SERULING GADING : JILID-39


Lalapan mentah berupa kobis (kol), kacang panjang, terong dan mentimun dengan sambal menjadi paduan yang amat cocok dengan daging ayam goreng. Juga masakan kangkung dengan daging ayam dan dua masakan sayur lain begitu lezatnya. Semua itu dilengkapi dengan minuman ‘rujak degan’ (kelapa muda) yang manis-manis gurih.

Parmadi merasa kenyang dan nyaman sekali. “Wah, kalau setiap hari aku makan seperti ini, dalam waktu sebulan saja aku pasti menjadi gemuk sekali!”

Kata-kata ini terdengar lebih menyenangkan dan membanggakan dari pada pujian bahwa masakannya lezat. Sepasang mata Ayu Puspa bersinar-sinar dan kedua pipinya berubah kemerahan, bibirnya tersenyum ketika dia memandang kepada Parmadi.

“Aih, masakan orang desa mana bisa lezat menyamai masakan gadis-gadis kota, kakang? Bilang saja masakanku cemplang, aku juga tidak apa-apa, kok. Tidak usah merayu!”

Parmadi tersenyum. “Ayu, mulut yang bicara memang dapat saja berbohong dan merayu, akan tetapi mulut yang makan dengan lahap sampai tambah-tambah tiga kali, tentu tidak berbohong dan menjadi bukti bahwa mulut itu menikmati apa yang dimakannya. Dan aku tadi makan dengan gembul, menambah nasi sampai tiga kali!”

Kyai Jayawijaya tertawa bergelak mendengar ucapan Parmadi ini. “Ha-ha-ha-ha, engkau kalah, Ayu. Dan aku sendiri juga memperkuat pendapat Parmadi tadi bahwa masakanmu sekarang ini lezatnya luar biasa! Sungguh aku merasa heran. Masakanmu setiap hari juga enak, akan tetapi tidak sehebat apa yang kau masak sore ini.”

“Aihh, eyang...!” kata Ayu tersipu dan gadis itu cepat-cepat membersihkan meja kemudian membawa sisa hidangan ke dapur.

Malam itu mereka bertiga bercakap-cakap di bawah cahaya lampu gantung. Parmadi tidak dapat mengelak lagi dan terpaksa menceritakan keadaan dirinya, mengenai orang tuanya yang terbunuh ketika dia berusia sepuluh tahun, juga tentang gurunya, Resi Tejo Wening yang mengambilnya sebagai murid ketika dia berusia delapan belas tahun.

“Dan sekarang ini engkau melakukan perjalanan berperahu di sepanjang Bengawan Solo, hendak pergi ke manakah, kakang?” Ayu bertanya.

“Eyang Resi Tejo Wening berpesan supaya aku selalu membantu Mataram. Karena aku mendengar bahwa Mataram sedang berusaha menundukkan Madura dan Surabaya, maka aku hendak pergi ke sana untuk membantu Mataram.”

Kyai Jayawijaya mengangguk-angguk. “Engkau benar, Parmadi. Memang Mataram harus dibantu oleh para satria dan pendekar. Mataram berusaha untuk mempersatukan semua wilayah Jawa Dwipa untuk menyusun kekuatan menentang Kumpeni Belanda! Sayang aku sudah tua renta, jika aku masih muda dan kuat tentu aku akan membantu Mataram pula!”

“Kakang Parmadi, tadi engkau mengatakan bahwa kita harus menjadi alat yang digunakan oleh Gusti Allah. Apakah membantu Mataram itu sesuai dengan kehendak Gusti Allah?” tiba-tiba saja Ayu Puspa bertanya dan pertanyaan ini sangat mengejutkan eyangnya yang menganggap pertanyaan itu lancang.

Akan tetapi Parmadi tersenyum dan merasa kagum akan keterbukaan gadis itu. Sungguh bagus kalau orang mau bertanya akan sesuatu yang membimbangkan hatinya. Sungkan bertanya akan membuat orang tetap bodoh, bahkan mungkin menimbulkan prasangka yang bukan-bukan.

