SERULING GADING : JILID-36


Parmadi maklum bahwa orang menolongnya, maka dia pun menggerakkan dayung sekuat tenaga hingga akhirnya kerja sama ini berhasil. Perahunya bisa tertarik keluar dari ulekan dan Parmadi segera mendayung perahunya ke pinggir sungai, ke bawah pohon randu alas itu. Pada waktu dia menoleh ke tengah, dia melihat pusaran air itu seolah menjadi marah dan mengamuk, ulekannya menjadi semakin besar dan kuat!

Perahunya sudah tiba di tepi sungai, lalu berhenti. Dia memandang ke darat untuk melihat siapa orangnya yang telah menolongnya. Dan dia terbelalak, melongo seperti orang bodoh ketika melihat seorang gadis muda sedang mengikatkan tali pada sebuah batu besar. Ternyata tali dengan kaitan besi itulah yang menahan perahunya sehingga dia tidak perlu menggunakan tali perahu lagi.

Dia melompat ke darat, menghampiri gadis yang telah selesai mengikatkan tali pada batu. Gadis itu lalu membalikkan tubuh sehingga mereka berhadapan, dan untuk kedua kalinya Parmadi melongo. Terpesona!

Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, tubuhnya bagai setangkai bunga yang sedang mulai mekar, padat langsing dan kulitnya coklat bersih mengeluarkan cahaya yang sangat mempesona. Wajahnya cantik jelita, dengan rambut hitam panjang yang pada saat itu dibiarkan terurai, tidak digelung seperti wanita yang habis mandi keramas. Rambut itu sebagian menutupi kedua pundaknya dan sebagian lagi berjuntai lepas di depan dada dan belakang punggung. Indah sekali.

Sepasang matanya amat indah, besar dan bening. Pandang matanya tajam dan mata itu seolah-olah selalu bersinar gembira. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya! Entah mana yang lebih kuat daya tariknya, antara matanya dan mulutnya. Bibir itu dihias senyum, akan tetapi seperti berjebi mengejek dan menantang.

Parmadi segera dapat merasa bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang bukan merupakan seorang gadis dusun biasa Ada sesuatu yang berbeda pada gadis ini. Entah apanya yang membedakannya dari gadis-gadis lain, mungkin sinar matanya yang tajam dan agaknya penuh pengertian itu.

Kini mereka berdiri saling berhadapnn dan gadis itu dengan beraninya membalas pandang mata Parmadi dengan sinar matanya yang penuh selidik seperti sedang menilai sesuatu yang menarik.

Akhirnya Parmadi yang mendahului memberi salam. Sambil agak membungkukkan tubuh dan tersenyum dia berkata, “Teja-teja sulaksana! Bolehkan aku tahu siapakah andika ini yang telah menolongku keluar dari ulekan itu?”

Tampak deretan gigi putih dan rapi itu. Manis bukan main sepasang bibir yang merekah itu.

“Aku memang sering menanti di sini dengan tali kaitanku, siap menolong orang asing yang bodoh membiarkan perahunya diseret ulekan. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, sebaiknya engkau yang lebih dulu memperkenalkan diri kepadaku.”

Parmadi tersenyum. Gadis ini pandai bicara, lincah, tidak pemalu dan agak angkuh! Dia pun tidak ingin memperkenalkan namanya di sembarang tempat, maka dia lalu berkata sederhana, “Orang-orang menyebut aku Seruling Gading. Dan andika siapakah?”

Gadis itu tersenyum, matanya terbelalak memandang wajah Parmadi kemudian menoleh ke arah pusaran air.

“Coba andika lihat,” telunjuknya yang mungil meruncing itu menuding ke arah pusaran air. “Tempat ini namanya Kedung Srengenge. Lihat bentuk ulekan itu, seperti srengenge (mata hari), bukan? Juga bila tengah hari bayangan matahari terpantul di air. Namamu Seruling Gading? Tentu karena itu!” Ia menuding ke arah suling terbuat dari gading, pusaka Parmadi pemberian gurunya. “Kalau begitu sebaiknya aku pun menggunakan nama sandi (rahasia). Aku adalah... Puteri Kedung Srengenge! Nah, cocok, bukan? Si Seruling Gading bertemu dengan Puteri Kedung Srengenge!' Gadis itu tertawa geli, tawanya lepas dan tidak malu-malu, wajar dan tidak di buat-buat.

