SERULING GADING : JILID-40


Yang memimpin jaringan para penyelidik ini adalah Senopati Poncosakti. Selain digdaya, sakti mandraguna, panglima ini juga amat cerdik sehingga dia menjadi orang kepercayaan Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Bahkan sesungguhnya Senopati Poncosakti ini masih paman sendiri dari Pangeran Pekik, atau uwanya karena senopati ini adalah kakak dari ibu Pangeran Pekik.

Senopati Poncosakti berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya jantan serta gagah seperti Sang Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah. Walau pun dia seorang senopati, akan tetapi karena tugasnya sebagai pimpinan jaringan penyelidik, dia selalu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti seorang panglima.

Sering kali Ki Poncosakti berada di pondok itu, terutama ketika mengadakan pertemuan dengan anak buahnya yang tersebar di wilayah Mataram sebagai penyelidik atau kalau dia menerima tamu rahasia terutama sekali dari utusan para sekutu Surabaya, di antaranya Madura dan tentu saja Kumpeni Belanda.

Dahulu Ki Poncosakti adalah seorang senopati dari Kadipaten Pasuruan yang secara gigih mempertahankan Pasuruan ketika diserbu pasukan Mataram. Setelah Pasuruan kalah dan jatuh menakluk kepada Kerajaan Mataram, Ki Poncosakti lantas melarikan diri dengan hati mendendam kepada Mataram.

Dia melarikan diri ke Surabaya di mana dia diterima oleh keponakannya, yaitu Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, bahkan diangkat menjadi senopati yang dipercaya dan diserahi tugas penting memimpin jaringan telik sandi untuk menjaga keselamatan dan keamanan Kadipaten Surabaya.

Dahulu ketika masih menjadi senopati Kadipaten Pasuruan, dia terkenal sebagai Senopati Brojowiro yang dengan gigih mempertahankan Pasuruan dalam perang melawan pasukan Mataram. Setelah diterima oleh Pangeran Pekik, dia diangkat menjadi senopati dan diberi nama Senopati Poncosakti. Sejak itu dia tidak pernah lagi menggunakan nama lamanya, yaitu Brojowiro karena pekerjaannya sebagai pemimpin jaringan telik sandi mengharuskan dia merahasiakan masa lalunya agar tidak sampai ketahuan oleh pihak Mataram.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun melangkah memasuki pekarangan pondok terpencil yang sunyi itu. Kepalanya yang tanpa kain penutup itu kecil dan botak, rambut yang tumbuh di bagian kanan kiri dan belakang keriting dan masih hitam, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, hidungnya pesek dan mulutnya kecil, kedua pergelangan tangannya memakai akar bahar hitam.

Kakek ini tampaknya biasa saja, bahkan seperti orang tua yang lemah. Akan tetapi siapa yang sudah mengenalnya tentu akan merasa terkejut melihat kehadirannya karena kakek ini bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang datuk besar dari Banten, bekas seorang senopati kenamaan dari Kerajaan Banten, bahkan sekarang pun masih berpengaruh sekali di Banten dan sering dimintai nasihat oleh Raja Banten. Dia adalah Kyai Sidhi Kawasa yang sakti mandraguna.

Meski pun pondok itu tampak sunyi seolah tidak ada penghuninya, akan tetapi Kyai Sidhi Kawasa cukup waspada untuk dapat menduga bahwa tempat itu merupakan tempat yang ‘angker’ dan berbahaya. Maka dia berhenti sesudah tiba di depan beranda rumah itu, lalu dengan suaranya yang lemah lembut dia berseru.

“Sampurasun...!”

Biar pun suaranya lembut dan tidak nyaring, namun ternyata suara itu bergaung dan dapat terdengar sampai jauh karena ketika berseru dia menggunakan tenaga saktinya. Sampai lama dia menanti, namun tidak ada jawaban. Dia mengulang salamnya dengan suara yang lebih menggema lagi.

“Sampurasun (salam yang berarti 'maafkan saya')!”

Sebagai jawaban, dari empat penjuru tiba-tiba meluncur belasan batang anak panah ke arah tubuh kakek itu.

“Syuuuttt...! Serr-serr-serrr...!”