“Tentu saja, Ayu. Gusti Allah memberi berkah kepada manusia dengan adanya persamaan suatu bangsa yang mempunyai sebagian dari dunia ini sebagai tempat tinggal dan tanah airnya, di mana dia lahir hidup dan mati. Maka sudah sepantasnyalah kalau kita menjaga persatuan, saling membantu dan saling tolong-menolong di antara sebangsa dan membela tanah air yang diberikan Gusti Allah kepada kita. Ini merupakan tugas para satria. Satria itu selalu harus mengayuhayuning bhuwana (mengusahakan keselamatan dunia) dan hal ini jelas merupakan alat Gusti Allah. Kalau menjadi alat setan tentu hanya akan merusak keselamatan dunia. Gusti Sultan Agung di Mataram berniat baik, hendak mempersatukan seluruh Nusa Jawa untuk menggalang persatuan dan menyusun kekuatan guna melawan Kumpeni Belanda, sang angkara murka. Bumi Nusantara ini diciptakan Gusti Allah untuk kita, bukan untuk Belanda yang telah dikurniai bumi tersendiri di negaranya. Tapi mereka hendak menguasai tanah air kita juga. Hal itu berarti Kumpeni Belanda diperalat setan dan kita yang menentangnya menjadi alat Gusti Allah untuk menentang keangkara-murkaan. Karena itulah aku tidak ragu-ragu membela Mataram untuk menundukkan Surabaya dan Madura agar kedua daerah itu mau bersatu dengan Mataram untuk menentang Belanda.”

Mendapat keterangan panjang lebar itu, Ayu Puspa mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku pun ingin membantu Mataram!” Ayu berkata penuh semangat.

“Ahh, Ayu. Ingatlah bahwa engkau seorang wanita! Perang bukan tugas seorang wanita!”

“Hemm, apa bedanya, eyang? Aku ingin ikut kakang Parmadi untuk membantu Mataram. Aku juga tidak takut bertempur dalam perang. Bukankah eyang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadaku?”

“Jangan, Ayu. Semua prajurit dan senopati adalah laki-laki belaka. Engkau hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau engkau maju sebagai prajurit, Ayu!” Parmadi dapat melihat pandang mata penuh kekhawatiran dari kakek itu dan dia maklum bahwa Kyai Jayawijaya merasa gelisah kalau-kalau ditinggalkan cucunya yang sangat dikasihinya dan juga yang merupakan satu-satunya anggota keluarganya yang menemaninya. Maka dia pun cepat berkata untuk mendukung kakek itu dan membujuk Ayu.

“Apa yang dikatakan eyang itu benar, Ayu. Selain itu, apakah engkau tega meninggalkan eyang yang sudah tua ini hidup seorang diri di sini? Siapa yang akan melayaninya? Siapa akan mencuci pakaian dan memasak makanan? Tidak kasihankah engkau padanya?”

Diingatkan begitu, Ayu Puspa memandang kakeknya dengan bimbang. Kyai Jayawijaya berkata lirih, “Ayu, aku tidak ingin menghalangi keinginanmu. Kalau engkau hendak pergi, yah, pergilah. Aku akan berusaha semampuku untuk mengurus diriku sendiri.”

Melihat pandang mata kakeknya yang demikian sedih, Ayu lalu duduk mendekatinya dan memegang lengannya. “Tidak, eyang. Jangan khawatir. Aku takkan meninggalkan eyang. Aku tadi hanya tergugah semangatku oleh ucapan kakang Parmadi.”

Hati kakek itu menjadi lega. Memang dia sudah tua renta dan satu-satunya kegembiraan hidupnya adalah melihat cucunya. Apa bila dia ditinggalkan Ayu Puspa dan hidup seorang diri, dia akan menderita sekali, bukan hanya karena kesepian akan tetapi terutama sekali karena merasa bahwa dirinya tidak dibutuhkan siapa pun lagi, tidak ada gunanya di dunia ini. Kalau ada Ayu di sampingnya, paling tidak dia dapat mernbimbing cucunya itu, dapat memperdalam ilmu-ilmu cucunya, dapat mengawasinya dan memberinya nasihat.

Memang paling berat bagi seseorang dalam hidupnya apa bila dia sudah merasa bahwa dirinya tidak ada gunanya lagi, tidak ada yang membutuhkannya lagi!

Setelah malam tiba, Kyai Jayawijaya meninggalkan dua orang muda itu yang masih duduk bercakap-cakap di beranda depan. Bulan mulai muncul menghujani bumi dengan sinarnya yang lembut sehingga suasananya menjadi indah dan sejuk sekali.

