SERULING GADING : JILID-45


Ihh, bibir itu! Ingin Satyabrata menggigitnya saking gemas. Akan tetapi dia menahan diri, bersikap seperti seorang ksatria tulen!

“Memang banyak gadis yang tampaknya menaruh hati kepadaku, Maya, akan tetapi terus terang saja, belum ada satu orang pun yang dapat membuat hatiku tertarik. Kalau tadi aku termenung, karena aku mengingat-ingat untuk menjawabmu, akan tetapi ternyata memang belum ada.”

Sepasang bibir merah basah itu terbuka lebih lebar dan sekilas ujung lidah yang meruncing merah muda berputar menjilati sepasang bibir sehingga menjadi semakin basah. Melihat ini Satyabrata menelan air ludah sebab melihat keindahan di depannya, mulutnya kemecer (berliur) seperti orang melihat makanan rujak yang segar, manis, masam dan pedas!

“Hmm, benarkah hingga saat ini engkau belum pernah tertarik kepada seorang gadis? Aku melihat sepasang matamu itu memandangku seperti hendak menelanku. Hi-hik-hik!” Maya Dewi tertawa bebas lepas tanpa menutupi mulutnya dan sambil tertawa dia mengerling. Dia tampak genit dan manja sekali. Hampir tidak kuat lagi Satyabrata bertahan.

“Memang aku mulai tertarik, Maya Dewi, mulai tertarik begitu aku bertemu dengan engkau dan melihatmu.” Dia mulai berani merayu, namun tetap berhati-hati sehingga membatasi kata-katanya, bukan langsung pengakuan cinta melainkan menggunakan kata tertarik.

“Hemm, benarkah itu?”

“Benar, Maya Dewi, dan aku mengira bahwa engkau pun suka padaku, benarkah itu?”

“Hemm, memang aku suka padamu, akang Satya, akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku tergila-gila kepadamu!” kata Maya Dewi manja dan jual mahal.

“Akan tetapi aku tergila-gila padamu Maya!”

“Hemm, tidak berarti bahwa aku jatuh cinta kepadamu.”

“Akan tetapi aku jatuh cinta kepadamu!” Kini Satyabrata berani mengaku terang-terangan karena dia sudah melihat titik terang dan lampu hijau!

“Huh, aku pernah mendengar dari bapa bahwa lidah laki-laki tidak bertulang. Rayuan laki-laki kebanyakan gombal. Entah sudah berapa puluh laki-laki yang kubunuh karena berani merayu gombal padaku. Cintamu harus dibuktikan dulu, baru aku mau percaya!”

Satyabrata menghela napas panjang. “Aihh, Maya. Belum percayakah engkau kepadaku? Baik, nanti akan kubuktikan bila ada kesempatan. Dan kalau engkau sudah percaya akan cintaku yang benar-benar suci kepadamu, baru engkau mau mengaku cinta kepadaku?”

“Kita lihat saja nanti! Tidak semurah dan semudah itu aku menjatuhkan cintaku. Sekali aku mencinta, akan kupertaruhkan dengan nyawaku!” Ucapan ini terdengar manis, akan tetapi mengandung ancaman yang sangat mengerikan sehingga Satyabrata sendiri yang berhati kejam itu diam-diam bergidik. Dia harus berhati-hati terhadap perempuan ini.

“Marilah kita melanjutkan perjalanan kita, Maya. Surabaya sudah dekat dan aku tidak ingin terlambat sehingga tidak dapat rnenghadap Pangeran Pekik hari ini juga.”

Demikianlah, pada siang hari itu mereka berdua memasuki kota Surabaya dan menjadi pusat perhatian orang, terutama orang-orang muda yang kagum kepada Maya Dewi dan gadis-gadis yang kagum kepada Satyabrata.

“Anak-mas Satyabrata...!”

Satyabrata dan Maya Dewi cepat mernutar tubuh untuk melihat siapa yang memanggil itu. Setelah melihat kiranya yang memanggil itu adalah seorang di antara empat orang prajurit yang menjadi anak buah Senopati Poncosakti yang waktu itu pernah dibantunya pada saat senopati Surabaya itu bertanding melawan Ki Kalingga, utusan Mataram yang membawa surat Pangeran Pekik untuk Sultan Agung.

