Susilo juga membuka matanya. Begitu melihat mantunya, dia pun berbisik, “Mana... mana anakku... Tejo...?”

Retno Susilo menoleh ke arah suaminya dan berseru, “Kakangmas! Ibu memanggilmu!”

Sutejo menurunkan tubuh ayahnya dengan lembut ke atas tanah, lalu dia pun bangkit dan menghampiri isterinya yang masih merangkul tubuh ibunya. Ia menggantikan Retno Susilo memeluk dan menahan tubuh atas ibunya. Dengan hati terasa hancur pria perkasa ini pun melihat kenyataan betapa keadaan ibunya parah sekali, tidak ada harapan untuk dapat ditolong seperti halnya ayahnya tadi karena orang tua ini telah terkena pukulan maut yang dahsyat sekali sehingga dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah.

“Ibu...!” Sutejo memanggil lirih sambil mendekap tubuh Padmosari yang lunglai. Wanita itu membuka mata memandang.

“Tejo... di mana bapakmu?” tanya wanita itu dengan suara berbisik.

Jantung dalam dada Sutejo seperti ditusuk oleh pertanyaan ini. Ayahnya sudah tewas, hal itu baru saja terjadi dan kini ibunya yang terluka parah menanyakannya. Bagaimana dia tega untuk memberi tahu bahwa ayahnya telah meninggal?

“Bapak... bapak berada di sana, bu...” katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah di mana ayahnya rebah tak bernyawa lagi.

“Bawa aku mendekat... bawa aku kepadanya...” kata wanita itu.

Sutejo tidak dapat berkata apa-apa lagi dan juga tidak ingin membantah. Dia memondong tubuh ibunya dan membawanya menghampiri jenazah ayahnya, diikuti oleh Retno Susilo yang mengerutkan alis dan menahan hatinya supaya jangan menangis karena matanya sudah terasa panas dan bibirnya gemetar.

Dengan lembut Sutejo merebahkan tubuh ibunya di samping jenazah ayahnya. Padmosari menoleh ke kiri dan menggerakkan tangan kirinya, perlahan tangan kirinya mencari hingga akhirnya bertemu dengan tangan kanan Ki Harjodento lalu digenggamnya tangan itu dan dia pun tersenyum.

“...aku... aku tidak ingin... berpisah... darinya...” Dia memandang wajah suami isteri yang berlutut di dekatnya, lalu dengan napas terengah-engah dia menguatkan diri dan berkata, “Tejo... Retno... jaga... cucuku Bagus Sujiwo... baik-baik...” Tubuh wanita itu terkulai dan dia pun menghembuskan napas terakhir, mati dengan tangan masih menggenggam tangan suaminya.

“Ibuuu...! Bapaaak...!” Sutejo menjerit dan menangis.

Retno Susilo juga menangis tersedu-sedu, akan tetapi ia masih berusaha untuk menghibur suaminya yang seperti anak kecil merangkul jenazah kedua orang itu bergantian sambil memanggil-manggil mereka.

“Kakangmas, ingatlah... sebutlah nama Gusti Allah...” kata Retno Susilo sambil merangkul pundak suaminya dan air matanya membanjiri kedua pipinya.

Sutejo menahan tangisnya. “Duh Gusti... mohon kekuatan, Gusti ...!” keluhnya lirih dan dia merangkul isterinya.

Suami isteri itu berangkulan dan menangis. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya, apa lagi pesan terakhir Padmosari tadi mengingatkan mereka tentang putera mereka yang lenyap. Mereka berdua sudah kehilangan anak tunggal mereka dan kini mereka datang ke Nogodento hendak melapor dan bersambat kepada orang tua, mengadukan nasib mereka dan minta pertolongan. Akan tetapi sesampainya di Nogodento mereka malah dihadapkan dengan kematian ayah ibu mereka!

Retno Susilo yang tak bisa menahan kemarahannya tiba-tiba bangkit dan mengacungkan tangan yang terkepal di udara, “Aku bersumpah akan membalaskan kematian bapak dan ibu, membalaskan sakit hati ini! Aku akan mencari mereka!”

