SERULING GADING : JILID-38


Gadis itu terbelalak ketakutan dan Parmadi bisa memakluminya. Hati siapakah yang tidak akan merasa takut dan ngeri melihat binatang buas itu merayap menghampiri dirinya yang terbelenggu kaki tangannya?

Sekarang buaya putih itu sudah tiba didekatnya dan Parmadi tertegun. Binatang itu tidak membuat gerakan untuk menyerang Ayu, baik dengan moncongnya atau dengan ekornya! Matanya yang tinggal satu itu menatap tubuh Ayu sambil mengeluarkan sinar mencorong. Ekornya bergerak-gerak, kemudian dengan gerakan lambat buaya itu menyambar ujung kain gadis itu, merenggut kain itu sehingga terlepas dari tubuh Ayu Puspa.

“Aaiiiihhhh...!” Ayu Puspa menjerit dengan suara melengking dan pada saat itulah Parmadi mengayun tangannya. Batu runcing itu menyambar, tepat mengenai mata kiri buaya putih itu.

“Crottt...!”

Darah muncrat dan buaya putih itu terpelanting. Parmadi cepat melompat, menutupkan kain pada tubuh Ayu. Sebelum memondong dan membawanya melompat menjauhi buaya putih, lebih dulu dia memutus tali pengikat kaki tangan gadis itu. Dengan isak tertahan Ayu membereskan pakaiannya sambil menonton apa yang terjadi di depan matanya.

Parmadi marah sekali. Dasar binatang jadi-jadian yang telah dirasuki iblis!

Buaya putih raksasa itu bukan hanya buas akan tetapi juga memiliki gairah nafsu yang tak wajar, seperti seorang laki-laki yang berwatak keji dan cabul. Binatang itu kini mengamuk. Kedua matanya telah buta dan dia lalu mengamuk dengan ekornya, menghantam ke sana-sini, moncongnya juga menyerang secara membabi-buta, sambil mengeluarkan gerengan dan dengus aneh.

Parmadi melompat mendekat dan sesudah mendapat kesempatan, dia menangkap ujung ekor buaya itu dengan kedua tangannya, mengerahkan tenaganya dan mengangkat tubuh buaya yang sangat berat itu lalu membantingkan kepala buaya itu pada lantai batu yang keras.

“Wuuuttt...! Blarrr...!”

Kepala binatang jadi-jadian itu pecah dan binatang itu tewas seketika. Parmadi menoleh dan menghampiri Ayu Puspa yang kini sudah merapikan pakaiannya yang robek di sana-sini.

Melihat pemuda yang menyelamatkannya dari maut itu telah berhasil membunuh binatang buas itu, saking girang dan terharu hatinya, Ayu menyambut Parmadi dengan dua lengan terpentang dan dia pun merangkul pemuda itu sambil terisak isak.

“Kakang...!”

Jantung Parmadi berdebar kencang. Sudah dua kali gadis ini merangkulnya seperti itu Dia pun mengelus rambut yang terurai itu. “Sudah, tenanglah, Ayu. Buaya laknat itu kini telah mati. Akan tetapi para pemujanya itu masih mengancam kita.”

Pada saat itu terdengar gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Parmadi dan Ayu segera memutar tubuh dan mereka melihat manusia berkepala buaya yang kulitnya bule telah berdiri di situ. Sepasang mata di balik lubang topeng itu mencorong penuh hawa kemarahan. Ia menoleh ke arah bangkai buaya putih yang telentang dengan kepala pecah, lalu menoleh kepada Parmadi dan Ayu yang kini saling melepaskan rangkulan.

Parmadi meraba pinggangnya. Ia tahu bahwa mereka berdua tengah menghadapi bahaya, padahal Ayu tidak memegang senjata lagi. Ia pun teringat akan patrem pemberian Muryani dahulu yang selalu berada di ikat pinggangnya. Diambilnya patrem itu dan diserahkannya kepada Ayu Puspa.

Gadis itu menerima patrem itu dengan girang sekali.

“Kau pergunakanlah patrem ini untuk membela diri,” bisik Parmadi dan Ayu mengangguk, siap menghadapi segala kemungkinan yang akan menimpanya.

