SERULING GADING : JILID-35
“Perempuan sombong, bersiaplah menghadapi kematianmu!” bentaknya.
Dan tanpa banyak cakap lagi, mendadak dia telah menerjang dan sekali ini dia menyerang cepat disertai tenaga dalam. Kini dia tidak menyerang seperti tadi untuk mempermainkan, melainkan menyerang dengan maksud untuk membunuh!
Tahu bahwa musuhnya kini menyerang sungguh-sungguh dan sedang dilanda kemarahan besar, Muryani tidak berani main-main lagi. Ia pun cepat mengerahkan Aji Kluwung Sakti, yaitu ilmu meringankan tubuh agar bisa bergerak cepat sekali dan dengan amat mudahnya ia mengelak dari serangan Dibyasakti yang bertubi-tubi.
Raksasa muda itu merasa penasaran dan marah sekali. Ia tak mau memberi kesempatan bagi lawan untuk membalas, serangannya susul-menyusul, bertubi-tubi dan yang menjadi sasaran adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan kalau terkena pukulan itu dapat mematikan.
Akan tetapi gerakan Muryani amat lincahnya. Tubuhnya tidak tampak jelas bagaikan telah berubah menjadi bayang-bayang hingga semua pukulan serta tendangan yang dilontarkan Dibyasakti bagaikan mengenai bayang-bayang saja, tidak ada bekasnya!
Tentu saja Dibyasakti terkejut bukan main. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa di tempat ini dia akan bertemu tanding yang demikian hebatnya, apa lagi lawannya itu hanya seorang gadis muda!
Ki Ageng Branjang juga tertegun sambil mengangguk-angguk. Pantas saja Muryani berani bersikap demikian meremehkan lawan. Ternyata gadis itu memang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna! Memang gadis itu masih mempergunakan gerakan ilmu silat dari perguruan Bromo Dadali, namun kecepatan gerakannya itu jelas merupakan aji kesaktian yang lain, yang aneh dan hebat sekali.
Dan pukulannya yang mengakibatkan baju di punggung lawan tadi hangus, walau pun itu merupakan Aji Bromo Latu tetapi mengandung kekuatan yang luar biasa, jauh melampaui tingkat kekuatannya sendiri. Pasti gadis itu telah mempelajari aji kesaktian dari orang lain selama lima tahun ini.
Kini para murid Bromo Dadali mulai percaya bahwa Muryani dapat menandingi Dibyasakti. Mereka melihat betapa tubuh gadis itu berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di seputar lawannya dan mulailah mereka bertepuk dan bersorak.
Sebaliknya dua losin anak buah Dibyasakti mulai gelisah. Mereka juga bukan orang bodoh dan melihat betapa pemimpin mereka kini bertemu tanding yang sakti. Mereka tidak berani bergerak, pertama karena tidak ada perintah Dibyasakti, kedua karena semua anak buah Bromo Dadali sudah berkumpul dan jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari pada jumlah mereka. Mereka semua sudah turun dari atas kuda, hanya menonton sambil memegang kendali kuda masing-masing.
Dibyasakti menjadi semakin penasaran dan marah. Dia telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, menyerang secara ganas dan dahsyat, juga setiap pukulannya amat mematikan. Namun gadis itu selalu dapat menghindarkan diri, bahkan kadang menangkis dari samping dan dia mendapat kenyataan mengejutkan betapa berat dan kuatnya lengan putih halus mulus kecil yang menangkisnya itu.
Beberapa kali tamparan tangan Muryani mengenai pundaknya, bahkan satu kali mengenai dadanya, namun Dibyasakti kini sudah siap siaga dan mengerahkan seluruh tenaga sakti melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan sehingga tamparan itu tidak merobohkannya, hanya membuatnya terhuyung sedikit. Kemarahannya kini memuncak.
“Haiiiiiittt... pecah kepalamu!” Dia membentak nyaring dan kepalan tangannya sudah cepat menyambar bagaikan kilat ke arah kepala gadis itu.
