SERULING GADING : JILID-33


Diam-diam-dia sudah bertemu dengan para pimpinan telik sandi Kumpeni dan mempelajari keadaan politik waktu itu karena telah terjadi perubahan-perubahan selama ia mempelajari ilmu-ilmu di sumur tua perguruan Jatikusumo. Sambil tersenyum-senyum dia lalu berlari, balik ke tempat pertempuran tadi dengan niat mencegah Muryani membunuh Wiroboyo. Pria itu adalah murid Wiku Menak Koncar, maka sudah sepantasnya kalau diselamatkan karena dia dapat diharapkan untuk menjadi sekutu menentang Mataram.

Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, Satyabrata melihat bahwa sudah terlambat baginya untuk menyelamatkan Wiroboyo. Ia melihat betapa Muryani sedang mengamuk dan telah merobohkan banyak sekali anak buah Klabang Wilis dan kini Wiroboyo sudah terdesak hebat. Tidak mungkin lagi dia mencampuri perkelahian itu untuk menyelamatkan Wiroboyo tanpa menyinggung perasaan Muryani.

Kalau dia menolong Wiroboyo, dia harus menggunakan kekerasan melindunginya dan hal ini tentu akan membuat Muryani marah kepadarrya. Tentu saja dia tidak mau kehilangan Muryani hanya untuk menyelamatkan Wiroboyo.

Pada saat itu memang Muryani sudah mendesak hebat kepada musuhnya. Tidak kurang dari sepuluh orang anak-anak buah Klabang Wilis yang berani mencoba untuk membantu Wiroboyo dan mengeroyoknya sudah dia robohkan dan kini sisa para anak buah itu tidak berani lagi mendekat sungguh pun berulang kali Wiroboyo memerintahkan mereka untuk membantunya. Terpaksa dia sendiri yang melawan, akan tetapi dia hanya dapat mengelak dan menangkis sambil terdesak mundur terus tanpa dapat membalas sama sekali.

Tiba-tiba saja Muryani bergerak cepat, tubuh gadis ini berkelebat ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah muka Wiroboyo. Wiroboyo terkejut sekali, hidungnya mencium bau harum-harum amis keluar dari kuku-kuku tangan gadis itu. Dia mengelak dengan menarik mukanya ke belakang.

“Heiiiittt...!” Muryani membentak nyaring, tangannya meraih dan kuku-kuku jari tangannya mencengkeram ke leher lawan.

Darah muncrat dan tubuh Wiroboyo terhuyung ke belakang. Kaki kanan Muryani menyusul dan tubuh Wiroboyo langsung terpental oleh tendangan kaki. Dia roboh dan bergulingan, berkelojotan. Rasa nyeri menghentak-hentak di dalam kepalanya. Tadi dia sudah terkena cengkeraman Wiso Sarpo yang amat berbisa, sebuah aji pukulan yang dahsyat dan ganas sekali yang merupakan aji pamungkas dari mendiang Nyi Rukmo Petak.

Saking keji dan ganasnya pukulan ini, Muryani yang telah menguasainya selamanya tidak pernah mempergunakannya. Sekarang saking sakit hati dan bencinya kepada Wiroboyo, dia menggunakan aji itu dan memandang musuhnya yang kini berkelojotan dan mukanya berubah kehitaman mengerikan!

Anak buah Klabang Wilis yang tinggal belasan orang itu lari kocar-kacir melihat pemimpin mereka roboh. Muryani tetap berdiri memandang musuh besarnya sampai Wiroboyo tidak bergerak lagi, tewas dalam keadaan yang mengerikan.

Setelah musuhnya tewas, Muryani mendengar langkah Satyabrata yang menghampirinya. Dia memutar tubuh, siap menghadapi lawan baru. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menghampirinya adalah Satyabrata, ia menghela napas panjang dan memandang kepada mayat Wiroboyo yang menggeletak telentang dengan seluruh muka berubah hitam.

