SERULING GADING : JILID-43


Maya Dewi menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam dan menyelidik, bibirnya tersenyum. “Ingin benarkah engkau berkenalan dan bercakap-cakap denganku?”

“Tentu saja! Kesempatan yang seindah ini belum tentu bisa kutemui sepuluh tahun sekali, berkenalan dengan dara sehebat engkau. Jika aku tidak benar-benar ingin, masa aku rela menghadapi bahaya maut diterjang sabuk cinde kencanamu itu?”

Maya Dewi tertawa. Tawanya bebas lepas dan ketika mulutnya terbuka, terlihatlah deretan gigi putih berbaris rapi bagaikan mutiara, rongga mulut yang sehat kemerahan dan ujung lidah yang merah muda sehingga Satyabrata yang pada dasarnya memang berwatak mata keranjang itu memandang penuh pesona.

Dara itu mendayung perahunya ke tepi. Satyabrata melompat ke darat kemudian menarik perahu itu, menambatkan talinya di sebuah batu. Mereka berdua lalu duduk berhadapan di atas bebatuan yang banyak terdapat di tepi pantai itu.

“Nah, sekarang apa yang hendak engkau bicarakan denganku?” tanya Maya Dewi sambil matanya yang bening memandang pemuda itu dengan berani dan menantang, sinar mata yang mengandung kegenitan walau pun sesungguhnya pada waktu itu Maya Dewi adalah seorang gadis yang belum pernah menyerahkan diri kepada seorang pria karena selama ini dia belum pernah bertemu dengan pria yang dianggap cukup berharga untuk mendekati dirinya.

Akan tetapi pada dasarnya puteri Resi Koloyitmo ini memiliki watak yang tak jauh bedanya dengan watak ayahnya, yaitu mata keranjang! Begitu bertemu dengan Satyabrata, segera saja dia terpikat, apa lagi sesudah mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lebih sakti dari pada dirinya.

Satyabrata tersenyum. “Seperti biasanya orang yang saling berkenalan dan bersahabat, tentunya saling menanyakan nama, tempat tinggal dan keterangan lain mengenai dirinya.”

“Hmm...!” Maya Dewi menjebi sambil tersenyum. “Engkau adalah seorang lelaki, lagi pula engkau yang pertama mengajak berkenalan, maka sudah sepantasnya kalau engkau yang memperkenalkan diri terlebih dahulu,” katanya.

“Ha-ha-ha!” Satyabrata tertawa melihat kecerdikan gadis itu. “Engkau benar. Memang aku yang harus memperkenalkan diri terlebih dulu. Nah, namaku Satyabrata dan aku seorang sebatang kara yang sedang merantau untuk mencari pengalaman.”

“Merantau? Merantau ke mana?” tanya gadis itu.

“Merantau ya... merantau. Ke mana saja kakiku melangkah, ke sanalah aku pergi,” jawab Satyabrata sambil tersenyum.

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Akan tetapi sekarang engkau sedang menuju ke mana?”

“Sekarang aku sedang menuju ke Surabaya,” jawab Satyabrata secara terus terang.

“Mau apa engkau ke Surabaya?” Maya Dewi terus mendesak.

Satyabrata menjadi agak bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi kecerdikannya membuat dia dapat menjawab dengan lancar.

“Ahh, aku hanya ingin menambah pengalaman. Aku mendengar bahwa Mataram hendak menyerbu Madura dan Surabaya. Aku ingin menonton keramaian itu, aku ingin menonton perang.”

“Hemm, mengapa perang ditonton? Agaknya... engkau ini orang Mataram, ya?”

Pandang mata Satyabrata yang amat tajam melihat betapa ketika mengucapkan kata-kata itu, tangan dara itu terkepal dan tubuhnya menegang seperti orang yang tengah siap siaga menghadapi musuh. Hal ini menggembirakan hatinya. Agaknya gadis ini bukan orang yang berpihak kepada Mataram, pikirnya.

Maka dia pun menjawab dengan kata-kata bernada memancing. “Ahh, sama sekali bukan. Bahkan aku tidak senang melihat kemurkaan Mataram yang hendak menaklukkan seluruh daerah!”