Mau tidak mau Parmadi juga ikut tertawa, terseret oleh tawa gadis itu. Gadis itu menahan tawanya, akan tetapi dadanya masih terguncang oleh geli hati, kedua matanya yang tadi lebar bersinar itu kini menyipit, membuat wajah itu menjadi semakin manis.

“Atau... andika menghendaki yang lebih seram lagi? Bagaimana kalau...” Ia menengok dan memandang kepada randu alas besar yang berdiri di situ. “Bagaimana kalau namaku Peri Randu Alas? Hi-hik, menyeramkan sekali, bukan...?”

Tiba-tiba Parmadi mengerutkan alisnya. Dia memandang pohon randu alas yang tua dan besar itu, lalu memandang ke arah pusaran air di kedung. Dia merasa ada getaran yang aneh dan tahulah dia bahwa pohon randu alas besar itu memang ada ‘penunggunya’ dan inilah agaknya yang membuat ulekan air itu menjadi tidak wajar, mengandung daya yang aneh luar biasa. Tempat seperti ini sungguh berbahaya dan sudah menjadi kewajibannya untuk ‘membersihkannya’. Dia lalu menatap tajam wajah gadis itu. Jangan-jangan...!

“Hei, mengapa andika memandangku seperti itu?” Gadis itu menghentikan tertawanya dan menegur sambil memandang dengan sinar mata penuh selidik.

Parmadi bernapas lega. Mata batinnya melihat bahwa gadis ini bukanlah makhluk halus, melainkan manusia biasa, bukan penunggu pusaran air atau randu alas seperti yang tadi dicurigainya. Ia merasa bersalah dan untuk menebus kesalahannya, dia memperkenalkan dirinya dengan jujur.

“Maaf, tadi aku hanya main-main. Namaku adalah Parmadi.”

Gadis itu mendadak bersikap sungguh-sungguh, membuat gerakan seperti tokoh wayang Srikandi sedang berjoget, lalu mengeluarkan kata-kata nyaring dan genit seperti Srikandi sedang bergaya di atas panggung.

“Wahai, Raden Parmadi! Apakah paduka datang kesini untuk mencari Kakang-mbok Woro Sembodro?” Tingkahnya amat lucu dan kenes. Pasti indah sekali kalau gadis itu bermain sebagai Srikandi di panggung wayang orang, pikir Parmadi.

“Andika memang pantas menjadi Srikandi, tetapi andika jelas bukan Srikandi dan aku pun bukan pula Permadi atau Arjuna. Namaku Parmadi, bukan satria panengahing Pandawa. Cukuplah main-main ini, jika andika tidak mau memperkenalkan nama, sudahlah, aku pun tak akan memaksa. Akan tetapi harap jangan main-main dengan kedung dan pohon randu alas ini karena tempat ini memang berhantu!”

Gadis ini membelalakkan matanya yang indah sambil memandang ke arah kedung, lalu menoleh ke arah pohon. “Wahhh... berhantu...?”

Parmadi mengangguk. “Ada penunggunya.”

Gadis itu tiba-tiba merasa ngeri. “Ih, jangan nakut-nakuti orang, Kakang Parmadi! Maafkan kalau tadi aku mempermainkanmu, namaku adalah Ayu, Ayu Puspa.”

“Aku tidak main-main atau menakut-nakuti, Ayu. Memang tempat ini berhantu dan sudah menjadi kewajiban kita untuk membersihkan tempat ini agar jangan ada yang mengganggu perahu-perahu yang lewat di sini.”

“Kita? Hihh, mana bisa aku melawan hantu? Engkau sajalah, kalau engkau mampu!” kata Ayu Puspa sambil bergiilik.