Bayang-bayang lincah itu berkelebat dan tahu-tahu lenyap dari depan Dibyasakti. Raksasa muda itu terkejut bukan main, namun dia cukup cerdik untuk dapat menduga bahwa gadis itu tentu sudah menyelinap ke belakangnya. Maka cepat tubuhnya membalik, lalu kakinya mencuat mengirim tendangan yang dahsyat sekali.
Akan tetapi Muryani sudah siap siaga. Dengan miringkan tubuh, kaki yang menendang itu lewat di samping tubuhnya dan selagi kaki itu menyambar ke atas, ia cepat menggunakan tangan kanan menyambar tumit kaki yang besar itu lantas mengerahkan tenaganya untuk mendorong ke atas.
“Heiiiiitt...!” bentak Muryani.
Tubuh Dibyasakti yang terdorong oleh kekuatan tendangannya sendiri ditambah dorongan tangan Muryani, tanpa dapat dipertahankan lagi melayang ke atas dan ke belakang! Masih untung pemuda raksasa ini memang tangkas dan digdaya. Biar pun tubuhnya terlempar ke atas, ketika melayang turun dia masih dapat membuat salto jungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh, walau pun ketika kedua kakinya hinggap di atas tanah tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Melihat ini semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Ki Ageng Branjang juga tersenyum penuh kagum dan gembira melihat kemenangan muridnya.
Bukan Raden Dibyasakti putera tunggal Ki Harya Baka Wulung kalau dia menerima kalah begitu saja. Tidak, dia sama sekali tidak merasa kalah. Dia tadi hanya mempergunakan ilmu silat biasa saja dalam usahanya membunuh gadis yang telah menghinanya itu. Dia masih belum mempergunakan aji pamungkasnya yang paling hebat dan ampuh karena aji-aji ini biasanya hanya dia keluarkan kalau dia menghadapi lawan yang sakti mandraguna. Sekarang ternyata gadis itu benar-benar tangguh, maka terpaksa dia harus mengeluarkan aji-aji pamungkasnya.
Mendadak mulut Dibyasakti berkemak-kemik membaca mantera, lalu dia menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah hampir berjongkok, sikapnya seperti seekor katak raksasa, dari dalam perutnya terdengar bunyi kok-kok-kok dan tiba-tiba dia menyalurkan semua tenaga dari bawah pusar melalui kedua lengannya lalu mendorong ke arah Muryani dengan kedua telapak tangan terbuka.
Hawa yang amat dahsyat keluar dari kedua telapak tangan itu menyambar ke arah lawan. Inilah Aji Cantuka Sakti (Katak Sakti) yang merupakan satu di antara pukulan jarak jauh yang diandalkan oleh Ki Harya Baka Wulung dan yang hanya diajarkan kepada puteranya.
Sejak tadi Muryani sudah waspada. Gadis perkasa ini sudah mendapat banyak pelajaran dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Ia mengenal aji dahsyat yang dipergunakan lawan untuk menyerangnya dari jarak jauh. Maka tubuhnya sudah cepat melesat ke atas dan sekarang gadis itu balik menyerangnya dengan aji pukulan jarak jauh yang tidak kalah dahsyatnya, menyambar dari atas bagaikan halilintar! Cepat dia pun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu.
“Wuuuuttt...! Blaaarrrr...!”
Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan semua orang merasakan guncangan hebat!
Akibat beradunya dua tenaga dahsyat itu, tubuh Muryani terlontar kembali ke atas. Bagai seekor burung walet yang gesit, tubuh itu membuat salto, berjungkir balik sampai lima kali baru turun ke atas tanah dengan tegak. Hanya mukanya saja menjadi agak pucat namun mulutnya tersenyum.
Sebaliknya Dibyasakti tidak terdorong mundur karena tenaga lawan tadi menyerangnya dari atas. Dia dapat menyambut dan mendorong lawan terlontar ke atas, akan tetapi dia sendiri terhimpit dan untuk mempertahankan diri, kedua kakinya sampai tertekan masuk ke dalam tanah sebatas lutut! Mukanya juga menjadi pucat, akan tetapi dia sudah cepat mencabut kedua kakinya dan kini sudah kembali berdiri berhadapan dengan Muryani yang menatapnya dengan senyum mengcjek.
