SERULING GADING : JILID-34


Karena sikap Dibyasakti yang kasar dan memandang rendah, terjadilah percekcokan yang berlanjut menjadi perkelahian. Walau pun dikeroyok lima, akan tetapi akhirnya Dibyasakti dapat merobohkan mereka semua. Karena maksudnya adalah untuk mengajak perguruan itu bekerja sama memusuhi Mataram, maka dia tidak membunuh lima orang itu melainkan hanya merobohkan mereka karena maksudnya hanya untuk meninggalkan kesan bahwa dia adalah seorang yang sakti mandraguna.

Dia lalu meninggalkan pesan bahwa lima hari kemudian dia akan datang lagi menemui Ki Ageng Branjang. Dan pada hari itu, datanglah dia bersama dua losin anak buahnya untuk menambah wibawa dan membuat gentar ketua perguruan itu sehingga tak akan menolak rayuan dan ajakannya untuk memusuhi Mataram.

Para murid Bromo Dadali dan keluarga mereka yang tidak bertugas keluar perkampungan, menjadi gempar ketika dua puluh lima orang penunggang kuda yang rata-rata gagah dan menyeramkan itu memasuki perkampungan mereka. Mereka yang sudah mendengar dari para murid yang pernah dikalahkan Dibyasakti, menjadi gentar. Akan tetapi mereka yang belum mendengar menjadi terkejut, penasaran dan juga marah. Segera mereka mengambil senjata dan dua puluh orang itu dikepung oleh puluhan orang murid Bromo Dadali.

“Heiii! Orang-orang Bromo Dadali!” Dibyasakti berteriak dengan suara yang lantang dan berwibawa. “Kami dari Kadipaten Arisbaya datang bukan sebagai musuh melainkan ingin menjalin persahabatan dengan Bromo Dadali. Aku, Raden Dibyasakti, senopati muda dari Arisbaya, mempersilakan Ki Ageng Branjang, ketua kalian, untuk keluar dan berbicara denganku!”

Mendadak terdengar suara orang, lantang kuat namun halus, “Para murid Bromo Dadali, mundurlah! Raden Dibyasakti dari Arisbaya, akulah Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali!”

Semua murid membuka jalan dan mundur sehingga guru mereka kini berhadapan dengan Dibyasakti yang telah melompat turun dari atas kudanya dan kini kendalinya dituntun oleh salah seorang di antara para pengikutnya. Pemuda yang gagah perkasa ini memandang ke depan.

Ia melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan dengan sepasang mata mencorong, berdiri tegak dengan sikap tenang tapi gagah sekali. Tangan kanan laki-laki ini memegang sebatang tombak yang gagangnya ditekan di atas tanah dan mata tombak itu berkilauan sehingga mendatangkan wibawa yang ampuh. Itulah tombak pusaka Kyai Jamus yang terkenal ampuh sekali!

Melihat keadaan orang itu, Dibyasakti terpengaruh juga. Dia segera melangkah maju dan kini kecongkakannya agak berkurang. Dia tersenyum lebar dan menghampiri, lalu berdiri di depan ketua Bromo Dadali itu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Dia memberi hormat dengan membungkuk dan suaranya terdengar ramah ketika dia berkata.

“Ahh, kiranya paman Ki Ageng Branjang telah berkenan menemui saya. Saya gembira sekali dapat bertemu dengan paman.”

Namun hati Ki Ageng Branjang yang panas tidak dapat didinginkan demikian mudah oleh sikap ramah Dibyasakti. “Raden Dibyasakti, entah keperluan apa yang membawa andika datang berkunjung. Akan tetapi, mendengar laporan para murid bahwa lima hari yang lalu andika memamerkan kepandaian merobohkan murid-murid kami, kami menduga maksud kunjungan andika ini tidak membawa niat baik.”

“Ah, sama sekali tidak, paman. Saya datang sebagai utusan Gusti Adipati di Arisbaya dan juga mewakili ayah saya Ki Harya Baka Wulung. Di samping itu, sebagai senopati muda Arisbaya saya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting dengan paman. Marilah, paman, kita bicara di dalam saja, tidak baik membicarakan urusan penting di luar seperti ini.”

“Kalau hendak membicarakan urusan penting, mengapa harus memamerkan kesaktian dan merobohkan murid-murid Bromo Dadali?”