“Aarrgghhh...! Engkau yang telah membunuh Rama Bajul Petak?” terdengar orang bule itu bertanya dengan suara menggereng menyeramkan.

“Benar, akulah yang sudah membunuh binatang buas pengganggu manusia itu. Juga aku yang sudah mengusir lelembut (setan) pujaan kalian yang menghuni randu alas di pinggir sungai.” Parmadi sengaja mengakui hal ini dengan maksud supaya semua kemarahan dan dendam ditumpahkan kepadanya, bukan kepada Ayu.

“Babo-babo, keparat! Engkau sudah bosan hidup! Katakan siapa namamu supaya jangan sampai engkau mati tanpa nama!”

“Namaku? Orang menyebutku Seruling Gading, Bajul Sengoro,” jawab Parmadi.

“Engkau tahu namaku?” Orang bule itu membentak.

“Siapa tak mengenal Bajul Sengoro ketua Gerombolan Warga Bajul Petak yang tersesat, penyembah setan dan iblis, pengganggu manusia untuk memuaskan nafsu rendah yang keji. Sekarang Bajul Peta (Buaya Putih) sudah mati, juga randu alas telah tumbang. Maka sebaiknya engkau segera membubarkan gerombolanmu dan selanjutnya menebus semua dosamu dengan hidup yang baik dan benar, bermanfaat bagi manusia dan dunia,” kata Parmadi dengan sikap tenang namun matanya bersinar seperti kilat dan berwibawa sekali.

“Jahanam keparat! Engkau sudah berani menentang Bajul Sengoro, berarti engkau harus mati!” Sambil berkata demikian orang itu menggunakan kedua tangannya untuk mencopot kepala buaya putih yang menutupi kepala dan mukanya. Tentu hal ini dia lakukan karena dia maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang tangguh sehingga amat tidak leluasa baginya berkelahi menggunakan kedok kepala buaya itu. Kini dia berhadapan dengan Parmadi dan sepasang matanya mencorong menatap wajah pemuda itu.

Parmadi juga memandang penuh perhatian. Wajah orang itu menyeramkan. Sukar ditaksir berapa usianya, yang jelas belum tua sekali. Sebetulnya bentuk wajah itu cukup tampan, akan tetapi segalanya serba putih. Rambut, kumis dan jenggotnya yang pendek, alisnya, bahkan bola matanya, semuanya putih, putih kekuningan sehingga tampak lucu dan juga menyeramkan.

Parmadi teringat akan berita yang pernah didengarnya mengenai orang Kumpeni Belanda yang kini berada di Jayakarta. Menurut berita, orang Belanda juga bule seperti ini.

“Hmm, kiranya Bajul Sengoro itu seorang Belanda? Pantas andika memimpin gerombolan penjahat. Sudah kudengar bahwa Bangsa Belanda itu jahat, hendak rnenguasai tanah air dan bangsa kami!” kata Parmadi.

“Ngawur!” Bajul Sengoro membentak marah. “Aku memang bule, akan tetapi aku seorang Jawa, bukan Belanda. Engkau malah berani menghinaku! Terimalah kematianmu!” Orang bule itu berkemak-kemik membaca mantera, lalu dua tangannya yang terbuka mendorong ke arah Parmadi sambil mulutnya mengeluarkan bentakan yang menyeramkan.

“Aaarrgghhhh...!”

Tampak asap hitam terbawa serangkum angin yang dahsyat menyambar ke arah Parmadi. Pemuda ini hanya melipat kedua lengan di depan dada sambil menyambut serangan angin berasap hitam itu dengan sikap tenang.

“Wuuussshhhh...!”

Asap berikut angin itu menyambar melewati tubuhnya seperti angin lalu biasa saja, hanya mengibarkan ujung pakaian dan rambutnya. Melihat ini Bajul Sengoro terbelalak, matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap, penuh rasa keheranan, penasaran dan kemarahan. Bagaimana mungkin ini?

