SERULING GADING : JILID-37


Akan tetapi kembali Ayu memperlihatkan kelincahannya. Ia dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan gerakan tubuhnya yang lentur, mengelak dengan indah sekaligus mencari posisi yang tepat untuk melancarkan serangan balasan berupa tonjokan dengan tangan kanan terkepal ke arah ulu hati lawan, sedangkan kakinya kembali menyusulkan tendangan yang cepat dan kuat sekali, yang dituju adalah lutut lawan yang bila mengenai sasaran dengan tepat tentu dapat membuat sambungan tulang terkilir.

Sekali ini Parmadi tidak mengelak. Ia ingin mengukur kekuatan gadis itu, maka ia sengaja menangkis pukulan ke arah dadanya dan menangkis pula tendangan itu dengan kakinya yang bergerak dari samping. Tentu saja dia membatasi tenaganya, karena dia tidak ingin membuat gadis itu malu, apa lagi sampai cidera.

“Plakk! Dukkk...!”

Parmadi merasakan betapa tenaga sakti gadis itu cukup kuat dan diam-diam dia merasa amat kagum. Kecepatan, tenaga mau pun keindahan permainan silat gadis ini jauh berada di atas kemampuan Muryani pada saat ia meninggalkan Muryani kurang lebih enam tahun yang lalu!

Sebaliknya Ayu Puspa menggigit bibir bawahnya. Tangkisan pada tangan kanannya hanya membuat tangan itu terpental, akan tetapi ketika kakinya bertemu dengan kaki Parmadi sehingga beradu tulang betis, dia merasa tulang betisnya nyeri, kiut-miut rasanya seperti tulang betisnya itu bertemu dengan besi! Dia menjadi penasaran dan marah.

“Heeiiiittt!” Ia menyerang dan kini agaknya ia menggunakan aji pukulan yang mengandung hawa sakti sepenuhnya sehingga angin yang dahsyat mendahului pukulan itu menerpa ke arah perut Parmadi!

Kini Parmadi melawan dengan Aji Sunya Hasta (Tangan Kosong) dan ke mana pun lawan menyerang, secara otomatis tangannya akan menyambut dengan sentuhan lembut, bukan tangkisan yang menggunakan tenaga keras melawan keras.

Ayu Puspa terkejut bukan main, terkejut dan heran. Semua pukulannya bertemu dengan tangan Parmadi seperti bertemu dengan kapas yang lembut, atau lebih tepatnya seperti bertemu dengan air saja. Pukulannya itu ‘tenggelam’ dan kehilangan tenaganya! Namun dasar dia seorang gadis yang berhati baja. Dia semakin penasaran dan menyerang terus sehingga kalau ada orang biasa menonton pertandingan itu, tentu akan mengira bahwa dia yang mendesak lawan karena dia yang terus-terusan menyerang.

“Hua-ha-ha-ha! Kalau sudah kalah maju terus, itu namanya nekat tetapi bodoh! Ayu, kau mundurlah, orang ini bukan lawanmu, lebih pantas melawan aku!”

Mendengar ucapan itu Ayu Puspa segera melompat ke belakang dengan wajah berubah kemerahan. Tadinya dia masih penasaran, tetapi setelah mendengar ucapan kakeknya ini, barulah dia sadar betul bahwa dia benar-benar bukan tandingan Parmadi dan bahwa sejak tadi pemuda itu selalu mengalah.

Sementara itu Parmadi memandang kakek itu dengan rasa kagum. Seorang lelaki berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh sedang dan berwajah bersih tampan tanpa kumis atau jenggot. Wajah itu kelihatan menarik karena cerah dan gembira sekali, penuh senyum.

“Orang muda, mari kita main-main sebentar. Sambut seranganku ini!”

Orang tua itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar dan Parmadi merasa betapa ada angin yang amat dahsyat menyambar ke arahnya. Dia maklum bahwa penyerangnya seorang yang sakti dan agaknya inilah kakek Ayu yang diceritakannya tadi. Dia pun cepat memainkan Aji Sunya Hasta dengan pengerahan kekuatan yang lebih besar.

