SERULING GADING : JILID-44


“Bagus kalau engkau sudah tahu tentang hal itu. Sesudah engkau mengetahui bahwa aku musuh Mataram, mengapa engkau masih berani untuk membela Mataram di hadapanku? Apakah engkau sudah bosan hidup, orang muda?”

“Kyai Sidhi Kawasa, aku adalah seorang kawula Mataram, sudah sepantasnya kalau aku membela Mataram dengan taruhan nyawaku. Kalau engkau membela Banten mati-matian, hal itu masih dapat kumengerti. Akan tetapi kini engkau membela Surabaya dan Madura, apa artinya ini? Apakah engkau sudah menjadi tukang pukul yang menerima bayaran dari sana sini?”

“Bocah sombong lancang mulut! Aku membantu siapa saja yang memusuhi Mataram! Jika engkau membantu dan membela Mataram, berarti engkau adalah musuhku dan harus mati di tanganku!” Dia masih memandang rendah pemuda yang bernama seperti alat gamelan yang dijadikan senjata di tangannya, yaitu Seruling Gading.

Dia mengalungkan tasbeh di lehernya, kemudian dia segera menerjang ke depan sambil menggerakkan kedua tangannya. Kedua telapak tangan itu bertepuk tiga kali, terdengar suara nyaring dan kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunga api yang berpijar, seolah yang diadu itu bukan telapak tangan melainkan dua lempengan baja.

Diam-diam Parmadi bersikap waspada. Dia tahu bahwa kakek itu sungguh seorang yang sakti mandraguna seperti pernah diceritakan oleh Resi Tejo Wening kepadanya. Dia dapat menduga bahwa kedua tangan kakek itu mengandung hawa sakti yang panas.

Gurunya yang amat menyayangnya sudah menurunkan dua rnacam aji yang sangat hebat kepadanya, yaitu Aji Sunya Hasta (Tangan Kosong) dan Aji Sunyatmaka (Berjiwa Bebas) yang dapat dia kerahkan melalui tiupan seruling gading pemberian gurunya. Kedua ilmu ini sudah lebih dari cukup untuk menghadapi ilmu yang bagaimana pun hebatnya, baik ilmu silat mau pun ilmu sihir yang berbahaya.

Sekarang menghadapi terjangan kakek itu yang menggunakan Aji Hastanala (Tangan Api), dengan tenang Parmadi mengelak ke samping lalu menggerakkan tangannya menggapai sebagai tangkisan dengan pergelangan tangan diputar. Tampaknya gerakan ini kosong belaka, tidak rnengandung tenaga apa pun. Akan tetapi ketika Kyai Sidhi Kawasa hendak menggunakan tangannya yang panas itu untuk menggempur tangan Parmadi, dia merasa terkejut bukan main.

Seluruh tubuhnya tergetar dan tangannya yang beradu dengan tangan Parmadi seperti api yang dimasukkan dalam air dingin, terasa dingin menyusup tulang! Tentu saja dia terkejut bukan kepalang dan melompat ke belakang. Akan tetapi ternyata Parmadi tak bermaksud mencelakainya, karena tangan kirinya tidak cidera.

Kyai Sidhi Kawasu merasa penasaran, kemudian dia menggosok-gosok lagi tangan kirinya dengan tangan kanan sehingga tangan kiri itu menjadi panas membara kembali! Dia lalu menyerang dengan ganas sekali, mengeluarkan seluruh kecepatannya dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Tapi dengan gerakan yang tampaknya lambat saja, Parmadi sudah dapat menghindarkan diri dari semua serangan dan juga dia mampu membalas dengan tamparan-tamparan yang tampaknya perlahan saja, akan tetapi setiap kali ditangkis oleh tangan Kyai Sidhi Kawasa, kakek itu terdorong dan tubuhnya terguncang keras!