Dengan tenang namun cepat kakek botak itu memutar tubuhnya ke empat penjuru sambil memukulkan sepasang telapak tangannya ke depan. Tampak sinar berapi menyambar dari telapak tangannya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya dan bahkan ada beberapa batang anak panah kayu yang terbakar! Kyai Sidhi Kawasa tertawa terkekeh, tetapi sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar kemarahan.

“Heh-heh-heh, beginikah caranya orang Surabaya menyambut datangnya sahabat? Kalau begitu majulah kalian semua. Mari tandingi Kyai Sidhi Kawasa, jangan menyerang secara menggelap seperti pengecut.”

Senopati Poncosakti yang bersembunyi di dalam rumah itu menjadi terkejut setengah mati mendengar kakek itu memperkenalkan namanya. Sesudah mengetahui bahwa kakek itu adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten, dengan tergopoh-gopoh dia merapikan pakaiannya kemudian keluar untuk menyambut tamu agung yang namanya amat terkenal itu.

Dia sudah mendengar bahwa datuk Banten itu seorang yang sakti mandraguna dan juga bersikap memusuhi Mataram, maka bisa dianggap sebagai seorang kawan yang sehaluan. Setelah pakaiannya rapi dia lalu keluar dari pintu depan pondok itu dan pada saat itu para pengawalnya yang berupa pasukan kecil terdiri dari lima belas orang juga sudah muncul dari empat penjuru dan mengepung Ky Sidhi Kawasa.

Melihat para anak buahnya mengambil sikap memusuhi kakek itu, Senopati Poncosakti menghardik, “Kalian semua mundurlah dan siapkan pesta perjamuan untuk menyambut tamu agung!”

Mendengar perintah ini, lima belas orang anak buah itu segera mengundurkan diri lantas menuju ke belakang pondok. Senopati Poncosakti sendiri cepat menghampiri tamunya lalu memberi hormat dengan sembah.

“Kami mohon maaf yang sebesarnya. Karena belum mengenal andika maka kami sudah bersikap kurang hormat. Saya Senopati Poncosakti, atas nama Gusti Pangeran Pekik mohon maaf dan mempersilakan andika masuk agar kita dapat bicara di dalam.”

“Heh-heh-heh, aku mendengar dari Ki Harya Baka Wulung bahwa di sini terdapat jaringan telik sandi Surabaya yang dipimpin seorang bekas senopati Pamekasan yang bernama Ki Brojowiro. Andikakah orangnya?”

Senopati Poncosakti kembali memberi hormat dan menyembah, lalu menoleh ke kanan kiri. “Saya persilakan andika untuk masuk dan sebaiknya kita bicara di dalam saja, kakang Kyai Sidhi Kawasa.”

Kakek dari Banten itu terkekeh dan mengangguk-angguk, tanda bahwa dia mengerti akan sikap sang senopati yang agaknya hendak merahasiakan asal-usulnya itu. Maka dia pun mengikuti tuan rumah memasuki pondok dan tidak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di dalam sebuah ruangan tertutup.

“Benar dugaan andika, kakang Kyai, dahulu saya adalah seorang senopati Pasuruan yang membela Pasuruan dari serbuan Mataram. Setelah Pasuruan jatuh saya melarikan diri ke Surabaya dan oleh Gusti Pangeran Pekik saya lalu diangkat menjadi senopati mengepalai para telik sandi yang mengamati gerak-gerik Mataram dan mendapatkan nama Senopati Poncosakti. Demi menjaga keamanan tugas saya, saya tidak lagi mempergunakan nama Brojowiro. Tentu andika mengerti apa yang saya maksudkan.”

“Heh-heh-heh, aku mengerti, adi Poncosakti.”

“Harap kakang Kyai memaklumi akan sikap kami yang harus berhati-hati. Tempat kami ini merupakan tempat rahasia, hanya dikunjungi kawan-kawan satu haluan yang menentang Mataram. Karena kemunculan andika yang tiba-tiba tadi dan kami belum mengenal andika sebelum andika menyebutkan nama, maka kami mengira bahwa andika adalah dari pihak musuh yang hendak melakukan penyelidikan sehingga kami langsung menyerang andika.”