“Plak-plak-plak...!”

Tiga pukulan berturut-turut kakek itu ditangkisnya dengan telapak tangan. Kakek itu kaget bukan main ketika merasa betapa serangannya seperti bertemu air ketika ditangkis tangan pemuda itu.

Dia mundur empat langkah, lantas berseru, “Orang muda, kau sambutlah ini!” dan dia pun mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke depan.

Parmadi maklum bahwa kakek itu menyerang dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan tenaga sakti yang menyambar ke arahnya dengan sangat kuat. Dia pun mendorongkan kedua tangan menyambut, tentu saja dengan membatasi tenaga dan hanya menggunakan tenaga untuk bertahan, bukan menyerang karena sama sekali dia tidak ingin mencelakai kakek yang dia tahu hanya ingin mengujinya itu.

“Wuuuttt...! Desss...!”

Kakek itu mengeluarkan suara tawa kaget ketika dia terhuyung ke belakang, terdorong oleh tenaga yang lembut namun kuat bukan main.

“Wah lhadalah...! Aku berani bertaruh bahwa andika tentu keturunan dari Sang Resi Tejo Wening!” kata kakek itu sambil membelalakkan matanya.

“Benar, eyang (kakek)! Kakang Parmadi ini murid Resi Tejo Wening!” kata Ayu Puspa.

“Apa?!” Kakek itu terbelalak memandang kepada Parmadi. “Namanya Permadi? Raden Janoko atau Arjuna?”

Mau tidak mau Parmadi tersenyum. Kakek dan cucunya ini sama saja, seperti tidak bisa serius.

“Bukan, paman. Nama saya Parmadi dan bagaimana paman dapat menduga bahwa saya mempunyai hubungan dengan Eyang Resi Tejo Wening?

“Ha-ha-ha, itu mudah saja. Siapa lagi kalau bukan Kakang Resi Tejo Wening yang mampu menurunkan kesaktian seperti itu kepadamu?”

“Kalau begitu, paman...”

“Hei, Kakang Parmadi! Apa kau kira engkau ini sudah tua betul? Usiamu hanya berselisih lima tahun dariku. Sepantasnya engkau menyebut eyang kepada kakekku!” tiba-tiba Ayu memotong.

Parmadi menjadi bingung dan salah tingkah. “Ha-ha!” kakek itu tertawa. “Ayu benar, lebih menyenangkan hatinya kalau andika menyebut eyang kepadaku.”

“Kalau engkau menyebut paman kepada kakekku, aku pun akan menyebut pakde (uwa) kepadamu!” kata lagi Ayu.

Parmadi tersenyum. “Baiklah, aku akan menyebut eyang kepada kakekmu. Eyang, kalau begitu eyang tentu telah mengenal guru saya.”

“Mengenal Kakang Resi Tejo Wening? Ha-ha-ha-ha, dia itu penolongku, dan gurumu yang membuka mataku melihat kenyataan dunia dan kehidupan. Kalau aku tidak bertemu dia, tentu aku masih terus berlomba dengan semua orang untuk mengejar kesenangan melalui kedudukan, harta, dan wanita. Dialah yang menganjurkan agar aku meninggalkan semua kesia-siaan itu dan mengasingkan diri di puncak Gunung Wilis. Boleh dibilang dia adalah guruku, Parmadi, guru olah batin. Akan tetapi yang mengherankan hatiku, kenapa kalian tadi berkelahi? Ayu, kenapa tadi engkau bertanding melawan Parmadi?”

Ayu cemberut dan mengerling ke arah Parmadi. “Habis dia sih...!” katanya manja, bibirnya cemberut akan tetapi malah menjadi semakin manis.

“Maaf, eyang. Ayu... dia tadi menantang, maka terpaksa saya melayani bertanding.”

“Bohong! Tidak, eyang. Dia yang menantang. Malah katanya, perkenalan tanpa bertanding rasanya hambar. Memangnya aku takut?”