“Ahh, kiranya andika!” kata Satyabrata dengan sikap sedikit angkuh karena yang menegur itu hanyalah seorang prajurit biasa. Akan tetapi dia segera mendapat pikiran yang sangat baik. “Ehh, paman prajurit! Tolong tunjukkan kepada kami di mana istana Sang Adipati Surabaya, kemudian laporkan kepada beliau bahwa kami mohon untuk menghadap!”

Prajurit yang sedang bebas tugas itu telah mengenal bahwa pemuda yang gagah perkasa ini adalah seorang telik sandi Belanda dan merupakan orang yang penting sekali, bahkan dulu pernah membantu Senopati Poncosakti. Maka dia menyatakan kesediaannya sambil membungkuk-bungkuk hormat kepada Satyabrata dan Maya Dewi. Sepasang orang muda ini lalu mengikuti perajurit itu menuju ke istana Pangeran Pekik.....

********************

Pada saat itu Pangeran Pekik sedang mengadakan perundingan dengan para menteri dan panglima. Adipati Surabaya itu selalu mengerutkan keningnya, pertanda bahwa hatinya sedang tidak senang.

Tentu saja dia merasa tidak senang mendengar pelaporan Senopati Poncosakti bahwa Sultan Agung telah bertindak curang. Di satu pihak membujuknya dengan kata-kata manis supaya dia suka berdamai dan bersekutu dengan Mataram untuk memperkuat persatuan guna menghadapi Kumpeni Belanda, akan tetapi di lain pihak dia mendengar bahwa di lain pihak Mataram kini sedang mempersiapkan pasukan besar-besaran untuk menyerang dan menaklukkan Madura.

“Kenapa Kanjeng Paman Sultan Agung bertindak begitu?” Dia berseru setelah mendengar laporan Ki Poncosakti yang menjadi pemimpin para penyelidik. “Baru saja beliau mengirim surat yang bunyinya amat manis, tapi sekarang hendak menyerbu Madura tanpa memberi tahu kami? Padahal beliau juga mengetahui bahwa para adipati di Pulau Madura adalah sekutu kami!”

“Sama sekali tak mengherankan, gusti,” kata Ki Poncosakti yang sengaja membakar hati Adipati Surabaya itu. “Mataram sudah melihat betapa Surabaya dan Madura bersatu dan persatuan ini tentu saja menjadi penghalang yang kokoh kuat bagi Mataram yang hendak mengumbar nafsu keangkara-murkaannya. Karena itu di samping membujuk paduka untuk bekerja sama, diam-diam dia mengerahkan pasukan untuk menyerang Madura sehingga dia bermaksud memecah belah kekuatan persatuan Surabaya dan Madura.”

Pangeran Pekik mengangguk-angguk, kemudian menghela napas panjang. “Sayang sekali mengapa Kanjeng Paman Sultan Agung berpendirian seperti itu. Padahal kalau dia hendak benar-benar berdamai dan bersekutu, kami dapat pula membujuk para adipati di Madura untuk menyudahi permusuhan dan bekerja sama.” Betapa pun juga Pangeran Pekik masih ingat dengan hubungan darah kekeluargaan antara Kerajaan Mataram dengan Kadipaten Surabaya.

“Hamba kira hal itu tidak perlu disesalkan, Gusti Pangeran. Pemikiran semacam itu hanya akan melemahkan kedudukan kita. Hamba yakin bahwa kalau Mataram belum menyerang Surabaya, adalah karena Mataram melihat kokohnya persatuan antara Surabaya dengan Madura. Kalau Sultan Agung langsung menyerang Surabaya, sudah pasti semua adipati di Madura akan bangkit dan membantu Surabaya menghadapi Mataram. Karena itu, setelah kini ternyata Mataram hendak menyerbu Madura, sudah sepantasnya kalau kita mengirim pasukan untuk membela Madura, kanjeng gusti,” kata pula Senopati Poncosakti.

“Kami kira pendapat andika itu benar sekali, Poncosakti.” Pangeran Pekik lalu menitahkan panglimanya agar cepat membentuk pasukan untuk membantu Madura yang menghadapi serangan Mataram.

“Di samping itu, kanjeng gusti. Hamba bertemu seorang pemuda yang sakti mandraguna, namanya Satyabrata dan seorang temannya, gadis cantik dan sakti pula bernama Maya Dewi. Satyabrata ternyata adalah seorang kepercayaan Kumpeni Belanda yang memiliki kedudukan tinggi. Orang seperti dia sangat kita butuhkan, bukan saja untuk berhubungan dengan kumpeni, juga kesaktiannya dapat kita pergunakan untuk melawan para senopati Mataram yang tangguh dan sakti.”

