SERULING GADING : JILID-42
Keesokan harinya, ketika Satyabrata sedang enak-enak menjalankan perahunya dengan perlahan, dari sebuah anak sungai di depannya tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak kemudian muncul sebuah perahu kecil. Mata Satyabrata yang tajam segera dapat melihat bahwa penumpang perahu itu adalah seorang wanita muda bertubuh ramping.
Wanita itu menaiki perahu kecilnya seorang diri dengan mengikuti aliran air sungai. Tetapi yang menarik perhatian Satyabrata bukan hanya itu. Hanya kira-kira tujuh delapan tombak jauhnya nampak empat buah perahu yang masing-masing ditumpangi dua orang laki-laki yang terlihat kasar. Mereka inilah yang berteriak-teriak sambil mendayung perahu mereka untuk melakukan pengejaran terhadap perahu kecil dara itu.
“Berhenti! Berhenti! Minggir...!” Teriak mereka dan jelas bahwa yang diteriaki adalah dara berperahu kecil itu.
Akan tetapi Satyabrata melihat betapa dara itu seolah tidak tahu bahwa perahunya dikejar. Dia tampak tenang-tenang saja mendayung perahunya. Satyabrata mulai merasa khawatir karena dia dapat menduga bahwa empat buah perahu yang mengejar itu tidak bermaksud baik.
Karena dara itu hanya menjalankan perahunya dengan perlahan, sementara empat perahu yang mengejar dikayuh dengan secepatnya, tidak lama kemudian perahu dara itu sudah tersusul. Sambil terus berteriak-teriak penumpang keempat perahu itu segera mengepung kemudian menggiring perahu kecil itu ke pinggir sungai.
Satyabrata melihat dara itu sudah melompat ke darat, diikuti delapan orang penumpang perahu yang mengejar itu. Dia pun segera meminggirkan perahunya kemudian melompat ke darat dan bersembunyi di balik batang pohon. Diam-diam dia mengawasi dara itu.
Dara itu tampak berusia sekitar tujuh belas tahun, tapi mata Satyabrata yang sudah amat berpengalaman bisa melihat bahwa usianya tentu lebih dari itu. Wajahnya cantik jelita dan pinggangnya yang ramping dibelit dengan sabuk berwarna keemasan dan mengkilap indah sekali. Dara itu bukan lain adalah Maya Dewi!
Seperti kita ketahui, Nini Maya Dewi adalah puteri Resi Koloyitmo yang pernah menduduki Candi Sukuh. Pada saat Parmadi dan penduduk dusun Sukuh menyerbu, Resi Koloyitmo menyuruh puterinya itu melarikan diri dan membantu Madura bila mana Madura berperang melawan Mataram.
Akan tetapi Nini Maya Dewi melakukan perjalanan dengan seenaknya. Dia memang suka berpesiar, maka dia tidak langsung menuju ke Madura. Dia melakukan perjalanan seorang diri dan memuaskan diri dengan mengunjungi tempat-tempat yang indah, bahkan dia lalu berperahu mengikuti aliran Kali Brantas.
Memang dia banyak mendapat gangguan dari para laki-laki iseng dalam perjalanan karena dia memang cantik jelita dan sikapnya centil seolah dia adalah seorang gadis murahan. Akan tetapi entah berapa banyak laki-laki yang berani kurang ajar kepadanya mati dengan mengerikan akibat terkena pukulan mautnya!
Demikianlah, pada siang itu ketika dia sedang menikmati luncuran perahunya, perlahan-lahan menikmati pemandangan alam di kanan kiri Kali Brantas, tiba-tiba saja ada delapan orang dalam empat perahu itu yang memaksanya mendarat dan sekarang delapan orang laki-laki itu sudah mengepungnya.
Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, tubuh mereka kokoh kuat dan sikap mereka tampak bengis. Mudah diduga bahwa mereka adalah segerombolan orang-orang kasar yang biasa bertindak sewenang-wenang memaksakan kehendaknya dengan landasan kekasaran dan kekuatan mereka.
Salah seorang di antara mereka yang berdiri berhadapan dengan Nini Maya Dewi adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan otot-otot yang melingkar-lingkar pada lengannya, mukanya hitam burik (bopeng) dan kumisnya melintang sekepal sebelah, perutnya gendut. Dia tertawa bergelak sesudah puas mengamati wajah dan tubuh dara di depannya itu.
“Ha-ha-ha-ha!” Laki-laki yang bernama Kalacemeng dan menjadi pemimpin gerombolan itu tertawa bergelak. “Sungguh besar rejeki kita hari ini. Gadis seperti inilah yang patut untuk menjadi isteri Kalacemeng,” katanya kepada anak-anak buahnya sambil menepuk dada.
“Kita mengicar itik tapi mendapat angsa. Ha-ha-ha!” kata salah seorang anak buah itu.
“Ha-ha-ha...! Bukan angsa melainkan bidadari,” sambung seorang anak buah lainnya yang matanya buta sebelah.