“Aku sudah berhasil membunuhnya Berhasil membunuh jahanam ini yang menyebabkan kematian ayahku,” katanya dengan suara gemetar penuh keharuan karena teringat akan ayahnya.

Satyabrata mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pundak gadis itu dengan lembut dan mesra. “Syukurlah, diajeng, aku turut merasa gembira engkau telah dapat membalas sakit hatimu.”

Muryani merasa girang. Dia menganggap pemuda itu amat baik dan bersikap lembut dan sopan kepadanya. Sentuhan tangan pemuda itu di pundaknya mendatangkan getaran dan dia membiarkan saja tangan itu hinggap di pundaknya. Dia teringat akan lawan pemuda itu, kakek bermuka hitam arang yang sakti mandraguna tadi.

“Kakangmas Satyabrata, bagaimana dengan lawanmu, kakek yang mengerikan tadi?”

Satyabrata melepaskan tangannya dan mengerutkan alis, menggelengkan kepalanya. “Dia sungguh sakti dan licik, diajeng. Ia berhasil lolos dari tanganku dan melarikan diri. Aku tak berani mengejarnya karena khawatir engkau akan mengalami celaka kalau kutinggalkan, maka aku terpaksa membiarkan dia lari.”

“Tidak mengapa, kakangmas. Aku tidak punya urusan dengan kakek itu. Wiroboyo inilah yang kucari dan sekarang aku berhasil membunuhnya. Semua ini berkat pertolonganmu, kakangmas. Jika tidak ada engkau yang membantuku, mungkin bukan dia, melainkan aku yang tergeletak tak bernyawa di sini karena kakek muka hitam itu sangat sakti. Sekali lagi aku berterima kasih kepadamu, kakangmas. Sudah berulang kali engkau menyelamatkan dan menolong aku. Aku berhutang budi dan nyawa kepadamu.”

Satyabrata tersenyum dan merasa senang sekali. Akan tetapi dia menahan gelora hatinya yang membuat dia ingin sekali merangkul dan mencumbu gadis itu Dia ingat bahwa saat itu dia harus menjadi seorang pemuda yang baik hati, lembut dan sopan di mata Muryani.

“Aah, diajeng, mengapa engkau berkata begitu? Aku senang sekali dapat membantumu, bahkan aku akan rela mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan dan membantumu, diajeng.” Suaranya mengandung getaran perasaan yang membuat hati Muryani terguncang dan dia memandang wajah pemuda itu yang tampan ganteng dan penuh daya tarik.

Detak jantungnya membuat wajah gadis itu menjadi kemerahan karena perkataan pemuda itu jelas mengandung isyarat bahwa pemuda itu mencintanya dengan tulus dan murni sehingga rela mengorbankan nyawa untuknya! Akan tetapi dia masih belum puas dengan isyarat itu, ingin mengetahui mengetahui lebih jelas. Dia berdiri menghadapi pemuda itu dalam jarak hanya satu meter dan menatap tajam wajah itu.

“Kakangmas Satyabrata...”

“Hmm...? Ada apakah, diajeng Muryani?” kata pemuda itu dengan suara lembut sekali.

“Aku merasa heran, kakangmas. Kenapa engkau begini baik padaku? Di antara kita tidak ada hubungan apa pun, dan kita pun baru saja saling bertemu dan berkenalan, akan tetapi kenapa engkau begini baik padaku hingga engkau mengatakan akan rela mengorbankan nyawamu untukku? Kenapa, kakangmas?”

Satyabrata menjulurkan kedua tangannya dan menangkap kedua tangan yang mungil dan berkulit hangat dan lembut itu. Dia mengangkat kedua tangan itu lantas ditempelkan pada dadanya sendiri. Suaranya mengandung penuh getaran hati yang tidak dibuat-buat ketika dia berkata lirih seperti berbisik.