“Hemm, kita harus yakin lebih dahulu, Poncosakti. Sekarang ini banyak orang yang pandai dan licik. Siapa tahu dia itu malah seorang ponggawa Mataram yang menyamar sebagai telik sandi kumpeni. Kebetulan sekali kami sedang kedatangan tamu agung, yaitu seorang perwira tinggi Kumpeni Belanda yang kini berada di Loji Tamu bersama seorang puterinya. Nanti ketika bicara dengan dia, akan kami ceritakan tentang Satyabrata dan Maya Dewi itu untuk mendapatkan kepastian apakah benar mereka itu kepercayaan kumpeni.”

Tiba-tiba seorang prajurit pengawal datang menghadap. Dia segera merangkak maju dan memberi hormat dengan sembah. “Ampuni hamba yang berani mengganggu kesibukan paduka, gusti. Tetapi di luar ada seorang prajurit sedang mengantarkan tamu yang mohon menghadap dan bertemu dengan paduka.”

Pangeran Pekik mengerutkan alisnya. Dia sedang mengadakan perundingan yang penting sekali dengan para pembantunya dan sekarang ada tamu yang datang mengganggu.

“Siapakah tamu itu, prajurit?” tanyanya kepada prajurit pengawal.

“Tamu itu terdiri dari dua orang, kanjeng gusti. Seorang pemuda bernama Satyabrata dan seorang gadis bernama Maya Dewi.”

“Ahh, itulah mereka yang hamba maksudkan tadi, gusti!” seru Poncosakti.

Pangeran Pekik mengangguk kepada prajurit pengawal. “Pengawal, suruh kedua tamu itu masuk menghadap kami!” Setelah prajurit itu keluar, Pangeran Pekik berkata kepada para senopati. “Kalian bersiap-siap dan waspadalah. Kalau dua orang itu membuat gerakan dan bersikap mencurigakan, kalian boleh turun tangan menangkap mereka.”

Para senopati mengangguk. Mereka semua merasa tegang, kecuali tentu saja Poncosakti karena dia sudah percaya sepenuhnya kepada Satyabrata. Ketika Satyabrata dan Maya Dewi memasuki ruangan persidangan yang luas itu, semua mata memandang kepada mereka dan suasana menjadi semakin tegang.

Satyabrata yang cerdik memasuki ruangan itu bersama Maya Dewi, kemudian dia duduk bersila sedangkan Maya Dewi duduk bersimpuh sambil memberi hormat dengan sembah kepada Pangeran Pekik.

Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak dan di dalam hatinya dia merasa heran dan juga kagum. Sepasang orang muda yang elok. Terutama pemuda itu. Sepintas saja dia dapat melihat bahwa pemuda itu pasti memiliki darah orang Barat di dalam tubuhnya. Matanya yang kebiruan itu, kulitnya yang putih dan wajahnya yang tampan dengan hidung mancung berbentuk indah.

“Teja-teja sulaksana tejanya dua orang belia yang baru datang! Siapakah andika berdua dan ada keperluan apakah andika berdua minta menghadap kami?' kata Pangeran Pekik dengan suara penuh wibawa.

“Hamba bernama Satyabrata, berasal dari Cirebon. Ada pun keperluan hamba menghadap paduka adalah untuk membicarakan mengenai gerakan pasukan Mataram yang hendak menaklukkan Madura dan juga Surabaya. Hamba adalah seorang kepercayaan Kumpeni Belanda dan tugas hamba adalah membantu mereka yang dimusuhi Mataram.”

“Hamba bernama Maya Dewi dan ayah harnba, Resi Koloyitmo, menyuruh hamba untuk membantu Madura dan Surabaya menentang Mataram. Di perjalanan hamba berkenalan dengan akang Satyahrata ini dan karena tugas kami sama, maka hamba ikut dengan dia menghadap paduka,” kata Maya Dewi dengan suaranya yang merdu.