Kalau pemuda itu menghindarkan diri dengan mengelak atau menangkis serangannya tadi, dia masih dapat mengerti. Akan tetapi pemuda lawannya itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan menyambut serangannya begitu saja dan serangannya itu tak berbekas apa-apa! Padahal serangannya tadi mengandung kekuatan sihir yang sanggup merobohkan seorang lawan yang sakti sekali pun!

Bajul Sengoro mengeluarkan pekik melengking. Ternyata ini adalah isyarat kepada semua anak buahnya karena segera bermunculan anak buahnya yang tinggal empat belas orang karena tadi sebagian sudah roboh terluka oleh Parmadi dan Kyai Jayawijaya, bahkan ada dua orang yang tewas di tangan Ayu Puspa.

Melihat empat belas orang ini berlompatan memasuki ruang bawah tanah yang cukup luas itu, Ayu Puspa yang sudah cancut taliwanda (siap siaga) dengan patrem di tangan, segera membentak dengan suara nyaring melengking, menyambut mereka dengan terjangan.

Gadis perkasa ini mengamuk bagaikan seekor banteng dikeroyok belasan anjing serigala! Sepak terjangnya sungguh menggiriskan. Bukan hanya patrem di tangan kanannya yang menyambar-nyambar mengintai nyawa, juga tangan kirinya membagi-bagi tamparan yang dahsyat sehingga sekali saja seorang pengeroyok terkena tamparan tangan kirinya, tentu akan terpelanting dan tak mampu bangkit kembali. Belum lagi kedua kakinya yang mungil. Setiap kali kaki kiri atau kanan mencuat mengirim tendangan, tubuh seorang pengeroyok tentu terpental jauh bagaikan sebuah bola karet ditendang kaki seorang anak-anak!

Ketika Bajul Sengoro rnelihat anak buahnya sudah muncul dan sekarang mengeroyok Ayu Puspa, dia kembali menghadapi Parmadi. Dia merasa menyesal sekali harus menghadapi lawan tangguh di tempat terbatas seperti itu sehingga dia sendiri mau pun anak buahnya tidak dapat mempergunakan bahan peledak untuk menyerang lawan karena kalau mereka menggunakan senjata ini, tentu akan melukai teman-teman sendiri.

Ia masih amat penasaran melihat serangan sihir pertamanya tadi tidak berhasil. Maka kini dia mengerahkan seluruh kekuatan sihir dan tenaga saktinya, berkemak-kemik membaca mantera, kemudian sekali lagi mendorongkan sepasang tangannya yang terbuka ke arah Parmadi. Kali ini ada sinar berapi menyambar dari kedua tangan itu ke arah dada Parmadi! Melihat ini, dengan gerakan ringan Parmadi melompat ke samping untuk mengelak.

“Syuuuutt...! Darrr...!”

Bola api menghantam dinding batu karang di belakang Parmadi dan sebagian dinding itu pecah dan hancur! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya serangan jarak jauh orang bule itu.

Melihat Parmadi mengelak, Bajul Sengoro mengeluarkan suara tertawa meringkik dengan nada mengejek. Dia mengira bahwa lawannya kini gentar menghadapi serangannya yang diberi nama Aji Guntur Geni (Halilintar Api). Kemudian dia mengulang pukulannya yang berapi dan dahsyat itu ke arah tubuh Parmadi sambil membentak.

“Mampus kau oleh Aji Guntur Geni!”

Kembali Parmadi mengelak dengan melompat sehingga sambaran bola api itu luput dan menghancurkan permukaan dinding batu karang. Sampai lima kali Parmadi mengandalkan kecepatan gerakan menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu dengan cara mengelak.

“Ha-ha-ha! Heh, keparat Parmadi. Kalau engkau bukan seorang pengecut, jangan hanya lari dan mengelak, sambut pukulanku Guntur Geni ini!”

“Bajul Sengoro, kalau aku menyambut pukulanmu, engkau akan celaka dan aku tak ingin mencelakai orang, walau sejahat engkau sekali pun,” kata Parmadi tenang.

“Babo-babo, keparat! Katakan saja engkau pengecut, tak berani menyambut karena kalau engkau melakukan itu bukan aku yang celaka, melainkan engkau yang mampus terbakar! Ha-ha-ha! Aarrgghhh...!”