“Hemm, aku mengerti, adi senopati. Aku juga mengetahui tentang tempat ini dari petunjuk Ki Harya Baka Wulung.”

“Kakang Harya Baka Wulung memang pernah berkunjung ke sini, dan kedatangan andika ini tentu membawa berita penting sekali. Saya siap untuk mendengarkan, kakang Kyai.”

“Sesungguhnyalah. Aku hanya hendak menyampaikan pesan dari Ki Harya Baka Wulung. Dialah yang mengundangku dari Banten ke Madura untuk membantu Madura menghadapi ancaman Mataram dan dia minta kepadaku untuk menghubungi andika karena ada tugas yang penting sekali.”

“Tugas apakah itu, kakang Kyai? Harap ceritakan dan saya siap melaksanakan kalau hal itu demi membela Surabaya.”

“Bukan semata-mata membela Surabaya, melainkan terutama sekali untuk menentang Mataram.”

“Sesungguhnya itulah tujuan utamaku dalam membela Surabaya, kakang Kyai. Saya akan menentang dan melawan Matararn, membantu mereka yang memusuhi Mataram sampai Mataram jatuh atau saya yang mati!” kata senopati itu penuh semangat.

“Begini, adi senopati. Menurut keterangan Ki Harya Baka Wulung, kini Mataram sedang berusaha untuk membujuk Surabaya supaya jangan membantu Madura yang akan diserbu oleh Mataram. Sultan Agung hendak membujuk Pangeran Pekik untuk bekerja sama dan mengikat perdamaian di antara mereka, kemudian bersama-sama menentang pemerintah Kumpeni Belanda di Jayakarta. Kalau hal ini sampai terjadi, maka tentu saja kedudukan Madura menjadi lemah dan Mataram menjadi makin kuat. Menurut penyelidikanku ketika melakukan perjalanan ke sini, utusan Sultan Agung yang membawa surat yang ditujukan kepada Pangeran Pekik itu sudah meninggalkan Mataram. Oleh karena itu Ki Harya Baka Wulung ingin minta bantuanmu agar mengatur rencana bagaimana baiknya supaya dapat menggagalkan usaha Mataram untuk berdamai dan bekerja sama dengan Surabaya.”

Poncosakti menghela napas panjang. “Saya sudah mengkhawatirkan hal ini akan terjadi. Memang Gusti Pangeran Pekik agak lemah menghadapi Sultan Agung. Tapi serahkan hal ini kepada saya, kakang Kyai Sidhi Kawasa. Saya pasti bisa mengatur agar usaha Sultan Agung itu tidak akan berhasil.”

Sesudah perundingan selesai, Kyai Sidhi Kawasa lalu dijamu pesta makan oleh Senopati Poncosakti dan setelah puas bercakap-cakap, datuk dari Banten itu segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke Madura memenuhi undangan Ki Harya Baka Wulung.

Setelah tamunya pergi, Senopati Poncosakti memanggil beberapa orang kepercayaannya untuk merundingkan persoalan yang disampaikan oleh Kyai Sidhi Kawasa kepadanya itu. Dia maklum bahwa sikap Pangeran Pekik memang tidak begitu keras terhadap Mataram sehingga kalau Sultan Agung benar-benar hendak membujuknya, bukan tak mungkin hati Pangeran Pekik akan menjadi lunak. Kemudian Poncosakti mengatur siasatnya. Dia sudah merencanakan sebaik-baiknya untuk menggagalkan usaha Sultan Agung.

Dengan menyebar anak buahnya, mudah saja baginya untuk segera dapat menemukan orang yang menjadi utusan Sultan Agung untuk pergi menghadap Pangeran Pekik guna menyampaikan surat Raja Mataram itu. Diam-diam Poncosakti mengatur agar utusan itu selalu dibayangi.

Utusan yang dimaksudkan adalah seorang perwira Kerajaan Mataram, yaitu Tumenggung Alap-alap yang dibantu oleh seorang perwira rendahan bernama Katawengan. Dua orang ini menunggang kuda dan memasuki Kadipaten Surabaya tanpa halangan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa semenjak dari perbatasan diam-diam mereka dibayangi beberapa orang kepercayaan Poncosakti.