Wajah Maya Dewi berseri-seri, senyumnya semakin cerah. “Bagus sekali jika begitu! Aku pun tidak suka kepada Mataram, bahkan aku ingin membantu Madura jika kelak Mataram menyerangnya.”

Bukan main girangnya hati Satyabrata mendengar ini. Gadis ini adalah seorang yang satu haluan dengannya sehingga boleh dijadikan sahabat.

“Syukurlah kalau kita sama-sama menentang Mataram. Tetapi kurasa sudah tiba saatnya giliranmu untuk memperkenalkan dirimu kepadaku.”

Maya Dewi tertawa kenes. “Hi-hik, aku hampir lupa. Namaku Maya Dewi...”

“Aduh, alangkah indahnya nama itu. Pantas benar dengan orangnya yang memang seperti seorang dewi turun dari kahyangan!”

“Rayuan gombal lagi, ya? Aku tidak suka gombal-gombalan!” Maya Dewi merajuk sambil cemberut dengan manja.

“Maaf. Aku bukannya merayu melainkan berbicara dengan sejujurnya, tulus keluar dari hati sanubariku. Nah, lanjutkanlah.”

“Tadinya aku melakukan perjalanan bersama ayahku yang berjuluk Resi Koloyitmo...”

“Wah, Resi Koloyitmo yang berasal dari Parahyangan itu? Bukan main! Ayahmu seorang yang sakti mandraguna!” kata Satyabrata, benar-benar terkejut setelah mengetahui bahwa ayah gadis ini ternyata bukan orang sembarangan.

“Apakah engkau kenal dengan ayahku?” tanya Maya Dewi sambil menatap tajam.

“Aku belum punya rejeki untuk bertemu dengan ayahmu, tapi aku sudah sering mendengar namanya disebut orang. Ayahmu sangat terkenal dan kabarnya beliau sakti mandraguna,” jawab Satyabrata.

Maya Dewi tersenyum girang. Bagaimana pun juga dia merasa bangga karena pemuda ini memuji ayahnya. “Nah, sekarang kulanjutkan kisahku tadi. Ketika sampai di dusun Sukuh, aku berpisah dengan ayahku lalu merantau sendiri ke utara hingga akhirnya tiba di sini dan bertemu denganmu.” Maya Dewi sengaja tidak mau menuturkan sebab musabab dia harus berpisah dengan ayahnya. Setelah berdiam sejenak akhirnya dia menghela napas panjang dan berkata, “Ahh, jadi engkau hendak ke Kadipaten Surabaya?”

Satyabrata mengangguk. “Ya, aku memang sedang menuju ke sana,” jawabnya.

“Aku tidak percaya kalau kau hanya hendak menonton perang di sana,” kata Maya Dewi sambil menatap dengan pandang mata menyelidik.

Sekarang Satyabrata sudah merasa yakin bahwa gadis di depannya ini adalah orang yang satu haluan dengannya. Maka sambil tersenyum dia merogoh kantong bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah benda yang segera disodorkan kepada Maya Dewi. Ternyata benda itu adalah dinar emas yang selalu disimpannya di dalam kantong bajunya.

“Lihatlah benda ini,” katanya.

Maya Dewi menjulurkan tangannya dan mengambil dinar emas itu dari tangan Satyabrata, mengamatinya dengan heran. “Benda apakah ini? Indah sekali ukiran gambarnya!”

“Ketahuilah, Dewi. Dinar emas ini berasal dari pemberian kumpeni Belanda yang berada di Batavia. Pemegang dinar emas ini memperlihatkan bahwa dia adalah seorang utusan dan kepercayaan kumpeni yang mempunyai kedudukan dan akan dianggap sebagai pemimpin oleh semua telik sandi kumpeni yang tersebar di mana-mana.”

Maya Dewi terkejut dan matanya terbelalak memandang kepada Satyabrata. “Ihhh...! Jadi engkau seorang utusan kumpeni Belanda, Akang Satya? Akan tetapi mau apa engkau ada di sini?”

“Begini, Dewi,” kata Satyabrata dengan wajah sungguh-sungguh. “Seperti yang kukatakan tadi, memang benar aku hendak ke Surabaya untuk menonton perang, tapi bukan sekedar menonton melainkan untuk mengamati dan menyelidiki keadaan. Itulah tugasku sebagai seorang pemimpin telik sandi kumpeni.”