Kembali Bajul Sengoro menyerang, sekali ini lebih dahsyat dari pada tadi. Akan tetapi kini Parmadi tidak mengelak lagi.

Dia tadi selalu mengelak bukan karena takut menyambut pukulan lawan. Hanya karena ia maklum bahwa tangkisannya mengandung daya untuk mengembalikan serangan lawan. Semakin dahsyat pukulan lawan, semakin hebat pula serangan itu kembali menghantam penyerangnya sendiri dan hal itu dapat mencelakakan si penyerang sendiri. Akan tetapi karena dia sudah memberi peringatan dan Bajul Sengoro masih nekat, bahkan agaknya menyerangnya dengan lebih hebat lagi dan menganggap dia takut, kini terpaksa Parmadi mendorongkan kedua tangannya menyambut dengan Aji Sunya Hasta (Tangan Kopeng).

“Syuuuuutttt...! Blarrrr...!”

Bola api besar yang tadinya meluncur dan menyambar ke arah dada Parmadi itu, begitu bertemu dengan hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Parmadi segera meluncur kembali ke arah Bajul Sengoro dengan kecepatan tinggi.

Bajul Sengoro terkejut, terbelalak dan mengeluarkan pekik mengerikan kelika terdengar ledakan dan bola api itu menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya terpelanting dan dia tewas seketika dengan tubuh hangus, terkena aji pukulannya sendiri yang amat dahsyat tadi.

“Duh Gusti... ampuni hamba...” Parmadi berbisik sambil memandang ke arah mayat Bajul Sengoro yang rebah telentang dengan wajah bulenya kini menjadi hitam arang.

Akan tetapi tidak lama Parmadi tertegun. Dia melihat Ayu Puspa masih dikeroyok banyak orang. Gadis ini mengamuk hebat dan sudah ada lima orang pengeroyok roboh. Parmadi segera turun tangan, bukan takut kalau gadis itu terancam bahaya. Tidak, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan maka semua pengeroyok itu akhirnya akan tewas semua di tangan dara perkasa itu.

“Bajul Sengoro telah tewas! Apakah kalian semua ingin mati pula?!” bentaknya nyaring.

Semua anak buah yang sekarang tinggal sembilan orang itu terkejut sekali. Semenjak tadi mereka memang sudah gentar menghadapi dua orang muda yang sakti mandraguna itu. Mereka segera memandang dan benar saja. Mereka melihat Bajul Sengoro sudah rebah dengan muka hangus. Mereka menjadi ketakutan dan cepat mereka melompat lalu terjun ke air yang mengalir di tepi terowongan bawah tanah dan menyelam.

Parmadi tidak ingin lebih lama tinggal di ruangan bawah tanah yang menyeramkan itu. Dia memegang tangan Ayu Puspa dan bertanya, “Engkau dapat berenang dan menyelam?”

“Tentu saja! Percuma aku tinggal di tepi bengawan jika tak bisa berenang dan menyelam!” kata Ayu Puspa.

“Hmm... kukira tidak bisa karena kakekmu juga tidak pandai berenang.”

“Kakek sudah terlalu tua, dia selalu takut dengan air. Tapi aku tidak! Aku berani berlomba renang melawanmu.”

Parmadi merasa heran. Gadis ini luar biasa. Dalam keadaan bagaimana pun juga tidak kehilangan kelincahan dan kenakalannya, berkepala batu, sikapnya menggemaskan dan juga menyenangkan!

“Sudahlah, kini bukan saatnya bergurau. Marilah kita keluar dari terowongan ini. Kita harus berenang menentang arus, kemudian menyelam dan keluar dari goa di bawah permukaan air di kedung. Eyangmu masih menunggu di tepi kedung, tentu gelisah memikirkan dirimu.”

“Mari!” kata gadis itu.

Teringatlah di dalam pikiran Parmadi betapa gadis itu, setelah baru saja nyaris mengalami kematian yang amat mengerikan dan sudah dia selamatkan, tak sepatah pun menyatakan rasa syukur atau terima kasihnya. Bukan dia haus akan pujian dan balas budi, hanya dia merasa heran bagaimana di dunia ini ada gadis ugal-ugalan dan tak acuh akan tetapi tetap menarik hati dan menyenangkan seperti Ayu Puspa!