Sebagai utusan Mataram, dengan mudah Tumenggung Alap-alap bersama pembantunya diperkenankan untuk menghadap Pangeran Pekik yang menerima mereka berdua dengan ramah. Tumenggung Alap-alap merupakan tokoh yang cukup terkenal sehingga Pangeran Pekik juga mengenalnya. Dia sering kali menjadi senopati Mataram dan namanya terkenal ketika Mataram menaklukkan daerah-daerah di Jawa Timur.

Karena yang datang menghadap ini adalah seorang utusan Mataram, tentu saja Pangeran Pekik ingin pula memperlihatkan keangkeran Kadipaten Surabaya. Maka dia menyambut utusan itu di ruangan yang besar dan megah dan di situ berbaris rapi dan nampak kokoh kuat berwibawa sepasukan pengawal yang berjumlah dua losin prajurit berpakaian mewah. Karena utusan itu bukan utusan kerajaan dengan urusan yang terbuka, melainkan utusan pribadi dari Sultan Agung, maka tidak ada menteri atau senopati yang hadir, juga tidak ada keluarga kadipaten.

“Wah... ternyata paman Tumenggung Alap-alap yang datang menghadap sebagai utusan Pamanda Sultan Agung di Mataram. Bagaimana kabarnya, paman? Apakah baik-baik saja selama dalam perjalanan ke Surabaya?”

Tumenggung Alap-alap memberi hormat dengan sembah. “Berkat pangestu paduka maka keadaan hamba baik-baik saja dan bisa tiba di sini dengan selamat. Hamba menghaturkan sembah sujud dan hormat hamba, gusti.”

“Terima kasih, paman Tumenggung. Sebagai utusan Pamanda Sultan, berita apakah yang andika bawa ke sini? Pamanda Sultan mengutus andika untuk menyampaikan apakah?”

“Pertama-tama Kanjeng Gusti Sultan Agung menyampaikan salam dan kabar selamat dan selain itu hamba diperintahkan untuk menyampaikan sebuah surat kepada paduka.”

“Begitukah, paman? Mari, berikan surat itu kepadaku.”

Tumenggung Alap-alap mengeluarkan segulung surat lalu menyerahkan kepada Pangeran Pekik dengan kedua tangan dan surat itu diterima oleh Pangeran Pekik. Suasana menjadi hening ketika sang pangeran membaca surat itu.

Tumenggung Alap-alap yang tidak pernah kehilangan kewaspadaan itu secara diam-diam menggunakan kesempatan selagi Pangeran Pekik membaca surat dari Sultan Agung itu untuk mengerling ke kanan kiri dan menyelidiki apakah ada sesuatu yang mencurigakan.

Dia mengetahui benar bahwa biar pun pada hakekatnya Pangeran Pekik sendiri tak terlalu keras memusuhi Mataram, tapi banyak tokoh Surabaya yang diam-diam amat menentang Mataram, apa lagi Surabaya dijadikan tempat pelarian oleh banyak tokoh dari kadipaten-kadipaten yang telah ditaklukkan oleh Mataram dan mereka ini menaruh dendam kepada Mataram.

Ketika pandang matanya menyapu ruangan itu dan memandangi para prajurit pengawal satu demi satu, dia melihat pandang mata seorang prajurit pengawal yang bersinar-sinar penuh kebencian kepadanya. Akan tetapi begitu bertemu pandang, prajurit pengawal itu segera menundukkan mukanya.

Pada saat itu pula terdengar suara tawa Pangeran Pekik. Setelah Tumenggung Alap-alap menoleh, dia melihat bangsawan itu tampak bergembira dan tersenyum lebar.

“Ah, paman Tumenggung, kami senang sekali menerima surat Pamanda Sultan Agung ini. Tunggu sebentar, paman, akan langsung kami buatkan surat balasannya.”

Pangeran Pekik segera meninggalkan tempat duduknya, melangkah ke ruangan lain dan untuk beberapa saat lamanya dia duduk menunggu. Ketika dia mengerling, beberapa kali matanya bertemu pandang dengan prajurit pengawal yang sinar matanya penuh kebencian memandang kepadanya itu.