Nini Maya Dewi tersenyum manis sekali. Tak seorang pun di antara delapan laki-laki kasar itu tahu bahwa kalau Maya Dewi sudah tersenyum seperti itu, senyum yang sangat manis namun juga mengandung ejekan dengan ujung bibir bawah dicebikan ke samping, berarti dara itu sudah dalam keadaan marah sekali dan pandang matanya seperti seekor harimau betina yang haus darah.
Dara ini merasa sangat muak. Pandang mata delapan orang itu seperti menelanjangi dan menggerayangi seluruh tubuhnya. Walau pun delapan orang yang mengepungnya berdiri dalam jarak dua meter darinya, namun dia sudah mencium bau-bau apek, ledis dan busuk dari tubuh dan mulut mereka.
“Ha-ha-ha-ha, cah ayu denok montrok-montrok! Mari kugendong pekeh, mari kugendong di pundak! Kalau engkau dengan suka rela mau menjadi isteriku, minta apa pun akan kuberi dengan senang hati!” kata pula kepala gerombolan yang bernama Kalacemeng itu.
“Hemm, Kalacemeng, benarkah engkau akan memberikan padaku segala yang kuminta?” terdengar Maya Dewi bertanya dengan suara bening merdu dan terdengar manja.
Makin gembiralah delapan orang itu dan semua tertawa ha-ha he-he. Maya Dewi terpaksa menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya untuk menjepit bagian bawah hidungnya agar bau yang tersebar dari mulut orang-orang itu tidak sampai tercium olehnya.
Satyabrata yang mengintai di balik batang pohon sudah siap untuk menolong apa bila dara itu terancam bahaya. Namun begitu melihat sikap Kalacemeng, dara itu berseru nyaring, “Jahanam biadab! Serahkan isi kepalamu!”
Tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali, tidak bisa diikuti pandang mata Kalacemeng yang hendak menubruk. Tahu-tahu tangan kiri Maya Dewi sudah menyambar, merupakan tamparan yang mengandung tenaga sakti, yang akan mampu menghancurkan sebongkah batu hitam yang keras!
“Wuuutttt...! Prakkk!”
Tubuh dara itu cepat melompat ke belakang supaya tidak terkena isi kepala yang muncrat berhamburan! Tubuh Kalacemeng berkelojotan sebentar, lalu diam tak bergerak lagi.
Dari mulut yang mungil manis itu terdengar suara melengking berulang kali, “Hyaaatttt...!”
Tujuh orang itu berturut-turut roboh berpelantingan dan tak mampu bangkit kembali karena mereka sudah tewas dengan muka berubah menghitam. Mereka menjadi korban pukulan Wisa Sarpa (Racun Ular) yang sangat ampuh.
Sesudah delapan orang itu tergeletak menjadi mayat, Maya Dewi berdiri di tengah sambil tertawa, kemudian mendadak dia membalikkan tubuhnya ke arah pohon di belakang mana Satyabrata bersembunyi mengintai.
“Hei, kamu yang bersembunyi di belakang batang pohon! Keluarlah dan bersiaplah untuk mati menyusul kawan-kawanmu!” bentak Maya Dewi.
Satyabrata yang semenjak tadi menonton dengan penuh kagum, segera muncul dari balik batang pohon sambil tersenyum. Dia mengatur perasaannya sehingga tidak menunjukkan gairah birahinya, melainkan segera memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan, membungkuk dan berkata dengan sikap dan pandang mata sopan.
“Maafkan aku, neng,” katanya dalam bahasa Sunda karena tadi dia mendengar gadis itu bicara dan logat bicaranya menunjukkan dia adalah seorang gadis Sunda. “Aku bukanlah kawan gerombolan ini. Aku kebetulan lewat di sini, kemudian melihat andika mengamuk dan merobohkan mereka. Andika sungguh hebat bukan main!” Ucapan ini bukan sekedar untuk menyenangkan hati gadis itu, tetapi memang diucapkan dengan sejujurnya.
Maya Dewi tertegun sejenak. Sungguh dia tidak menduga bahwa orang yang bersembunyi di balik batang pohon itu ternyata adalah seorang pemuda berwajah tampan yang memiliki senyum demikian memikat. Seperti Arjuna!
Akan tetapi dia cepat mengeraskan hatinya. Apa artinya pemuda ganteng kalau dia hanya seorang yang lemah? Tidak pantas untuk menjadi sahabatnya.
“Hmm, siapa percaya omongan manismu? Kau kira dengan wajah tampan, senyum manis dan sikap lembut itu akan dapat kau pakai untuk mengelabui aku?”
Satyabrata tersenyum gembira. Gadis ini sungguh hebat!
“Terima kasih andika menganggap aku tampan. Sebaliknya aku pun menganggap andika seorang yang cantik jelita, ayu manis dan sakti mandraguna!”
Maya Dewi mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya dia merasa senang, akan tetapi dia tak ingin dianggap gadis murahan.