“Memang aku hendak membersihkan tempat ini, Ayu. Kalau engkau takut, mundurlah dan menjauhlah agar kalau pohon ini tumbang tidak dapat menjangkau dan menimpamu.”

Ayu Puspa benar-benar merasa ngeri dan dia pun cepat meninggalkan tempat itu sampai cukup jauh dari pohon randu alas. Ia bersembunyi di balik batu besar sambil memandang dengan mata membelalak dan hati tegang. Dengan terheran-heran dan memandang tanpa pernah berkedip Ayu Puspa melihat Parmadi sekarang duduk bersila di dekat pohon randu alas dan mengeluarkan sebatang suling gading yang tadi terselip di ikat pinggangnya.

Setelah diam tanpa bergerak beberapa saat lamanya seperti orang bersamadhi, ia melihat pemuda itu mulai meniup sulingnya. Terdengar suara mendayu-dayu dan Ayu Puspa jadi terpesona. Suara suling itu sungguh luar biasa. Berbeda dengan suara suling yang sering didengarnya. Suaranya lembut, halus dan merdu, mengandung alunan seperti menimang-nimang hati, membuat yang mendengarnya merasa nyaman dan nikmat sehingga timbul rasa mengantuk.

Akan tetapi suara itu semakin menguat sehingga melengking-lengking seperti ada ribuan orang sedang bertempur, membuat hati Ayu Puspa menjadi miris dan dia pun menutupi kedua telinganya dengan tangan. Tiba-tiba Ayu terbelalak melihat pohon randu alas yang tinggi besar itu tumbang ke arah Parmadi. Ayu Puspa menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi telinganya dan dia menjerit.

“Kakang Parmadi... lari... cepat...!”

Akan tetapi dia melihat dengan wajah pucat betapa pohon itu telah tumbang dengan suara berkerosakan dan tampaknya menimpa tubuh Parmadi!

“Kakang Parmadi ! Kakang...!” Ayu Puspa terisak menangis, akan tetapi masih takut untuk mendekati pohon yang tumbang, hanya kedua matanya yang basah air mata itu mencari-cari.

“Ayu, mengapa engkau menangis?” Suara lembut itu terdengar menegur di belakangnya.

Ayu Puspa cepat membalik dan ternyata Parmadi sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu mengeluarkan seruan setengah tawa setengah tangis kemudian menubruk dan merangkul pinggang Parmadi. Parmadi juga memeluk kedua pundak gadis itu.

Mereka berpelukan dan sesaat kemudian Parmadi terbelalak, perlahan-lahan melepaskan rangkulan mereka. Dia menjadi terkejut dan heran. Dia telah berpelukan dengan seorang gadis yang baru saja dikenal dan dijumpainya!

Segalanya terjadi begitu saja, seolah wajar. Padahal tentu saja tidak wajar kalau seorang pemuda berangkulan dengan seorang gadis dan mereka baru saja berkenalan. Semua ini mungkin digerakkan oleh rasa lega, girang, haru dan baru saja terlepas dari cengkeraman ketegangan.

Melihat Parmadi melepaskan rangkulan dan memandang ke arah belakangnya dengan alis berkerut dan mata bersinar, Ayu Puspa cepat-cepat membalikkan tubuhnya dan dia pun terbelalak. Seekor buaya yang kulitnya berwarna putih, besar dan panjang sekali, berjalan cepat menghampiri mereka, kini berada dalam jarak empat meter dari mereka!

“Hemm, kiranya ini dia penunggu Kedung Srengenge,” Parmadi berbisik dan aneh sekali, kembali dia teringat akan kisah Joko Tingkir!

Ada dua macam ‘penunggu’ tempat angker, yaitu roh jahat yang tidak terlihat dan makhluk jadi-jadian seperti buaya putih ini. Untuk menghadapi roh jahat yang tidak nampak, suara sulingnya dengan Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas) yang dibimbing oleh Kekuasaan Roh Suci cukup untuk mengusir roh-roh jahat. Akan tetapi untuk melawan makhluk jadi-jadian, selain kekuatan jiwa, dia pun harus mempergunakan kekuatan jasmani.