“Diajeng Muryani, bolehkah aku berkata secara terus terang. Tidak marahkah jika engkau mendengar pengakuan yang tulus keluar dari hati sanubariku? Engkau belar-benar tidak akan marah?”

Dua pasang mata itu saling pandang, sinar mata itu bertaut dan seolah saling melekat. Muryani merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan dia pun menggeleng kepala sambil berkata lirih pula, “Tidak, kakangmas, aku tidak akan marah, apa pun yang akan kau katakan.”

“Jika begitu perkenankan aku menyatakan isi hatiku kepadamu, diajeng. Sejak pertemuan kita pertama kali, aku... aku sudah jatuh cinta kepadamu, diajeng, aku... cinta kepadamu dengan segenap jiwa ragaku. Nah, kini hatiku sudah lega setelah menyatakan perasaan ini kepadamu, mudah-mudahan engkau dapat menerima dan membalas cintaku, diajeng.”

Sejenak Muryani merasa begitu nyaman dan bahagia. Jantungnya berdebar. Alangkah senangnya mendengar pemuda yang tampan gagah, dan demikian baik hati kepadanya, yang berkali-kali menolongnya itu menyatakan cinta kepadanya! Merasakan betapa kedua tangannya yang ditekan pada dada pemuda itu dapat mengenal debar jantung dalam dada itu, debar jantung penuh gairah cinta!

Akan tetapi tiba-tiba wajah seorang pemuda lain terbayang di depan matanya. Seorang pemuda remaja, berusia delapan belas tahun berdekapan dengan dia yang ketika itu baru berusia enam belas tahun sambil bertangisan karena akan berpisah. Masih teringat betapa dia memberikan sebuah patrem (keris kecil) kepada Parmadi, pemuda itu dan selama ini pemberiannya itu dia anggap sebagai tanda cintanya, sungguh pun mereka berdua belum pernah menyatakan cinta melalui kata-kata.

Betapa pun juga, begitu wajah Parmadi terbayang dengan lembut dia lalu menarik kedua tangannya terlepas dari pegangan Satyabrata dan dia melepaskan pula pandang matanya dengan menundukkan mukanya. Kedua pipinya merah dan dia memaksa diri tersenyum agar tidak mengecewakan hati pemuda yang sesungguhnya telah mulai membakar gairah cintanya itu.

“Kakangmas Satyabrata, terima kasih atas perasaanmu yang murni terhadap diriku. Akan tetapi maafkan aku, kakangmas, sebenarnya saat ini aku sama sekali belum memikirkan tentang hal itu. Aku masih belum siap untuk sebuah pernikahan.”

“Diajeng, engkau pernah mengatakan bahwa kini usiamu sudah dua puluh satu tahun dan aku sendiri kini sudah berusia dua puluh enam tahun. Kita berdua sudah cukup dewasa, diajeng. Dan aku pun tidak tergesa-gesa mengajakmu menikah. Aku sudah merasa cukup bahagia kalau saja engkau bisa menerima cintaku dan membalasnya. Sedangkan tentang pernikahan, kita dapat bicarakan kelak kalau saatnya sudah tiba.”

“Maafkan aku, kakangmas, sekarang aku benar-benar belum siap. Sebaiknya kalau kita tidak membicarakan urusan itu lebih dahulu. Aku masih bingung melihat kenyataan diriku. Aku telah kehilangan ayah dan ibu, juga nenekku sudah tiada, kemudian guruku yang ke dua dan amat menyayangku telah meninggal dunia pula. Aku masih bingung menghadapi kenyataan ini, karena itu harap engkau suka maafkan aku dan tidak membicarakan urusan itu yang hanya akan menambah kebingungan hatiku.”

Satyabrata menghela napas panjang. '“Kasihan engkau, diajeng. Baiklah, sebetulnya aku pun ingin sekali menjadi pengganti semua orang yang kau cinta dan yang telah tiada itu. Akan tetapi jika engkau belum siap, aku pun tidak berani mengganggumu lagi. Sekarang bagaimana, diajeng? Ke mana engkau hendak pergi? Aku akan selalu menemanimu, tentu saja kalau engkau tidak keberatan.”