Sementara itu Ki Tumenggung Alap-alap telah memungut lagi kerisnya yang tadi terpental kemudian berdiri tegak menjaga agar dua belas orang prajurit itu tidak ada yang bergerak mengeroyok. Para prajurit itu agaknya juga tidak berani sembarangan turun tangan karena tadi mereka sudah merasakan betapa tangguhnya sang senopati dari Mataram itu. Mereka hanya mengharapkan agar Kyai Sidhi Kawasa bisa memenangkan pertandingan melawan pemuda yang menyebut dirinya Seruling Gading itu karena kalau kakek itu menang, akan mudah saja menangkap atau membunuh Tumenggung Alap-alap.

Kyai Sidhi Kawasa menjadi makin penasaran dan akhirnya menjadi marah sekali. Sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa seorang yang masih demikian muda dapat menandingi Aji Hastanala yang jarang bertemu tanding itu, bahkan kini dia mulai terdesak setelah mereka bertarung selama lebih dari tiga puluh jurus. Dia maklum bahwa sekali saja dia terkena tamparan tangan yang kelihatan tak bertenaga itu, belum tentu dia akan dapat bertahan.

“Aji Analabanu! Augghhhh...!” Dia berteriak dengan suara nyaring dan serak seperti auman seekor binatang buas. Kedua tangannya didorongkan ke depan dan nampak sinar berapi meluncur dan menyerbu ke arah Parmadi. Ini merupakan aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.

Parmadi maklum akan kehebatan pukulan ini, maka dia pun merentangkan kedua kakinya, lutut agak ditekuk dan mendorong kedua tangannya ke depan untuk menyambut serangan lawan sambil berseru lirih.

“Hehhh...!”

“Syuuuuttt...! Byarrrr...!”

Sinar berapi itu seperti pecah berhamburan menjadi bunga-bunga api dan tubuh Kyai Sidhi Kawasa terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan keringat membasahi dahinya. Dasar orang yang sudah terbiasa mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain, Kyai Sidhi Kawasa tidak merasa kalah, bahkan menjadi semakin marah.

Dia mengambil tasbeh dari lehernya lalu memutar senjata aneh yang biasa dipakai untuk bersembahyang itu. Terdengar bunyi berkeritikan dan ketika dia menggerakkan tasbeh itu, tampak sinar hitam menyambar-nyambar ke arah Parmadi.

Kini pemuda ini telah siap siaga. Seruling gading telah berada di tangannya dan sekarang dua orang itu bertanding mempergunakan dua senjata mereka yang aneh. Kalau tasbeh itu berubah menjad sinar hitam bergulung-gulung, seruling gading itu pun berubah menjadi sinar kuning putih yang terang. Kalau tasbeh itu mengeluarkan suara berkeritikan, suling itu mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup.

Suatu pertandingan yang aneh dan para prajurit Surabaya menjadi pening mendengar dua suara yang amat berbeda itu. Bahkan Ki Tumenggung Alap-alap juga harus mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi telinganya supaya jangan sampai terserang dan menjadi pening pula.

Kedua senjata itu beberapa kali beradu dengan kuatnya dan setiap kali beradu, tubuh Kyai Sidhi Kawasa tergetar hebat. Akhirnya saking marahnya, hampir putus asa karena makin lama tenaganya semakin berkurang, kakek itu melompat ke belakang lalu mengeluarkan suara tawa yang aneh namun yang pengaruhnya amat hebat! Suara itu seperti gelombang melanda telinga dan jantung.

Dua belas orang prajurit itu jatuh bergulingan, bahkan Tumenggung Alap-alap kini duduk bersila sambil mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh suara yang dahsyat itu.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan merdu dari suling yang ditiup Parmadi, mengalunkan lagu yang amat indah menyenangkan, terasa sejuk di telinga dan hati dan perlahan-lahan pengaruh suara tawa iblis itu pun menjadi reda lalu lenyap. Ketika Tumenggung Alap-alap mengangkat muka, dia melihat bahwa kakek itu sedang melarikan diri tunggang-langgang, meninggalkan dua belas orang prajurit yang sudah tidak bergulingan lagi, namun dengan wajah pucat mereka masih duduk di atas tanah seperti orang bingung dan ketakutan.