Walau pun Pangeran Pekik tidak seganteng Satyabrata, akan tetapi mengingat bahwa pria itu adalah seorang yang berkedudukan tinggi, maka tergerak juga hati Maya Dewi untuk bergaya agar dirinya lebih menarik. Tetapi di dalam tubuh Pangeran Pekik masih mengalir darah biru (bangsawan) yang amat berwibawa, maka dia dapat melihat bahwa kecantikan wanita itu hanyalah kecantikan jasmani belaka sehingga dia pun tidak begitu terpikat.

Pangeran Pekik mengangguk-angguk dan sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat melihat bahwa dua orang muda yang berwajah elok itu tidak memiliki sinar yang biasa dimiliki seorang ksatria dan wanita utama.

“Kami mengetahui siapa Resi Koloyitmo yang berasal dari Parahyangan itu. Akan tetapi, Satyabrata, bagaimana andika dapat membuktikan bahwa andika adalah benar seorang kepercayaan kumpeni?”

Satyabrata meraba pinggangnya. Semua senopati siap dan meraba gagang keris masing-masing, berjaga-jaga. Akan: tetapi ternyata pemuda itu mengeluarkan sekeping uang dinar emas dari saku bajunya lalu menyerahkannya kepada Pangeran Pekik.

“Inilah bukti dari hamba, gusti,” katanya.

Seorang senopati menerima uang dinar itu lalu menghaturkannya kepada Pangeran Pekik. Setelah memeriksa uang dinar itu, Adipati Surabaya itu mengangguk-angguk. Kini dia baru percaya sebab pemuda itu memang betul menyimpan sebuah dinar emas bergambar singa sebagai tanda kekuasaan yang diberikan oleh kumpeni.

Dia sendiri pernah menerima dinar seperti itu, tapi bukan sebagai tanda seorang penguasa kumpeni melainkan hanya sebagai tanda persahabatan. Hadiah itu diterimanya karena dia mengijinkan kumpeni membeli beras dan rempah-rempah dari daerah Kadipaten Surabaya. Dia segera mengembalikan dinar itu dan kini mulai percaya, walau pun rasa tidak sukanya terhadap kepribadian pemuda itu masih ada.

“Satyabrata dan Maya Dewi, kami menerima kalian sebagai tamu-tamu sahabat. Kalian tadi mengatakan bahwa kalian siap membantu Surabaya dan Madura dalam menghadapi ancaman Mataram. Lalu apa saja yang dapat kalian lakukan untuk membantu kami?”

“Gusti, dalam hal ini hamba yang tidak tahu akan siasat perang hanya ikut dan menurut saja apa yang hendak dilakukan akang Satyabrata dan akan membantunya,” Maya Dewi mendahului.

“Sesungguhnyalah, Gusti Pangeran. Kalau hanya kami berdua saja, paling banyak kami dapat membantu pasukan Madura dan Surabaya dalam pertempuran melawan Mataram, menghadapi para senopati Mataram yang sakti mandraguna. Tetapi hamba dapat berbuat lebih dari itu, gusti. Hamba dapat menghubungi kapal-kapal kumpeni yang berada di lautan sekitar Madura dan Surabaya. Kapal-kapal itu dapat menghadang pasukan Mataram yang datang melalui lautan, dan hamba dapat mengajukan permohonan kepada atasan hamba agar dapat membantu Surabaya dan Madura dengan sejumlah senapan atau sepasukan serdadu, bahkan kalau perlu dengan meriam-meriam.”

Dalam lubuk hati Pangeran Pekik, memang adipati ini tidak begitu bersemangat untuk berperang melawan Mataram dan apa yang ditawarkan pemuda itu adalah urusan besar. Kalau dia membuka tangan menerima bantuan Kumpeni Belanda, selain hal itu membuat permusuhan dengan Mataram menjadi semakin menghebat, juga membuat dia berhutang budi kepada kumpeni sehingga kelak pihak kumpeni bisa memaksakan kehendak mereka dengan bersenjatakan budi itu.

“Satyabrata, urusan besar ini harus kami rundingkan masak-masak dengan para pembantu kami sebelum kami mengambil keputusan. Sementara itu, biarlah andika berdua menjadi tamu kami dan ingin kami perkenalkan kepada tamu-tamu asing kami yang sekarang telah berada di Loji Tamu. Senopati Poncosakti, andika yang sudah mengenal dua orang tamu kita ini, biarkan mereka ke Loji Tamu dan perkenalkan kepada tamu-tamu kita yang sudah berada di sana.”