“Ahh, ternyata engkau adalah orang penting yang berkedudukan tinggi,” kata Maya Dewi sambil menyodorkan kembali dinar emas itu kepada Satyabrata.

Pemuda ini mengulurkan tangan dan mengambil dinar emas di tangan Maya Dewi. Ketika mengambilnya, tangannya bersentuhan dengan tangan gadis itu dan Satyabrata sengaja memegang tangan yang berkulit lembut dan hangat itu, seperti berjabat tangan.

Tapi Maya Dewi membiarkannya saja. Bahkan ketika jari-jari tangan pemuda itu menekan tangannya, dia pun balas menekan.

Satyabrata girang bukan main. Pergi menentang Mataram bersama Maya Dewi yang juga menentang Mataram berarti dia mendapat seorang kawan yang sehaluan, tidak seperti jika dia pergi bersama Muryani yang mungkin malah akan menjadi penghalang baginya.

Agaknya Maya Dewi ini pun bukan seorang gadis pemalu seperti Muryani. Dia tentu akan menyambut dan melayaninya bila diajak bersenang-senang. Akan tetapi Satyabrata yang cerdik itu tidak ingin gagal dalam hubungannya dengan Maya Dewi. Dia tak boleh tergesa-gesa sebelum merasa yakin bahwa gadis ini mau membalas cintanya.

Maka dia melepaskan pegangannya dan berkata, “Maya Dewi, mulai sekarang kita sudah menjadi sahabat baik. Mudah-mudahan kita bisa bekerja sama dan saling membantu. Mari kita berangkat ke Kadipaten Surabaya.”

Mereka terpaksa meninggalkan perahu kecil itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke arah Surabaya.

Demikianlah, seperti yang sudah diceritakan di bagian depan, secara kebetulan Satyabrata dan Maya Dewi melihat Poncosakti bertanding melawan Kalingga yang membawa surat dari Pangeran Pekik untuk Sultan Agung.

Dengan bantuan mereka akhirnya Senopati Poncosakti berhasil membuat perubahan pada isi surat itu dan meninggalkan Kalingga yang pingsan dalam keadaan seakan-akan sudah dirampok dan meninggalkan gulungan surat yang sudah diubah isinya sehingga Kalingga dapat membawanya ke Mataram.....

********************

Sementara itu Tumenggung Alap-alap dan Ki Katawangen, setelah menyerahkan gulungan surat dari Pangeran Pekik kepada Kalingga untuk disampaikan kepada Sultan Agung, lalu mengambil jalan raya untuk kembali ke Mataram. Mereka melakukan ini untuk memancing perhatian orang-orang yang mungkin akan memusuhinya dan menghalanginya, agar pihak musuh itu mengejar mereka berdua dan Ki Kalingga dapat selamat tanpa rintangan.

Setelah setengah hari berjalan dan ketika tiba di sebuah tempat yang amat sunyi di pinggir hutan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara banyak kaki kuda yang dibedal dengan cepat. Tumenggung Alap-alap dan Ki Katawangen berhenti melangkah lalu menengok ke arah belakang. Mata mereka yang amat tajam dapat melihat bahwa serombongan prajurit berkuda sedang membalapkan kuda mereka ke arah mereka, maka mereka cepat-cepat menuju pinggir jalan kemudian berdiri di situ menantikan rombongan itu melewati mereka. Akan tetapi, ketika rombongan yang terdiri dari dua belas orang prajurit itu tiba di situ, tiba-tiba mereka menghentikan kuda-kuda mereka lalu mengambil kedudukan mengepung.

Maka Tumenggung Alap-alap dan Ki Katawangen segera dapat menduga bahwa agaknya dua belas orang prajurit ini adalah orang-orang yang sengaja diutus untuk menghalangi mereka kembali ke Mataram. Namun mereka pura-pura tidak tahu dan Tumenggung Alap-alap segera bertanya,

“Kalian ini prajurit manakah dan apa sebabnya kalian menghadang perjalanan kami?”