Dengan sigap tiba-tiba Ayu Puspa melompat ke depan Parmadi seperti ingin melindungi, menghadapi buaya itu dan berkata dengan sikap gagah, tidak lagi ketakutan seperti tadi. “Mundurlah, Kakang Parmadi. Biarlah yang ini serahkan saja kepadaku!”

Tangan kanannya bergerak dan ia telah mencabut sebatang patrem yang tajam mengkilat dan runcing. Senjata ini tadi disembunyikan di balik bajunya, terselip di pinggangnya yang ramping. Agaknya ia menyangka bahwa Parmadi hanya pandai mengusir setan dan tidak memiliki kedigdayaan untuk melawan binatang buas itu.

Sebaliknya Parmadi merasa kagum dan tersenyum melihat sikap gadis yang gerakannya cukup tangkas itu. Dia membiarkan gadis itu menghadapi buaya putih, tentu saja dia pun selalu siap siaga untuk melindungi kalau-kalau gadis itu terancam bahaya!

Dengan langkah ringan dan agak berjungkit Ayu Puspa menghampiri buaya itu. Matanya bersinar-sinar, bibirnya agak tersenyum dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan rasa takut.

Buaya itu panjangnya tidak kurang dari empat meter! Kini binatang itu tidak bergerak lagi, melainkan membuka moncongnya yang lebar dan bisa memangsa manusia dengan sekali telan. Matanya tidak pernah berkedip dan tampaknya seperti mati kalau saja tidak tampak ekornya yang panjang dan bergigi kokoh seperti gergaji itu tidak bergerak-gerak sedikit.

“Awas ekornya!” kata Parmadi yang merasa khawatir juga karena dia pernah mendengar bahwa serangan buaya yang sangat berbahaya adalah apa bila dia menggunakan ekornya untuk memukul ke depan. Terpukul ekor seperti itu sama saja dengan terpukul palu godam besi yang bergigi!

Mendengar seruan Parmadi, Ayu Puspa lalu menoleh dan tersenyum sambil mengibaskan tangan kirinya, seakan memberi isyarat kepada pemuda itu agar jangan khawatir. Seolah melawan seekor buaya putih raksasa ini merupakan permainan biasa saja baginya. Gadis itu memandang rendah binatang buas itu!

Hal ini mengkhawatirkan hati Parmadi. Tentu gadis itu tidak mengira bahwa makhluk yang dia hadapi itu bukanlah makhluk biasa melainkan seekor binatang yang sudah dikuasai roh jahat sehingga menjadi sangat berbahaya, jauh lebih berbahaya dari pada binatang buas biasa!

Melihat gadis itu menghampirinya, buaya yang tadinya diam seperti sepotong kayu itu tiba-tiba, tanpa tanda apa pun, sudah menerkam ke depan dengan moncongnya yang terbuka sejak tadi. Moncong itu terbuka lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang kokoh dan runcing, menyambar ke arah tubuh Ayu Puspa.

“Aih...!” Ayu Puspa berseru lincah jenaka dan seperti bermain-main, suaranya melengking dan tubuhnya sudah mengelak ringan dan cepat ke samping sehingga gadis itu berada di samping kiri buaya itu. Tetapi pada saat itu juga ekor buaya itu menyambar dari belakang dengan kekuatan yang akan mampu memecahkan batu karang yang besar.

“Heeiiiiiitt!” Tubuh gadis itu sudah melompat ke atas sehingga ekor buaya itu menyambar di bawah kakinya.

Parmadi tersenyum dan hilang kekhawatirannya. Ternyata gadis itu memiliki gerakan yang cukup lincah dan cepat, terlalu cepat bagi gerakan buaya yang sangat lamban dan hanya mengandalkan tenaga besar itu.

Tubuh Ayu Puspa mencelat ke atas dan dia sengaja turun ke atas punggung buaya yang bergigi seperti gergaji itu. Parmadi kembali mengerutkan alis. Betapa beraninya gadis itu!