“Ha-ha-ha! Maklumlah, Parmadi. Ayu memang begitu, kepala batu, hatinya keras, tukang membantah dan berdebat, seperti aku dulu! Ha-ha-ha, seperti aku dulu tetapi hatinya tidak seperti aku, hatinya baik sekali.”

“Saya tahu, eyang, tetapi saya kagum dan senang sekali melihat Ayu yang terbuka, jujur, polos. Biar pun berwatak keras tapi hatinya selembut kapas dan baik sekali. Ia bijaksana dan gagah. Tadi pun ketika perahu saya terbawa pusaran air, Ayu yang menolong saya dengan mengait perahu saya dan menariknya dari seretan pusaran air.”

“Ha-ha-ha, sudah beberapa kali cucuku ini menyelamatkan tukang perahu yang terancam bahaya di Kedung Srengenge juga dengan cara yang sama.”

“Tetapi sekali ini aku kecelik eyang. Kakang Parmadi mempermainkan aku. Tidak tahunya dia seorang yang sakti mandraguna. Jika dia kehendaki tentu dapat lolos dari pusaran air. Ketahuilah, eyang. Tadi dengan suara sulingnya, eh... dia dijuluki Seruling Gading, eyang. Dengan seruling gadingnya itu dia memainkan lagu aneh dan setan penghuni randu alas itu diusirnya. Sebelum minggat setan itu menumbangkan pohon randu alas itu, hampir saja menimpa Kakang Parmadi. Kemudian muncul buaya putih raksasa. Aku melukai matanya dengan patremku dan buaya putih itu lari ke air dan lihatlah sekarang, pusaran air itu kecil dan lemah saja, tak ada bahaya lagi yang mengancam tukang perahu yang lewat Kedung Srengenge.”

Dengan heran Parmadi melihat kakek itu tampak terkejut bukan kepalang. Mata kakek itu terbelalak lebar dan wajahnya yang selalu cerah gembira itu tampak khawatir.

“Apa katamu? Parmadi, benarkah bahwa andika sudah mengusir penunggu kedung yang berada di dalam randu alas dan Ayu telah melukai mata seekor buaya putih raksasa?”

“Eyang, buaya itu kebal sekali. Serangan patremku tidak bisa menembus kulitnya. Untung Kakang Parmadi mengigatkan aku supaya menyerang matanya dan aku berhasil melukai matanya sehingga dia melarikan diri ke sungai,” kata Ayu.

“Betul apa yang dikatakan Ayu tadi, eyang. Melihat bahwa randu alas ini ada penghuninya yang suka mengganggu orang, maka terpaksa saya menggunakan suara seruling gading untuk mengusirnya. Lalu muncul buaya putih raksasa itu dan Ayu segera menandinginya dengan gagah berani.”

“Aduh celaka! Celaka sekali ini!” Kakek itu mengeluh dan mengangkat dua tangannya ke atas.

“Ehh, eyang ini kenapakah? Apanya yang celaka? Bukan kita, melainkan setan penghuni randu alas dan buaya putih sialan itu yang celaka!” kata Ayu Puspa

“Eyang, ada apakah? Harap eyang suka menjelaskan mengapa eyang merasa khawatir?” tanya pula Parmadi dengan heran. Kakek itu seorang sakti mandraguna, kenapa tampak demikian ketakutan?

“Ohh, kalian tidak tahu? Aku pun baru saja mendengar dan belum sempat menceritakan kepada Ayu. Lihat di sana itu!” Dia menuding ke arah pohon randu alas.

Dekat batang pohon yang tinggal beberapa jengkal tingginya karena tumbang tadi tampak tumpukan abu meninggi dan ada pula beberapa buah anglo kecil yang biasa dipergunakan orang untuk kutu (membakar kemenyan). Juga terdapat tumpukan bunga-bunga yang telah mernbusuk. Jelas bahwa tempat itu dikeramatkan orang dan dipuja-puja dengan kembang-menyan.