Parmadi sudah siap untuk mencegah kalau-kalau senopati Mataram itu hendak membunuh mereka. Akan tetapi ternyata tidak. Tumenggung Alap-alap hanya berkata kepada mereka. “Cepat kalian gali lubang dan kuburkan jenazah Ki Katawengan ini dengan baik-baik!”

Dua belas orang prajurit yang ketakutan itu lantas saja melaksanakan perintah itu. Mereka menggali lubang dengan cepat.

Sementara itu Tumenggung Alap-alap segera menghampiri Parmadi dan berkata dengan kagum. “Orang muda, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama andika?”

Mereka bicara agak jauh dari tempat di mana para prajurit Surabaya itu menggali lubang agar percakapan mereka tidak sampai terdengar oleh mereka.

“Paman Tumenggung, nama saya adalah Parmadi, tetapi orang yang tidak mengenal saya menyebut saya Seruling Gading.”

“Engkau memang pantas mempergunakan sebutan Seruling Gading. Ilmu kepandaianmu tinggi sekali. Mengapa engkau tidak mengabdi kepada Gusti Sultan Agung? Kalau melihat kemampuanmu, tentu Kanjeng Gusti Sultan Agung akan memberi kedudukan yang tinggi kepadamu.”

“Saya tidak mencari kedudukan, Paman Tumenggung. Tapi saya memang siap membantu Mataram menghadapi musuh-musuhnya.”

“Bagus kalau begitu. Aku menganjurkan supaya andika membantu gerakan Mataram yang telah bersiap-siap untuk menyerbu Madura, anakmas Parmadi. Kepandaianmu diperlukan sekali karena Madura dibantu oleh banyak orang-orang pandai dan sakti mandraguna, di samping bantuan pihak Kumpeni Belanda yang agaknya tidak tinggal diam melihat Madura dan Surabaya akan ditundukkan Mataram.”

“Akan tetapi saya masih merasa heran, paman. Tadi paman mengatakan bahwa sebagai utusan dari Kanjeng Gusti Sultan Agung, paman telah diterima dengan baik oleh Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Tetapi mengapa sekarang paman hendak dibunuh oleh pasukan Surabaya?”

Tumenggung Alap-alap menghela napas panjang. “Itulah yang membuat hatiku merasa penasaran sekali, anakmas. Agaknya Pangeran Pekik mendapat bujukan dari orang-orang jahat seperti kakek tadi yang membenci Mataram sehingga dia bertindak plintat-plintut. Hal ini harus segera kulaporkan kepada Gusti Sultan Agung.”

Pada saat itu penggalian lubang kuburan telah selesai dan Tumenggung Alap-alap segera menguburkan jenazah Ki Katawengan secara sederhana sekali. Setelah itu Tumenggung Alap-alap mengijinkan dua belas orang prajurit Surabaya itu untuk kembali ke Surabaya dan dia pun berpisah dari Parmadi. Pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke pantai untuk mencari penyeberangan ke Madura. Sementara itu Tumenggung Alap-alap menggunakan seekor kuda yang dirampasnya dari seorang prajurit karena kudanya sendiri sudah kabur entah ke mana, melakukan perjalanan cepat kembali ke Mataram.....

********************

Ketika Ki Kalingga, pembantu Tumenggung Alap-alap tiba di Mataram, dia segera mohon untuk menghadap Sang Prabu. Setelah menghadap dan menyerahkan surat dari Pangeran Pekik, Sultan Agung segera membaca surat itu dan seketika mukanya langsung berubah kemerahan saking marahnya. Surat itu sungguh mengandung tantangan. Bukan sekedar penolakan kerja sama akan tetapi isinya juga merendahkan Mataram!