“Itu hanya merupakan kesalah-pahaman belaka, paman. Percayalah, kunjungan saya ini sebagai sahabat.”

Mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ki Harya Baka Wulung, di dalam hatinya Ki Ageng Branjang terkejut sekali dan dia tidak merasa senang karena dia sudah mendengar betapa tokoh Madura ini sudah menghasut banyak orang supaya memberontak terhadap Mataram.

“Hemm, Raden Dibyasakti, katakanlah saja dulu apa keperluan penting itu supaya dapat kupertimbangkan apakah hal ini perlu dirundingkan di dalam atau cukup di sini saja,” kata Ki Ageng Branjang yang masih merasa penasaran mendengar betapa lima hari yang lalu lima orang muridnya dirobohkan oleh pemuda tinggi besar yang berwajah bengis ini.

Mendengar ucapan ketua Bromo Dadali yang tegas dan tidak ramah itu, Raden Dibyasakti tersenyum rnengejek, lalu tangan kirinya memuntir kedua ujung kumisnya.

“He-he-heh-heh, baiklah, paman, kalau itu yang andika kehendaki. Dengarkan baik-baik, paman. Gusti Adipati Arisbaya dan Bapa Ki Harya Baka Wulung mengirimkan salam dan mengulurkan tangan persahabatan untuk paman di sini.”

“Kami menerima salam dan uluran tangan persahabatan itu, anakmas,” jawab Ki Ageng Branjang singkat.

“Ada pun kepentingan kedua, demi persahabatan itu kami dari Kadipaten Arisbaya hendak mengajak perguruan Bromo Dadali untuk bekerja sama menentang Mataram yang angkara murka dan telah menaklukkan banyak daerah tapi masih belum puas dan ingin merampas daerah kita semua. Marilah kita menggalang persatuan untuk menentang Sultan Agung yang angkara murka itu, paman!”

Ki Ageng Branjang tersenyum meski hatinya menjadi semakin panas. Jawaban seperti itu memang sudah diduganya lebih dahulu. “Anakmas Dibyasakti, tadi andika mengulurkan tangan persahabatan dan telah kami terima. Satu di antara syarat persahabatan yang baik adalah tidak saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Kalau Kadipaten Arisbaya atau seluruh Madura memusuhi Mataram, urusan itu sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan perguruan Bromo Dadali. Harus kami akui bahwa kami adalah kawula yang sudah mengakui kedaulatan dan kekuasaan Kerajaan Mataram dan kami tak ingin memberontak. Oleh karena itu terpaksa kami menolak ajakanmu untuk menentang Mataram itu.”

Mendengar ucapan ini, sepasang mata Raden Dibyasakti melotot, mukanya merah sekali, alisnya yang hitam tebal berkerut dan kedua tangannya dikepal.

“Ki Ageng Branjang!” bentaknya dengan nada tidak menghormati lagi. “Orang yang tidak mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Mataram berarti menjadi musuh kami karena orang itu tentu menjadi antek Mataram!”

“Babo-babo, Dibyasakti! Omonganmu kementus dan mau menang sendiri! Kami bukan antek Mataram, akan tetapi sebagai kawula kami setia kepada Kerajaan Mataram! Jangan harap untuk menarik kami menjadi pemberontak. Kalau memang berani, lawanlah sendiri Mataram, jangan membujuk orang lain untuk ikut-ikutan!”

“Keparat! Kalau begitu perguruan Bromo Dadali bukan menjadi sahabat kami, melainkan musuh kami!” kata Dibyasakti.

“Terserah padamu, Dibyasakti. Kami mau menjadi sahabat untuk urusan yang baik. Akan tetapi kalau untuk memberontak terhadap Mataram, kami tidak sudi dan kalau karena itu andika hendak memusuhi kami, silakan. Kami tidak takut!” kata Ki Ageng Branjang yang juga sudah marah.

“Ha-ha-ha! Bagus, sekarang mari kita buktikan siapa yang lebih digdaya dengan mengadu kesaktian!” kata Dibyasakti sambil melayangkan pandang matanya menyapu murid-murid perguruan Bromo Dadali yang sudah berkumpul di pekarangan yang luas itu. “Ki Ageng Branjang, andika hendak bertanding satu lawan satu seperti seorang gagah atau hendak mengandalkan banyak murid untuk mengeroyok seperti watak pengecut?”