Melihat ini Parmadi tersenyum Sukar dipercaya bahwa kakek yang sakti mandraguna ini, bahkan pernah mendapat bimbingan dalam hal olah batin dari Resi Tejo Wening, menjadi seorang yang takhyul dan takut kepada segala macam roh jahat!

“Hal itu sudah biasa, eyang. Justru karena dikeramatkan orang dan dipuja-puja, dikutuki, maka roh jahat yang menghuni pohon randu alas itu menjadi bertambah kuat. Tentu para penduduk dusun yang melakukannya.”

Kyai Jayawijaya menggeleng kepalanya kuat-kuat. “Bukan, bukan para penduduk dusun, akan tetapi sebuah gerombolan yang berbahaya. Tadinya aku mendengar dari penduduk desa dekat sini bahwa ada segerombolan orang aneh yang sering melakukan pemujaan di bawah pohon randu alas, terutama pada malam-malam Jumat dan Selasa Kliwon. Karena kabarnya pernah ada lima orang penduduk dusun yang berani mengintai gerombolan itu ditemukan tewas di sini dan tubuh mereka luka-luka seperti diserang binatang buas, maka aku menjadi sangat penasaran lalu melakukan penyelidikan sendiri. Ketika aku mengintai dan melakukan penyelidikan, aku mendapat kenyataan bahwa mereka adalah gerombolan yang menamakan diri mereka Warga Bajul Petak (Warga Buaya Putih). Merekalah yang menyembah buaya putih dan randu alas yang tumbuh di sini. Mereka mempraktekkan ilmu-ilmu hitam yang amat berbahaya dan jumlah mereka pun tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Bajul Sengoro. Kabarnya orang ini sakti mandraguna. Dia ahli sihir dan ilmu hitam yang amat berbahaya. Menurut penyelidikanku, gerombolan itu suka berkeliaran di sepanjang Bengawan Solo, akan tetapi sarang mereka adalah di daerah Pegunungan Kendeng tidak jauh dari Randu Blatung. Sekarang Parmadi telah membikin randu alas tempat pemujaan mereka itu tumbang, bahkan Ayu juga telah melukai mata buaya putih raksasa. Peristiwa ini pasti akan menimbulkan akibat. Warga Bajul Petak pasti tidak akan tinggal diam saja tempat pujaan mereka dirusak dan bahkan makhluk pujaan mereka dilukai.”

“Aihh, eyang ini. Begitu saja mengapa khawatir? Kalau memang mereka datang hendak membalas dendam, di sini ada kita bertiga yang akan menghancurkan para pemuja setan dan iblis itu!” kata Ayu dengan sikap gagah.

“Benar, eyang. Penunggu randu alas dan buaya putih itu jelas tidak benar. Mereka sering mengganggu orang-orang berperahu yang lewat di sini, karena itu sudah sepatutnya bila mereka itu ditentang dan diusir dari tempat ini. Jika ada perkumpulan gerombolan pemuja randu alas dan buaya putih yang hendak menuntut balas, berarti mereka itu jahat pula dan saya siap membantu eyang untuk menghadapi mereka,” kata Parmadi dengan tenang.

Kyai Jayawijaya yang biasanya selalu tersenyum gembira kini memaksa diri tersenyum, walau pun sinar matanya masih membayangkan kegelisahan hatinya. “Parmadi dan Ayu, ketahuilah bahwa aku sudah yang tua ini sama sekali tak merasa takut dan khawatir. Aku percaya bahwa kita akan sanggup menghadapi tantangan dari mana pun datangnya, apa lagi ada Parmadi di sini. Tetapi bukan itu yang aku khawatirkan. Aku teringat akan nasihat Kakang Resi Tejo Wening. Beliau yang mengajarkan cara mendapatkan ketenangan hidup sehingga aku mengasingkan diri selama lima tahun di Puncak Gunung Wilis lalu pindah ke tempat sunyi di Lembah Bengawan Solo ini. Semata-mata untuk menikmati kedamaian dan menjauhkan diri dari permusuhan yang pernah kulakukan dulu sebagai jagoan. Tetapi siapa sangka hari ini aku malah menyebar bibit permusuhan dengan Warga Bajul Petak yang jumlahnya banyak. Apakah aku terpaksa harus mengandalkan kedigdayaan lagi dan membunuh banyak orang? Ah... mengerikan sekali!”