“Kalau sedang terang bulan seperti ini, akan lebih nyaman bila duduk di taman bunga. Apa lagi sekarang bunga harum dalu kesukaanku sedang berkembang. Marilah kita duduk di sana, kakang,” ajak Ayu Puspa.

“Engkau mempunyai taman bunga?” tanya Parmadi sambil ikut bangkit berdiri.

“Tentu saja. Taman itu ada di kebun belakang. Aku sendiri yang merawatnya setiap hari. Mari kita ke sana.”

Mereka berdua keluar dari pintu samping dan berjalan keluar rumah, lalu membelok ke belakang. Benar saja, dalam cahaya bulan yang redup itu tampak oleh Parmadi sebuah taman bunga yang cukup mungil. Baru memasuki taman itu dia sudah disambut harum bunga putih kecil-kecil yang bernama bunga ‘harum dalu’ itu. Memang harum bukan main, menambah keindahan malam terang bulan di taman itu. Banyak pula bunga mawar dan melati di situ yang juga menyebarkan keharuman yang khas, walau pun masih kalah oleh keharuman bunga harum dalu yang kuat itu.

Di tengah taman kecil itu terdapat sebuah empang ikan yang luasnya hanya dua meter dan berbentuk bundar. Ada setangkai bunga teratai merah di tengah kolam, tetapi malam itu bunganya menguncup. Biasanya berkembang di pagi hari. Ikan-ikan emas berenang hilir-mudik dan bulan yang terbayang di dalam kolam seolah menari-nari. Di dekat kolam itu terdapat sebuah bangku kayu panjang dan ke situlah Ayu mengajak Parmadi duduk.

Mereka duduk berdampingan di atas bangku sambil berdiam diri. Parmadi bahkan dapat menikmati suasana terang bulan di taman kecil itu karena mereka berdiam diri. Udaranya demikian sejuk segar. Yang tercium hanya keharuman bunga-bunga. Yang terasa hanya kesejukan udara, terkadang diselingi semilir angin lembut. Kadang kala terdengar bunyi percik air ketika seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, mungkin untuk memandang bulan lebih jelas lagi.

Terdengar oleh Parmadi yang sedang memandang gerakan lembut ikan-ikan berenang di permukaan air helaan napas dan teringatlah dia bahwa Ayu sedang duduk di sebelahnya. Dia menoleh dan tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis itu. Ayu sedang menatap wajahnya dengan mata yang demikian aneh! Mata itu redup, bahkan setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk. Sinarnya kosong, seperti melamun dan bibir yang merah segar itu sedikit terbuka.

Tapi pandang mata itu seolah-olah menelannya! Parmadi menjadi salah tingkah, sungkan dan bingung. Dia tidak sanggup menentang wajah gadis itu lebih lama lagi, maka dia pun menundukkan pandang matanya sehingga kini yang tampak adalah bagian dada dan perut gadis itu. Ketika pandang matanya melihat gagang patrem yang terselip di ikat pinggang Ayu, maka teringatlah Parmadi bahwa itu adalah patremnya, pemberian dari Muryani yang dipinjamkan kepada Ayu ketika mereka menghadapi gerombolan Bajul Petak di Kedung Srengenge itu.

Karena dia sedang salah tingkah dan gugup dipandang seperti itu oleh Ayu, maka begitu melihat patrem itu, langsung saja dia berkata,

“Ayu, itu patrem yang kupinjamkan kepadamu. Kembalikanlah kepadaku.”

Akan tetapi gadis itu tidak menjawab dan ketika Parmadi mengangkat muka memandang, dia mendapatkan Ayu masih bengong seperti tadi menatap wajahnya!

“Ayu...!”

Barulah gadis itu gelagapan, seperti orang kaget dan sadar dari tidurnya. “Ya... ehh... ada apa, kakang?”

Parmadi masih gugup. “Anu... eh, kuharap engkau suka mengembalikan patrem yang kau pinjam dariku itu.”

“Patrem?” Ayu memandang ke arah keris kecil yang berada di pinggangnya dan tangan kanannya meraba gagang patrem itu. “Kakang Parmadi, patrem adalah senjata seorang wanita. Untuk apa engkau membawa patrem ini sedangkan seruling gadingmu merupakan senjata yang ampuh luar biasa? Bagaimana kalau patremmu ini kuminta untuk dijadikan kenang-kenangan dan tanda mata?”