Mereka lalu masuk ke air dan berenang menentang arus. Untung arus air itu lemah saja sehingga mereka bisa berenang dengan mudah dan laju. Setelah tiba di mulut goa mereka mengumpulkan napas panjang lalu menyelam dan keluar dari goa bawah air itu.

Tarikan pusaran air menyeret mereka, akan tetapi karena pusaran air itu kini tidak berapa kuat, mereka dapat meluncur naik ke permukaan air. Begitu kepala kedua orang muda itu muncul di permukaan air, mereka segera disambut seruan gembira.

“Ayu...! Ahh, engkau masih hidup. Terima kasih, Gusti!!” Kyai Jayawijaya yang masih saja menunggu di tepi kedung dengan wajah muram dan khawatir itu kini memandang dengan wajah berseri gembira sekali.

Ayu Puspa berenang ke pinggir, mengerahkan seluruh tenaga untuk mendahului Parmadi, untuk pamer bahwa dia pandai berenang, lebih cepat dari pemuda itu. Sesudah mendarat Kyai Jayawijaya menyambut dengan rangkulan, tidak peduli bahwa pakaiannya menjadi basah semua terkena air yang membasahi seluruh pakaian dan tubuh cucunya.

“Ayu, cucuku! Ketika tadi engkau dibawa terjun ke kedung dan lenyap, aku hampir putus harapan, mengira engkau tentu akan mati. Bahkan ketika Parmadi terjun dan menyelam untuk mencarimu, hatiku masih diliputi kekhawatiran. Terlebih lagi begitu lama kalian tidak muncul kembali, aku mengira kalian berdua sudah mati! Ahh, bagaimana mungkin kalian berada di dalam air sampai begitu lamanya?” Kakek itu memandang Parmadi dan cucunya dengan terheran-heran. Sukar dia dapat percaya bahwa dua orang muda itu dapat berada di dalam air sampai hampir satu jam lamanya. Bagaimana mereka bernafas.

“Wah, eyang. Aku bersama kakang Parmadi mengamuk di bawah sana dan kami sudah membasmi habis gerombolan Warga Bajul Petak! Senang sekali, eyang!” kata Ayu Puspa.

“Begitukah? Ahh, kalian berdua basah kuyup. Bisa masuk angin. Mari, Ayu dan engkau Parmadi, marilah kita pulang supaya kalian dapat berganti pakaian dan nanti saja kalian ceritakan apa yang terjadi.”

Parmadi hanya tersenyum mendengar ucapan Ayu tadi. Pemuda ini mengambil buntalan pakaiannya yang masih tergeletak di perahunya dan melihat perahunya, Parmadi menjadi ragu apakah dia harus ikut ke rumah gadis dan kakeknya itu dan meninggalkan perahunya di situ.

“Jangan khawatir, Parmadi. Perahumu sudah tertambat di sini dan jika engkau tinggalkan, perahu itu tidak akan hilang Siapa yang berani mencuri perahu yang berada di kedung ini? Tinggalkan saja, Parmadi dan mari ikut ke pondok kami. Banyak yang harus kau ceritakan dan kita bicarakan. Marilah.”

“Mari, kakang Parmadi. Apakah engkau tidak sudi berkunjung ke gubuk kami yang butut? Kalau begitu engkau sombong!”

Ucapan gadis inilah yang membuat Parmadi tidak mampu menolak lagi dan keraguannya pun lenyap. Sambil tersenyum dia mengangguk. “Baiklah, saya akan ikut dan berkunjung ke rumah eyang.”

Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Kyai Jayawijaya. Ternyata pondok itu tidak terlalu jauh dari Kedung Srengenge, hanya sekitar dua kilometer. Pondok itu terbuat dari kayu dan meski pun bentuknya sederhana namun cukup besar dan kokoh.

Setelah memasuki pondok, Ayu segera berlari ke dalam kamarnya untuk bertukar pakaian yang bersih dan kering. Kyai Jayawijaya mempersilakan Parmadi memasuki kamarnya untuk bertukar pakaian di kamar itu.