“Maaf, eyang, kalau perbuatan saya dan Ayu membuat eyang berduka karena merasa terpaksa bermusuhan dengan Warga Bajul Petak yang hendak membalas dendam. Tetapi saya juga memenuhi ajaran eyang guru Resi Tejo Wening ketika saya menumbangkan randu alas dan ketika kami melawan buaya putih, hal itu kami lakukan bukan semata-mata karena kami membenci mereka. Tetapi karena jelas bahwa penghuni randu alas dan buaya putih itu suka menganggu orang berperahu yang lewat di sini. Yang kami tentang adalah perbuatan mereka yang jahat, bukan karena membenci orangnya. Demikian pula kalau gerombolan Warga Bajul Petak itu datang menyerang kita, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka. Tugas kita adalah menundukkan mereka dan sedapat mungkin menyadarkan mereka dari perbuatan mereka yang jahat. Demikianlah salah satu di antara pelajaran yang saya terima dari eyang guru Resi Tejo Wening.”

“Andika benar, Parmadi,” kata kakek itu sambil mengangguk-angguk, sekarang wajahnya menjadi cerah kembali.

“Awas...!” tiba-tiba Ayu Puspa menjerit.

Kyai Jayawijaya dan Parmadi juga sudah melihat luncuran beberapa buah benda hitam ke arah mereka. Tiga orang ini cepat melompat jauh berlindung ke belakang sekumpulan batu besar.

“Darr-darr-darr-darrr...!”

Asap mengepul tebal menyelimuti tempat itu. Alat peledak itu tidak mengenai tiga orang yang sudah berlindung di balik batu-batu besar.

Sesudah asap membubung ke atas dan keadaan di situ terang kembali, Kyai Jayawijaya, Parmadi dan Ayu Puspa melihat segerombolan orang yang jumlahnya kurang lebih dua puluh orang berada situ, bergerombol dekat pohon randu alas yang telah tumbang. Ayu Puspa memandang dengan mata terbelalak.

Di antara dua puluh lebih orang yang berwajah bengis itu, terdapat empat ‘makhluk’ aneh yang bertubuh manusia akan tetapi kepalanya kepala buaya! Mata mereka mencorong dan moncongnya kadang bergerak terbuka memperlihatkan gigi-gigi runcing. Mereka semua berpakaian serba putih. Yang kepalanya kepala manusia biasa mengenakan ikat kepala berupa kain putih pula dan pada tangan mereka tampak senjata seperti golok, akan tetapi golok itu bergigi seperti ekor buaya! Kini mereka mendekati pohon randu alas yang telah tumbang, mengelilingi dan bicara dengan sikap marah.

Ayu tidak dapat menahan diri lagi. Dia melompat keluar dari balik batu lantas membentak, “Hei gerombolan pemuja setan dan iblis yang terkutuk! Tempat pemujaan kalian telah kami hancurkan. Iblis yang kalian puja sudah minggat! Kami nasihatkan agar kalian kembali ke jalan benar, baru kami akan mengampuni kalian!”

Parmadi dan Kyai Jayawijaya terpaksa berlompatan keluar karena gadis itu sudah terlanjur memperlihatkan diri. Gerombolan orang-orang itu amat terkejut dan semua memutar tubuh menengok dan menghadapi tiga orang itu. Satu di antara mereka yang berkepala buaya itu tiba-tiba melemparkan tiga buah benda hitam sebesar kepalan tangan ke arah Parmadi, Ayu dan kakeknya.