“Tapi... itu... sesungguhnya bukan patremku, Ayu.”

“Eh? Kalau begitu, milik siapa ini?” Ayu mencabut patrem itu, memegang dan mengamati dalam cahaya bulan.

“Milik seorang wanita...”

“Ohh...! Milik seorang wanita? Lalu bagaimana dapat berada padamu, kakang?”

“Ia memberikannya kepadaku... sebagai tanda persahabatan.”

“Ah, begitukah? Pantas tidak dapat kau berikan kepadaku. Nih, simpanlah!” katanya ketus sambil mendorongkan patrem ini ke arah Parmadi.

Pemuda itu menerimanya dan menyelipkan patrem itu pada pinggangnya. Ayu diam saja, hanya menundukkan muka. Parmadi juga tak berani memandangnya, tak berani bersuara karena dia merasa bersalah sungguh pun tidak tahu persis macam apa kesalahannya itu.

Sampai lama suasana sunyi sepi. Parmadi mendengar gadis itu beberapa kali menghela napas. Akhirnya terdengar suara Ayu bertanya, suaranya agak kaku.

“Kakang, siapakah dia?”

“Dia siapa?” balas tanya Parmadi yang masih merasa tidak nyaman hatinya.

“Itu lho sahabatmu yang memberi patrem kepadamu!” kata Ayu ketus.

“Oh, itu? Dia adalah seorang sahabat di waktu remaja. Kurang lebih enam tahun yang lalu ketika aku meninggalkan dusun Pakis di lereng Gunung Lawu, dia memberikan patrem itu kepadaku sebagai tanda persahabatan dan sejak itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.”

Hening lagi sejenak, lalu Ayu bertanya lagi, “Siapa namanya?”

“Namanya? Eh... namanya Muryani.”

“Berapa usianya sekarang?”

“Usianya?” Parmadi mengingat-ingat. Muryani dua tahun lebih muda dari pada dia. “Sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun begitulah.”

“Hemm, sudah tua!” kata Ayu Puspa masih cemberut.

Parmadi tertawa di dalam hatinya. Betapa anehnya sikap gadis ini. Apakah semua gadis seperti ini anehnya? Muryani dikatakannya sudah tua! Tetapi dia tidak mau berbantahan dengan gadis yang kelihatannya tidak senang, bahkan seperti orang marah itu.

“Ya, sudah tua,” katanya singkat.

Hening lagi. Kini agak lama dan Parmadi merasa betapa sunyi dan dinginnya malam itu. Awan tipis berarak perlahan menutupi bulan sehingga cahaya bulan menjadi makin redup. Beberapa kali Parmadi mengerling ke arah Ayu dan dia melihat gadis itu seperti sedang termenung, pandang matanya tertuju ke arah kolam di mana tampak ikan-ikan berenang di permukaan air.

“Cantikkah Muryani itu?” pertanyaan itu terdengar tiba-tiba dan gadis itu tetap memandang ke air, tidak menoleh pada Parmadi.

“Hm... apa? O... ya, dia memang cantik,” jawab Parmadi sejujurnya dan dalam benaknya terjadi suatu keanehan yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dia mulai membanding-bandingkan kecantikan Muryani dengan kecantikan Ayu Puspa!

“Cantik mana antara dia dan aku?” Kini Ayu menoleh dan menatap matanya.

Parmadi agak gelagapan. Pertanyaan itu seolah-olah menggambarkan bahwa Ayu dapat membaca apa yang berada dalam benaknya saat itu.

“Cantik mana antara dia dan engkau?” Parmadi menatap wajah itu.

Awan telah pergi, tidak lagi menghalangi cahaya bulan. Wajah Ayu yang dekat dengannya tampak jelas. Betapa indahnya alis yang kecil hitam melengkung rapi itu. Bulu mata yang lentik itu. Mata yang bersinar tajam itu. Hidung dan terutama mulut dengan bibirnya yang aduhai itu!

“Wah, sukar menilainya, Ayu. Dia dan engkau sama-sama cantik jelita. Benar, aku tidak berbohong. Bukan hanya sama cantiknya, akan tetapi juga sama digdayanya, sama... eh, lincahnya.” Dia mengubah kata galak menjadi lincah.