“Heh, kodok buduk, apa lagi ilmumu selain ilmu kodok budukan tadi? Keluarkanlah semua kebisaanmu kalau engkau masih berani!” ejek Muryani.
Semua murid Bromo Dadali tertawa lega dan gembira tetapi diam-diam mereka keheranan dan kagum bukan main. Bagaimana murid muda guru mereka itu sekarang dapat menjadi seorang yang demikian sakti mandraguna?
Diejek demikian, Dibyasakti menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa dara itu benar-benar sakti mandraguna, mampu menandingi Aji Cantuka Sakti yang selama ini jarang menemukan tandingan.
Ia menjadi nekat. Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan membaca mantera. Ia hendak menggunakan aji pamungkas yang terakhir dan yang paling hebat, aji pukulan yang bukan hanya mengandalkan tenaga sakti, akan tetapi juga didukung kekuatan sihir yang sangat ampuh, yaitu Aji Kukus Langking (Ilmu Asap Hitam). Ketika dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, perlahan-lahan tampak asap hitam mulai mengepul dari kedua telapak tangannya itu.
Pada saat itu tiba-tiba tampak sinar terang dan ketika semua murid menengok, mereka melihat betapa bagian belakang rumah induk perguruan mereka telah berkobar dimakan api!
“Kebakaran...! Kebakaran...!” Semua orang berteriak dan para murid Bromo Dadali berlari-lari menuju ke tempat kebakaran untuk memadamkan api sebelum menjalar lebih luas.
Ketika itu Dibyasakti yang telah mengerahkan tenaga Kukus Langking, sudah menyerang dan mendorongkan kedua telapak tangan yang mengeluarkan asap hitam tebal ke arah Muryani.
Gadis ini pun maklum akan hebatnya aji-aji lawannya. Dengan mengandalkan kecepatan gerakannya, tubuhnya berkelebat lenyap dan dia sudah mendahului serangan asap hitam tebal itu dan menyusup sampai ke sebelah kanan lawan, kemudian dia sudah menyerang dengan cengkeraman kedua tangannya yang membentuk cakar menyambar ke arah leher dan perut!
Bukan main kagetnya Dibyasakti. Sebelum serangannya mengenai lawan tahu-tahu lawan itu telah berada di samping kanannya dan menyerang dengan cengkeraman yang sangat ganas itu. Dia mencium bau amis dan wangi yang aneh keluar dari kedua tangan gadis itu. Dengan hati panik dia tahu bahwa cengkeraman itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya, maka dia cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak.
“Brettt...! Breeettt...!”
Sarung dan baju Dibyasakti tiba-tiba terobek dan tertepas dari tubuhnya hingga tubuhnya sekarang hanya memakai sebuah celana hitam setinggi lutut saja. Bukan hanya itu, juga pundaknya tergores kuku dan meski pun hanya lecet sedikit, namun rasa panas dan gatal membakar bagian yang tergores itu, tanda bahwa luka kecil itu keracunan. Hal ini tidak aneh karena tadi Muryani telah mempergunakan Aji Wiso Sarpo (Racun Ular), sebuah aji pukulan yang amat ganas yang ia pelajari dari mendiang Ny Rukmo Petak!
“Huh, kamu telanjang? Manusia tak tahu malu, menjijikkan!” ejek Muryani.
“Kebakaran...! Kebakaran...! Hayo semuanya bantu memadamkan api...!” terdengar suara Ki Ageng Branjang.
Mendengar ini, Muryani menengok dan dia melihat betapa api berkobar memakan bagian belakang rumah gurunya. Melihat ini Muryani khawati kalau-kalau ada musuh yang sudah melakukan pembakaran di sana dan mengancam keselamatan para warga, maka ia pun segera melompat, meninggalkan Dibyasakti menuju ke belakang rumah yang terbakar.