Seorang di antara dua belas orang itu, yang bertubuh tinggi besar gendut dan mukanya brewok, mengamangkan pedangnya kemudian berseru galak, “Kami prajurit dari Kadipaten Surabaya, melaksanakan perintah Gusti Pangeran untuk menangkap kalian berdua supaya dapat dibawa kembali ke kadipaten!”

Tumenggung Alap-alap terkejut juga dan merasa heran. Ternyata bukan pihak lain, bahkan utusan Pangeran Pekik sendiri.

“Akan tetapi mengapa? Tadi Gusti Pangeran menerima kami dengan baik dan ramah. Apa kesalahan kami maka kini kalian diutus untuk menangkap kami?” tanyanya penasaran.

“Babo-babo! Ketahuilah, kami sudah mendapat perintah untuk membunuh kalian apa bila kalian membangkang!” seru perwira brewok itu, sesuai dengan siasat yang sudah diatur sebelumnya oleh Senopati Poncosakti.

Dua belas orang itu sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka, kemudian terjadilah pertempuran. Tumenggung Alap-alap dan Ki Katawengan dikeroyok dua belas prajurit itu. Mereka berdua sudah mencabut keris dan terdengarlah suara nyaring berdenting ketika mereka menangkis hujan senjata dari para pengeroyok mereka.

Tumenggung Alap-alap adalah seorang senopati Mataram yang sakti dan Ki Katawengan juga seorang perwira yang tangguh, maka dua belas orang prajurit itu bukan merupakan lawan yang berarti bagi mereka. Kalau mereka menghendaki, dalam waktu sebentar saja dua belas orang prajurit itu dapat mereka binasakan semua.

Akan tetapi mereka maklum bahwa prajurit-prajurit itu hanya orang-orang suruhan belaka, sebab itu keduanya tidak mau menurunkan tangan maut melainkan berusaha merobohkan tanpa mengakibatkan luka parah. Tentu saja hal ini bukan pekerjaan yang mudah, maka meski pun sudah berjalan cukup lama tetapi pertempuran itu masih terus berlangsung.

Akan tetapi, ketika kedua belas orang pengeroyok itu mulai kewalahan dan mereka semua sudah pernah roboh terpelanting, dan pemimpin pasukan itu ingin memberi aba-aba untuk melarikan diri karena tugas mereka pun hanyalah untuk mengganggu dan mengaku diutus oleh Pangeran Pekik untuk menangkap dua orang perwira Mataram itu, tiba-tiba ada suara lembut namun terdengar jelas oleh mereka yang sedang bertempur.

“Hmm, di mana pun orang-orang Mataram selalu bertindak sewenang-wenang!” Kemudian sesosok bayangan melayang ke arah Tumenggung Alap-alap dan Ki Katawengan.

Begitu kakinya menginjak tanah, bayangan ini segera menyerang kedua perwira Mataram dengan sepasang tangannya, yang kanan menyambar ke arah kepala Tumenggung Alap-alap sedangkan yang kiri menghantam dada Ki Katawengan.

Diserang secara mendadak seperti itu, tentu saja kedua perwira itu menjadi terkejut bukan main. Tetapi sebagai orang-orang yang telah berpengalaman dalam pertempuran, mereka tidak menjadi gugup dan segera mengelak dengan melompat jauh ke belakang.

Dua orang perwira Mataram itu amat terkejut. Melihat cara bayangan tadi menyerang, jelas orang ini memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, dan mendengar ucapannya yang mencela tadi, terang dia berada di pihak yang menentang Kerajaan Mataram. Maka mereka segera bersiap dengan sikap waspada untuk menghadapi seorang lawan tangguh, yang ternyata adalah seorang kakek yang memegang seuntai tasbeh berwarna hitam.

Akan tetapi kakek itu agaknya tidak mau membuang waktu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata dia sudah menyerang lagi, kali ini dua tangannya menyambar kepada Ki Katawengan.

Perwira Mataram ini kaget bukan main. Cepat dia miringkan kepala untuk menghindar dari tangan kanan kakek itu yang menampar pelipisnya, ada pun tangan kanannya digerakkan untuk menangkis tangan kiri lawan yang hendak menghantam dadanya.