“Dibyasakti, manusia sombong! Kami bukan pengecut dan takkan mundur selangkah pun untuk melawanmu!”

“Bagus, Ki Ageng Branjang. Andika berani menantangku?”

“Andika yang datang ke sini mencari permusuhan, bukan kami!”

“Kalau begitu hayo majulah dan siapa pun boleh melawan aku! Ha-ha, Ki Ageng Branjang, hendak kulihat sampai di mana kemampuanmu maka andika berani membuka perguruan silat di sini. Majulah, dan kalau engkau takut, boleh juga muridmu maju mengeroyokku!” tantang Dibyasakti.

“Kita bertanding dengan cara satu lawan satu. Bersiaplah!” bentak Ki Ageng Branjang dan dia sudah melintangkan tombak pusaka Kyai Jamus.

“Nanti dulu! Harus memakai perjanjian lebih dulu. Kalau aku kalah dalam pertandingan ini, aku akan pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau andika yang kalah, Ki Ageng Branjang, andika harus berjanji akan membantu kami melawan Mataram bersama semua muridmu.”

“Tidak sudi! Kalau aku kalah olehmu, andika boleh melakukan apa saja kepadaku, boleh membunuhku, tetapi kami tetap tidak sudi membantumu memberontak kepada Mataram!” kata Ki Ageng Branjang.

“Baiklah, jika begitu bersiaplah untuk mampus!” bentak Dibyasakti sambil mencabut keris pusakanya yang bernama Keris Pusaka Margoleno. Tampak cahaya yang menyeramkan ketika keris itu dicabut.

Pada saat kedua orang itu sudah bersiap untuk saling menyerang dengan senjata pusaka masing-masing, tiba-tiba terdengar seruan nyaring seorang wanita, “Tahan dulu!”

Semua orang terkejut dan menoleh.

Ki Ageng Branjang segera mundur dan mengangkat muka memandang. Tampak seorang gadis berlari cepat ke arah tempat itu, diikuti seorang pemuda. Setelah mereka mendekat, Ki Ageng Branjang berseru dengan girang dan juga heran, “Muryani...!”

“Bapa guru...!” Muryani menghampiri lalu menyembah. Kemudian dia berbalik menghadapi Dibyasakti dan berkata, “Bapa guru, apakah kadal ini mengganggu bapa guru? Jika benar biarkan saya yang akan menghajarnya!”

Semua orang sangat terkejut mendengar gadis itu memaki kadal kepada senopati muda dari Arisbaya yang digdaya itu. “Muryani, aku girang engkau datang. Aku sudah merasa kangen padamu, nak. Akan tetapi minggirlah dulu, biar kuhadapi dulu orang Arisbaya yang datang mencari keributan ini. Dia bukan lawanmu, Muryani.”

“Tidak, bapa guru. Hanya membunuh seekor cacing tanah, mengapa harus menggunakan pedang? Cukup diinjak saja akan mampus! Menghadapi kadal macam ini tidak perlu bapa guru sendiri yang maju. Untuk apa bapa mempunyai murid-murid? Biarkan saya mewakili bapa menghajarnya!” kata pula Muryani dengan sikap gagah.

Sejak tadi Dibyasakti memandang dengan terpesona. Dia memang seorang laki-laki mata keranjang. Matanya segera berminyak dan haus kalau melihat wanita cantik. Kemunculan Muryani membuat jantungnya berdebar dan birahinya naik ke ubun-ubun. Mendengar bibir yang manis itu mengeluarkan kata-kata memaki, memandang rendah dan menghinanya, dia tak menjadi marah malah tertawa bergelak, memuntir kumisnya kemudian menyimpan kembali keris pusakanya.

“Ha-ha-ha-ha-ha, ternyata perguruan Bromo Dadali mempunyai murid yang begini denok ayu, begini manis merak ati! Engkau hendak mewakili gurumu melawanku, juwita? Bagus, majulah agar dapat kutangkap, kurangkul dan kudekap. Aku sudah rindu untuk menciumi mukamu yang jelita itu!”