Sutejo segera bangkit dan merangkul isterinya. “Sabar dan tenanglah, diajeng. Aku sudah mengetahui siapa kakek tadi. Kita bicarakan hal itu nanti saja. Sekarang yang terpenting adalah mengubur jenazah bapak dan ibu.”

Mereka lalu mengumpulkan sisa anak buah Nogodento. Masih ada dua belas orang murid yang hidup. Dengan dibantu para murid, Sutejo dan Retno Susilo lalu mengubur jenazah Ki Harjodento dan Nyi Padmosari dengan baik, juga jenazah para murid Nogodento yang menjadi korban dalam pertempuran itu. Bahkan pasangan pendekar perkasa ini rnenyuruh para murid Nogodento untuk menguburkan pula jenazah para anak buah Klabang Wilis sebagaimana mestinya.

Sesudah semua penguburan itu selesai, dari para murid Nogodento sepasang suami isteri pendekar itu mendengar tentang penyerbuan gerombolan Klabang Wilis itu. Juga mereka mendengar pesan Ki Harjodento kepada para murid supaya pergi dan membantu Mataram dengan menjadi prajurit sukarela.

“Mendiang bapak benar,” kata Sutejo kepada para murid itu. “Kalian harus menggunakan semua ilmu yang dengan susah payah kalian pelajari untuk melakukan hal-hal yang benar. Sekarang ini Mataram sedang membutuhkan bantuan para pemuda seperti kalian, maka sudah sepantasnyalah apa bila kalian membantu Mataram seperti yang dipesan mendiang bapak. Sekarang bagi-bagilah di antara kalian semua barang berharga yang ditinggalkan orang tuaku untuk bekal kalian dalam perjalanan. Juga jangan lupa, di dalam perjalanan kalian, bantulah kami dengan membuka mata dan telinga, melihat dan mendengar kalau-kalau kalian dapat menemukan jejak putera kami Bagus Sujiwo yang diculik orang seperti telah kami ceritakan kepada kalian tadi. Nah, laksanakan perintah kami itu dan segeralah berangkat. Kami akan pergi lebih dulu.”

Setelah meninggalkan pesan dan banyak nasihat kepada para murid Nogodento, Sutejo dan Retno Susilo meninggalkan tempat itu dan melakukan perjalanan ke timur.

“Kakangmas, apakah sekarang kita hendak melakukan pengejaran terhadap Wiku Menak Koncar yang telah membunuh ayah dan ibu? Kita harus secepatnya membalas dendam itu, kakangmas!” kata Retno Susilo setelah mereka keluar dari perkampungan Nogodento.

Sutejo menghentikan langkahnya dan mengajak isterinya duduk di atas batu-batu di tepi sungai Bengawan Solo yang mulai mengalir ke utara. Di bagian itu sungai cukup lebar dan airnya banyak karena sudah bertemu dan bersatu dengan Kali Madiun yang mengalir dari selatan.

“Diajeng, kita tidak akan mengejar Wiku Menak Koncar.”

Wanita itu memandang wajah suaminya dengan perasaan heran. “Apa? Kakek jahat itu telah membunuh bapak dan ibu, dan engkau tidak akan membalas dendam?”

“Diajeng, Wiku Menak Koncar menyerang mendiang bapak juga karena hendak membalas dendam atas kematian saudaranya, yaitu Ki Klabangkolo yang dulu roboh oleh mendiang bapak. Tidak, diajeng, kita tidak akan membalas dendam karena kalau begitu maka tiada bedanya antara dia dengan kita, sama-sama diracuni dendam. Ada urusan yang jauh lebih penting bagi kita, yaitu pertama, kita harus membantu usaha Mataram menundukkan Madura dan Surabaya seperti yang dipesankan mendiang bapak kepada para muridnya. Dan kedua, kita masih harus mencari anak kita. Tentang Wiku Menak Koncar, kita akan menentangnya mati-matian kalau dia melakukan kejahatan, tapi bukan karena dendam.”

Retno Susilo menghela napas panjang. Dahulu sebelum menjadi isteri Sutejo, dia adalah seorang gadis perkasa yang berhati sekeras baja, galak dan selalu bersikap keras dan membenci orang yang dianggapnya jahat. Ia tidak mengenal ampun kepada mereka. Akan tetapi dia berubah banyak sesudah menjadi isteri Sutejo. Dia mulai dapat melihat bahwa menuruti kekerasan hati adalah menuruti nafsu sendiri yang pada akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri. Dia mulai dapat melihat kebijaksanaan suaminya dan sejak menjadi isteri Sutejo, dia selalu mentaatinya.