“Banyak sudah laki-laki jagoan yang dia kalahkan dan ketika itu dia masih berusia remaja, baru enam belas tahun.”

Aneh! Gadis itu kelihatan marah! Matanya mengeluarkan sinar marah, bibir yang indah itu cemberut. “Hemm, ingin sekali aku bertemu dengan Muryani dan mengajaknya bertanding! Ingin aku mengetahui apakah dia akan mampu mengalahkan aku!”

Parmadi terkejut dan menatap wajah Ayu. Dua pasang mata bertemu pandang, saling menyelidiki seolah hendak menjenguk ke dalam pikiran masing-masing. “Ayu, mengapa engkau berkata begitu? Mengapa engkau seperti marah dan membenci Muryani? Ia tidak bersalah apa pun kepadamu. Bahkan engkau pun tidak pernah berjumpa dengannya, tidak mengenalnya.”

Ayu menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, “Kakang Parmadi, mengapa siang tadi engkau begitu baik padaku? Mengapa engkau menyelamatkan aku, mengapa engkau membelaku?”

“Tentu saja, Ayu. Karena engkau pun cantik sekali. Engkau pantas untuk dibela, dengan taruhan nyawa sekali pun,” jawab Parrmadi dengan suara dan pandang mata serius.

“Tapi kenapa malam ini engkau... begini kejam kepadaku...?” Ayu lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan! Tangisnya begitu mengguguk dan menyedihkan sehingga kembali Parmadi terkejut dan terheran-heran.

Dia kejam kepada Ayu Puspa? Bagaimana pula ini? Melihat gadis itu menangis dan kedua pundaknya bergoyang-goyang, suara tangisnya terisak-isak, dia menjadi amat kasihan dan digesernya duduknya mendekat, lalu disentuhnya pundak gadis itu dengan lembut.

“Ayu, kenapa engkau menangis?” Suara pemuda itu demikian lembut dan suara ini bahkan membuat tangis Ayu semakin tersedu-sedu!

Parmadi merasa iba dan jari-jari tangannya dengan lembut mengelus rambut kepala Ayu. Merasakan sentuhan ini, tiba-tiba saja Ayu merangkul pinggang Parmadi dan merapatkan mukanya di atas dada pemuda itu sambil menangis.

Parmadi terkejut, akan tetapi mau tidak mau dia merangkul sambil mengelus kepala yang bersandar di dadanya untuk menghibur. “Ayu, engkau kenapa?” tanya Parmadi hati-hati.

Jantungnya berdebar kencang. Sekali lagi dia telah berpelukan dengan Ayu. Yang pertama Ayu merangkulnya karena girang melihat dia tidak mati tertimpa pohon randu alas yang tumbang. Dan kini gadis itu kembali merangkulnya sambil menangis sedih.

Jantung Parmadi berdebar kencang ketika merasakan betapa tubuh yang hangat, padat dan lunak itu mendekap dadanya. Timbul gairah dalam hatinya untuk mendekap lebih erat, untuk menciumi muka yang basah oleh air mata itu. Dia sudah menundukkan mukanya, mendekati muka gadis itu, akan tetapi tiba-tiba dia menyadari bahwa nafsu berahi sudah menguasainya dan kalau dorongan berahi itu dia turuti, maka akan tidak baiklah jadinya.

Sebelum hidung dan bibirnya menyentuh muka Ayu yang dengan mata setengah terbuka dan pandang sayu seolah menanti datangnya ciuman, Parmadi menguatkan hatinya dan dia memindahkan arah mukanya lantas mencium rambut yang hitam lebat itu. Rambut itu halus sekali dan keharuman melati menyegarkan hidungnya.

Selama beberapa detik terjadi pertarungan hebat di dalam hati Parmadi. Sebagai seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tiga hampir dua puluh empat tahun, wajarlah kalau gairah berahinya sedang kuat-kuatnya. Nafsu ini mendorongnya dengan amat kuat. Akan tetapi dia menyadari bahwa kalau diperturutkan, hal itu amatlah tidak baik.