“Hemm, keparat. Sungguh berani dia membuat surat seperti ini kepadaku!” geram Sultan Agung sambil mengepal surat itu. Surat itu seketika hancur terkena cengkeraman tangan yang sakti, menjadi debu berhamburan.

Tidak lama kemudian seorang perwira penjaga masuk melapor bahwa Tumenggung Alap-alap sudah kembali dan mohon menghadap. Sultan Agung cepat menerima utusannya itu dan kemarahannya semakin memuncak sesudah mendengar betapa Pangeran Pekik tidak hanya mengirim surat yang isinya kurang ajar, bahkan mengirim pasukan untuk mengejar dan membunuh utusannya itu.

“Hamba sudah nyaris binasa, gusti. Untung bahwa berkat pangestu paduka hamba masih dilindungi oleh Gusti Allah. Pasukan itu dibantu oleh Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten yang sakti mandraguna dan hamba sudah kalah dan roboh, nyaris terbunuh oleh datuk itu. Tetapi tiba-tiba muncul seorang pemuda perkasa bernama Parmadi yang berjuluk Seruling Gading. Dia yang sudah menyelamatkan hamba dan mengusir Kyai Sidhi Kawasa. Hamba sudah menganjurkan agar dia mau mengabdi kepada paduka, tapi dia mengatakan bahwa dia tidak menginginkan kedudukan, hanya ingin membantu Mataram menghadapi musuh-musuh sebagai sukarelawan.”

Sultan Agung mengangguk-angguk. “Sejak dahulu Kyai Sidhi Kawasa memang memusuhi Mataram, terutama memusuhi kami karena pernah kami halangi dan kami kalahkan ketika dia hendak melakukan perbuatan yang jahat dahulu puluhan tahun lalu ketika kami masih muda.”

Kemudian Sang Prabu berpaling pada senopati kepercayaannya, yaitu Ki Suroantani dan memberi perintah. “Suroantani, catat nama Parmadi atau Seruling Gading itu. Kelak jangan lupa ingatkan kami untuk memberi anugerah kepadanya!”

“Sendika, gusti,” jawab Suroantani.

“Sekarang, bala tentara harus dipersiapkan untuk menyerbu Madura! Panggil para menteri dan panglima supaya semuanya menghadap kami pada hari ini juga untuk persiapan itu!”

Suroantani lalu memerintahkan para pembantunya agar mengundang semua panglima dan menteri untuk menghadap Sultan Agung pada hari itu juga.

Sesudah semua ponggawa menghadap, Sultan Agung lalu mengatur siasat dan membagi-bagi perintah. Di antara mereka terdapat pula Jayasupanta yang telah memimpin pasukan menaklukkan Kadipaten Tuban dan Sultan Agung memberi anugerah kepadanya dengan mengangkatnya menjadi Tumenggung Sujanapura.

“Tumenggung Sujanapura, andika kami beri tugas untuk memimpin pasukan menyerbu dan menaklukkan seluruh Pulau Madura, dengan dibantu oleh Senopati Bragola dan Senopati Sumedang. Para Panglima yang menjadi bawahanmu harus memimpin pasukan masing-masing. Mereka adalah Tumenggung Jagabaya, Rangga Awu-awu, Demang Suradaksa, Ngabei Patrabangsa, Panji Nirabumi dan Ki Panji Singajaya. Berangkatkan pasukan kalian melalui Majaranu, lalu menyeberang ke Madura.”

“Sendika dhawuh paduka, gusti!” kata Tumenggung Sujanapura yang diikuti para panglima yang namanya disebut tadi.