Kini, diingatkan tentang puteranya yang hilang, Retno Susilo menjadi sedih sekali, sedih dan gelisah. “Duh, kakangmas... bagaimana dengan Bagus? Siapakah yang menculiknya dan kenapa? Di mana dia sekarang, kakangmas dan bagaimana keadaannya? Aku amat khawatir...”

Sutejo merangkul isterinya. “Tenanglah, diajeng. Yang jelas kita yakin bahwa Bagus masih hidup. Kalau penculiknya ingin membunuhnya, tentu hal itu sudah dilakukannya dan tidak perlu dia bersusah payah membawa anak itu pergi.”

“Akan tetapi siapa yang begitu kejam menculik anak kita? Sudah setahun anak kita hilang dan belum juga kita dapat menemukan jejaknya...” suara wanita itu gemetar.

“Ingatlah bahwa ketika masih kecil aku sendiri pernah diculik dari ayah ibu dan baru dapat berjumpa kembali dengan mereka setelah aku dewasa. Aku yakin bahwa penculikan anak kita ini dilandasi dendam kepada kita. Engkau sendiri tahu bahwa dahulu kita berdua telah menentang banyak orang jahat, apa lagi jika dihubungkan dengan pemberontakan mereka terhadap Mataram. Karena itu aku berpendapat bahwa yang menculik anak kita tentulah seorang di antara mereka yang pernah bermusuhan dengan kita seperti halnya Wiku Menak Koncar mendendam kepada mendiang bapak.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan, kakangmas? Ke mana kita harus mencarinya?”

“Tenanglah, diajeng. Hanya ada dua hal yang dapat kita lakukan menghadapi kehilangan Bagus ini. Pertama, kita menyerahkan Bagus kepada Gusti Allah dan selalu berdoa dan percaya bahwa Gusti Allah pasti akan melindunginya. Kedua, kita harus berusaha mencari terus, akan tetapi karena kita belum tahu harus mencari ke mana, maka sebaiknya kita mendahulukan urusan yang sudah jelas, yaitu membantu Mataram. Kita harus membantu Mataram sambil memasang mata dan telinga kalau-kalau dapat menemukan jejak anak kita itu.”

Retno Susilo hanya dapat menyetujui dan mengangguk. Suami isteri itu lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan menyusuri Bengawan Solo.....

********************

Rombongan yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu, yang tadinya lari cerai berai meninggalkan perkampungan Nogodento, akhirnya berkumpul dan melakukan perjalanan yang sunyi, kembali menuju ke Gunung Wilis. Mereka sudah menderita kekalahan besar ketika menyerbu Nogodento.

Sama sekali di luar dugaan Wiku Menak Koncar dan Wiroboyo yang memimpin lima puluh orang lebih anak buah itu bahwa sesudah mendapatkan kemenangan dan hampir berhasil membasmi semua murid Nogodento, tiba-tiba saja muncul Sutejo dan Retno Susilo yang membuat mereka semua lari cerai-berai meninggalkan dua puluh lebih kawan yang tewas dalam penyerbuan itu.

Wiku Menak Koncar berjalan di depan rombongan bersama Wiroboyo. Wajah kakek ini tampak cerah, sebaliknya wajah Wiroboyo tampak muram. Hal ini tidaklah aneh karena Wiku Menak Koncar merasa puas bahwa dia sudah berhasil membunuh musuh besarnya, Ki Harjodento bersama isterinya. Sebaliknya Wiroboyo merasa rugi karena kehilangan banyak sekali anak buah.

“Sudahlah, anakmas Wiroboyo, tidak perlu bermuram durja. Sesudah kita tiba di Gunung Wilis nanti, kita bisa menyusun kekuatan lagi dan menambah anggota Klabang Wilis agar menjadi kuat kembali,” Wiku Menak Koncar menghibur.

