SERULING GADING : JILID-41


Setelah isinya diubah, surat itu segera dimasukkan kembali ke dalam saku di balik baju Ki Kalingga, kemudian dengan cepat mereka menyingkir dan bersembunyi tidak jauh dari situ untuk mengawasi perwira Mataram itu.

Tak lama kemudian Ki Kalingga tersadar dari pingsannya sebab Maya Dewi memang tidak bermaksud untuk melukai perwira itu. Begitu siuman dia segera meraba ke balik bajunya dan wajahnya kelihatan sangat lega ketika tangannya dapat merasakan bahwa surat dari Pangeran Pekik masih berada di situ. Ki Kalingga segera bangkit berdiri, kemudian menuju kudanya yang berada tidak jauh dari sana. Sejenak kemudian dia sudah memacu kuda itu kembali ke Mataram.

Setelah bayangan Ki Kalingga hilang di tikungan depan dan suara kaki kudanya sudah tak terdengar lagi, dari balik semak-semak dan batang pohon segera bermunculan Senopati Poncosakti, Satyabrata, Maya Dewi serta para prajurit yang tadi bersembunyi mengawasi Ki Kalingga.

“Ha-ha-ha! Agaknya usaha kita sudah berhasil,” kata Senopati Poncosakti sambil tertawa. “Sultan Agung pasti akan marah sekali kepada Pangeran Pekik sehingga perdamaian tidak akan mungkin terjadi.”

Satyabrata tersenyum. “Lalu apa rencana paman selanjutnya? Mungkin aku masih dapat membantu.”

“Aku harus cepat-cepat kembali ke Surabaya supaya tidak menimbulkan kecurigaan,” kata Senopati Poncosakti. “Untuk sementara ini tidak ada yang dapat dilakukan selain menanti kemarahan pihak Mataram terhadap Surabaya.”

“Baiklah, kalau begitu cepatlah paman kembali ke Surabaya,” kata Satyabrata.

Senopati itu lalu pergi bersama tiga orang prajurit Kadipaten Surabaya yang menjadi anak buahnya.....

********************

Bagaimana Satyabrata dapat tiba-tiba berada di tempat itu bersama Maya Dewi kemudian membantu Senopati Poncosakti menundukkan Ki Kalingga? Marilah kita mundur sejenak dan kembali ke perguruan Bromo Dadali, yaitu setelah mereka dapat mengusir Dibyasakti dan berhasil mengatasi peristiwa kebakaran itu, atau sesudah perguruan itu mengadakan pesta untuk menghormati dua orang muda itu.

Sejak pertemuan pertama Ki Ageng Branjang, seorang yang memiliki banyak pengalaman, sudah merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dan tidak wajar ketika bertemu dengan sinar mata Satyabrata. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda tampan itu yang membuat hati Ki Ageng Branjang merasa tak enak dan tidak percaya kepada Satyabrata. Bahkan diam-diam dia mencurigai Satyabrata dengan adanya peristiwa kebakaran yang penuh rahasia itu.

Akan tetapi kenyataannya Satyabrata merupakan sahabat Muryani dan sikapnya berpihak kepadanya. Maka dia hanya menyimpan kecurigaannya dalam hati dan…

“Saya pertama kali bertemu dengan kakangmas Satyabrata ketika saya dikeroyok oleh pembunuh ayah saya yang bernama Darsikun bersama kawan-kawannya. Kakangmas Satyabrata membantuku, kemudian sesudah para penjahat itu berhasil kami basmi, kami lalu saling berkenalan. Bahkan dia juga menemani saya mencari musuh besar saya, yaitu Wiroboyo dan saya dapat membunuhnya. Kami bersahabat dan ketika saya mengatakan kepadanya untuk berkunjung ke sini, dia juga menemani saya. Begitulah perkenalan kami, bapa guru.”

“Dan setelah dari sini kalian hendak ke mana?”

“Saya tidak mempunyai tugas pribadi lagi, bapa guru. Mediang guru kedua saya, yaitu Nyi Rukmo Petak, hanya meninggalkan empat pesan tetapi bukan berupa tugas,” jawab gadis ini.

“Apakah Satyabrata menyuruhmu berjuang membantu Mataram?”

Muryani menggelengkan kepala. “Tidak, bapa guru. Kakangmas Satyabrata berpendapat bahwa permusuhan antara Mataram dan daerah-daerah kadipaten lain merupakan urusan negara dan orang-orang yang memimpinnya, maka kita tidak perlu ikut campur. Kalau pun terpaksa harus mencampuri, kita harus memilih pihak mana yang akan menguntungkan kita. Dan saya setuju dengan pendapatnya itu.”

Ki Ageng Branjang merasa sangat penasaran, akan tetapi dia tidak memperlihatkan pada mukanya.

“Hmm, kalau begitu sesudah dari sini engkau hendak ke mana? Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi.”

“Saya akan ikut dengan kakangmas Satyabrata.”

“Ke mana?”

“Menurut dia, mungkin akan terjadi perang antara Mataram dengan Madura dan Surabaya. Kakangmas Satyabrata mengajak aku untuk menonton perang dan mencari kesempatan agar dapat memperoleh kedudukan yang baik untuk masa depan kami.”

“Kapan kalian hendak pergi?”

“Besok pagi-pagi, bapa guru.”

“Muryani, jawablah. Apakah engkau masih menganggap aku sebagai gurumu yang sudah mendidikmu sejak engkau kecil?”

“Tentu saja, bapa guru!” dengan heran Muryani mengangkat muka memandang wajah Ki Ageng Branjang.

Kakek itu menatap muridnya yang cantik jelita dan dia pun menghela napas panjang. Dia harus melindungi gadis yang sudah yatim piatu ini, gadis yang amat dikasihinya.