Maklum betapa bahayanya alat peledak yang dilemparkan itu, Ayu dan kakeknya cepat-cepat mengelak sehingga dua buah benda itu meluncur lewat. Akan tetapi Parmadi malah menyambar dan menangkap benda itu dengan tangan kirinya, lalu melemparkan kembali kepada penyerangnya.

Terdengar tiga kali ledakan, dua jatuh di belakang Ayu dan yang sebuah lagi meledak di tengah-tengah kumpulan gerombolan itu. Asap membubung tinggi dan tiga orang anggota gerombolan roboh!

Gegerlah gerombolan itu. Mereka marah sekali. Didahului empat orang berkepala buaya itu, mereka segera menyerbu dan menyerang Parmadi, Ayu Puspa dan Kyai Jayawijaya, mempergunakan golok bergigi mereka. Gerakan mereka rata-rata tangkas dan bertenaga, terutama empat orang berkepala buaya itu. Agaknya mereka memandang rendah kepada Ayu yang hanya seorang gadis muda, maka empat orang berkepala buaya itu berpencar, dua orang mengeroyok Parmadi dan dua orang lagi mengeroyok Kyai Jayawijaya!

Selain dikeroyok dua orang berkepala buaya, Parmadi dan kakek itu masih dikeroyok oleh banyak anak buah gerombolan yang rata-rata berlaku ganas. Sementara itu Ayu dikepung dan dikeroyok oleh delapan orang anak buah gerombolan yang wajahnya menyeramkan dan sepak terjangnya beringas dan menyeramkan!

Terjadilah perkelahian yang amat seru. Parmadi yang dikeroyok sembilan orang termasuk dua orang berkepala buaya, bergerak lincah dan dengan kedua tangannya dia menangkisi golok-golok bergigi itu dan membagi tamparan dan tendangan yang merobohkan beberapa orang pengeroyok. Dia membatasi tenaganya karena tidak ingin melakukan pembunuhan.

Begitu pula Kyai Jayawijaya. Kakek perkasa ini agaknya juga berpendapat sama dengan Parmadi. Dia merobohkan beberapa orang tanpa membunuh mereka. Ternyata kakek ini memang gagah perkasa. Hal ini tidak mengherankan karena sebenarnya Kyai Jayawijaya telah mewarisi aji kesaktian peninggalan mendiang Sunan Kalijogo. Tamparan tangan dan tendangan kakinya seperti geledek menyambar.

Yang mengamuk hebat adalah Ayu Puspa. Gadis ini lain dengan kakeknya dan Parmadi. Dia marah melihat ulah gerombolan yang mengeroyoknya. Mereka tidak mempergunakan golok, melainkan kedua tangan mereka seperti berebut hendak menangkapnya, dengan terkaman-terkaman yang tidak sopan. Agaknya mereka itu seperti berlomba untuk dapat mencengkeram dan mendekapnya dan mulut mereka menyeringai menjemukan.

Ayu mengerahkan tenaganya dan setiap kali kaki atau tangannya menyambar mengenai sasaran, tentu ada tulang patah dan orangnya roboh terpelanting. Selagi ramai-ramainya pertempuran berlangsung, tiba-tiba saja terdengar suara melengking nyaring memekakkan telinga menggetarkan jantung. Kemudian berkelebat bayangan putih dan muncul seorang berkepala buaya lain.

Orang ini bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga putih dan bukan hanya kepala buaya itu yang berkulit putih, tetapi kulit tangan dan kaki orang itu pun putih, bahkan rambutnya juga putih agak kekuningan. Dia adalah seorang bule!

Gerakannya cepat luar biasa. Tahu-tahu dia sudah melompat dekat Ayu yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Tangan kiri orang berkepala buaya yang bule itu menyambar ke arah muka Ayu. Jari-jari tangan itu besar dan telapak tangannya lebar.

Ayu terkejut bukan main ketika tahu-tahu ada tangan lebar sudah mendekati mukanya. Ia mencium bau harum seperti cendana yang membuat kepalanya terasa pening. Cepat dia menggerakkan tangan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

“Wuuuttt...! Dukkk!”