Sementara itu Dibyasakti berdiri dengan muka pucat. Dia bingung sekali, masih terkejut karena pakaiannya robek dan terlepas dari tubuhnya, lebih lagi pundaknya tergores kuku beracun. Pada saat itulah dia melihat gadis itu dan semua murid Bromo Dadali sudah lari rneninggalkan dia untuk memadamkan kebakaran.
Tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan. Pemuda itu menyergapnya. Dibyasakti hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu telah menangkap kedua lengannya dan sekali dorong, tubuhnya sudah terlempar dan tepat jatuh terduduk di atas punggung kudanya yang kendalinya dipegang seorang anak buahnya.
“Andika tidak menggunakan kesempatan ini pergi secepatnya dari sini, mau tunggu kapan lagi?” kata pemuda tampan itu.
Ketika Dibyasakti bertemu pandang dengannya, senopati muda itu terkejut dan merasa ngeri karena sinar mata pemuda itu bagaikan mengandung api yang membakarnya! Dia lalu memberi aba-aba pendek kepada anak buahnya.
“Kita pergi!”
Lalu dia mengeprak kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat meninggalkan tempat itu, diikuti oleh dua losin anak buahnya!
Muryani membantu gurunya dan para murid Bromo Dadali yang berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang bangunan itu. Semua orang bertanya-tanya, apakah yang menyebabkan kebakaran itu? Sambil berpikir mereka berusaha memadamkan api dengan menggunakan air yang disiramkan ke arah kobaran api yang mengancam ke arah bangunan tengah
Tiba-tiba Muryani teringat akan Satyabrata dan selagi ia hendak bertanya-tanya ke mana perginya temannya itu, mendadak semua orang terkejut melihat sesosok bayangan orang melompat naik ke atas wuwungan rumah bagian tengah, yaitu dekat tempat yang sedang terbakar.
“Kakangmas Satyabrata...!” Muryani berseru ketika mengenal orang itu.
Satyabrata melambaikan tangan kepadanya, lalu pemuda itu mulai menggunakan kaki dan tangannya untuk membongkar bagian bangunan yang terdekat dengan tempat kebakaran. Tembok-tembok dia runtuhkan dengan tendangan kakinya.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak kagum. Betapa kuatnya kaki tangan pemuda itu, meruntuhkan tembok dan melempar-lemparkan balok-balok kayu besar untuk dijauhkan dari api. Reruntuhan tembok itu menimpa kobaran api dan ini banyak menolong. Kobaran api yang ditimbuni reruntuhan tembok itu makin mengecil sehingga setelah para murid Bromo Dadali menyiramkan air, tak lama kemudian kebakaran itu bisa dipadamkan. Semua orang bersorak gembira dan juga kagum ketika dengan gerakan indah Satyabrata melompat turun dari atas atap rumah.
Ki Ageng Branjang dan Muryani cepat-cepat menghampiri Satyabrata, kemudian Muryani memperkenalkan pemuda itu kepada gurunya, “Bapa guru, ini adalah sahabat saya yang bernama Satyabrata dan sudah berkali-kali menolong saya.”
Ki Ageng Branjang memandang pada pemuda itu dan Satyabrata cepat memberi hormat dengan sembah di depan dada.
“Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu, paman.”
Ki Ageng Branjang memandang tajam. Dia terkejut melihat sinar mata yang mencorong itu dan dia yang berpengalaman luas melihat ketidak-wajaran, seolah-olah sikap hormat dan merendah pemuda itu berlebihan. Akan tetapi pemuda itu sahabat Muryani dan tadi telah membantu secara luar biasa sehingga kebakaran itu dapat mudah dipadamkan, maka dia pun berkata dengan ramah.
“Anakmas Satyabrata, andika sama sekali tidak mengganggu, malah telah menolong kami memadamkan kebakaran tadi. Terima kasih, anakmas. Mari kita ajak anakmas Satyabrata masuk dan bicara di dalam, Muryani. Banyak sekali yang harus kau ceritakan kepadaku semenjak kita saling berpisah. Mari, silakan, anakmas Satyabrata.”