“Aku hanya mengganggumu saja, kakangmas Satyabrata. Silakan engkau melaksanakan tugas kewajibanmu sendiri dan jangan pusingkan urusanku.”

“Tidak, diajeng. Kebetulan aku pun tidak mempunyai urusan penting. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa aku jangan memusingkan urusanmu? Bagiku urusanmu berarti urusanku juga, bahkan lebih penting. Karena itu, biar pun engkau belum dapat menerima cintaku, janganlah engkau menolak kalau aku ingin menyertaimu dalam perjalananmu dan membantumu dalam segala urusan.”

Muryani merasa tak enak untuk menolak lagi. Lagi pula di lubuk hatinya ia memang sudah terpikat dengan semua ucapan yang merayu dan sangat manis terdengarnya itu sehingga sesungguhnya dia pun merasa amat berat untuk berpisah dari Satyabrata dan ingin terus didampingi pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu.

“Baiklah kalau begitu, kakangmas Satyabrata. Seperti yang kukatakan tadi, kini aku hidup sebatang kara di dunia ini. Akan tetapi masih ada seorang yang dapat kuanggap sebagai pengganti orang tuaku, yaitu guruku...”

“Ehh, bukankah tadi kau katakan bahwa gurumu juga sudah meninggal dunia?” potong Satyabrata.

“Oh, yang telah meninggal dunia itu adalah guruku yang ke dua, yaitu Nyi Rukmo Petak. Guruku yang pertama adalah Ki Ageng Branjang, ketua perguruan Bromo Dadali yang berada di Gunung Muria kakangmas.”

“Hemm, begitukah? Jadi sekarang engkau hendak pergi ke Gunung Muria?”

“Begitulah.”

“Baik, mari kita berangkat. Aku akan menemanimu pergi berkunjung ke rumah gurumu itu.”

Dua orang muda itu lalu berangkat menuju ke Gunung Muria. Selama dalam perjalanan itu Satyabrata selalu bersikap lembut, manis, dan sopan sekali, bahkan sama sekali tidak menyinggung lagi tentang perasaan cintanya terhadap Muryani sehingga gadis itu merasa senang dan semakin tertarik. Biar pun dia seorang gadis yang sakti mandraguna, namun Muryani masih hijau dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga mudah terpesona oleh rayuan manis seorang pemuda yang memang tampan dan gagah seperti Satyabrata.

Tak terhitung banyaknya wanita yang jatuh terjerumus karena rayuan. Ini karena memang telah menjadi kelemahan wanita pada umumnya untuk menjadi lunak dan tertarik hatinya apa bila menghadapi lelaki yang pandai merayu. Bahkan banyak wanita yang jatuh oleh rayuan maut pria yang tidak tampan sekali pun. Apa lagi rayuan seorang pemuda seperti Satyabrata, tentu saja daya tariknya amat besar dan kuat.....

********************

Karena mendapat keterangan dari para mata-mata bahwa Mataram sudah bersiap-siap untuk menyerbu Madura lebih dahulu dalam usahanya menyerang Surabaya, maka Harya Baka Wulung tak henti-hentinya berusaha untuk membujuk para adipati agar membantu Madura dan memberontak kepada Mataram. Bahkan puteranya sendiri, Raden Dibyasakti, dijadikan utusan istimewa untuk menghubungi dan membujuk seluruh kadipaten di Madura dan pemuda tinggi besar dan gagah itu berhasil dengan baik sehingga semua adipati di daerah Pulau Madura telah berjanji untuk bersama-sama melawan Mataram bila Mataram mengadakan penyerbuan ke Madura.