Mendengar kata-kata ini, beberapa orang murid pria Bromo Dadali menjadi marah sekali. Mereka merasa malu kalau membiarkan Muryani sebagai murid perempuan mewakili guru mereka. Bagaimana pun juga mereka adalah murid laki-laki yang tentu saja lebih tangguh dibandingkan Muryani. Jika Muryani saja bersikap begitu gagah berani membela guru dan perguruannya, mengapa mereka tidak?

Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat, bertenaga besar segera melompat ke depan Muryani, membelakangi gadis itu dan menghadapi Dibyasakti.

“Dibyasakti, lelaki macam apa engkau ini? Bisanya hanya menghina seorang wanita! Adik Muryani bukan lawanmu, akulah lawanmu. Sambut ini, hyaaaaattt...!”

Dia sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan, cepat dan kuat sekali serangannya itu.

Melihat seorang kakak seperguruan mendahuluinya, terpaksa Muryani melangkah mundur ke samping gurunya lantas menonton pertandingan antara murid Bromo Dadali melawan Dibyasakti itu.

Senopati muda putera Ki Harya Baka Wulung itu menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya menangkis dari dalam.

“Dukkk...!”

Pukulan yang tertangkis itu segera terpental dan Dibyasakti menggerakkan tangan kanan menampar ke arah muka lawan. Akan tetapi murid Bromo Dadali itu pun dapat mengelak dengan cepat walau pun tubuhnya agak goyah oleh tangkisan yang terasa amat kuat itu. Segera terjadi perkelahian tangan kosong yang hebat.

“Hmmm, dia tangguh sekali. Bukan lawanmu, Muryani. Jangan maju supaya tidak sampai terhina olehnya,” kata Ki Ageng Branjang.

Guru ini merasa prihatin karena dari pertandingan itu saja dia dapat melihat betapa tingkat muridnya jauh kalah tinggi, juga muridnya kalah jauh dalam hal kekuatan tenaga dalam. Dugaannya benar karena setelah lima enam gebrakan, mendadak Dibyasakti membentak keras, kakinya yang besar panjang mencuat dan tubuh murid Bromo Dadali itu terlempar lalu terbanting ke atas tanah.

“Ha-ha-ha, hanya sebegini sajakah kepandaian murid Bromo Dadali?” Dia lalu memandang kepada Muryani dan menggerakkan tangan menggapai. “Marilah, manis. Mari kita main-main, aku ingin merasakan kelembutan dan kehangatan tanganmu!”

Muryani sudah hendak maju, akan tetapi seorang murid laki-laki Bromo Dadali yang lain tak dapat menahan kemarahannya. Dia sudah mendahului maju dan langsung menyerang Dibyasakti. Terjangannya juga hebat karena sambil melompat itu dia langsung mengirim tendangan kilat ke arah dada lawan. Serangan itu merupakan sebuah tendangan terbang yang dalam ilmu silat perguruan mereka dinamakan jurus Dadali (Walet) Mencengkeram Ranting. Kedua tangan dikembangkan ketika melompat dan kedua kaki menghantam ke arah dada lawan.

Akan tetapi Dibyasakti tidak menjadi gugup menghadapi serangan dahsyat ini. Kakinya bergeser ke kiri, tubuhnya diputar dan kedua tangannya membuat gerakan memotong dari samping dengan pengerahan tenaga saktinya.

“Wuuuttt...! Krekkk...!”

Kedua tulang kering kaki itu dihantam kedua tangan miring Dibyasakti dan murid Bromo Dadali itu terpelanting roboh, tidak mampu bangkit lagi karena kedua tulang kakinya patah! Para rekannya lalu menolongnya dan menggotongnya keluar dari arena pertandingan.

Murid ketiga hendak maju, akan tetapi Ki Ageng Branjang maklum bahwa para muridnya tidak akan ada yang mampu menandingi Dibyasakti, Dia tak ingin melihat murid-muridnya berjatuhan dan cidera, maka dia cepat membentak, “Semua diam di tempat! Tidak boleh ada yang maju!”

Betapa marah dan penasaran pun, para murid tidak berani bergerak. Akan tetapi Muryani memegang lengan gurunya dan berkata, “Bapa guru, perkenankan saya mewakili bapa guru. Tidak sepatutnya bapa turun tangan sendiri menghadapi kadal buduk macam ini!”