Ki Ageng Branjang lalu mengajak Muryani dan Satyabrata untuk masuk ke ruang dalam. Sesudah Muryani menjumpai keluarga Ki Ageng Branjang dan Satyabrata diperkenalkan kepada mereka, ketua Perguruan Bromo Dadali itu kemudian mengajak dua orang muda itu bercakap-cakap.
“Nah, sekarang kau harus menceritakan semua pengalaman sejak engkau meninggalkan Gunung Muria sesudah nenekmu meninggal dunia dan engkau diajak pergi oleh ayahmu, Muryani. Kini, lima tahun lebih kemudian, engkau muncul sebagai seorang wanita yang sakti mandraguna! Apa saja yang terjadi denganmu?”
“Cerita saya panjang, bapa. Akan tetapi harap bapa terlebih dahulu menjelaskan siapakah sebenarnya Dibyasakti yang datang membuat keributan tadi dan mengapa dia memusuhi Bromo Dadali?”
Ki Ageng Branjang menarik napas panjang. “Dia itu senopati muda Kadipaten Arisbaya di Madura dan dia juga putera Ki Harya Baka Wulung, datuk dari Madura yang amat terkenal itu. Sebetulnya Bromo Dadali tidak mempunyai urusan dengan dia atau dengan Kadipaten Arisbaya, akan tetapi orang kasar itu hendak memaksa supaya Bromo Dadali membantu Kadipaten Arisbaya untuk memberontak dan melawan Mataram. Tentu saja kami tak sudi dan dia lalu menantang.”
Muryani tidak begitu tertarik hatinya mendengar tentang urusan pemberontakan terhadap Mataram. Dia tidak mengerti akan hal-hal yang menyangkut kerajaan Mataram dan para kadipaten di daerah-daerah. Mendiang ayahnya tak pernah bicara tentang hal itu, bahkan gurunya yang kedua, yaitu mendiang Nyi Rukmo Petak, juga tidak meninggalkan pesan tentang hal itu.
Sebelum meninggal dunia, nenek itu hanya meninggalkan empat pesan atau syarat yang harus dilakukan Muryani sebagai muridnya, yaitu pertama ia harus merahasiakan keadaan Nyi Rukmo Petak sebagai guru selagi nenek itu masih hidup. Yang kedua, ia tidak boleh menggunakan ilmu-ilmunya untuk melakukan kejahatan. Yang ketiga, ia tidak boleh jatuh cinta kepada laki-laki yang tidak mencintainya dengan tulus, dan yang keempat, ia harus membantu murid Nyi Rukmo Petak yang lain, yaitu wanita yang bernama Retno Susilo dan suami wanita itu yang bernama Sutejo, membantu suami isteri itu dalam segala hal seperti ia membantu gurunya sendiri. Karena itu, yang menjadi sebab permusuhan antara gurunya dan Dibyasakti tadi tidak menarik hatinya.
“Manusia itu sombong sekali. Sayang tadi aku belum sempat membunuhnya!” katanya.
Mendengar ini Ki Ageng Branjang agak terkejut dan heran. Dahulu dia mengenal muridnya ini sebagai seorang gadis yang memang lincah dan galak, namun berhati lembut. Akan tetapi sekarang, dia mengatakan ingin membunuh orang dengan nada suara yang begitu dingin? Benarkah muridnya itu kini menjadi ganas dan dingin, mudah membunuh orang?
“Ini disebabkan kebakaran itu, bapa. Saya menjadi terkejut dan segera meninggalkan dia untuk membantu memadamkan kebakaran. Tetapi siapakah yang melakukan pembakaran itu?”
“Mungkin teman Dibyasakti itu, diajeng Muryani. Tadi aku melihat berkelebatnya bayangan orang. Aku mengejarnya tetapi dia melarikan diri melalui belakang bangunan ini. Larinya cepat bukan main dan dia menghilang di balik puncak, di dalam hutan lebat itu. Karena melihat api berkobar aku lalu kembali dan membantu memadamkan kebakaran. Orang itu mempunyai banyak kawan yang pandai, diajeng.”