“Sendiko, gusti!” kata Poncosakti dengan gembira. “Marilah, anak-mas Satyabrata dan nini Maya Dewi.”

Dua orang muda itu menyembah kepada Pangeran Pekik, kemudian mereka meninggalkan ruangan itu mengikuti Poncoikti menuju ke Loji Tamu yang berada di ujung barat kompleks istana kadipaten itu.

Loji Tamu itu merupakan sebuah gedung yang dibuat istimewa untuk menerima tamu yang dihormati. Tentu saja tidak sembarang tamu diterima dan disediakan kamar di gedung itu sebagai tempat mereka menginap. Hanya tamu yang dihormati dan dianggap tamu agung saja yang dapat menikmati keramahan Adipati Surabaya itu.

Mereka bukan saja mendapatkan kamar-kamar yang indah dan lengkap, akan tetapi juga dijamu makanan yang serba mewah dan masih dihibur pula dengan pertunjukan joget dan tembang yang dilakukan para seniwati yang cantik dan ahli.

Ketika Poncosakti yang diikuti Satyabrata dan Maya Dewi tiba di Loji Tamu itu, perasaan Satyabrata jadi tidak enak. Dia belum tahu siapa yang menjadi tamu di situ dan hendak diperkenalkan kepadanya, Kalau tamu itu merupakan perwira tinggi Belanda yang pernah singgah di rumah Willem Van Huisen, mungkin dia mengenalnya. Akan tetapi kalau tamu itu merupakan perwira tinggi dari Batavia, mungkin dia belum pernah bertemu dengannya.

Berhadapan dengan perwira tinggi yang belum dikenalnya selalu mendatangkan perasaan tak sedap di hati Satyabrata. Hal ini adalah karena dia tahu benar bahwa bangsa Belanda itu amat congkak, terutama kalau berhadapan dengan orang pribumi. Bahkan Willem Van Huisen dulu pernah mengatakan bahwa bangsa Belanda datang ke Nusa Jawa membawa kemakmuran dan akan mengajarkan peradaban kepada orang pribumi, mengajarkan hidup yang benar, bersih, beradab dan sebagainya.

Karena ibunya adalah seorang pribumi, maka tentu saja Satyabrata merasa tidak enak kalau Willem Van Huisen bicara tentang itu. Apa lagi setelah dia melihat kenyataan betapa hampir semua perwira tinggi yang baru saja dijumpainya memandang rendah kepadanya.

Dia tahu sebabnya, yaitu karena dia bukan orang Belanda totok. Karena rambutnya hitarn dan hanya matanya saja yang menunjukkan bahwa ada darah bule di tubuhnya. Bahkan kulitnya juga tidak bule seperti mereka, walau pun lebih putih dibandingkan orang pribumi.

Walau pun merasa ragu-ragu tetapi dia tidak dapat mencegah ketika Poncosakti memberi tahu penjaga Loji Tamu itu untuk melaporkan kepada tamunya bahwa dia datang bersama dua orang tamu untuk diperkenalkan kepada tamu-tamu lain.

“Silakan duduk menunggu di ruang depan, akan saya laporkan kepada tuan,” kata penjaga itu dan dia lalu masuk dalam gedung itu. Poncosakti mengajak Satyabrata dan Maya Dewi untuk duduk di atas kursi-kursi yang tersedia di ruangan depan itu.

Tak lama kemudian terdengar detak sepatu datang dari dalam. Poncosakti segera bangkit berdiri dan menghadap arah pintu yang menembus ke ruangan dalam. Daun pintu terbuka dari dalam dan muncullah seorang laki-laki Belanda, berusia sekitar lima puluh lima tahun dengan pakaian sebagai seorang perwira tinggi yang indah dan gagah, ditemani seorang gadis Belanda yang cantik, berusia kurang lebih dua puluh satu tahun.

“Permisi, tuan, saya Senopati Poncosakti hendak memperkenalkan anak-mas...”

Poncosakti tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat perwira tinggi Belanda dan gadis itu memandang kepada Satyabrata dengan mata terbelalak dan wajah girang sekali.

“Jan...!” teriak orang Belanda itu yang bukan lain adalah Willem Van Huisen, perwira tinggi kumpeni itu. Kiranya dia yang bertamu pada Adipati Surabaya!