Pada saat memegang pergelangan tangan kanan gurunya, Muryani sengaja mengerahkan tenaga saktinya. Ki Ageng Branjang terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa telapak tangan yang lembut dan hangat itu tiba-tiba mengeluarkan hawa yang luar biasa kuatnya. Sebentar ada hawa panas membara kemudian tiba-tiba berubah menjadi dingin membeku, lalu panas lagi. Dia mencoba untuk mengerahkan tenaga saktinya melawan tenaga aneh itu, akan tetapi merasa betapa tenaga saktinya malah tertolak balik. Jelas bahwa Muryani mempunyai tenaga sakti yang sangat aneh dan jauh lebih kuat dari pada tenaga saktinya sendiri.

Dia menatap heran kepada muridnya yang cantik itu dan Muryani memberi isyarat dengan kedipan mata penuh arti. Ki Ageng Branjang mengangguk, mengerti bahwa muridnya ini sekarang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna!

“Baiklah, Muryani, engkau boleh maju mewakili aku untuk menandingi Dibyasakti, akan tetapi berhati-hatilah dan jangan membikin malu perguruan Bromo Dadali!” kata Ki Ageng Branjang dengan suara lantang karena merasa gembira.

Tadinya dia sudah merasa prihatin bahkan setengah putus asa karena dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaiannya sendiri besar kemungkinannya tak akan mampu menandingi kedigdayaan Dibyasakti. Kini kemunculan muridnya yang terkasih itu, yang datang sambil membawa kepandaian yang luar biasa, agaknya akan dapat mempertahankan kehormatan perguruan Bromo Dadali!

“Jangan khawatir, bapa.”

Lima orang murid utama Bromo Dadali segera maju dan menyatakan keberatan mereka, “Akan tetapi, bapa guru! Bagaimana adi Muryani diharuskan melawan dia? Biarlah kami yang menjadi korban, bukan murid perempuan!”

“Para kadang sepuh (saudara tua) seperguruan!” kata Muryani. “Kuharap andika sekalian tidak khawatir. Aku merasa yakin akan dapat menghajar kadal buduk ini. Kalau dia tidak dihajar maka dia akan menganggap Bromo Dadali adalah perguruan yang lemah. Minggir dan silakan nonton saja.”

Kemudian ia maju mendekati Dibyasakti dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah hidung senopati muda itu. “Heh, kamu kadal monyet anjing celeng buruk! Hayo maju kalau memang kau berani, jangan hanya menggonggong seperti anjing budukan! Eh, kakangmas Satya, harap jangan ikut campur. Engkau nonton saja, nanti kuperkenalkan kepada bapa guru dan saudara-saudara seperguruanku!”

Satyabrata tersenyum, mengangguk dan berdiri di pinggir lingkaran yang menjadi arena pertandingan itu. Betapa pun juga diam-diam dia siap melindungi gadis yang dicintanya.

Akan tetapi hatinya merasa gelisah juga. Tadi dia mendengar bahwa orang muda gagah itu adalah Raden Dibyasakti, selain menjadi senopati muda Arisbaya juga putera Ki Harya Baka Wulung! Padahal saat ini Arisbaya dan seluruh Pulau Madura sedang bersiap-siap untuk berperang melawan Mataram.

Tentu saja pihak Kumpeni Belanda diam-diam mendukung siapa saja yang bermusuhan dengan Mataram. Sebagai orang Kumpeni dengan sendirinya dia condong berpihak pada Dibyasakti. Jika saja di situ tidak ada Muryani, sudah pasti dia akan membantu Dibyasakti menghadapi perguruan Bromo Dadali yang tak mau diajak bekerja sama untuk menentang Mataram.

Akan tetapi saat itu Dibyasakti berhadapan dengan Muryani sebagai lawan. Tentu saja dia tidak mau menentang gadis yang sudah membuatnya tergila-gila dan yang benar-benar telah merebut hatinya itu. Maka dia pun hanya berdiri menonton dengan hati bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Sementara itu, betapa pun cantik jelitanya gadis itu, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya terlampau menghina, makian-makiannya terlalu merendahkan dirinya, padahal makian-makian itu diucapkan di hadapan banyak orang, maka tentu saja wajah Dibyasakti menjadi merah padam dan bulu kumisnya seakan bangkit berdiri. Hatinya menjadi panas sekali.