Ki Harya Baka Wulung yang menjadi sesepuh dan penasihat di Kadipaten Arisbaya masih belum puas dengan bersatunya Madura. Dia bahkan mengutus Raden Dibyasakti untuk menyeberang ke Jawa Timur di sepanjang pesisir utara, menghubungi siapa saja yang memiliki kecenderungan mendendam dan memusuhi Mataram dan yang mau membantu Madura. Bukan hanya para adipati yang dibujuk, tapi juga perkumpulan-perkumpulan yang dianggap kuat.

Tentu saja tidak semua adipati atau ketua perkumpulan dapat dibujuk untuk mendukung Madura, akan tetapi setidaknya Raden Dibyasakti sudah berusaha untuk mempengaruhi mereka, menanamkan kebencian dan sikap memberontak kepada Mataram. Bahkan Kadipaten Tuban yang baru saja ditundukkan Mataram juga tak lepas dari bujukan Raden Dibyasakti walau pun tidak berhasil.

Usaha Raden Dibyasakti sudah membuat dia pada suatu pagi sampai di Gunung Muria karena dia nendengar bahwa di situ terdapat sebuah perguruan silat yang terkenal, yaitu perguruan Bromo Dadali yang diketuai oleh Ki Ageng Branjang. Perguruan ini mempunyai kurang lebih seratus orang murid, laki-laki dan wanita yang juga tinggal di situ sehingga merupakan sebuah perkumpulan yang memiliki perkampungan cukup besar.

Ada pula murid-murid Bromo Dadali yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang masih kecil. Baru sekitar lima tahun para murid itu menikah dan kini anak-anak mereka yang paling besar berusia sekitar empat tahun. Dengan adanya keluarga ini maka perguruan Bromo Dadali kini berubah menjadi sebuah perkampungan.

Mereka bekerja sebagai petani, mengerjakan tanah Pegunungan Muria yang cukup subur. Kehidupan mereka tenteram dan damai karena perguruan ini dikenal baik oleh penduduk sekitar Gunung Muria. Bahkan Bromo Dadali menjadi sumber pertolongan bagi penduduk dusun-dusun itu bila terjadi penindasan oleh orang-orang yang menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan adanya Bromo Dadali, maka para gerombolan perampok dan pencuri tidak berani beraksi. Kalau mereka beraksi maka orang-orang gagah yang menjadi murid Bromo Dadali tentu akan bertindak menumpas mereka.

Pagi itu udara cerah sekali. Matahari sudah agak lama muncul di balik puncak gunung sebelah timur dan sekarang sinarnya yang tadi kemerahan sudah berubah terang, putih kekuningan menghiduprkan segala yang tampak di permukaan bumi. Embun-embun yang bergantungan di ujung-ujung daun bagaikan mutiara mulai berjatuhan. Tanah dan daun-daun pohon yang semalam disiram hujan, kini tertimpa sinar matahari, menguapkan hawa yang membawa bau sedap, bau sehat dari tanah dan tumbuh-tumbuhan.

Burung-burung yang berloncatan dari ranting ke ranting, meruntuhkan sisa air embun yang agaknya enggan meninggalkan pucuk daun-daun. Beberapa ekor bajing berloncatan di antara buah-buah kelapa, berkejaran dengan riang gembira.

Beberapa orang murid Bromo Dadali yang bertubuh sehat kokoh, laki-laki berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana hitam sebatas bawah lutut, memanggul pacul dan memakai caping lebar, terlihat berjalan beriringan seperti baris di atas tanggul sawah. Di belakang mereka tampak tiga orang laki-laki lain yang menggiring sembilan ekor kerbau dan dua ekor sapi, berjalan di tepi sawah ladang, agaknya sedang digiring ke arah lereng di mana tumbuh rumput hijau yang lebat. Sebelas ekor hewan peliharaan itu tampak gemuk dan sehat.