Ki Ageng Branjang mengangguk-angguk sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan kagum. “Sudahlah, aku kira Raden Dibyasakti itu tak akan berani muncul kembali. Niatnya hanya hendak mencari kawan untuk membantu Arisbaya menghadapi Mataram, bukan untuk menambah musuh. Tetapi bagaimana pun juga andika berdualah yang telah menyelamatkan Perguruan Bromo Dadali. Sekarang ceritakanlah, Muryani, apa saja yang kau alami sehingga engkau dapat memiliki aji kedigdayaan yang begitu hebat.”
Muryani menceritakan semua pengalamannya dengan singkat. Tentang permusuhannya dengan Ki Demang Wiroboyo yang berlarut-larut hingga akhirnya Wiroboyo dan Darsikun berhasil membunuh ayahnya, yaitu Ki Ronggo Bangak dan melukai dirinya.
“Ahh, jadi ayahmu, sasterawan dan seniman yang baik hati itu terbunuh?” sela Ki Ageng Branjang kaget.
Muryani mengangguk. “Benar, bapa. Saya yang hidup sebatang kara kemudian mencari Wiroboyo untuk membalas kematian ayah. Akhirnya saya berhasil menemukannya, akan tetapi karena dia dibantu Darsikun, saya malah tertawan oleh mereka dan dalam keadaan yang gawat dan berbahaya itu muncul guru saya yang kedua yang kemudian mengajarkan semua aji kedigdayaannya kepada saya.”
“Siapakah nama besar gurumu itu?” tanya Ki Ageng Branjang.
“Mendiang guru saya berjuluk Nyi Rukmo Petak. Dia menyelamatkan saya dan memaksa kedua orang itu melarikan diri dan semenjak itu saya ikut dengannya, menjadi muridnya selama empat tahun lebih. Pada suatu hari, guru saya meninggal dunia karena usia tua. Saya hidup seorang diri lagi dan kembali merantau. Pertama-tama yang saya usahakan adalah mencari musuh besar saya, yaitu Wiroboyo dan Darsikun. Akhirnya saya berhasil membunuh Darsikun, juga si jahanam Wiroboyo, berkat bantuan Kakangmas Satyabrata ini, bapa.”
“Wah, bukan main. Kiranya engkau telah bertemu dengan orang yang sakti mandraguna dan dapat menimba ilmu yang tinggi darinya. Aku turut merasa gembira, Muryani. Dan andika, anakmas Satyabrata, kalau boleh kami mengetahui, andika dari manakah, siapa orang tua andika dan siapa pula guru andika yang mulia?”
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tampan itu menjadi muram, menunduk dan tampak sedih sekali. Ki Ageng Branjang terkejut dan cepat berkata,
“Ahh maafkan aku kalau pertanyaanku tadi membuat andika berduka, anakmas. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu...”
“Bapa guru, Kakangmas Satyabrata juga seorang yang hidup sebatang kara seperti saya, tidak mempunyai keluarga lagi,” kata Muryani menerangkan
“Ahh, maafkan aku kalau begitu, anakmas,” kata Ketua Perguruan Bromo Dadali itu.
“Tidak mengapa, paman. Pertanyaan paman itu wajar saja, hanya saya yang lemah setiap kali teringat akan diri saya yang sebatang kara ini. Saya berasal dari Cirebon, paman. Orang tua saya... sudah tidak ada. Ada pun guru saya... ahh, tadinya saya hanya belajar dengan teman-teman, kemudian... alhamdullilah... terima kasih kepada Gusti Allah yang memberi berkah pada saya... ketika saya bertapa di Pegunungan Cireme dalam keadaan hampir mati kelaparan mendadak saya melihat sinar terang keluar dari sebuah goa kecil. Sambil merangkak saya mendatangi goa itu dan di sana saya menemukan kitab-kitab tua yang ternyata mengandung pelajaran aji-aji kanuragan. Saya segera mempelajarinya dan berlatih dengan tekun selama bertahun-tahun. Setelah selesai barulah saya turun gunung, lewat beberapa tahun.”