“Dan apakah engkau masih mau mantaati dan memenuhi permintaanku, Muryani?”

“Tentu saja! Katakanlah, bapa guru, semua perintah bapa pasti akan saya taati!”

Lega rasa hati Ki Ageng Branjang mendengar ucapan itu. “Aku ingin supaya engkau tidak pergi bersama anakmas Satyabrata!”

Muryani terkejut. “Ehh, akan tetapi kenapa, bapa? Kakangmas Satyabrata adalah seorang pemuda yang baik dan selalu bersikap santun. Selama ini dia tidak pernah berbuat jahat atau memperlakukan saya secara kurang ajar.”

Ki Ageng Branjang tidak mungkin menyatakan perasaan tak enak di dalam hatinya, maka dia menghela napas panjang lalu berkata, “Ahh, anakku, ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa menahanmu di sini. Pertama, aku sedang menderita sakit dan dalam usiaku yang sudah terlalu tua ini akan sukarlah bagiku untuk mengajarkan ilmu kepada saudara-saudara seperguruanmu. Aku melihat kedigdayaan yang kau miliki telah maju begitu pesat selama engkau meninggalkan tempat ini, maka aku ingin engkau dapat menggantikan aku untuk sementara waktu, mengajarkan kepadaianmu di sini. Hal kedua yang membuat aku menahanmu di sini ialah mengenai Dibyasakti. Aku khawatir dia akan datang lagi dengan membawa pasukan dan orang-orang yang memiliki kesaktian. Kalau kekhawatiranku kelak menjadi kenyataan, bukankah perguruan Bromo Dadali akan musnah di tangan mereka?”

“Jangan khawatir, bapa! Saya tidak akan pergi, saya akan tinggal di sini untuk memenuhi permintaan bapa, saya akan mengajarkan kedigdayaan kepada para saudara seperguruan dan kalau si jahanam itu berani muncul lagi, akan kuhancurkan kepalanya!”

“Ahh, benarkah engkau mau tinggal di sini, Muryani?” kata Ki Ageng Branjang girang.

“Benar, bapa. Hanya... ahh... kakangmas Satyabrata tentu merasa kecewa sekali...”

“Diajeng Muryani, mengapa aku harus merasa kecewa?” terdengar suara dari luar pintu.

“Ahh, masuklah, anakmas Satyabrata,” Ki Ageng Branjang mempersilakan, biar pun diam-diam dia merasa tidak senang. Dia sedang bicara berdua dengan muridnya, dan pemuda yang hanya menjadi tamu itu mendadak datang mengganggu.

“Permisi, paman,” Satyabrata berkata dengan sikap hormat sambil melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Ki Ageng Branjang mempersilakan dia duduk.

“Wah, kebetulan sekali engkau datang ke sini, kakangmas. Memang baru saja aku hendak mencarimu untuk memberi-tahukan sesuatu.”

“Memberi-tahu sesuatu yang akan membuatku kecewa, begitu maksudmu, diajeng? Maaf, tadi aku sempat mendengar ucapanmu ketika lewat di depan pintu.”

Ki Ageng Branjang merasa tak enak hati untuk ikut mendengarkan percakapan dua orang muda-mudi itu, maka dia segera berdiri dan berkata, “Aku hendak beristirahat dulu. Biarlah kalian berbincang-bincang berdua saja.”

Tanpa menunggu jawaban, kakek ini sudah melangkah masuk menuju kamarnya. Begitu Ki Ageng Branjang lenyap dari pandangan, Satyabrata segera membuka percakapan,

“Diajeng, rasanya tidak perlu lagi aku menyatakan perasaanku kepadamu, karena engkau pasti sudah tahu bahwa aku mencintamu. Jika engkau berkenan, aku ingin menyuntingmu menjadi isteriku.”

Wajah Muryani segera berubah kemerahan. Selama melakukan perjalanan bersama, baik dari kata-kata mau pun perlakuan pemuda itu kepadanya, memang Muryani dapat merasa bahwa Satyagraha jatuh cinta kepadanya. Walau pun dia juga tertarik terhadap pemuda tampan itu tetapi dia masih merasa ragu akan perasaannya sendiri. Tiba-tiba seraut wajah terbayang di depan matanya. Parmadi!

“Kakang Satya...” katanya sesudah terdiam beberapa lama. “Terus terang saja sekarang aku... aku belum memikirkan hal itu. Bahkan aku belum tahu cinta itu seperti apa.”

“Aku tidak memaksamu menjawab sekarang. Akan tetapi aku mohon dengan sangat, jika nanti aku datang lagi ke sini kuharap engkau telah siap untuk menjawab. Apa bila engkau sudi menerimanya, aku ingin mempersuntingmu menjadi isteriku, diajeng.”

“Mudah-mudahan pada waktu itu aku dapat memberi kepastian kepadamu, kakangmas.”

Begitulah, Satyabrata yang mencintai Muryani dengan sungguh-sungguh itu merasa amat kecewa karena dia belum memperoleh kepastian dan tidak mendapat kesempatan untuk merayu dan bermesraan dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Dia tidak berani memperlihatkan watak aslinya, tetapi tetap bersikap sopan santun karena dia benar-benar mengharapkan agar dapat menjadi suami dari gadis yang amat dicintainya itu.

Di dalam dunia ini hanya ada dua gadis yang benar-benar dapat merebut cinta kasihnya secara mendalam. Yang pertama adalah Elsye Van Huisen, puteri Williem Van Huisen di Cirebon, kekasihnya ketika remaja. Dan yang ke dua adalah Muryani.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika fajar baru saja menyingsing, berangkatlah Satyabrata meninggalkan perguruan Bromo Dadali, diantar sampai ke depan pintu pagar oleh Muryani dan Ki Ageng Branjang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)