Ayu Puspa memang lincah dan gesit. Sesudah kedua kakinya hinggap di atas punggung buaya yang lebar itu, dia berteriak, “Mampuslah kau!”

Tangan yang memegang patrem itu bergerak ke bawah, menusukkan patrem yang runcing mengkilat ke arah kepala binatang itu.

“Nuuttt...! Trakkk!”

Ayu Puspa menjerit kecil ketika senjatanya bertemu dengan kulit kepala yang keras dan kuat seperti baja! Patremnya membalik tanpa melukai kepala itu sama sekali.

“Awass...!” Parmadi kembali berseru karena dia melihat ekor buaya itu kembali menyerang dari belakang. Ekor itu menyambar ke atas lalu menghantam ke arah gadis yang hinggap punggungnya!

“Blarrr...!”

Dengan mengeluarkan suara keras ekor itu menghantam punggung buaya sendiri ketika Ayu Puspa sudah melompat dan mengelak ke samping kiri. Akan tetapi buaya itu segera menggerakkan moncongnya ke kiri dan moncong itu menyambar ke arah kaki Ayu Puspa.

Kembali gadis itu mengelak sambil melompat. Akan tetapi kini dia kewalahan juga karena ke mana pun dia mengelak, ekor dan moncong buaya itu bergantian menyambar sehingga Ayu tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Pula, apa artinya serangannya? Kulit buaya itu amat kuatnya, tidak akan dapat ditembusi patremnya.

Ia hampir kehilangan akal, akan tetapi dasar gadis pemberani, ia malu kalau harus mundur dan menyerah. Maka sedapat-dapatnya dia pun membalas dengan tendangan-tendangan kakinya. Biar pun dia menggunakan tenaga dalam, tetap saja tubuh besar buaya itu tidak bergeming, bahkan kedua kakinya terasa panas dan nyeri kalau menendang dan bertemu dengan kulit buaya.

Biar pun gadis itu tidak mengeluarkan keluhan, namun Parmadi maklum bahwa gadis itu kewalahan dan merasa kedua kakinya nyeri, maka dia menjadi tidak tega.

“Ayu, serang matanya! Matanya!”

Mendengar seruan Parmadi ini, Ayu menjadi girang. Kini dia baru dia ingat dan ketika ekor itu menyambar pula dari samping, ia melompat ke atas punggung binatang itu dan secepat kilat patremnya bergerak meluncur turun, tepat mengenai mata kanan binatang itu. Begitu patremnya melukai mata, Ayu cepat melompat jauh.

Binatang itu mengeluarkan suara yang mengerikan. Tubuhnya berguling-guling, ekornya menyambar-nyambar ke kanan dan kiri, moncongnya menyerang secara ngawur dan mata kanannya berdarah. Lalu dia melangkah ke arah sungai dan meluncur turun. Terdengar bunyi air muncrat ketika tubuh buaya besar itu menimpa air.

Ayu Puspa sudah berlari ke tepi sungai. Ia melihat buaya itu masih menongolkan kepala di permukaan air dan matanya yang kanan terobek.

“Awas kau!” kata gadis itu lantang sambil mengacung-acungkan patremnya. “Jika engkau masih berani mengganggu perahu yang lewat di Kedung Srengenge ini, aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!”

Buaya itu menyelam dan tidak tampak lagi. Parmadi sudah berdiri di sisinya.

“Mudah-mudahan dia takut mendengar ancamanmu tadi, Ayu,” kata Parmadi serius.

“Eh, apa kau kira dia mengerti kata-kataku, Kakang Parmadi?”

“Tentu saja dia mengerti. Dia bukan buaya biasa, Ayu. Karena itulah dia begitu kuat dan cerdik.”

“Ahh, betapa bodoh aku ini. Tidak ingat bahwa kelemahan buaya itu pada matanya yang tidak kebal. Aku sungguh bodoh!”