Dari jauh tampak beberapa orang murid lain sedang mencangkul tanah dan seorang di antara mereka bertembang. Lagu yang ditembangkan Sekar Pangkur dan beberapa orang lain menyelingi dengan senggaan, ada pula yang menirukan suara kendang dan kenong. Para murid Bromo Dadali itu bekerja dengan hati gembira sehingga tubuh yang sehat dan yang sudah bersimbah peluh itu tidak terasa lelah.

Pada saat-saat seperti itu kita memandang kesemuanya itu tanpa adanya pikiran yang melayang-layang dan kita melihat kenyataan betapa semua itu, awan putih, sinar mentari, daun-daun pohon yang masih basah, burung-burung, binatang peliharaan, tupai-tupai, dan orang-orang itu, semuanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan seperti dilindungi oleh puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi menghadang awan.

Selagi para murid Bromo Dadali memusatkan seluruh perhatian mereka pada kaki tangan mereka yang sibuk bekerja, dengan pikiran terpusat, hening dan tenggelam ke dalam kebahagiaan tanpa keinginan apa pun, ketika orang yang bertembang itu berhenti, tiba-tiba terdengar suara wanita bertembang, menyelingi penembang tadi dengan tembang Sekar Pangkur yang menghanyutkan.

Hardaning kang pancadria
Pan kuwasa amagreh kanang diri
Angrubeda mrih tan tulus
Saged rumesep ing tyas
Amiluta ing dria amrih kepencut
Anilepken kawaspadan
Lir tiyang ningali ringgit.

Semua murid Bromo Dadali yang berada di sawah ladang, juga yang sedang menggiring kerbau dan sapi, hanyut oleh suara tembang ini. Ketika suara itu berhenti dan wanita yang menembang muncul dekat, mereka semua langsung menghentikan pekerjaan mereka dan memandang dengan heran dan kagum. Ternyata yang muncul adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita.

Karena suara tembang tadi jelas suara wanita, maka semua orang maklum bahwa gadis cantik itulah tentu yang tadi bertembang. Dan semua murid Bromo Dadali mengenal betul tembang itu. Tembang Pangkur yang sering kali ditembangkan Ki Ageng Branjang.

Guru mereka, ketua perguruan Bromo Dadali adalah orang yang mengagumi kisah Arjuna Wiwaha yang diceritakan di dalam tembang itu. Bahkan Ki Ageng Branjang mengajarkan filsafat dari tembang-tembang itu kepada para muridnya. Karena itu mereka terkejut dan heran melihat ada seorang gadis kini menyanyikannya dengan suara yang teramat merdu. Tembang itu mempunyai kandungan filsafat tinggi yang uraiannya sudah pernah mereka dengar dari Ki Ageng Branjang seperti berikut.

Rangsangan panca-indera
berkuasa memerintah diri pribadi
menghalangi agar cita luhur gagal
dapat meresap ke dalam hati sanubari
mempengaruhi indera agar terpikat
menqhilanqkan kewaspadaan
seperti orang nonton wayang.

Tiba-tiba seorang murid Bromo Dadali, seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang hitam manis dan sedang memetik daun semanggi yang tumbuh di sekitar sawah, berseru girang, “Adi Muryani...!”

Mendengar seruan ini, para murid lainnya segera mengenal gadis cantik jelita yang sudah meninggalkan perguruan selama lima tahun lebih yang lalu. Mereka segera berlari-larian menghampiri dan berseru memanggil nama gadis itu.

“Muryani...! Muryani...!” Mereka berteriak-teriak sambil melambaikan caping atau tangan dan berlari menghampiri.

Muryani berdiri melambaikan tangan sambil tersenyum lebar penuh kegembiraan. Setelah mereka dekat, baru dia mengenal mereka satu demi satu walau pun sudah lima tahun dia berpisah dari mereka. Gadis hitam manis yang pertama kali memanggilnya tiba lebih dulu dan dua orang gadis ini segera berangkulan.