Ayu bukan apa-apanya, dan dia pun teringat akan Muryani yang sampai sekarang masih diaanggap sebagai gadis yang dicintainya, walau pun dia tidak yakin benar mengenai hal itu karena kini gadis itu hanya tinggal kenangan. Kalau nanti dia bertemu dengan Muryani, barulah dia akan dapat memastikan apakah dia mencinta gadis itu ataukah tidak. Dia suka dan kagum kepada Ayu Puspa, akan tetapi cinta? Dia sendiri tidak tahu. Ketika merasa kepalanya dicium, Ayu merangkul pinggang Parmadi lebih erat lagi.

“Engkau... engkau kejam, kakang...”

Mendengar suara ini, Parmadi merasa lega karena dia merasa bahwa kini dia sudah dapat menguasai gejolak nafsu berahinya. Dulu gurunya pernah memberi penjelasan kepadanya tentang nafsu-nafsu, antaranya nafsu berahi dan sekarang barulah dia mengalami sendiri gejolak nafsu berahi yang amat kuat dan yang menjatuhkan banyak orang, bahkan orang bijaksana, orang pandai, para raja dan satria banyak yang tergelincir dan jatuh gara-gara pengaruh nafsu berahi yang teramat kuat ini.

Seperti semua nafsu dalam jasmani manusia, nafsu berahi juga menjadi peserta manusia sejak manusia dilahirkan. Nafsu-nafsu ini amat penting bagi kehidupan manusia di dunia. Tanpa adanya nafsu-nafsu daya rendah yang bertingkat-tingkat ini di dalam diri manusia, maka manusia takkan bisa hidup di dunia seperti sekarang ini. Dengan bekerjanya nafsu di dalam hati akal pikiran manusia, maka manusia dapat memperoleh kemajuan karena nafsu membuat pikiran menjadi pandai membuat segala sesuatu demi kesejahteraan dan kesenangan hidup di dunia.

Nafsu merupakan peserta yang baik apa bila dibiarkan menjadi peserta, menjadi hamba, menjadi pelayan. Namun manusia tidak boleh lengah. Sekali nafsu dibiarkan merajalela, maka dia akan menguasai hati akal pikiran manusia sehingga keadaannya jadi terbalik. Manusia yang akan diperbudak nafsu sehingga dia bersedia melakukan apa saja, bahkan yang sejahat-jahatnya, demi untuk memuaskan keinginan nafsu.

Jika nafsu berahi menjadi pelayan, manusia dapat memanfaatkannya sebagai pencurahan kasih sayang yang paling mendalam antara suami isteri, bahkan nafsu berahi menjadi sarana yang terpenting bagi perkembang-biakan manusia. Akan tetapi kalau nafsu berahi dibiarkan memperbudak manusia, maka akan terjadilah perjinahan, perkosaan, pelacuran dan sebagainya, tindakan-tindakan penuh kemaksiatan yang dilakukan demi memuaskan nafsu berahi semata.

Demikian pula dengan nafsu-nafsu daya rendah lainnya. Kalau dibiarkan menguasai kita, maka kita akan terseret ke dalam lembah dosa. Kita harus selalu waspada dan hati-hati karena nafsu-nafsu itu menggunakan segala macam kesenangan dan keenakan sebagai umpan untuk memancing kita.

“Hanya Dewa Ruci saja yang dapat menolong kita,” demikian Resi Tejo Wening berkata.

Parmadi tahu bahwa yang dimaksudkan Dewa Ruci itu adalah Roh Suci, yaitu Kekuasaan Gusti Allah. Hanya dalam bimbingan Dewa Ruci sajalah manusia akan mampu melawan pengaruh nafsu-nafsunya sendiri yang teramat kuat.

“Aku kejam padamu, Ayu? Apa maksudmu?” tanya Parmadi dan dengan sentuhan lembut dia merenggangkan tubuhnya dan membantu gadis itu duduk kembali di sampingnya. Ayu duduk dan menghapus air matanya.

“Engkau mencinta gadis itu! Engkau mencinta Muryani!” kata Ayu dengan bibir cemberut.

“Ah, jangan berkata seperti itu, Ayu. Muryani dan aku hanya bersahabat, persahabatan di waktu kami remaja,” Parmadi berkata jujur karena sesungguhnya dia sendiri belum yakin apakah dia betul-betul mencinta Muryani, ataukah itu hanya angan-angan seorang remaja saja. Kalau dia bertemu dengan Muryani sekarang, barulah dia akan dapat memastikan apakah ada cinta di antara mereka.