“Akan tetapi saya merasa penasaran sekali, Bapa Wiku. Sebagian besar anak buah saya terbunuh oleh wanita itu dan saya merasa penasaran karena tidak dapat membunuhnya. Perempuan itu begitu ganas seperti iblis!” kata Wiroboyo sambil mengepal tangan kanan dengan gemas.

“Hemm, jangan penasaran, anakmas. Andika tidak tahu siapa mereka. Yang laki-laki itu lebih sakti lagi dan setelah dia mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana, baru aku ingat dan tahu siapa dia. Dia adalah seorang pendekar yang sakti mandraguna, murid mendiang Resi Limut Manik. Dialah yang dahulu membela Mataram dan mengalahkan banyak orang digdaya yang memusuhi Mataram. Untung Ki Harjodento dan isterinya sudah kurobohkan lebih dulu. Kalau kita terlambat sedikit saja, belum tentu kita berdua dapat meloloskan diri! Masih untung kita dapat menyelamatkan diri dan lebih untung lagi aku berhasil membunuh musuh besarku beserta isterinya.”

Pada saat itu pula terdengar suara bentakan nyaring wanita, “Jahanam keparat Wiroboyo. Sekarang saatnya engkau mampus di tanganku!”

Dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Wiroboyo dan Wiku Menak Koncar telah berdiri Muryani dan Satyabrata.

Mula-mula kelua orang itu terkejut karena mengira bahwa yang muncul itu adalah Sutejo dan Retno Susilo. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul di depannya itu adalah Muryani dan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya, Wiroboya menjadi girang. Setelah sekian lamanya, dia masih tetap tergila-gila kepada gadis itu dan kini Wiku Menak Koncar berada di depannya, maka tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.

“Bapa Wiku, tolong tangkapkan gadis ini untuk saya. Sudah lama saya mengnginkan dia menjadi isteri saya,” kata wiroboyo.

Mendengar permintaan muridnya itu, Wiku Menak Koncar segera tertawa. Dia tahu bahwa sebagai ketua Klabang Wilis muridnya merasa amat kecewa karena kehilangan lebih dari dua puluh orang anak buah. Maka dia ingin menyenangkan atau menghibur hati muridnya itu dengan memenuhi permintaannya. Memang gadis yang menghadang mereka itu cukup cantik jelita sehingga tidaklah mengherankan kalau Wiroboyo tergila-gila kepadanya.

“Heh-heh-hik-hik!” Dia terkekeh seperti seorang nenek-nenek. “Cah ayu dhenok dhebleng! Mari-mari, menurutlah andika menjadi isteri anakmas Wiroboyo!”

“Tua bangka hitam jelek sinting, mampuslah!” Muryani yang sudah marah sekali melihat Wiroboyo, kini menjadi semakin marah melihat sikap dan mendengar ucapan Wiku Menak Koncar itu. Dia sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berkulit hitam arang itu dengan pukulan Gelap Sewu yang dahsyat mematikan!

“Uh-uhhh galak juga...” seru Sang Wiku Menak Koncar kaget, kemudian dengan cepat dia pun menyambut pukulan sakti itu dengan mendorongkan kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga Bayu Bajra.

“Wuuuuttt...! Desss...!”

Tubuh Wiku Menak Koncar tergetar hebat, akan tetapi tubuh Muryani lantas terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu masih kalah kuat dibandingkan lawannya.

Wiku Menak Koncar tertawa terkekeh dan sudah cepat menerjang ke depan dengan niat untuk menangkap gadis yang terhuyung itu. Akan tetapi tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat dan Satyabrata telah menjulurkan tangan untuk menahannya. Melihat pemuda itu berani menghalanginya, Wiku Menak Koncar cepat memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada pemuda itu. Satyabrata menyambut dengan telapak tangannya.

“Wuuuttt...! Desss...!”

Keduanya sama-sama terdorong ke belakang. Tentu saja Wiku Menak Koncar terkejut bukan main karena mendapat kenyataan bahwa pemuda itu ternyata memiliki tenaga sakti yang tidak kalah kuat.