“Adi Muryani, bertahun-tahun kita tak berjumpa! Sekarang engkau bertambah cantik saja! Ini... dia ini... suami?”

Muryani tersenyum, mukanya berubah merah dan dia mencubit lengan gadis hitam manis itu.

“Ihh, mbakayu Markonah, jangan ngaco kau! Ini adalah kakangmas Satyabrata, seorang sahabat.”

“Ooo, sahabat?” ulang Markonah yang centil itu sambil tertawa dan memandang wajah Satyabrata dengan sikap lucu dan lugu.

Satyabrata membungkuk memberi hormat dan berkata lembut.

“Perkenalkan, saya bernama Satyabrata, dari Cirebon.”

Markonah balas membungkuk dan berkata riang, “Saya senang berkenalan dengan andika karena andika sahabat adi Muryani. Nama saya Markonah, seorang murid perguruan Bromo Dadali.”

Para murid lain berdatangan dan mereka merubung Muryani yang menjadi gembira sekali. Satyabrata juga berkenalan dengan para murid Bromo Dadali. Karena sama-sama merasa kangen, maka para murid itu menghujani Muryani dengan pertanyaan dan memaksanya untuk bercakap-cakap di pinggir sawah itu.

Mereka duduk di bawah sebatang pohon yang rindang dan saling bertanya-jawab tiada hentinya. Satyabrata yang tahu diri membiarkan Muryani melepas rasa kangennya. Dia hanya mendengarkan saja sambil tersenyum.

Tak lama kemudian semua kepala menengok ke arah selatan. Mereka semua mendengar derap kaki banyak kuda dan segera tampaklah debu mengebul lalu serombongan orang menunggang kuda lewat di jalan dekat tepi sawah di mana mereka uduk bercakap-cakap. Dengan hati heran dua puluh orang lebih murid Bromo Dadali itu melihat seorang pemuda tinggi besar dan gagah perkasa memimpin sekitar dua lusin laki-laki yang kesemuanya bertubuh kokoh kuat melarikan kuda menuju ke atas melalui jalan tanjakan itu.

Muryani mengerutkan alisnya. “Siapakah dia itu?”

Akan tetapi tak seorang pun di antara para murid Bromo Dadali mengenalnya.

“Kami tidak mengenalnya,” kata seorang murid pria. “Agaknya dia dan rombongannya itu hendak berkunjung ke perguruan kita. Mungkin dia kenalan bapa guru.”

“Hemm, andai kata dia itu benar kenalan bapa guru, kukira dia bukan kenalan baik,” kata Muryani. “Sikapnya begitu angkuh. Dia tahu sedang berada di daerah orang, akan tetapi sama sekali tidak mempedulikan kita!”

“Mungkin dia tidak tahu kita ini murid perguruan Bromo Dadali dan menyangka kita petani-petani pegunungan ini, adi Muryani,” kata Markonah. “Mengapa merasa penasaran?”

“He, siapa itu yang datang berlari-lari?” tanya seseorang.

Semua memandang ke utara. Benar saja, terlihat seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun datang berlari-lari.

“Kakang Sanuri!” Muryani menyambut dengan gembira mengenal kakak seperguruan yang menjadi satu di antara murid-murid kepala yang kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari padanya dalam perguruan itu. Sanuri ini dulu sering mewakili bapa guru mereka untuk melatihnya.

“Ehh, kiranya engkau, Muryani? Ke mana saja engkau selama ini?” tanya Sanuri dengan napas agak terengah karena dia berlari-lari tadi.

“Nanti dulu, kakang. Tampaknya engkau sangat tegang berlari-larian. Ada apakah?” tanya Muryani. Yang lain juga bertanya demikian sehingga perhatian Sanuri terhadap Muryani segera beralih ke hal yang dianggapnya lebih penting.

“Apakah tadi kalian tidak melihat rombongan penunggang kuda yang tentu lewat di sini?” tanya Sanuri sambil memandangi adik-adik seperguruannya yang berkumpul di situ.