Dia harus berhati-hati, pikirnya.

Ketika berangkat meninggalkan Mataram dia pun sudah amat berhati-hati. Dia tahu bahwa dia membawa surat yang sangat penting, surat dari Sultan Agung yang isinya membujuk Pangeran Pekik untuk berdamai dan bekerja sama. Hal ini tentu mendatangkan rasa tidak suka dalam hati mereka yang menentang Mataram. Sebab itu dia pun sudah amat berhati-hati, bahkan selain membawa Katawengan, seorang perwira yang tangguh, diam-diam dia juga menyuruh seorang kepercayaannya bernama Kalingga untuk selalu membayangi dan mengawasi mereka kalau-kalau ada pihak lawan yang hendak mengganggu.

Setelah dia bersama pembantunya, Katawengan, tiba di perbatasan Kadipaten Surabaya, Tumenggung Alap-alap memanggil Kalingga dan memesan agar pembantunya itu menanti di perbatasan itu sampai dia dan Katawengan keluar dari Suabaya. Kalau terjadi apa-apa dengan dia dan Katawengan, maka Kalingga harus cepat-cepat kembali ke Mataram dan melapor kepada Sultan Agung.

Tak lama kemudian Pangeran Pekik masuk lagi ke ruangan itu dan dengan senyum ramah dia menyerahkan segulung surat balasan yang ditujukan kepada Sulan Agung di Mataram.

“Paman Tumenggung, sampaikan surat balasan kami ini kepada Paman Sultan Agung di Mataram, disertai sembah hormat kami kepada beliau.”

“Sendika, gusti. Hamba mohon pamit agar secepat mungkin hamba dapat menghaturkan surat paduka ini kepada Gusti Sultan!”

“Baik, paman. Berhati-hatilah dalam perjalanan.”

Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan menghaturkan sembah dan mohon diri, lalu keluar dari istana kadipaten. Sesampainya di luar, mereka menerima dua ekor kuda tunggangan mereka dari para penjaga yang sudah mengurus dan memberi makan kuda mereka itu. Kemudian mereka berdua melarikan kuda mereka keluar dari kota kadipaten. Setibanya di perbatasan, mereka disambut oleh Kalingga yang dengan patuh menunggu di tempat sunyi itu.

Tumenggung Alap-alap mengajak kedua orang pembantunya untuk berunding.

“Aku mendapat firasat kurang enak, adi Katawengan dan adi Kalingga. Aku hampir yakin bahwa ada pihak yang memusuhi kita akan melakukan sesuatu untuk mencelakakan kita. Bagaimana pun juga yang lebih dahulu dan lebih penting untuk diselamatkan adalah surat balasan dari Gusti Pangeran Pekik kepada Gusti Sultan Agung. Karena itu adi Kalingga, andika kuserahi tugas ini, tugas yang teramat penting dan harus kau laksanakan dengan taruhan nyawa. Tadi andika tidak ikut ke Surabaya. Mereka yang berniat jahat terhadap kita tentu tidak mengenalmu sehingga andika tak akan diganggu dan dapat menghaturkan surat ini kepada Gusti Sultan dengan selamat. Sementara itu kami berdua yang tentunya telah dikenal dan diancam, akan mengambil jalan lain untuk memancing dan mengalihkan perhatian mereka agar jangan sampai mengganggumu.”

Kalingga menaati perintah atasannya itu, menerima gulungan surat lalu menyimpannya ke balik bajunya. Sementara itu Tumenggung Alap-alap dan perwira Katawengan melanjutkan perjalanan mereka melalui jalan ke arah barat yang merupakan jalan raya menuju Mataram akan tetapi Kalingga lalu membalapkan kudanya ke selatan, mengambil jalan pintas.

Dugaan Tumenggung Alap-alap yang banyak pengalaman itu memang benar, akan tetapi hanya separuhnya benar. Dia tidak tahu bahwa pemimpin jaringan telik-sandi (mata-mata), yaitu Senopati Poncosakti yang amat membenci Mataram, merupakan orang yang cerdik bukan main. Ia tidak tahu bahwa bukan hanya dia dan Katawengan yang selalu dibayangi, bahkan Kalingga juga sudah dibayangi.