Setelah selesai bertukar pakaian, Parmadi keluar dari kamar, membawa pakaiannya yang basah. Tak lama kemudlan Ayu juga keluar dan agaknya gadis ini telah mandi. Ia tampak segar dan cantik sekali walau pun wajahnya tidak dihias. Rambutnya yang masih basah itu dibiarkan terurai agar cepat kering. Senyumnya segar, matanya berbinar-binar dan kedua pipinya kemerahan. Seperti sekuntum mawar bermandi embun.

Melihat Parmadi sudah duduk berhadapan dengan eyangnya dan tampak pakaian basah di bawah meja, Ayu segera mengambil pakaian itu.

“Ehh, mau dibawa ke mana pakaianku itu, Ayu?”

“Mau kurendam di belakang, nanti akan kucuci.”

“Eh, tidak usah. Biar kucuci sendiri...” kata Parmadi akan tetapi Ayu sudah lari membawa pakaian itu ke belakang. Terpaksa Parmadi yang sudah bangkit berdiri itu duduk kembali.

“Sudahlah, Parmadi. Biarkan nanti dia yang mencucinya. Cucuku itu kalau sudah memiliki kehendak, siapa pun tidak akan dapat mengubahnya. Lagi pula sudah sepantasnya kalau seorang wanita mencuci pakaian. Apa lagi dia baru saja engkau selamatkan!”

Ayu kembali sambil tersenyum manis, lalu duduk di dekat eyangnya, berhadapan dengan Parmadi.

“Nah, sekarang kalian ceritakan, apa yang sudah terjadi di bawah kedung itu?” kata Kyai Jayawijaya.

“Kau ceritakanlah, Ayu,” kata Parmadi.

“Engkau yang menceritakan!” jawab Ayu.

Parmadi tersenyum. Dia sudah menduga akan jawaban gadis berkepala batu itu.

“Baiklah. Begini, eyang. Ketika saya terjun ke kedung dan menyelam, seperti yang sudah saya duga, di bawah saya menemukan sebuah goa. Saya memasuki goa yang berupa terowongan itu sehingga akhirnya saya dapat muncul di permukaan air, di sebelah dalam terowongan dan ternyata di sana terdapat terowongan dan ruangan di bawah tanah yang lebar dan luas. Kemudian saya melihat Ayu berada di sebuah ruangan yang luas. Ia rebah telentang dengan kaki tangan terbelenggu. Di sudut ruangan itu terdapat pula buaya putih besar yang matanya telah dilukai oleh Ayu dan orang bule yang menangkap dan melarikan Ayu berada di situ pula berlutut di depan buaya putih dan bercakap-cakap kepada buaya itu, menyerahkan Ayu kepada binatang raksasa itu!”

“Hemm, keparat!” Kyai Jayawijaya mengutuk, menoleh ke arah cucunya. “Engkau tentu takut sekali, Ayu.”

“Bukan takut lagi, eyang, bahkan aku merasa ngeri dan seram. Habis mata buaya yang tinggal sebelah itu seperti mata laki-laki yang kurang ajar! Coba pikir, gila tidak dia! Dia menggunakan ekornya untuk merenggut lepas kainku. Aku menjerit, ngeri setengah mati! Lanjutkan, kakang.”

“Melihat Ayu terancam bahaya, saya cepat menyambitkan batu ke arah mata buaya putih yang tinggal sebelah. Dia tampak kesakitan dan mengamuk, akan tetapi syukur saya bisa membanting dan membunuhnya, eyang. Saya lalu membebaskan Ayu dari belenggu kaki tangannya dan menyerahkan patremku kepadanya untuk membela diri. Kemudian Bajul Sengoro menyerang saya dan kami pun berkelahi. Anak buahnya yang jumlahnya belasan orang bermunculan, akan tetapi langsung disambut amukan Ayu. Akhirnya saya berhasil merobohkan Bajul Sengoro yang terbakar oleh aji pukulannya sendiri dan para anak buah gerombolan itu banyak yang roboh dan sisanya melarikan diri, diamuk oleh Ayu.”