“Dan andika Senopati Bragola. Dalam membantu pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Sujanapura, bawalah bala tentara sebanyak dua laksa dan serbulah Madura melalui laut, berangkatlah dari Juwana dibantu para panglima dari Pati, yaitu Patih Harya Mangunjaya dan Patih Harya Sindureja. Ada pun panglima-panglima yang membantu andika memimpin pasukan masing-masing adalah Harya Sawunggaling, Rajamenggala, Ngabei Wirasraya, Rangga Penantang Yuda, Ki Demang Prawiratan, dan masih ada beberapa orang perwira yang dapat andika pilih sendiri di antara kalian. Dari Juwana andika bawa pasukan melalui laut dan menuju ke Sedayu. Di sana barulah pasukan andika bergabung dengan pasukan Sujanapura dan melanjutkan penyerbuan ke Madura dengan naik perahu. Nah, apakah kalian sudah mengerti semua?”

Para senopati dan perwira itu menyanggupi dan menyatakan sudah mengerti.

Sesudah mengadakan persiapan selama sehari penuh, pada keesokan harinya pagi-pagi berangkatlah bala tentara Mataram yang dibagi menjadi dua barisan besar dan terdiri dari pasukan-pasukan yang dipimpin para panglima dengan nama sandi masing-masing. Ada pasukan panah, pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang dan juga pasukan keris yang terdiri dari ahli-ahli dalam mempergunakan senjata masing-masing. Selain pasukan-pasukan berbagai senjata ini, terdapat pula pasukan perawat yang bertugas menolong dan merawat mereka yang terluka dalam perang, juga pasukan ahli masak, perawat kuda dan sebagainya lagi.

Bala tentara Mataram mulai bergerak dengan segala perlengkapannya. Mereka tidak perlu membawa ransum karena di daerah-daerah yang telah mereka kuasai telah didirikan pusat pengumpulan ransum untuk gerakan ini.....

********************

Sepasang orang muda itu memasuki Kadipaten Surabaya dan langsung menarik perhatian semua orang karena Satybrata dan Maya Dewi memang merupakan seorang pemuda dan seorang dara yang serasi sekali. Pemuda itu tampan dan gagah bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya putih bersih, matanya agak kebiruan dan rambutnya hitam berombak, membuat mata setiap orang wanita yang bertemu dengannya memandang dengan kagum dan penuh perhatian.

Dara yang berjalan di sampingnya itu pun cantik jelita, ayu manis merak ati. Rambutnya hitam panjang berombak pula, terurai lepas, wajahnya bulat, kulit putih mulus dan matanya lebar seperti sepasang bintang, hidung mancung dan bibirnya menggairahkan, tubuhnya denok ramping padat.

Satyabrata dan Maya Dewi memasuki kota Surabaya dan menjadi perhatian banyak orang. Tapi kedua orang muda itu tidak peduli karena mereka berdua sudah terbiasa menghadapi tatapan kagum seperti itu. Bahkan dengan penuh kesadaran akan keelokan wajah mereka yang membuat banyak orang tergila-gila, mereka tampil dengan anggun, membayangkan senyum semanis-manisnya dan setiap gerak bibir, kerling mata, dan gerak-gerik mereka lakukan dengan daya tarik yang amat kuat.

Seperti diceritakan di bagian depan, dua orang muda yang memiliki watak dasar yang tak jauh berbeda ini saling jumpa secara kebetulan sekali, kemudian mereka saling tertarik. Kecantikan dan kemulusan tubuh Maya Dewi seketika membuat Satyabrata yang memang mata keranjang itu tergila-gila, apa lagi melihat bahwa Maya Dewi mempunyai kepandaian yang cukup tangguh.

Sebaliknya, Maya Dewi sebenarnya tidak mudah tertarik kepada seorang pria dan selama ini dia belum pernah bergaul dengan pria. Akan tetapi, setelah mendapat kenyataan betapa Satyabrata mampu mengalahkannya, bahkan dapat mengalahkan sabuk cindenya dengan mudah, dia merasa bahwa pemuda ini memiliki segala-galanya yang membuatnya sangat berharga untuk menjadi sahabatnya, bahkan menjadi pasangannya.