Mendadak saja terjadi perubahan pada wajah Ayu. Kecemberutannya sirna, terganti wajah yang berseri-seri dan mata yang bersinar, walau pun kedua pipinya rnasih basah. Bibirnya tersenyum manis dan kedua tangannya menangkap kedua tangan Parmadi.

“Kalau begitu... engkau suka kepadaku, kakang?”

“Tentu saja, Ayu,” kata Parmadi sejujurnya. “Aku kagum dan suka padamu.”

Gadis itu kelihatan semakin gembira. Genggaman kedua tangannya pada tangan Parmadi semakin kuat. “Kakang Parmadi... ah, kakang! Apakah cintamu kepadaku sebesar cintaku kepadamu?”

Bukan main kagetnya hati Parmadi mendengar pertanyaan itu. Gawat, pikirnya. Jawaban yang menyatakan bahwa dia kagum dan suka kepada Ayu tadi agaknya disalah-artikan oleh gadis itu. Rasa suka dianggapnya cinta!

Akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah Kyai Jayawijaya. “Ha-ha, ha, bagus sekali! Sungguh berbahagia sekali hatiku mendengar bahwa kalian berdua saling mencinta! Ah, ini merupakan anugerah Gusti Allah yang paling besar bagi hidupku. Parrnadi, aku berterima kasih sekali bahwa engkau mencinta Ayu dan suka menerima dia sebagai calon isterimu. Sebaiknya pernikahan segera dilangsungkan karena kalian berdua juga sudah cukup dewasa!”

Parmadi terkejut bukan main. Sekarang malah lebih gawat lagi! Bukan hanya Ayu Puspa yang salah sangka, bahkan Kyai Jayawijaya juga sudah salah kira. Dia cepat melepaskan pegangan kedua tangan Ayu dan bangkit berdiri, lalu mundur ke belakang sampai empat langkah.

“Tidak... tidak...! Bukan begitu maksudku, eyang dan Ayu. Aku tidak ingin menikah, aku tidak jatuh cinta...!”

Ayu melompat berdiri, mukanya yang tertimpa sinar bulan tampak pucat, kedua matanya terbelalak.

“Apa... apa maksudmu, kakang Parmadi? Tadi engkau memelukku, mengatakan bahwa engkau suka dan kagum kepadaku! Mengapa kini engkau mengingkarinya?”

“Parmadi! Jangan kau lumuri budi kebaikanmu dengan mempermainkan cucuku!” Kyai Jayawijaya membentak marah.

“Auu dan Eyang Kyai, harap dimengerti akan perbedaan antara suka dan cinta. Rasa suka kepada seseorang membuat orang ingin menjalin persahabatan yang akrab, sedangkan rasa cinta dapat menjalin hubungan perjodohan. Aku kagum dan suka kepada Ayu, bukan mencinta seperti yang Ayu maksudkan.”

“Kau... kau...” Kyai Jayawijaya berlari memasuki rumah lalu keluar lagi membawa buntalan pakaian Parmadi dan melemparkan buntalan pakaian itu kepadanya.

“Nah, bawa pakaianmu dan pergilah tinggalkan kami! Sesudah memikat kemudian engkau menghancurkan hati cucuku. Enyahlah!”

Parmadi menghela napas panjang dan hendak melangkah pergi, akan tetapi Ayu Puspa telah menghadang di depannya. “Tunggu! Enak saja engkau hendak pergi setelah berani menghina aku! Engkau harus menebus dengan nyawamu!” Setelah berkata demikian, Ayu lalu menyerang Parmadi dengan dahsyat, mengerahkan seluruh tenaganya.

Parmadi mengelak ke kiri, tapi dari kiri Kyai Jayawijaya menyambutnya dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.

“Siapa pun tidak boleh menghina cucuku!” bentaknya.

Kembali Parmadi mengelak dan dia lalu mengerahkan kesaktiannya untuk melompat jauh dan melarikan diri. Gerakannya cepat bukan main, seperti terbang saja. Walau pun kakek dan cucunya itu melakukan pengejaran, tapi Parmadi sudah jauh meluncurkan perahunya ketika mereka tiba di tepi kedung. Perahu pemuda itu tidak tampak lagi.

Ayu hanya dapat menangis ketika dituntun kakeknya pulang ke pondok mereka.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)