Satyabrata menatap penuh perhatian. Dia pernah mendengar tentang datuk Blambangan yang berkulit hitam arang dan suaranya seperti wanita ini. Terkenal sebagai datuk yang selalu menentang Mataram. Dari logat bicaranya saja dia sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu orang Blambangan dan melihat kulitnya, mudah diduga bahwa dia tentu Wiku Menak Koncar. Segera otaknya yang memiliki kecerdikan luar biasa itu bekerja dan dia berkata kepada kakek itu dengan nada mengejek.

“Hemm, kakek muka hitam. Andika sungguh tidak tahu malu menyerang seorang wanita. Kalau andika memang berani dan bukan pengecut, hayo lawanlah aku!”

Wiku Menak Koncar adalah seorang datuk besar. Tentu saja tantangan itu memanaskan perutnya. “Siapa yang takut kepadamu, bocah kemarin sore?” bentaknya dan dia segera menerjang dan menyerang dengan pukulan Aji Nandaka Kroda yang sangat dahsyat dan mematikan. Namun dengan gerakan yang lincah sekali Satyabrata melompat ke belakang untuk menghindar sambil mengejek.

“Luput, kek! Gerakanmu lambat seperti keong (siput) dan lunak seperti gudir! Hayo, boleh keluarkan semua aji-ajimu untuk menandingi aku kalau andika memang berani dan bukan pengecut!”

Wiku Menak Koncar marah bukan main. Dia mengejar dan menyerang lagi dengan lebih dahsyat, ingin membunuh pemuda yang berani mengejek dan menghinanya itu dengan sekali pukul. “Hyaaaatttt... ahhhh...!”

Satyabrata mengelak lagi dengan lompatan yang lebih jauh ke belakang. “Luput lagi, kek. Apakah tubuhmu sudah buyutan maka andika tidak mampu bergerak lebih cepat lagi?” Dia mengejek sambil menjauh dan Wiku Menak Koncar terus mengejar, tidak tahu bahwa dia memang sengaja dipancing oleh pemuda itu.

Sementara itu, melihat kakek sakti itu kini sudah bertanding melawan Satyabrata, Muryani segera melompat ke depan Wiroboyo. Kemarahannya sudah berkobar lagi, teringat akan kematian ayahnya. Biar pun dia sudah berhasil membunuh, atau setidaknya merobohkan dan membuat Darsikun, pembunuh ayahnya itu membunuh diri, namun dia tahu bahwa Darsikun hanyalah suruhan dan yang menyuruh bunuh ayahnya adalah Wiroboyo ini.

“Wiroboyo jahanam busuk, aku bersumpah untuk membunuhmu!” teriaknya marah.

Akan tetapi Wiroboyo masih rnemandang rendah gadis itu. Kini setelah dia mempelajari aji kesaktian dari Wiku Menak Koncar, tentu saja dia tidak takut kepada Muryani.

“Heh-heh, manis. Sekarang engkau pasti akan tunduk dan menjadi milikku!”

Wiroboyo sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah mendapat gemblengan hebat dari Nyi Rukmo Petak. .

“Haiiiiittt...!” Muryani menerjang dengan aji pukulan Gelap Sewu. Dari sepasang tangannya meluncur hawa pukulan yang sangat dahsyat. Wiroboyo yang masih memandang rendah, sambil tersenyum menyambut pukulan itu dengan dua tangan, siap untuk menangkap apa bila gadis itu terhuyung oleh tenaganya yang tentu jauh lebih kuat.

“Wuuuttt...! Bresss...!”

Senyum itu lenyap dari muka Wiroboyo yang berubah pucat. Pertemuan tenaga itu sudah membuat dia terhuyung ke belakang, bahkan dia nyaris terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik ke belakang.

Melihat pemimpin mereka terhuyung, empat orang anak buah Klabang Wilis lalu menyerbu dengan golok mereka, membacok ke arah gadis itu dari empat jurusan.

“Hyaahhh!” Muryani bergerak dengan Aji Kluwung Sakti. Tubuhnya berkelebatan demikian cepatnya bagaikan berubah menjadi bayang-bayang, ada pun kaki tangannya menyambar dan empat orang itu berteriak kesakitan dan roboh terpelanting, tak mampu bangkit lagi!

Melihat ini, sisa anak buah Klabang Wilis menjadi gentar dan giris hatinya. Ternyata gadis itu tidak kalah ganasnya disbanding Retno Susilo! Mereka. hanya memandang terbelalak dengan muka pucat, tidak berani mengeroyok lagi.