“Wah, bahaya sekali!” seru Kyai Jayawijaya dengan kagum dan lega hatinya mendengar cerita Parmadi itu. “Ayu, sekarang ceritakan apa yang kau alami sebelum Parmadi datang dan menolongmu.”

Gadis itu memandang kepada Parmadi lalu menjawab, “Uh, ceritanya sudah diborong oleh kakang Parmadi, eyang. Apa lagi yang dapat aku ceritakan? Ketika aku dikeroyok anak buah gerombolan itu dan sudah hampir dapat menghajar mereka semua, dengan licik dan curang sekali Bajul Sengoro itu menyerangku secara mendadak. Tangannya berbau harum yang aneh sehingga membuat aku pening. Dalam keadaan seperti itu dia menyergap dan menangkap aku lalu membawaku terjun ke kedung. Karena tidak bersiap lebih dulu, tentu saja aku gelagapan dan hampir pingsan ketika dia membawaku ke ruangan bawah tanah itu dan membelenggu kaki tanganku. Kemudian jahanam busuk itu hendak membuat aku menjadi santapan buaya putih siluman itu. Untung kakang Parmadi datang.”

“Bukan main! Ayu, tahukah engkau bahwa Parmadi telah menyelamatkan nyawamu? Jika tidak ada dia, mustahil engkau dapat selamat. Aku sendiri tidak berani terjun ke kedung, kalau nekat terjun tentu aku akan mati tenggelam. Engkau sudah berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada Parmadi. Kita berdua berhutang budi yang sangat besar kepada Parmadi. Dengan cara bagaimana kita dapat membalasnya?”

Sebelum gadis itu menjawab, Parmadi sudah mendahuluinya. “Eyang, mengapa eyang bicara tentang budi? Siapa yang melepas budi dan siapa yang berhutang budi? Kalau ada yang menolong dan menyelamatkan, maka hanya Gusti Allah sajalah yang melakukan itu. Hanya Gusti Allah Maha Penolong dan Maha Penyelamat! Karena itu saya kira kita wajib mensyukuri pertolongan-Nya, penyelamatan-Nya, dan segala berkah-Nya kepada kita.”

“Nanti dulu, kakang!” Ayu memprotes. “Yang tadi menolongku di bawah kedung, yang tadi membunuh buaya putih dan yang membunuh Bajul Sengoro adalah engkau, bukan Gusti Allah!”

Parmadi tersenyum sabar. Ia tahu gadis itu berkata seperti itu karena tidak mengerti dan memerlukan penjelasan. “Ketahuilah dan yakinlah bahwa yang tadi menyelamatkanmu bukan orang melainkan Gusti Allah, Ayu. Benar bahwa dalam hal itu Dia mempergunakan diriku sebagai alat dan pelaksana. Tetapi tidak tahukah engkau bahwa segala kemampuan yang ada pada diri kita semua ini datang dari Gusti Allah? Tanpa kekuasaan-Nya, kita ini mampu apakah? Kita ini hanya seonggokan darah daging yang tak berdaya. Hanya karena adanya kekuasaan-Nya saja maka kita mampu melakukan segala sesuatu yang berarti.”

“Alhamdullilah...!” seru Kyai Jayawijaya. “Puji syukur kepada Gusti Allah bahwa aku masih diberi kesempatan mendengarkan wejangan ini, seolah aku mendengar sendiri wejangan itu keluar dari mulut kakang Resi Tejo Wening!”

“Bagaimana artinya semua ini, eyang? Aku bingung dan tidak mengerti. Bukankah segala hal yang kita lakukan itu datang dari hati akal pikiran kita?” tanya Ayu Puspa.

“Baik sekali kalau engkau mau bertanya dan membantah, Ayu. Dengan membantah dan bertanya maka engkau akan memperoleh jawaban yang akan menambah pengertianmu. Menjadi orang muda haruslah selalu menyangkal dan bertanya kalau dia belum mengerti, barulah pengertianmu akan berkembang dan jiwa menjadi matang. Parmadi, harap jangan sungkan. Tolong beri jawaban dan penjelasan kepada Ayu Puspa.”