Tangkisannya bertemu dengan lengan yang lunak dan lentur bagaikan karet. Ayu terkejut dan sebelum dia dapat menghindarkan diri, tahu-tahu pinggangnya yang ramping sudah dilibat lengan kanan orang bule berkepala buaya itu. Ayu meronta, akan tetapi orang itu sudah melompat sambil membawa tubuhnya dan terdengar air berjebur. Air muncrat ke atas ketika Ayu dibawa terjun ke tengah Kedung Srengenge dan tubuh mereka berdua terseret pusaran air, atau lebih tepat lagi, orang bule itu telah menyelam sambil membawa tubuh Ayu Puspa!

“Ayu...!” Parmadi dan Kyai Jayawijaya berteriak hampir berbareng ketika mereka melihat kejadian itu. Mereka berdua mengamuk dan para pengeroyok mereka mundur lalu mereka semua berlompatan terjun ke Kedung Srengenge, juga mereka yang terluka dibawa terjun dan mereka semua menyelam dan tidak muncul kembali!

Parmadi dan Kyai Jayawijaya berlari ke pinggir kedung sungai itu, tertegun memandang ke tengah kedung dengan muka pucat. Semua itu rasanya seperti dalam mimpi. Bagaimana mungkin Ayu diseret masuk ke dalam kedung? Dan mereka semua itu, bagaimana mereka dapat terjun lantas lenyap di dalam air seolah-olah mereka semua itu tadi bukan manusia melainkan segerombolan buaya?

Dua orang laki-laki itu berdiri di tepi sungai dengan bingung dan akhirnya Kyai Jayawijaya membanting kaki kanannya ke atas tanah dengan hati gundah. “Mereka itu iblis, bukan manusia! Ah... sudah terasa olehku bahwa hal ini tentu berakibat buruk. Ayu, cucuku...”

“Eyang, saya tak percaya jika mereka itu setan. Mereka tentu manusia biasa seperti kita. Tadi sudah saya lihat dengan jelas bahwa kepala buaya itu hanyalah sebuah topeng yang menutup kepala mereka dan ada beberapa orang dapat saya robohkan dengan tamparan. Mereka itu manusia biasa, eyang, bukan iblis.”

“Kalau bukan iblis, bagaimana mereka semua dapat lenyap di dalam air kedung ini? Lalu bagaimana dengan cucuku Ayu?”

“Jangan khawatir, eyang. Kalau sebagai manusia-manusia biasa mereka dapat menyelam dan lenyap, maka saya kira saya pun bisa. Saya akan menyelidiki dasar kedung ini, pasti ada rahasianya, eyang.”

“Ahh, mungkin andika benar, Parmadi. Tetapi sayang, aku sendiri tidak pandai berenang, kalau saya terjun ke air tentu akan tenggelam.”

“Biar saya saja yang melakukan penyelidikan, eyang.” Setelah berkata demikian, Parmadi lalu melompat ke dalam sungai.

Untung baginya bahwa ketika masih kanak-kanak dia sering bermain-main di air sehingga biar pun bukan seorang ahli yang pandai, dia dapat berenang dan menyelam. Apa lagi dia telah melatih pernapasan sehingga dia dapat bertahan agak lama di dalam air.

Dengan gerakan kaki tangannya dia menyelam dan membuka mata melihat ke sekeliling kedung itu. Pusaran air menariknya, tetapi tidak berapa kuat dan ketika dia menyelidiki ke sebelah kiri, hatinya berdebar girang dan tegang karena seperti yang telah dia perkirakan, di bagian kiri kedung itu terdapat sebuah goa dalam air yang cukup lebar.

Tidak salah lagi, pikirnya. Mereka tentu menghilang lewat lubang goa itu!

Parmadi cepat meluncur memasuki goa yang gelap pekat. Dia meraba-raba sambil maju terus. Tak lama kemudian dia melihat sinar terang di depan dan ke sanalah dia berenang. Ketika muncul di permukaan air, ternyata dia berada di dalam sungai bawah tanah yang merupakan ruangan yang luas dan sinar terang tadi ternyata adalah sinar obor-obor yang banyak terdapat di ruangan itu.