Maka ketika dia bersama Katawengan berpisah dari Kalingga, Senopati Poncosakti cepat memecah pasukannya menjadi dua kelompok. Dia menyuruh selosin prajuritnya mengejar Tumenggung Alap-alap dan Katawengan sementara dia sendiri bersama tiga orang prajurit mengejar Kalingga yang membawa surat Pangeran Pekik untuk Sultan Agung.

Ki Kalingga terus membalapkan kudanya. Setelah cukup jauh dari perbatasan barulah dia memperlambat larinya kuda yang sudah ngos-ngosan. Dia merasa lega karena kini sudah berada di daerah Mataram, d daerah sendiri yang tentu aman. Akan tetapi ketika kudanya sedang berjalan perlahan tiba-tiba terdengar derap kaki banyak kuda berlari cepat dari arah belakangnya. Dia masih tidak menaruh curiga karena ketika dia menengok, dari belakang datang empat orang penunggang kuda yang pakaiannya seperti petani biasa.

Dia meminggirkan kudanya agar binatang itu jangan terkejut atau takut kalau empat orang penunggang kuda itu lewat. Akan tetapi begitu empat orang itu melewatinya, tiba-tiba saja mereka menahan kuda mereka dan membalikkan kuda menghadapinya, kemudian mereka berlompatan turun. Salah seorang dari mereka yang gagah perkasa, bertubuh tinggi besar seperti Gatotkaca dengan kumisnya yang sekepal sebelah, cepat melompat ke depan dan menarik kendali kuda.

Kuda yang ditunggangi Kalingga meringkik, mengangkat dua kaki depannya ke atas dan Ki Kalingga terpaksa melompat ke belakang, lantas berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas tanah dengan tegak. Gerakannya ini membuat Senopati Poncosakti, yang memimpin tiga orang prajuritnya, tertegun dan maklumlah dia bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh.

Ki Kalingga marah, mengira bahwa empat orang itu adalah gerombolan perampok, maka dia membentak nyaring. “Heh, orang-orang sesat! Buka mata kalian baik-baik dan lihatlah siapa aku! Aku adalah seorang perwira jagabaya di Mataram, kepercayaan Gusti Sultan Agung. Apa maksud kalian berani menghadang perjalananku?”

Senopati Poncosakti tertawa. Dia sengaja bersikap seperti seorang kepala gerombolan perampok seperti yang telah dia rencanakan. “Ha-ha-ha! Kami tidak peduli siapa engkau! Akan tetapi siapa pun juga yang lewat di daerah kekuasaan kami ini, harus membayar pajak dengan meninggalkan semua harta kekayaannya. Nah, berikanlah semua hartamu, baru engkau boleh pergi dari sini dengan nyawa utuh!”

Ki Kalingga adalah seorang perwira yang digdaya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi segala macam perampok apa lagi kalau hanya empat orang banyaknya. Pula, bagaimana mungkin dia menyerahkan semua barang yang dibawanya. Berarti dia harus menyerahkan gulungan surat dari Pangeran Pekik yang harus dilindungi dan dibelanya dengan taruhan nyawa.

“Babo-babo, keparat! Sungguh berani kalian merampok seorang perwira pasukan jagabaya Kerajaan Mataram. Agaknya kalian berempat sudah bosan hidup!”

“Kawan-kawan, serang dia!” Senopati Poncosakti memberi komando dan dia sendiri sudah melompat ke depan dan langsung mengayun tangan kanannya memukul ke arah dada Ki Kalingga. Perwira Mataram itu mengerahkan tenaga dan menangkis.

“Wuuuttt...! Desss!”

Kedua orang itu terdorong mundur dan keduanya terkejut. Ki Kalingga sama sekali tidak mengira bahwa orang yang disangkanya perampok itu ternyata mempunyai tenaga yang demikian kuatnya, setingkat dengan tenaganya sendiri! Sebaliknya Poncosakti juga sama sekali tak mengira bahwa perwira Mataram yang tidak terkenal itu demikian kuatnya. Tiga orang anak buahnya juga menerjang ke arah Kalingga, akan tetapi dengan tamparan dan tendangan kakinya, Kalingga dapat membuat tiga orang itu terpelanting.