“Perawan liar! Akan kutelanjangi kau, akan kupermalukan kau, akan kuhina kau sampai menyembah-nyembah di depan kakiku!” bentaknya.

“Hi-hik, apa katamu? Kau berani? Apa kau mampu? Rupamu macam begitu, seperti anjing yang banyak menggonggong tapi tidak dapat menggigit. Coba kau berani menggigit, tumit kakiku tentu akan rnerontokkan gigimu yang besar-besar itu!” Muryani sengaja mengejek untuk membuat lawan lebih marah lagi.

Dari gurunya yang kedua, Nyi Rukmo Petak, ia pernah diberi tahu bahwa kemarahan yang besar sangat mengurangi kewaspadaan. Karena itu kalau ia dapat membuat lawan marah maka dapat dikatakan bahwa kekuatan lawan sudah berkurang dan kewaspadaannya pun menjadi lengah.

Tadi ia juga melihat bahwa lawan ini sesungguhnya seorang yang sakti dan ia sama sekali tidak berani memandang remeh. Kalau ia bersikap seolah meremehkan dan memandang rendah, itu hanya siasat gadis cerdik ini untuk membuat Dibyasakti diguncang amarahnya sendiri. Dan hasilnya memang baik.

Selama ini belum pernah ada yang berani menghina senopati muda itu. Tapi sekali ini dia merasa dihina dan direndahkan sehingga dia marah sekali. Matanya mendelik, napasnya mendesis dan ketika dia mengepal kedua tangan sambil mengerahkan tenaga, terdengar bunyi berkerotokan dari buku-buku jari tangannya.

Semua murid perguruan Bromo Dadali memandang dengan hati tegang campur gelisah. Mereka merasa takut dan khawatir bukan main akan nasib Muryani yang harus melawan raksasa muda sedahsyat itu. Bahkan Ki Ageng Branjang juga mulai menyesal kenapa dia membolehkan murid perempuannya itu menandingi Dibyasakti.

Apa bila dia yang maju dengan tombak pusakanya, walau pun belum tentu menang tetapi setidaknya ilmu tombaknya tentu akan dapat mengadakan perlawanan yang cukup gigih. Pula, dia tidak akan menyesal seandainya dia tewas mempertahankan kehormatan Bromo Dadali.

Akan tetapi Muryani? Kasihan kalau sampai gadis itu menjadi korban, apa lagi ancaman Dibyasakti tadi benar-benar mengerikan. Gadis itu akan dipermalukan dan diperhina yang bagi seorang gadis tentu saja lebih hebat dari pada kematian! Akan tetapi dia tidak dapat melakukan apa pun untuk mencegah pertandingan yang sudah akan dimulai itu.

“Perawan liar dan sombong, bersiaplah engkau!” Dibyasakti membentak marah, sepasang kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya dikepal di kedua sisi tubuhnya.

“Bocah kementus! Aku sudah siap dari tadi! Majulah!” kata Muryani dan ia pun memasang kuda-kuda kembangan. Kedua kakinya berjingkat, tubuh agak bungkuk dan kedua lengan dikembangkan, sikapnya seperti seekor burung yang hendak terbang.

Inilah pembukaan ilmu silat perguruan Bromo Dadali yang dikenal oleh semua murid yang berada di sana, yaitu yang disebut jurus Dadali Anglayang (Walet Melayang)! Gerakannya begitu luwes dan manis, namun juga gagah. Apa lagi Muryani seperti mengejek, mulutnya tersenyum manis, matanya mengerling ke arah lawan karena kepalanya agak dimiringkan seperti kepala burung walet yang memandang dari angkasa! Melihat gerakan pembukaan yang dianggapnya lemah itu, Dibyasakti lalu membuat gerakan dengan kedua tangannya.

“Sambut ini! Hyaaaaahhhh...!” Kedua tangan itu seperti dua ekor kepala ular, dibuka dan mencengkeram ke arah dada Muryani.

Semua orang terkejut dan juga marah bukan main sebab serangan pertama ini saja sudah menunjukkan betapa kurang ajar dan tidak sopannya pemuda raksasa itu, karena kedua tangan itu jelas digunakan untuk mencengkeram ke arah sepasang buah dada gadis itu!