Wiroboyo juga terkejut bukan kepalang. Sama sekali tak disangkanya bahwa kini Muryani memiliki kesaktian yang demikian hebat hingga mengingatkan dia akan wanita cantik yang mengamuk bersama suaminya di perguruan Nogodento. Dia tidak tahu bahwa di antara Muryani dan Retno Susilo memang ada hubungan tunggal guru, walau pun mereka tidak pernah saling jumpa. Yang menggembleng kedua orang wanita itu adalah mendiang Nyi Rukmo Petak.

Melihat empat orang anak buahnya roboh dan yang lain kelihatan gentar, Wiroboyo cepat berteriak, “Maju semua! Serbu! Keroyok!”

Dua puluh orang lebih itu timbul kembali semangat mereka sesudah mendengar perintah Wiroboyo. Dengan senjata golok mereka lalu menyerbu Muryani dari segala jurusan dan menghujani gadis itu dengan bacokan golok.

Tapi Muryani sudah siap siaga. Ia bergerak dengan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya seperti lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara puluhan batang golok itu. Sambil berkelebat menghindarkan diri, kaki tangannya bergerak. Berturut-turut para anak buah itu berteriak mengaduh dan roboh. Dalam waktu beberapa detik saja lima orang sudah terjungkal.

Wiroboyo terbelalak dan maklum betapa bahayanya gadis perkasa itu. Dia lalu melompat jauh dan melarikan diri, tidak mempedulikan lagi anak buahnya yang diamuk Muryani, juga tidak mempedulikan Wiku Menak Koncar yang tadi bertanding melawan Satyabrata tetapi sekarang tidak tampak lagi.

“Keparat busuk, hendak lari ke mana kau?!” Tampak bayangan berkelebat di samping Wiroboyo dan angin menyambar dahsyat menyerangnya. Wiroboyo cepat mengelak dan menggerakkan kedua tangan untuk menangkis pukulan yang dahsyat dari gadis itu.

“Wuuuuttt...! Desss...!”

Wiroboyo kembali terdorong dan terhuyung ketika lengannya beradu dengan tangan gadis itu. Akan tetapi ketika Muryani hendak mengejar dan mengirim serangan susulan, anak buah Klabang Wilis sudah datang lagi dan mengeroyoknya. Wiroboyo cepat menggunakan kesempatan itu untuk mengeroyok pula, dengan maksud untuk dapat merobohkan gadis perkasa itu dengan mengandalkan banyak orang.

Muryani mengamuk, mulutnya mengeluarkan bentakan melengking-lengking dan setiap kali tangan atau kakinya menyambar, tentu ada seorang anak buah gerombolan itu yang roboh terpelanting.

Sementara itu Satyabrata berhasil memancing Wiku Menak Koncar untuk terus mengejar dan menyerangnya. Sekarang mereka berdua sudah berada agak jauh dari Muryani yang dikeroyok banyak orang. Wiku Menak Koncar merasa penasaran sekali karena untuk ke sekian kalinya serangannya selalu dapat dielakkan lawan.

“Hyaaaattt...! Ahhh!” Dia menyerang lagi dengan aji pukulan Nandaka Kroda yang sangat dahsyat. Sekali lagi Satyabrata tidak mengelak melainkan menyambut pukulan itu dengan aji pukulan Margopati. Dia sengaja memapaki pukulan lawan dan hendak mengadu tenaga sakti mereka.

“Wuuuuttt...! Plakkk!”

Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, Wiku Menak Koncar lantas terhuyung ke belakang dengan napas memburu karena terasa sesak.

“Tahan...!” seru kakek itu dan memandang tajam. “Orang muda, siapakah andika?”

Satyabrata tersenyum. “Andika tentu Sang Wiku Menak Koncar, datuk besar Blambangan itu, bukan? Katakan dulu, paman Wiku, apakah sekarang engkau masih tetap menentang dan memusuhi Mataram?”

Tentu saja Wiku Menak Koncar terbelalak heran mendengar pertanyaan itu. Dia menatap penuh selidik, akan tetapi tidak merasa kenal dengan pemuda ini, seorang pemuda aneh yang sakti mandraguna, yang bola matanya berwarna aneh pula, agak kebiruan.