Melihat ini Poncosakti lalu mencabut sepasang trisula gagang pendek dan dengan senjata ini dia pun menerjang dengan hati marah dan penasaran. Akan tetapi Kalingga juga sudah mencabut sebatang klewang (golok) dari punggungnya lantas memutar senjata itu untuk menangkis serangan sepasang trisula itu.

“Trang...! Cringgg...!”

Bunga api berpijar ketika sepasang trisula bertemu klewang. Kembali keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar. Tiga orang anak buah Poncosakti sudah bangkit dan mereka kini menyerang pula dengan senjata pedang mereka.

Kalingga maklum bahwa dirinya terancam bahaya maut. Mengingat bahwa tiga orang yang tadi dirobohkan merupakan lawan yang paling lemah, maka sambil berloncatan mengelak dan menangkis serangan Poncosakti, dia cepat menggerakkan klewangnya mendesak tiga orang itu.

Terdengar suara berkerontang ketika klewangnya berhasil membuat pedang di tangan tiga orang lawan ini terlepas, dan dengan tendangan-tendangan kakinya yang disertai tenaga sakti, tiga orang anak buah Poncosakti itu pun terlempar lantas terbanting roboh. Mereka menjadi jeri, lagi pula tendangan tadi membuat mereka tidak mampu mengeroyok lagi.

Kini Poncosakti harus melawan seorang diri. Terjadilah perkelahian yang sangat seru dan seimbang. Tiga orang anak buah Poncosakti itu hanya menonton dari jarak aman karena mereka merasa tidak mampu untuk membantu menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Mereka tahu bahwa pengeroyokan mereka hanya akan mengganggu gerakan Poncosakti, lagi pula mungkin saja merupakan bunuh diri bagi mereka.

Selagi tiga orang anak buah yang semuanya merupakan prajurit Kadipaten Surabaya yang menjadi anggota pasukan yang membantu Poncosakti itu menonton, tiba-tiba seorang dari mereka disambar sesosok bayangan kemudian lenyap. Kejadian ini berlangsung cepat dan prajurit itu tak sempat dan tak mampu mengeluarkan suara sehingga dua orang rekannya yang asyik menonton pertandingan seru itu tidak tahu bahwa seorang teman mereka telah lenyap diculik orang!

Tidak jauh dari situ prajurit yang diculik itu diturunkan dan dilepaskan, namun pundaknya dicengkeram tangan yang sangat kuat sehingga dia menyeringai kesakitan. Dia melihat di situ berdiri seorang pemuda yang tadi melarikannya dan kini mencengkeram pundaknya, bersama seorang gadis yang amat cantik manis. Pemuda itu bukan lain adalah Satyabrata dan gadis itu adalah Maya Dewi!

“Aduh... ampun...!” Prajurit itu mengeluh.

“Cepat katakan, siapa yang sedang bertanding itu dan jangan berbohong. Sedikit saja kau berbohong maka semua tulang di dalam badanmu akan aku hancurkan!” kata Satyabrata sedangkan Maya Dewi hanya memandang dengan senyum manis, seolah sedang melihat suatu pertunjukkan yang menyenangkan hatinya.

Merasa betapa jari-jari tangan itu mencengkeram pundaknya sehingga tulang pundaknya mengeluarkan bunyi berkeretakan dan terasa nyeri seolah hendak patah-patah, prajurit itu tidak berani berbohong.

“Yang bersenjata sepasang trisula itu adalah atasan kami, yaitu Senopati Poncosakti dari Kadipaten Surabaya. Sedangkan yang bersenjata sebatang klewang itu adalah seorang perwira Mataram.”

Mendengar pengakuan ini Satyabrata cepat melepaskan cengkeraman tangannya. Orang ini adalah prajurit Surabaya yang harus dibantunya karena Surabaya menentang Mataram.

“Hemm, begitukah? Kalau begitu kita adalah orang sendiri. Biar aku membantu Senopati Poncosakti untuk membunuh perwira Mataram itu!”