“Hmmm, gerakan lambat seperti kura-kura!” Muryani mengejek dan dengan mudah saja ia mengelak ke samping. Gerakannya amat tangkas dan cepat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah berada di sebelah kiri Dibyasakti. Sebelum raksasa muda itu memutar tubuhnya, Muryani sudah membuat gerakan cepat sehingga kini ia berada di belakang tubuh lawan. Tangan kanannya dengan jari terbuka kini menghantam ke arah punggung yang lebar dan tebal itu.

Dibyasakti tertawa mengejek. Tubuhnya mempunyai kekebalan, terutama di bagian dada dan punggung. Jangankan hanya tamparan tangan lembut seorang gadis rupawan, bahkan bacokan senjata tajam pun tidak akan dapat melukai kulitnya.

Andai kata Muryani menyerangnya dengan senjata tajam, tentu dia akan menangkis atau mengelak karena meski pun punggungnya yang diserang tak akan terluka, namun bajunya tentu robek. Tetapi kalau hanya dipukul tangan kosong, biar pemukulnya seorang laki-laki bertenaga gajah sekali pun, dia akan sanggup menerimanya. Lagi pula di samping hendak mengejek, dia pun hendak memamerkan kekebalannya kepada gadis itu dan para murid Bromo Dadali.

“Terima kasih sebelumnya atas pijatan tanganmu yang sangat lembut dan lunak bagaikan gudir (agar-agar)! Heh-heh!” Dia mengejek lalu mengerahkan aji kekebalannya menerima pukulan telapak tangan kanan Muryani.

“Wuuuttt...! Plakk!”

Telapak tangan kanan Muryani bertemu dengan punggung yang dilindungi baju dari kain tebal itu.

“Ha-ha-ha... heh-heh-heh... aduuhhh... adduhhh...!”

Semua orang terbelalak keheranan. Pemuda raksasa yang tadinya tertawa itu mendadak berjingkrak-jingkrak dan menepuk-nepuk ke arah punggung. Di punggung bajunya tampak tanda hangus dan berlubang dengan cap lima jari tangan!

“Aduhhh...! Panasss...!” Dibyasakti maklum bahwa lawan menggunakan tenaga sakti yang amat panas dan ampuh. Dia cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan hingga rasa panas itu berangsur hilang. Akan tetapi punggung bajunya sudah berlubang dengan cap tangan.

Dibyasakti menyesali diri sendiri. Ia terlampau memandang rendah lawannya. Sama sekali tak pernah mengira bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti panas yang demikian ampuh.

Dia tahu bahwa perguruan itu memang memiliki aji pukulan yang disebut Aji Bromo Latu dan berhawa panas, akan tetapi pukulan macam itu yang dilakukan para murid perguruan itu sebelumnya tidaklah seberapa kuat. Akan tetapi pukulan gadis ini benar-benar dahsyat dan dia menjadi lengah, termakan kesombongannya sendiri. Kini dia tahu bahwa dia harus menghadapi gadis ini dengan sungguh-sungguh karena ternyata lawannya sama sekali tak boleh dipandang ringan.

Sementara itu para murid Bromo Dadali juga amat terkejut dan heran. Mereka tahu bahwa raksasa muda itu kebal dan sakti, tetapi mengapa pukulan yang tidak keras dari Muryani tadi membuat bajunya berlubang dan raksasa muda itu mengaduh kepanasan?

Ki Ageng Branjang sendiri juga merasa heran sekali. Jelas bahwa Muryani menggunakan Aji Bromo Latu, akan tetapi tidak disangkanya kekuatan aji tersebut sedemikian hebat.

“Keparat, engkau tak bisa dikasih hati!” bentak Dibyasakti marah dan melotot memandang kepada gadis itu.

“Huhh! Siapa sudi mendapatkan hatimu yang kotor dan busuk itu? Diberi cuma-cuma pun aku tidak sudi!” Muryani berkata sambil mengernyitkan hidung seolah-olah mencium bau busuk.

Mendengar ini dan melihat sikap Muryani yang begitu tabah mempermainkan lawan, para murid Bromo Dadali mulai berkurang kekhawatiran mereka, bahkan sudah ada beberapa orang yang mengeluarkan suara tawa lirih karena geli hatinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)