“Sebelum aku menjawab, katakan dulu siapa andika!” katanya.

Satyabrata menoleh ke kanan kiri. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya. Benda itu adalah sebuah dinar emas, uang logam terbuat dari emus murni yang dia dapatkan dari Willem Van Huisen ayah angkatnya dan benda itu juga menjadi tanda rahasia bagi seorang wakil Kumpeni Belanda yang berkedudukan tinggi. Satyabrata menunjukkan uang logam emas itu kepada Wiku Menak Koncar dan bertanya, “Andika tentu mengenal ini, bukan?”

Wiku Menak Koncar semakin heran. Tentu saja dia mengenal baik tanda itu walau pun dia belum pernah menjadi antek Kumpeni. Setidaknya dia pernah berhubungan dengan pihak Kumpeni sehingga mengenal tanda-tanda para wakil kumpeni yang bertugas mengadakan hubungan dengan para pejabat di daerah pedalaman, terutama mereka yang menentang Mataram.

“Ah, andika petugas Kumpeni?” tanyanya.

“Benar, namaku Satyabrata dari Cirebon. Andika belum menjawab pertanyaanku tadi, paman Wiku Menak Koncar.”

“Tentu saja aku memusuhi Mataram. Selamanya aku akan memusuhi dan menentang Mataram!”

“Bagus! Kalau begitu kita sepaham dan segolongan. Karena itu tidak perlu kita melibatkan diri dengan pertikaian pribadi antara Muryani dan Wiroboyo itu, paman Wiku. Tidak perlu kita bertanding lagi. Kewajiban kita adalah untuk menentang Mataram demi kepentingan Kumpeni dan juga Blambangan. Atau paman akan nekat melanjutkan perkelahian? Ingat, paman, kalau aku menghendaki, sudah sejak tadi aku dapat membunuhmu dengan ini!” Satyabrata menyingkap bajunya, memperlihatkan sebuah pistol yang terselip pada ikat pinggangnya. “Peluru emas pistol ini tentu takkan dapat ditahan kekebalan paman. Juga aku memiliki banyak aji kesaktian yang cukup untuk menandingi kesaktianmu.”

Wiku Menak Koncar memandang ragu. Dia maklum bahwa pemuda itu memang digdaya sekali, belum tentu dia akan mampu mengalahkan pemuda itu, apa lagi dia mempunyai senjata api yang berbahaya. Selain itu, tidak perlu pula dia harus bermusuhan dengan seorang petugas Kumpeni. “Lalu apa kehendakmu sekarang, anakmas Satyabrata?”

“Begini, paman Wiku Menak Koncar. Tentu andika mengetahui bahwa sekarang Mataram sedang mengancam untuk menyerang Madura dan Surabaya. Oleh karena itu kita harus membantu Madura untuk menentang Mataram. Secara diam-diam Kumpeni juga akan membantu Madura. Sebab itu saya harap paman suka meninggalkan pertempuran ini dan pergi ke Madura, membantu Kadipaten Arisbaya dan kadipaten-kadipaten lain di Madura. Saya sendiri juga akan segera menyusul ke sana. Percayalah, pihak Kumpeni pasti akan menghargai sekali bantuan paman, dan saya akan melaporkan ke atasan di Batavia. Atau kalau paman menolak, paman melanjutkan pertempuran ini dan akan berhadapan dengan saya!”

Wiku Menak Koncar masih ragu. “Akan tetapi bagaimana dengan Wiroboyo? Dia sudah menjadi muridku...”

“Ahh, paman. Mengapa memusingkan urusan kecil itu kalau urusan yang jauh lebih besar menunggu bantuan paman?”

Akhirnya Wiku Menak Koncar setuju. Memang secara diam-diam kakek ini telah memiliki keinginan untuk membantu Madura melawan Mataram atas permintaan sahabatnya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang sudah mengirim utusan menemuinya.

“Baiklah, anakmas Satyabrata. Aku berangkat sekarang juga dan kuharap akan dapat segera bertemu dan bekerja sama denganmu di Madura.”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, tak peduli lagi akan pasib Ki Wiroboyo dan sisa anak buah Klabang Wilis.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)