“Wah, kakangmas Satyabrata, baru sekarang aku mendengar cerita yang sangat menarik itu!” kata Muryani. “Dan di mana kitab-kitab itu sekarang?”
“Sebelum turun gunung, kitab-kitab yang sudah lapuk dan rusak itu kubakar agar jangan sampai terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, diajeng,” jawab pemuda itu.
“Andika benar, anakmas. Memang sungguh berbahaya sekali kalau kitab-kitab pelajaran aji kesaktian terjatuh ke tangan orang jahat. Akan tetapi, kalau boleh aku bertanya, kitab-kitab itu merupakan peninggalan orang sakti mandraguna yang manakah?”
“Saya tidak tahu jelas, paman. Akan tetapi kalau saya tidak salah duga, mungkin sekali kitab-kitab itu adalah peninggalan mendiang Eyang Sunan Gunung Jati.”
“Wah, kalau begitu andika seorang pemuda yang beruntung sekali, anakmas Satyabrata. Dan aku percaya bahwa andika pasti memiliki kedigdayaan seorang sakti mandraguna.”
Malam itu Perguruan Bromo Dadali mengadakan penyambutan meriah untuk Muryani dan Satyabrata. Kambing dan ayam disembelih dan pesta diadakan. Suasana menjadi sangat gembira walau pun tadi rumah induk nyaris saja terbakar. Untung hanya bagian dapur dan gudang saja yang terbakar.
Semua murid Bromo Dadali merasa kagum kepada Muryani. Tiada henti-hentinya mereka membicarakan pertandingan hebat saat melawan dan mengalahkan Dibyasakti tadi. Yang tadinya memandang rendah gadis itu merasa malu kepada dirinya sendiri.
Muryani tidak tega menolak permintaan Ki Ageng Branjang agar ia dan Satyabrata tinggal selama beberapa hari di perguruan Bromo Dadali sebelum melanjutkan perjalanan.....
********************
Kali Solo, demikianlah sungai itu dinamakan orang ketika mengalir dari mata airnya yang bersumber di pegunungan dekat daerah selatan, kemudian disebut Kali Solo pula setelah mengakhiri alirannya yang sangat jauh itu di pantai Laut Jawa di utara, di Ujung Pangkal daerah Kadipaten Bojonegoro, dalam perjalanannya disebut pula Bengawan Solo. Sungai ini merupakan sungai yang sangat panjang dan menampung banyak air dari sungai-sungai lain sehingga terkenal sebagai sungai yang besar dan selalu menimbulkan bencana banjir di musim hujan.
Namun sungai ini juga merupakan berkah bagi semua petani yang hidup di lembah Kali Solo yang gemah ripah loh jinawi karena tanahnya subur sekali. Juga merupakan sarana penghubung antara kadipaten dan kademangan, antara kota dan desa. Dengan memakai perahu, orang dapat melakukan perjalanan jauh sekali tanpa banyak menggunakan tenaga seperti kalau berjalan kaki.
Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur di atas permukaan Bengawan Solo. Penumpangnya hanya seorang saja, seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Kalau melihat pakaiannya yang sederhana dan terbuat dari kain kasar, orang tentu menganggap dia seorang pemuda dusun. Tetapi ada beberapa keadaan pada dirinya yang mungkin membuat orang menjadi ragu. Wajahnya sungguh jauh berbeda dengan gerak-gerik dan sikapnya yang sederhana.
Wajah itu seperti wajah orang yang biasa disebut masih trahing kusumo rembesino madu, yaitu berdarah bangsawan atau priyayi. Wajah tampan yang sederhana itu mengandung wibawa. Mata yang dihias bulu mata lentik dan alis hitam tebal itu bersinar lembut sekali. Hidungnya mancung dan wajah itu tampak selalu cerah karena mulutnya selalu mengulum senyum penuh keramahan dan kesabaran. Tubuhnya sedang saja.