Sesudah melihat bahwa di daratan bawah tanah itu tidak tampak ada orang, dengan hati-hati Parmadi lalu berenang ke tepi dan mendarat. Tampak banyak tapak kaki di situ yang menuju ke depan sana. Terowongan sungai bawah tanah itu ternyata panjang juga dan di depan sana masih tampak sinar terang dan terdengar gemuruh suara orang banyak.

Parmadi cepat menyelinap di antara batu-batu dan bergerak maju. Di sebuah tikungan dia mengintai dan melihat betapa di tikungan itu terdapat sebuah ruangan yang luas, diterangi dengan obor-obor dan puluhan orang yang tadi mengeroyok dia, Kyai Jayawijaya dan Ayu berkumpul di situ.

Orang-orang itu sibuk. Ada yang mengganti pakaian yang basah kuyup dengan pakaian kering, ada yang sedang menolong kawan-kawan yang tadi terluka. Akan tetapi Parmadi tidak melihat Ayu di situ. Juga orang berkepala buaya yang kulitnya bule itu tidak tampak.

Dia menjadi penasaran dan cepat dia masuk ke dalam air, menyelam dan meluncur dalam air melewati ruangan di mana para anak buah gerombolan itu berkumpul. Setelah ruangan itu dia lewati, dia muncul di permukaan air lagi dan tibalah dia di sebuah ruangan lain yang tidak seluas ruangan pertama. Akan tetapi jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat apa yang tampak di bawah sinar penerangan obor-obor yang tertancap di dinding ruangan itu.

Ayu rebah telentang di atas lantai ruangan itu dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu: Yang membuat Parmadi mengepal tinju dengan marah adalah melihat keadaan gadis itu yang amat menyedihkan. Gelung rambutnya terlepas sehingga rambut yang panjang hitam itu terurai, sebagian menutupi dadanya yang hampir telanjang karena letak pakaiannya sudah awut-awutan. Agaknya gadis itu tadi meronta dan melawan sehingga pakaiannya kacau dan dia berada dalam keadaan setengah telanjang!

Pada sudut ruangan itu tampak buaya putih raksasa yang tadi matanya dilukai oleh Ayu. Buaya putih panjang itu menelungkup. Mata kirinya masih luka berdarah dan terpejam. Dan di depan buaya putih itu duduk berlutut seorang laki-laki bule yang kepalanya tertutup topeng kepala buaya. Dari bawah topeng, di belakang lehernya tampak tersembul rambut orang itu yang berwarna putih kekuningan.

Parmadi mendekat, menyelinap di antara batu-batu sungai yang berada di tepi dan di luar ruangan itu. Dia melihat laki-laki itu dengan suaranya yang parau dan dalam berkata-kata kepada buaya putih raksasa.

“Duh rama Bajul Petak, maafkan saya dan anak buah yang terlambat datang sehingga tak bisa menghindarkan rama dari mala petaka ini, terluka parah. Akan tetapi kesalahan kami itu sudah kami tebus, beberapa orang anak buah kami terluka. Harap rama legakan hati karena saya sudah berhasil menawan perawan yang telah melukai mata rama. Sekarang perawan itu berada di sini, saya serahkan kepada rama supaya rama dapat bersenang-senang dan membalas dendam.” Setelah berkata demikian orang bule itu lalu menyembah dan keluar dari ruangan itu, agaknya dia hendak pergi ke ruangan di mana anak buahnya berkumpul, meninggalkan buaya putih raksasa itu berdua saja dengan Ayu!

Parmadi siap siaga. Dia menyelinap semakin dekat, siap melindungi Ayu yang agaknya akan dikorbankan kepada buaya putih, menjadi mangsanya! Bergidik dia membayangkan tubuh yang denok mulus itu dikoyak-koyak moncong buaya yang lebar, lalu satu demi satu potongan daging-daging yang berdarah-darah itu ditelan.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)