“Rayuan gombal! Mampuslah!” Dia pun segera melompat dan tangannya menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Dengan tenang Satyabrata melangkah ke kanan sambil menunduk sehingga tangan gadis itu hanya lewat di atas kepalanya. Hidung pemuda ini dapat mencium aroma harum yang mengiringi ayunan tangan dara cantik itu. Dia tidak ingin menundukkan wanita ini dengan kekerasan karena hal itu dapat membuat gadis yang menarik hatinya ini menjadi marah, akan tetapi dia pun tidak ingin dikalahkan dengan begitu saja.
Oleh karena itu dia segera menggunakan ilmu meringankan tubuh yang disebut Tunggang Maruto, dia melayani semua serangan Maya Dewi. Dia mengelak dengan cepat sehingga semua serangan gadis itu tidak pernah mampu menyentuh tubuhnya. Kadang-kadang dia menangkis dari samping dan setiap kali lengannya bertemu dengan dengan lengan gadis itu, Maya Dewi segera mengeluh, tubuhnya terhuyung dan lengannya terasa nyeri.
Sesudah mereka bertanding belasan jurus lamanya, Maya Dewi tidak kuat bertahan lagi karena kedua lengannya telah nyeri semua. Mendadak tampak sinar keemasan berkelebat dan dia sudah meloloskan senjatanya yang sangat istimewa, yaitu Sabuk Cinde Kencana yang selalu melilit pinggangnya yang ramping!
“Neng geulis (nona cantik), aku tidak ingin bermusuhan denganmu, sebaliknya aku malah ingin bersahabat denganmu,” kata Satyabrata begitu melihat gadis itu memegang senjata. Dia bukan takut menghadapi sabuk keemasan itu melainkan tidak ingin keadaan menjadi bertambah parah.
Namun Maya Dewi tidak mempedulikan ucapan pemuda itu. Kini dia telah menyerang lagi, kali ini dengan mengayun sabuknya yang menyambar dahsyat sambil mengeluarkan sinar keemasan, sekaligus mengincar beberapa anggota tubuh lawan yang berbahaya.
Karena maklum betapa ampuhnya senjata gadis itu, Satyabrata terpaksa mencabut keris pusakanya dari ikat pinggang. Nampak sinar kehitaman berkilap pada saat keris pusaka Ilat Nogo (Lidah Naga) tercabut dan berada di tangannya. Melihat sabuk bersinar emas itu menyambar ke arah kepalanya dari atas, Satyabrata cepat menangkis dengan kerisnya.
“Singgg...! Tranggg...!”
Dua senjata bertemu, bunga api berpijar diiringi suara nyaring dan Maya Dewi mundur ke belakang karena tangannya yang memegang sabuk tergetar hebat. Akan tetapi dia makin penasaran dan menyerang lagi dengan nekat.
Satyabrata melayaninya hingga belasan jurus, mengelak dan menangkis, tetapi tentu saja dia tak ingin melukai dara yang membuatnya tergila-gila itu dengan kerisnya yang ampuh. Dia menanti datangnya kesempatan untuk mengalahkan gadis itu tanpa menciderainya.
Kesempatan itu terbuka bagi Satyabrata ketika ujung sabuk itu tiba-tiba melibat kerisnya. Agaknya Maya Dewi hendak merampas keris Ilat Nogo itu dengan libatan sabuknya. Akan tetapi kesempatan ini justru dimanfaatkan oleh Satyabrata dengan baik.
Ia membiarkan kerisnya terbelit ujung sabuk dan secepat kilat tangan kirinya menyambar sambil jari tangannya mengetuk siku kanan Maya Dewi.
“Aiihhh...!” Maya Dewi menjerit, tangan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan di lain saat sabuk cindenya telah terampas oleh Satyabrata.
Dengan ramah dan sopan Satyabrata menyodorkan tangannya, mengembalikan sabuk itu. “Maafkan aku, neng geulis,” katanya sambil tersenyum.
Memang pemuda ini sangat tampan, apa lagi ketika tersenyum seperti itu. Kepandaiannya pun amat tinggi sehingga sudah dapat mengalahkan Maya Dewi. Maka tak mengherankan jika Maya Dewi tidak menjadi marah bahkan menerima sabuknya dengan tersenyum pula.
“Siapakah andika yang memiliki ilmu kanuragan demikian tinggi?” tanyanya.
“Ah, tidak enak sekali jika kita bicara dengan dikelilingi mayat-mayat ini. Bagaimana kalau kita mencari sebuah tempat yang lebih enak untuk mengobrol?”
Maya Dewi tidak bisa menolak ajakan pemuda tampan yang menarik hatinya itu, maka dia pun mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, tadi aku melihat salah seorang perampok itu mengikat perahuku di sana,” katanya sambil menunjuk tepi sungai.
“Supaya mudah, biarlah perahuku kutinggalkan saja di sini. Mudah-mudahan andika tidak keberatan jika aku ikut dalam perahumu,” kata Satyabrata sambil mulai melangkah ke tepi sungai, diikuti oleh Maya Dewi.
Tidak lama kemudian keduanya sudah berada di atas perahu yang mulai hanyut terbawa aliran air Sungai Brantas itu.....
Komentar
Posting Komentar