“Engkau? Bodoh? Wah, baru kali ini aku menyaksikan seorang gadis bertanding melawan buaya putih jadi-jadian dan berhasil melukai dan mengusir binatang itu. Sungguh engkau gagah perkasa, benar-benar seperti Srikandi!”

Ayu Puspa menyimpan patremnya setelah membersihkan noda darah dengan air di pinggir sungai, kemudian memandang pemuda itu sambil tersenyum. “Mana mungkin aku seperti Srikandi? Srikandi itu kan cantik jelita, selain gagah perkasa?”

“Siapa bilang engkau tidak cantik jelita, Ayu? Baru namamu saja sudah ayu (cantik). Kau bahkan lebih ayu mani merak ati ketimbang Srikandi!”

“Aihh, rayuan gombal! Masa aku lebih cantik ketimbang Srikandi?”

“Aih, tidak percaya? Kalau sudah tua dan menjadi nenek-nenek, Srikandi tentu tidak cantik lagi. Akan tetapi engkau masih tetap Ayu, biar nanti sampai berusia seratus tahun sekali pun.”

“Tentu saja! Memang namaku Ayu. Tapi, kakang, kalau tadi tidak ada nasihat dari Raden Permadi, Srikandi yang ini tentu sudah menjadi mangsa buaya putih!”

“Ahh, sudahlah, tak mungkin menang aku berbantahan denganmu. Lihat itu, sudah terjadi perubahan, bukan?” Parmadi menunjuk ke arah pusaran air.

Ayu Puspa memandang dan dia mengangguk senang. Air ulekan yang tadinya amat kuat dan tampak mengerikan itu, kini hanya merupakan pusaran air yang lemah dan biasa saja. Biasa terjadi pada air sungai yang menikung tajam.

“Hemm, kini Kedung Srengenge bukan merupakan tempat angker lagi bagi para nelayan dan tukang perahu.” Ia berhenti sebentar, lalu memandang ke arah pohon randu alas yang tumbang, kemudian menoleh pada Parmadi dan bertanya dengan suara penuh keheranan, kekaguman dan ingin tahu sekali. “Tapi, Kakang Parmadi, ketika engkau meniup sulingmu secara aneh tadi, kenapa pohon besar itu tiba-tiba tumbang?”

Terpaksa Parmadi berterus terang karena kiranya tidak mungkin membohongi gadis yang cerdik ini. “Guruku mengajarkan aku meniup suling untuk mengusir setan-setan yang biasa menggoda manusia. Pohon itu dihuni setan. Setelah aku meniup sulingku, dia tidak tahan, harus pergi dari sini dan untuk melampiaskan kemarahannya, dia menumbangkan pohon tempat tinggalnya itu.”

“Bukan main! Jika begitu dia memang sengaja menumbangkan pohon itu ke arahmu untuk menimpamu, kakang?”

Parmadi mengangguk. “Hanya itu yang mampu dia lakukan terhadap manusia. Untung aku dapat menghindar sebelum pohon itu menimpaku.”

“Tadi aku khawatir dan takut sekali kakang. Aku tidak melihat engkau menghindar. Kukira engkau tertimpa pohon.”

Parmadi teringat betapa gadis itu tadi merangkulnya. Masih terasa kehangatan tubuh yang lembut dan padat itu dan wajahnya menjadi kemerahan. Laki-laki mana yang tidak akan terguncang hatinya kalau dirangkul ketat seorang gadis sejelita Ayu Puspa?

“Terima kasih atas perhatianmu, Ayu.”

“Sudahlah, di antara kita tak ada terima kasih-terima kasihan, bukan? Kita sudah menjadi sahabat dan karena itu kita perlu lebih mengetahui keadaan masing-masing. Mari duduk, kakang, agar lebih enak kita bicara.”

Gadis itu duduk di atas batu besar dan Parmadi lalu duduk di depannya. Sejenak mereka saling pandang. Melihat sikap gadis itu begitu terbuka, tidak malu-malu menatapnya penuh selidik, membayangkan kejujuran yang wajar, Parmadi juga merasa cepat akrab dengan Ayu Puspa.