Pemuda itu tampan dan gagah, juga sakti madraguna. Terlebih lagi sesudah dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang telik-sandi Kumpeni Belanda yang memiliki kedudukan tinggi, terbukti dari dinar emas berukir singa itu, hatinya menjadi makin tertarik dan sebentar saja hubungan mereka menjadi akrab, seperti dua orang sahabat yang telah lama saling berkenalan.

“Akang Satyabrata, kenapa sih kita harus singgah dulu di Kadipaten Surabaya? Bukankah kita hendak membantu Madura yang akan diserang pasukan Mataram?” tanya Maya Dewi dengan suara manja sehingga hati pemuda itu menjadi gemas.

Sudah sering kali dia merasa gemas dan ingin merangkul dan menciumi gadis manja yang amat menggairahkan hatinya ini, tapi dia menyabarkan hatinya. Kalau untuk mendapatkan gadis sembarangan saja, dia takkan segan-segan melakukan kekerasan karena dia hanya ingin menikmati untuk sekali atau sementara saja.

Akan tetapi tidak mudah mendapatkan seorang dara seperti Maya Dewi yang bukan saja dapat menjadi pasangan yang sangat menggairahkan dan mengasyikkan, akan tetapi juga dapat menjadi sekutu dan pembantu yang dapat diandalkan. Karena itu dia harus berhati-hati dan tidak merusak keadaan. Dia harus mendapatkan gadis ini dengan perlahan-lahan, dan baru akan memiliki gadis ini kalau Maya Dewi sudah benar-benar menunjukkan tanda-tanda menyerah kepadanya.

Akan tetapi sekarang Maya Dewi hanya kadang-kadang bersikap manja. Juga pandangan mata mau pun senyum dan suaranya yang manja seperti minta dibelai dan dirayu, masih jinak-jinak merpati dan belum meyakinkan. Kalau sampai dia tergesa-gesa dan gadis yang masih hijau dalam pergaulan antara pria dan wanita ini menjadi kaget dan takut, kemudian menjauhkan diri dan terlepas darinya, maka dialah yang akan rugi. Dia ingin mendapatkan Maya Dewi sebagai kekasihnya bukan untuk sementara, melainkan selama mungkin.

“Ini penting sekali, Dewi,” kata Satyabrata yang kadang memanggil Dewi dan kadang kala memanggil Maya, karena kedua panggilan itu terasa sama enak dan sedap didengarnya. “Engkau harus tahu bahwa Madura merupakan pintu belakang atau perisai bagi Surabaya. Kalau Madura takluk kepada Mataram, berarti Surabaya akan mudah sekali diserang dari laut, seolah dikepung. Karena itu, mau tidak mau Surabaya akan membantu Madura. Juga Kumpeni Belanda takkan tinggal diam karena kalau kekuasaan Mataram dibiarkan meluas, amat berbahaya bagi Belanda untuk meluaskan perdagangannya. Belanda dan Surabaya memiliki kepentingan bersama, maka harus bekerja sama untuk membantu Madura. Maka itulah aku ingin bertemu dengan Adipati Surabaya untuk mewakili atasanku membicarakan urusan pertahanan Madura dan Surabaya dari ancaman Mataram.”

Maya Dewi mengangguk-angguk dan mendadak dia berhenti melangkah, lalu mengangkat muka menatap wajah Satyabrata yang lebih tinggi sekepala dari padanya, “Akang Satya, engkau masih begini muda, bagaimana bisa mendapat kedudukan tinggi hingga dipercaya oleh Kumpeni Belanda?”

Satyabrata tertawa sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih. Dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengaku kepada gadis itu, karena jelas bahwa Maya Dewi juga seorang yang memusuhi Mataram. “Aku mau bicara terus terang padamu, Maya, karena aku yakin bahwa engkau adalah seorang sahabat yang bisa kupercaya sepenuhnya. Sebetulnya aku sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh seorang perwira tinggi Kumpeni Belanda yang bernama Willem Van Huisen yang dulu tinggal di sebuah kapal kumpeni yang beroperasi di Cirebon. Nah, dari dialah aku menerima kedudukan sebagai telik sandi kumpeni dan tentu saja dia percaya sepenuhnya kepadaku yang dia anggap sebagai anak sendiri.”