Perahu berwarna coklat itu pun sederhana namun kokoh. Dia duduk santai dalam perahu. Sebuah bungkusan pakaian tergeletak di hadapannya dan dengan sebatang dayung kayu, dia mengatur arah perahu yang meluncur halus terbawa arus air bengawan.
Seperti biasa, air Bengawan Solo itu berwarna kecoklatan karena air bercampur tanah. Di musim hujan, air bengawan akan naik sampai tinggi, bahkan sering meluap dan menjadi banjir. Kalau sudah begitu, air menjadi semakin keruh, warnanya menjadi semakin coklat gelap.
Pemuda itu tak perlu mendayung perahunya. Agaknya dia tak tergesa-gesa, membiarkan perahunya hanyut saja sementara ia hanya mengemudikan perahunya. Pekerjaan ini amat mudah dilakukan karena perahu itu sudah meluncur sendiri dengan laju dan lurus. Hanya kadang-kadang saja dia membantu dengan gerakan dayungnya supaya luncuran perahu tetap lurus, atau membelokkan arah perahu supaya tidak menabrak batu yang besar dan yang muncul di permukaan air.
Dia lebih banyak termenung. Memandang air dan keadaan di kedua tepi bengawan yang sunyi dan ditumbuhi banyak pohon, pemuda itu semakin tenggelam dalam lamunannya. Ketika di tepi sebelah kiri bengawan itu dia melihat beberapa ekor buaya berjemur diri, dia tersenyum dan mendadak dia teringat akan kisah tentang Joko Tingkir yang menaklukkan segerombolan buaya yang menghadang dan mengganggu ketika dia naik getek, yaitu alat penyeberangan terbuat dari bambu-bambu yang diikat berjajar. Joko Tingkir atau yang juga disebut Mas Krebet atau Panji Mas ini kemudian menjadi adipati di Pajang bernama Adiwijaya.
Kini perahunya sampai di sebuah tikungan sungai yang tajam. Pemuda itu masih menoleh ke arah buaya-buaya di tepi sebelah kiri itu ketika perahunya mendadak terseret pusaran air yang kuat sekali. Perahunya tiba-tiba berputar ke kanan.
Parmadi, pemuda itu, bagaikan terseret dari lamunannya dan kembali ke alam kenyataan. Dia terkejut dan cepat menggerakkan dayung untuk menahan tarikan air yang berputar itu. Namun pusaran air itu bagaikan memiliki daya sedot yang amat kuat.
Parmadi memperhatikan keadaan di situ. Pusaran air itu besar, berputar ke tengah sungai di bagian tikungan tajam yang merupakan kedung itu. Di pinggir kanan, tepat di tikungan, berdiri sebatang pohon randu alas yang amat besar dan tua, bagai seorang raksasa yang menunggui kedung dan agaknya pohon tua itulah yang memiliki daya sakti dan membuat pusaran air itu. Parmadi merasa seolah pohon itu mengamati dan mentertawakannya.
Tapi keadaannya membuat dia tidak sempat memikirkan hal lain. Cepat dia mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pusaran air yang menyeret perahunya. Dua tangannya yang memegang dayung merasa seolah-olah dayungnya bertemu dengan tenaga yang sangat dahsyat. Kalau saja tidak ada tenaga sakti tersalur ke dalam dayung, tentu dayung kayu itu sudah patah.
Daya sedot air berpusing itu amat kuat. Biar pun pertahanan Parmadi dengan dayungnya dapat memperlambat lajunya perahu yang dipaksa berputaran mengelilingi pusaran air yang pusat di tengahnya tampak dalam mengerikan, namun tetap saja dia belum dapat membebaskan perahunya dari ulekan (pusaran) air itu.
Dia merasa ngeri juga melihat potongan-potongan kayu yang tadinya hanyut di sungai itu kini ditarik pusaran air, sampai ke tengah ulekan lalu disedot masuk dan ditelan air yang berputar-putar itu. Kalau sampai perahunya ditarik ke pusat ulekan, celakalah dia! Maka dia pun mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan agar perahunya jangan sampai tertarik ke tengah.....
Komentar
Posting Komentar