“Nah, sekarang siapa yang akan menceritakan keadaan dirinya lebih dahulu?” kata Ayu.

“Kenapa kita harus saling menceritakan keadaan masing-masing?” tanya Parmadi.

“Lha, tentu saja! Sudah sepantasnya seorang sahabat mengetahui keadaan sahabatnya. Kalau tidak begitu, perkenalan itu belum matang namanya dan mana bisa disebut sahabat kalau tidak tahu apa-apa tentang sahabatnya?”

“Baiklah, kurasa engkaulah yang harus lebih dahulu menceritakan keadaan dirimu karena engkau lebih muda dariku, Ayu.”

“Wah, mana bisa begitu! Engkau laki-laki, kakang, dan sudah sepantasnya kalau laki-laki itu harus selalu mengalah terhadap wanita, bukan? Apakah sebagai laki-laki engkau tidak mau mengalah terhadap aku dalam mendahului menceritakan riwayat ini?”

Gadis itu menegakkan kepalanya, membusungkan dadanya yang montok sambil matanya berbinar-binar. Parmadi tertawa, tidak berdaya menghadapi gadis yang pandai bicara dan pandai berdebat itu.

“Baiklah, akan tetapi engkau akan mengantuk mendengar cerita tentang diriku. Habis tidak ada apa-apanya yang menarik. Aku menjadi yatim piatu sejak usia sepuluh tahun...”

“Sama!” Ayu memotong.

“Heh? Apanya yang sama?”

“Yatim piatunya!”

“Ahh, begitukah? Aku girang sekali!” kata Parmadi.

“Apa?” Ayu menteleng (melotot). “Kau merasa girang sekali mendengar aku sudah yatim piatu? Sadis kau!”

“Ehh, bukan, Ayu. Bukan yatim piatunya. Aku girang karena aku mempunyai sahabat yang senasib, jadi tidak menderita seorang diri.”

“Huh, itu namanya mementingkan diri sendiri. Lanjutkan!”

“Mementingkan diri sendiri?” Parmadi mengejar.

“Tentu saja. Kalau senang, mau dinikmati sendiri. Kalau susah, ingin mengajak orang lain. Apa namanya itu kalau bukan mementingkan diri sendiri? Hayo, lanjutkan ceritamu. Tidak akan ada habis-habisnya kalau putar-putar begitu.”

“Baiklah. Sampai di mana ceritaku tadi?”

“Engkau yatim piatu.”

“Oh ya, aku yatim piatu. Namaku Parmadi.”

“Sudah tahu!”

“Hmm oh ya, ketika itu aku tinggal di dusun Pakis, di lereng Gunung Lawu. Setelah kedua orang tuaku meninggal, aku lalu bekerja mengurus kuda milik demang di sana. Sesudah berusia delapan belas aku bertemu dengan guruku yang bernama Resi Tejo Wening, lalu aku hidup bersama guruku di puncak Gunung Lawu bersama guruku...”

“Sama!”

“Apanya?”

“Aku pun tinggal bersama kakekku di puncak gunung! Bukan Gunung Lawu, akan tetapi Gunung Wilis!”

“Selama lima tahun aku tinggal bersama guruku di Puncak Lawu. Lalu aku disuruh turun gunung dan aku melakukan perjalanan merantau. Hari ini kebetulan sekali perantauanku membawa sampai di sini. Perahuku diseret pusaran air dan engkau menolongku lalu kita berkenalan dan sekarang kita duduk di atas batu bercakap-cakap...”

“Sudah tahu! Cuma begitu saja kisah tentang dirimu?”

“Ya, hanya begitulah.”

“Hemm, sama!”

Parmadi mengerutkan alisnya. Sungguh seorang pendengar cerita yang sama sekali tidak menyenangkan hati yang bercerita, celanya dalam hati.

“Sama apanya lagi?” dia bertanya, agak ketus.

“Sama tidak menariknya dengan cerita tentang aku.”