“Ahh, begitukah? Akan tetapi apakah warna kulit dan mata orang Belanda dapat menular, akang Satya?”

“Ehh, kenapa engkau bertanya begitu, Maya?”

Maya Dewi tersenyum. Giginya yang rapi dan seputih mutiara nampak berkilat pada saat bibirnya terbuka. “Habis, kulihat matamu kebiruan, tidak seperti mata orang Nusa Jawa, seperti mata orang Belanda yang pernah kulihat, walau pun warnanya tidak sebiru mata mereka.”

Karena sudah terlanjur berterus terang, Satyabrata mulai membuka rahasia dirinya supaya tidak menimbulkan kecurigaan gadis yang membuatnya amat bergairah dan tergila-gila itu. “Terus terang saja, Maya, ayah kandungku adalah seorang bangsa barat akan tetapi bukan Belanda melainkan seorang berbangsa Portugis yang bernama Henrik. Sedangkan ibuku adalah seorang menak (priyayi), masih keturunan langsung dari Raja Ari Ranamanggala di Kerajaan Banten.”

Tentu saja Satyabrata hanya membual karena ibu kandungnya yang bernama Marsinah hanyalah seorang gadis nelayan di pantai Cirebon, sama sekali bukan dari kaum menak (bangsawan) apa lagi keturunan Raja Banten! Akan tetapi karena dia sudah tertarik sekali, Maya Dewi percaya saja dan dia menjadi semakin kagum.

Kurang apa lagi pemuda ini? Tampan dan gagah, keturunan bangsa barat yang terkenal kaya raya dan pandai, juga ibunya keturunan Raja Banten, sakti mandraguna! Masih ada satu syarat lagi! Jangan-jangan pemuda ini sudah ada yang punya!

“Eh, akang Satya, apakah engkau sudah ada yang punya?” Pikiran ini terlontar begitu saja dalam pertanyaannya.

Satyabrata memandang gadis itu, agak heran dan bingung sebab dia memang belum bisa menangkap apa yang dimaksudkan gadis itu.

“Sudah ada yang punya? Apa maksudmu, Dewi?”

“Itu... apa engkau sudah punya isteri?”

Satyabrata tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Pertanyaan itu setidaknya telah mengungkapkan sedikit isi hati gadis itu yang agaknya mulai ‘ada rasa’ kepadanya.

“Belum,” jawabnya sambil tersenyum dan menatap wajah gadis itu penuh selidik.

“Calon isteri, tunangan?”

“Juga belum.”

“Pacar, gadis pilihan hatimu?”

Segera terbayanglah wajah Elsye Van Huisen yang manis, puteri Willem Van Huisen yang menjadi pacarnya ketika lima tahun yang lalu dia dan gadis Belanda itu masih remaja, dia berusia dua puluh satu tahun dan Elsye berusia tujuh belas tahun. Timbul kerinduannya terhadap gadis yang denok dan jelita itu. Kini usianya tentu sudah dua puluh dua tahun, sudah dewasa.

Dia teringat ketika dia berciuman dengan gadis itu, pada waktu hendak meninggalkannya. Kemudian bayangan wajah Elsye berubah menjadi wajah manis merak ati dari Muryani. Di dalam hatinya dia harus mengakui bahwa dia juga mencinta murid mendiang Nyi Rukmo Petak ini.

Gadis yang sakti mandraguna, bahkan lebih sakti dibandingkan Maya Dewi, dan tak kalah cantik biar pun dalam hal pesona yang menggairahkan, Maya Dewi memiliki daya pesona yang lebih kuat. Jarang terdapat wanita yang demikian menggairahkan seperti Maya Dewi, seolah setiap bagian tubuhnya sampai rambut-rambutnya, memiliki daya pesona tersendiri yang membangkitkan gairah setiap orang laki-laki.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)