Namun dia menjadi lebih terkejut lagi ketika tangan kanan lawan mendadak diputar begitu rupa kemudian menghantam dada kirinya. Dengan tangan kirinya Ki Katawengan berusaha untuk menepis serangan itu, tapi kekagetannya tadi sudah membuat gerakannya menjadi agak terlambat sehingga pukulan itu tetap menghantam dadanya.

Tubuh Ki Katawengan terpental dengan tulang iga patah-patah dan mulut menyemburkan darah. Seketika itu pula nyawanya sudah melayang dari raganya.

Melihat keadaan Ki Katawengan, Tumenggung Alap-alap segera maklum bahwa perwira bawahannya itu sudah tewas. Dia menjadi marah sekali.

“Siapakah andika yang berani menyerang dan membunuh utusan Kanjeng Sultan Agung?” Tumenggung Alap-alap sengaja menyebut nama Sultan Agung agar dapat mempengaruhi penyerang itu.

“Hemm, justru karena kalian ini utusan Sultan Agung, maka aku akan membunuhmu. Aku adalah Kyai Sidhi Kawasa yang mewakili Kerajaan Banten untuk membantu Surabaya dan Madura dalam menghadapi serbuan Mataram yang angkara murka!”

Tumenggung Alap-alap sangat terkejut. Bukan hanya karena dia sudah pernah mendengar nama besar Kyai Sidhi Kawasa sebagai datuk sakti mandraguna dari Banten, akan tetapi terutama sekali melihat kenyataan bahwa tampaknya Surabaya bersekutu dengan Banten untuk menentang Mataram! Tentu saja dia sama sekali tak mengetahui bahwa pengakuan Kyai Sidhi Kawasa ini sejalan dengan siasat Poncosakti yang tidak ingin melihat Surabaya berdamai dengan Mataram.

“Babo-babo, Kyai Sidhi Kawasa! Jangan mengira kami gentar dengan gertak sambalmu!” bentak Tumenggung Alap-alap dan bersama Ki Katawengan dia lalu bersiap-siap melawan kakek dari Banten itu.

“He-he-heh, bersiaplah untuk mampus!” Kyai Sidhi Kawasa menggerakkan untaian tasbeh hitam di tangan kirinya.

“Rrriiiikkk-tik-tik-tik...!”

Suara berkeritikan ini sangat nyaring seolah menembus telinga dan mengguncang jantung dua orang perwira Mataram. Tumenggung Alap-atap amat terkejut, maklum bahwa kakek itu seorang yang sakti mandraguna dan menyerang dengan kesaktian yang ampuh itu. Dia cepat mengerahkan tenaga dalam dan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara tasbeh itu, sementara tangannya sudah mencabut keris yang terselip pada pinggangnya.

Baru saja keris itu tercabut, mendadak dia melihat ada sinar hitam berkelebat menyambar ke arah kepalanya. Cepat dia mengangkat kerisnya untuk menangkis serangan lawan.

“Singggg...! Trakk!”

Keris itu terlepas dari tangannya dan terlempar. Kernbali sinar hitam menyambar ke arah kepala senopati Mataram itu dan kali ini Tumenggung Alap-alap hanya bisa memejamkan kedua mata menanti datangnya maut.

“Wuutttt...! Tranggg!”

Sinar hitam itu bertemu dengan sinar putih kuning yang menyambar dari luar dan tasbeh itu terpental keras sehingga Kyai Sidhi Kawasa kaget bukan kepalang. Dia merasa betapa telapak tangannya panas sekali.

Cepat dia melompat ke belakang lantas memandang. Kiranya di situ telah berdiri seorang pemuda tampan yang memegang sebatang suling gading. Pemuda itu berdiri dengan sikap tenang.

Memang betul, pemuda tampan ini adalah Parmadi Si Seruling Gading. Dia sedang menuju Surabaya ketika kebetulan melihat Tumenggung Alap-alap hampir saja terbunuh oleh Kyai Sidhi Kawasa, Dia tidak mengenal mereka, juga tidak mengenal para perajurit yang berada di situ. Karena itu dia hanya mencegah saja terjadinya pembunuhan itu.