“Akang Satya, serahkan saja jahanam itu kepadaku. Aku akan membunuhnya,” kata Maya Dewi sambil tersenyum manis sekali.

Mendengar dua orang itu hendak membunuh perwira Mataram, prajurit itu segera berkata, “Raden, harap jangan membunuh perwira Mataram itu! Atasan kami justru tidak ingin membunuhnya, hanya ingin merobohkan dan membuat dia tidak berdaya.”

“Hemm, mengapa begitu?” tanya Satyabrata.

“Karena Senopati Poncosakti ingin melakukan sesuatu terhadap surat dari Pangeran Pekik kepada Sultan Agung yang dibawa oleh perwira Mataram itu.”

“Hemm, begitukah? Akan kubantu dia merobohkan perwira Mataram itu. Mari nimas, kita ke sana!”

Dua orang itu berkelebat dan lenyap dari depan prajurit itu yang ternganga dan terbelalak, lalu dia pun kembali ke tempat perkelahian tadi.

Poncosakti masih bertanding melawan Kalingga yang mempertahankan diri mati-matian. Kini perlahan-lahan Poncosakti mulai terdesak, bahkan pundak kirinya telah tercium ujung klewang sehingga baju berikut kulit pundaknya terobek berdarah. Untung baginya luka itu tidak dalam, namun cukup perih untuk membuat gerakan trisula di tangan kirinya kurang lincah dan mulailah dia terdesak.

Tiba-tiba tampak bayangan yang cepat sekali berkelebat. Bayangan itu menerjang ke arah Kalingga. Gerakannya begitu cepat dan tangan kiri bayangan itu meluncur ke arah muka Kalingga dengan cengkeraman ke arah mata!

“Ahhh...!” Kalingga terkejut bukan kepalang. Cepat dia membuang diri ke belakang untuk menghindarkan diri, dan siap untuk membalas serangan itu dengan bacokan goloknya.

Akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan lain berkelebat di belakangnya dan sebuah tangan kecil halus menepuk dan mengenai tengkuk Kalingga.

“Plakk!”

Perlahan saja tangan halus Maya Dewi itu menepuk tengkuk, akan tetapi seketika tubuh Kalingga terkulai dan dia pun roboh tak sadarkan diri.

Tentu saja Senopati Poncosakti merasa girang, akan tetapi juga amat kagum dan heran melihat pemuda yang tampan dan gadis yang cantik jelita itu, yang demikian mudahnya merobohkan perwira Mataram. Dia segera memberi hormat dan bertanya.

“Banyak terima kasih atas bantuan andika berdua. Siapakah andika berdua yang sudah membantu kami? Kalau boleh kami mengetahui nama andika berdua yang terhormat.”

Satyabrata mengeluarkan sekeping uang dinar emas lantas memperlihatkannya kepada Poncosakti. “Paman Senopati Poncosakti, apakah andika mengenal ini?”

Poncosakti memandang dan dia terkejut. Dia sudah pernah mendengar bahwa orang yang memegang dinar emas istimewa bergambar singa itu adalah seorang telik-sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda yang berkedudukan tinggi! Dia cepat memberi hormat.

“Ahh, kiranya andika datang dari Jayakarta!”

“Paman Poncosakti, karena mendengar bahwa yang kau lawan itu adalah seorang perwira Mataram dan andika tak ingin membunuhnya, maka kami sengaja membantumu. Namaku Satyabrata dan ini adalah Maya Dewi. Nah, apa yang hendak kau lakukan terhadap orang Mataram ini?”

“Dia membawa surat dari Gusti Pangeran Pekik untuk Sultan Agung yang membujuknya untuk bekerja sama. Oleh karena itu kami ingin mengubah isi surat untuk mendatangkan keretakan antara Mataram dan Surabaya.”

“Bagus sekali. Nah, lakukanlah cepat sebelum orang itu sadar kembali.”

“Hi-hik, jangan khawatir! Sebelum aku kehendaki, dia tidak akan bisa sadar!” Maya Dewi tersenyum.

Poncosakti menjadi girang sekali. Dia pun menghampiri Kalingga yang masih pingsan lalu mengambil gulungan surat dari balik bajunya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)