“Kami melihat mereka!” Serentak para murid Bromo Dadali menjawab seperti sekumpulan burung.

“Siapakah mereka itu, kakang Sanuri? Tampaknya mereka itu sombong sekali!” tanya Muryani.

“Ya, siapakah mereka, kakang Sanuri?” hanyak murid bertanya.

“Agaknya kalian belum mengenal pemimpin rombongan tadi. Dia adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan dia adalah seorang yang berwatak keras dan memiliki kesaktian yang hebat. Pada kunjungannya pertama kali, tidak banyak yang mengetahui dan ketika itu, lima hari yang lalu, kebetulan bapa guru tidak berada di rumah. Kunjungan senopati muda bernama Raden Dibyasakti itu tanpa membawa pengikut dan kebetulan yang menemuinya aku sendiri bersama empat saudara yang lain. Ketika dia diberi tahu bahwa bapa guru tidak ada, dengan sikapnya yang keras dia menuntut kami agar mencari dan memanggil bapa guru supaya pulang. Tentu saja kami tidak mau dan terjadi keributan antara kami berlima dengan dia sehingga terjadi perkelahian. Biar pun kami maju berlima, akan tetapi kami tidak mampu menandinginya sehingga kami berlima kalah. Lalu dia pergi meninggalkan pesan bahwa lima hari lagi dia akan datang. Kami sudah melapor kepada bapa guru yang memesan agar kami tidak memberitakan peristiwa itu kepada para murid lain. Akan tetapi hari ini Raden Dibyasakti itu datang membawa pengikut yang berjumlah besar.”

“Kami melihat ada dua losin orang pengikut!” kata beberapa orang murid.

“Hemm, kedengarannya buruk! Siapa tahu senopati itu mempunyai niat buruk terhadap bapa guru. Marilah kita ke sana untuk melindungi keselamatan bapa guru!” kata Muryani penuh semangat.

Akan tetapi dua puluh orang lebih murid Bromo Dadali yang berkumpul di situ tampaknya enggan berdiri.

Melihat ini, Muryani mengerutkan alisnya. “Mengapa kalian ini? Mungkin bapa guru dalam bahaya! Hayo cepat kita ke sana!”

“Ahh, adi Muryani. Apa yang akan bisa kita lakukan? Kalau kakang Sanuri beserta empat orang murid lain maju mengeroyok senopati Madura itu dan mereka kalah, lalu apa yang dapat kita lakukan? Kalau kita melawan senopati itu, sama saja dengan bunuh diri!” kata Markonah.

Para murid lain mengangguk membenarkan. Mereka semua tampak ketakutan.

Melihat sikap mereka, Muryani menjadi marah dan kecewa sekali. “Kalian tidak pantas menjadi murid Bromo Dadali! Melihat bapa guru terancam kalian tidak berani menolong. Kalau kalian tidak berani, biar aku yang akan membela bapa guru! Kalian yang pengecut ini memang lebih pantas berlumur lumpur di sawah ini! Mari, kakangmas Satyabrata, kita pergi!” Setelah berkata demikian, Muryani segera mengajak Satyabrata berlari menuju ke perkampungan Bromo Dadali mengejar rombongan berkuda tadi.

Setelah Muryani dan Satyabrata pergi, Sanuri bangkit berdiri dan memandang semua adik seperguruannya. “Kalian memang memalukan sekali. Betapa sakti pun musuh, kalau bapa guru terancam bahaya apakah pantas jika kita tinggal diam saja? Mereka yang tidak mau menjadi pengecut, marilah ikut aku mengejar!” Sesudah berkata demikian, Sanuri segera berlari mengejar dan satu demi satu para murid Bromo Dadall juga bangkit kemudian lari mengejar, pulang menuju ke perkampungan mereka.

Mereka terutama sekali mengkhawatirkan keselamatan keluarga mereka yang berada di perkampungan.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)