“Aku tidak percaya. Cerita tentang dirimu pasti menarik hati sekali. Hayo ceritakanlah, kini tiba giliranmu.”

“Baik, dengarlah. Namaku kau sudah tahu. Usiaku sampai hari ini delapan belas tahun.”

“Aku lebih tua lima tahun. Usiaku dua puluh tiga tahun!”

“Sejak usia sepuluh tahun aku ditinggal mati ayah ibuku. Aku lalu hidup bersama kakekku yang bernama Kyai Jayawijaya. Kakek juga menjadi guruku dan kami tinggal di Puncak Gunung Wilis sampai tiga bulan yang lalu. Kakek mengajak aku turun gunung dan tinggal di tepi bengawan ini sampai sekarang. Hari ini aku bermain-main di sini, melihat perahumu dibawa pusaran air, kulemparkan pengait dan kutarik ke tepi. Kau usir setan di randu alas dan kuusir buaya putih, lalu kita duduk di sini bercakap-cakap...”

“Wah, ceritamu benar-benar kering!” Parmadi mencela.

“Apa lagi cerita tentang dirimu! Kering kerontang!” balas Ayu.

“Mending mendengar cerita tentang Srikandi, seperti Srikandi Belajar Memanah, Srikandi Mengejar Maling, dan sebagainya.”

“Cerita tentang Raden Permadi lebih bagus lagi, seperti Permadi Merebut Puteri, Permadi Merampas Isteri Palgunadi dan lain-lain.”

“Tapi Permadi kan laki-laki gagah perkasa, satria utama arif bijaksawa!” Parmadi membela tokoh yang namanya mirip dengan namanya sendiri itu.

“Srikandi juga wanita gagah perkasa, tidak gentar melawan siapa saja, termasuk laki-laki yang sombong dan mau menang sendiri, seperti engkau misalnya!”

Parmadi terbelalak dan melompat turun dari atas batu, berdiri tegak memandang gadis itu. “Apa maksudmu? Engkau... engkau menantang aku?” tanyanya penasaran karena ucapan dan suara gadis itu terdengar semakin menggatalkan kepala dan memanaskan telinga.

Ayu juga melompat turun sehingga berdiri saling berhadapan dengan pemuda itu, sikapnya menantang. “Aku tidak menantang siapa pun, tapi jika dianggap menantang, jangan dikira aku takut!”

Parmadi tertarik. Gadis ini sungguh luar biasa. Hatinya sekeras baja, kepalanya sekeras besi. Timbul keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu kanuragan yang dimiliki gadis ini.

“Baiklah. Engkau tidak takut, aku pun tidak takut. Memang perkenalan tanpa pertandingan terasa hambar. Mengenal keadaan masing-masing termasuk kedigdayaannya, itu barulah mematangkan perkenalan. Mari, mari kita saling menguji sampai di mana kemampuan kita masing masing,” kata Parmadi.

“Baik! Aku sudah siap!” kata Ayu Puspa dan dia telah membuat gerakan pembukaan yang indah dan gagah sekali. Tubuhnya miring, kedua kaki ditekuk lututnya, tangan kiri diangkat ke atas pundak dengan jari-jari terbuka melengkung, tangan kanannya menyilang di depan pusar dengan jari-jari terbuka pula.

“Mulailah!”

“Aku juga sudah siap. Mulailah lebih dulu!” kata Parmadi.

“Kau dulu!” bentak Ayu.

“Kau dulu!” kata Parmadi.

“Tidak, kau dulu!” Ayu berkukuh.

Hemm, bocah ini, segalanya tak mau kalah, pikir Parmadi.

“Baik, kau sambutlah seranganku ini!” Dia lalu melangkah maju, tangan kirinya menampar ke arah pundak kanan Ayu.

Dengan gerakan ringan dan gesit sekali gadis itu sudah mengelak dengan merendahkan tubuh dan menggeser kaki ke samping, lalu dari samping kakinya yang mungil mencuat, menyambar sebagai tendangan kilat ke arah lambung Parmadi.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)