“Babo-babo, bocah lancang! Hei Seruling Gading, kami adalah orang-orang yang membela Kadipaten Surabaya. Cepat pergilah dan jangan mencampuri urusan kami apa bila engkau ingin selamat!” bentak Kyai Sidhi Kawasa.

Pasukan Surabaya yang masih siap dengan senjata mereka, yang sekarang berbesar hati karena kemunculan kakek sakti yang membantu mereka, kini mulai mengurung Parmadi dan siap menyerang.

Mendengar ini Parmadi merasa heran, mengapa kakek sakti ini membantu Surabaya dan siapa pula orang gagah perkasa yang diserang ini dan yang temannya tewas. Maka untuk memperoleh penjelasan, dia lalu bertanya kepada Tumenggung Alap-alap.

“Ki-sanak, siapakah andika dan mengapa berkelahi di sini?”

Tumenggung Alap-alap tahu bahwa dia telah ditolong pemuda ini, bahkan nyawanya telah diselamatkan. Dan melihat penampilan Parmadi yang berjuluk Seruling Gading itu, dia lalu menjawab secara terus terang, “Orang muda, aku adalah Tumenggung Alap-alap, senopati dan utusan Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram. Baru saja aku diutus junjunganku untuk menghadap Gusti Pangeran Pekik di Surabaya yang menerimaku dengan baik, lalu menyerahkan surat yang dibalas pula oleh sang pangeran. Tetapi tiba-tiba datang pasukan ini yang katanya mendapat perintah sang pangeran untuk menangkap aku. Aku yang tidak merasa bersalah tentu saja berusaha melawan, tetapi kakek ini tiba-tiba datang membantu pasukan, membunuh seorang pembantuku dan nyaris membunuhku pula.”

Kini Parmadi maklum siapa yang harus dibantunya. Tentu saja senopati Mataram itu yang harus dibantunya. Akan tetapi supaya persoalannya jelas, dia lalu menghadapi Kyai Sidhi Kawasa dan dua belas orang pasukan itu. “Kenapa Gusti Pangeran Pekik menyuruh kalian membunuh utusan Gusti Sultan Agung?”

“Bocah, jangan ikut campur!” bentak Kyai Sidhi Kawasa. “Madura adalah musuh Mataram, tahukah kamu?”

“Akan tetapi menurut Ki Tumenggung ini Pangeran Pekik telah menerimanya dengan baik,” bantah Parmadi.

“Kami diperintah Gusti Pangeran untuk menangkap Tumenggung Alap-alap dan membawa dia kembali ke Surabaya karena kami mendengar bahwa Mataram sudah siap-siap untuk menyerang Madura yang menjadi sekutu Surabaya. Karena dia menolak, maka kami harus membunuhnya sesuai tugas yang diberikan kepada kami!” kata perwira yang memimpin pasukan itu.

“Kalau begitu kalian yang tidak benar! Aku akan membela Ki Tumenggung!” kata Parmadi dengan sikap tenang.

Kyai Sidhi Kawasa menjadi marah sekali. Dia memutar tasbehnya hingga terdengar bunyi berkeritikan yang nyaring.

Parmadi berkata kepada Tumenggung Alap-alap, “Paman Tumenggung, minggirlah dan tanggulangi saja jika para prajurit ini hendak melakukan pengeroyokan. Biarlah saya yang menghadapi kakek ini.” Lalu dia menghadapi Kyai Sidhi Kawasa dan berkata kepadanya, “Kakek yang baik, andika sudah tua, mengapa memusuhi Mataram? Siapakah andika dan dari mana andika datang?”

“Seruling Gading! Memang sebaiknya engkau mengenalku agar tidak mati penasaran dan tahu siapakah yang membunuhmu nanti. Aku adalah Kyni Sidhi Kawasa, mantan senopati Kerajaan Banten. Akulah datuk di Banten!”

Parmadi mengangguk-angguk. Dari gurunya, Resi Tejo Wening, dia pernah mendengar bahwa ada tiga orang datuk besar yang memusuhi Mataram dan bahwa dia harus berhati-hati menghadapi mereka. Mereka adalah Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura, Sang Wiku Menak Koncar datuk dari Blambangan, dan yang ke tiga adalah Kyai Sidhi Kawasa dari Banten. Kiranya inilah orangnya.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)