Parmadi tersenyum. Dia ingat akan dirinya sendiri dahulu ketika masih menjadi murid Resi Tejo Wening. Dia juga sering kali mengajukan segala macam pertanyaan kepada gurunya sampai dia memperoleh jawaban yang jelas.

“Akan kucoba memberi keterangan sebatas kemampuanku, Ayu. Engkau benar pada saat mengatakan bahwa segala perbuatan kita itu bersumber dari hati akal pikiran kita. Tetapi apakah hati akal pikiran kita itu, Ayu? Bukankah semua itu juga hanya alat yang dapat dipergunakan apa bila perlu? Bukti bahwa akal pikiran itu alat, selagi orang pingsan atau tertidur, maka hati akal pikiran kita sama sekali tidak bekerja, padahal orangnya masih hidup. Jadi sesungguhnya jiwa ini bukan hati akal pikiran, bukan aku yang suka mengaku-aku. Semua anggota badan ini, luar dalam, termasuk hati akal pikiran, hanya merupakan alat belaka. Bahkan kalau kepala ini terpukul atau terbentur keras, akal pikiran bisa rusak sehingga orang akan kehilangan ingatan, kehilangan akal, menjadi tidak bisa apa-apa. Sekali lagi, kita ini hanya sekadar alat, Ayu. Akan tetapi Gusti Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Maha bijaksana dan Maha Murah. Kita masih diberi kebebasan untuk memilih, apakah kita ini suka dijadikan alat Gusti Allah ataukah kita lebih suka dijadikan alat Setan! Kalau menjadi alat Gusti Allah, maka hidup kita pasti bermanfaat bagi manusia dan dunia, sebaliknya jika menjadi alat Setan maka hidup kita penuh berlepotan dosa dan kejahatan. Nah, mengertikah engkau sekarang bahwa yang menyelamatkan tadi adalah kekuasaan Gusti Allah yang ‘meminjam’ diriku sebagai alat untuk menyelamatkanmu?”

Ayu tersenyum. “Sulit, akan tetapi aku mulai mengerti sedikit-sedikit, kakang.”

“Ha-ha-ha!” Kyai Jayawijaya tertawa bergelak. “Mengerti sedikit-sedikit sudah merupakan suatu kemajuan, Ayu. Jauh lebih baik dari pada mengaku mengerti segalanya akan tetapi sesungguhnya masih tidak mengerti apa-apa.”

“Baiklah. Jika begitu aku tidak berterima kasih kepada kakang Parmadi melainkan kepada Gusti Allah. Dan sekarang aku hendak menjadi alat Gusti Allah untuk membuat masakan yang enak-enak dan kuhidangkan kepada kakang Parmadi.”

“Alhamdullilah...! Itu juga merupakan berkah Gusti Allah yang diberikan kepadamu melalui tanganmu, Ayu.”

Ayu Puspa tertawa manis dan dia pun berlari ke belakang untuk menyembelih ayam dan membuatkan masakan untuk Parmadi. Kyai Jayawijaya juga membujuk agar Parmadi mau bermalam di pondoknya karena hari telah menjelang senja.

“Tapi saya harus melanjutkan perjalanan saya, eyang,” kata Parmadi menolak halus.

“Sekarang sudah terlalu sore, Parmadi. Sebentar lagi hari menjadi gelap. Apakah engkau akan melanjutkan perjalanan naik perahu di malam hari? Itu sangat berbahaya. Sebaiknya engkau melewatkan malam di pondokku dan besok pagi-pagi baru melanjutkan perjalanan. Tentu Ayu akan kecewa dan marah-marah sekali kalau engkau pergi sekarang, padahal ia sedang sibuk mempersiapkan hidangan untukmu. Dan seperti katamu sendiri, rejeki itu pun pemberian Gusti Allah. Apakah engkau berani menolak rejeki?”

Bujukan itu membuat Parmadi akhirnya mengalah. Tak ada buruknya dan tak ada ruginya kalau malam ini dia bermalam di rumah kakek yang bijaksana dengan cucunya yang manis dan bersikap akrab dengannya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)