Dua orang itu saling berjabat tangan dan berangkulan. Kemudian Satyabrata melepaskan rangkulan dan memutar tubuhnya menghadapi gadis Belanda itu.

“Jan, ben jij dat (engkaukah itu), Jan?” gadis itu berseru sambil mengembangkan kedua lengannya.

“Elsye, schat (sayang)...!” kata Satyahrata dan entah siapa mendahului, keduanya lantas saling berangkulan dan saling berciuman pipi hingga berulang kali. Melihat ini api cemburu membakar hati Maya Dewi dan hampir saja dia turun tangan membunuh gadis Belanda itu!

Sambil menekan perasaannya yang bergejolak penuh amarah, Maya Dewi berkata kepada Satyabrata dengan suara ketus. “Akang Satya, siapakah mereka ini?” Teguran yang ketus ini menghentikan tiga orang yang bercakap-cakap cas-cis-cus berbahasa Belanda yang tidak dimengerti oleh Maya Dewi.

Satyabrata terkejut karena dia baru teringat akan kehadiran Maya Dewi. Tadi dia sangat gembira karena bertemu dengan Willem Van Huisen, ayah angkatnya dan dengan Elsye Van Huisen, adik angkat yang juga menjalin hubungan mesra dengannya seperti seorang kekasih itu. Sudah lima tahun dia berpisah dari mereka dan sama sekali tidak menyangka bahwa tamu Pangeran Pekik adalah dua orang yang mempunyai hubungan dekat sekali dengannya.

Oleh karena itu tidak anehlah kalau Satyabrata begitu bergembira sehingga sejenak dia melupakan kehadiran Maya Dewi. Apa lagi ketika dia melihat betapa sekarang Elsye telah menjadi seorang gadis dewasa yang bertubuh denok montok menggairahkan. Mendengar pertanyaan ketus dari Maya Dewi, barulah Satyabrata terkejut dan sadar.

“Oh, ya. Aku sampai lupa memperkenalkan mereka kepadamu, Maya. Ayah dan Elsye, ini adalah seorang sahabat baikku bernama Maya Dewi. Maya, inilah ayah angkatku seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Dia adalah Perwira Tinggi Willem Van Huisen, cukup kau sebut sebagai Tuan Willem saja dan yang ini...” Satyabrata menggandeng tangan Elsye yang tersenyum manja, “... ini adalah puterinya, adik angkatku bernama Elsye Van Huisen, cukup kau sebut Nona Elsye saja.”

Willem Van Huisen menyodorkan tangannya mengajak Maya Dewi bersalaman. Gadis ini menyambutnya dan ketika berjabat tangan, orang Belanda itu berkata-kata dalam bahasa Sunda yang lancar sambil menggenggam tangan mungil gadis itu. “Maya Dewi, sungguh nama yang amat indah, seindah orangnya!”

Senang juga Maya mendengar ucapan itu karena dari pandang mata orang Belanda itu dia melihat bahwa dia bicara jujur, tidak berniat merayu. Juga Elsye mengajaknya bersalaman dan biar pun dia tidak merasa rendah diri, namun Maya Dewi merasa tidak enak melihat gadis belanda itu lebih jangkung dari pada dia. Elsye hampir sejangkung Satyabrata.

Akan tetapi karena sikap Elsye ramah, ia pun merasa senang berkenalan dengan mereka. Padahal penyebab rasa senang itu adalah karena kini dia sudah mengetahui bahwa gadis itu adalah adik angkat Satysabrata, walau pun mereka memperlihatkan kemesraan yang baginya keterlaluan dan melanggar batas kesopanan. Masa dengan adik sendiri berciuman seperti dua orang kekasih atau dua orang suami isteri saja.

Mereka dipersilakan duduk kembali. Juga Senopati Poncosakti dipersilakan duduk. Akan tetapi Poncosakti menolak, dan berkata, “Saya masih memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan dan menghadiri persidangan yang akan dibuka oleh Gusti Pangeran. Silakan anak-mas berdua bercakap-cakap dan tinggal di Loji Tamu ini, akan tetapi saya sangat mengharapkan agar besok pagi andika berdua suka menjadi tamu keluarga kami. Kami ingin mengadakan pesta untuk andika berdua, sebagai penyambutan selamat datang dan ucapan terima kasih kami atas pertolongan andika berdua.”

Setelah Satyabrata menyanggupinya, dia lalu mengundurkan diri.

Sesudah Poncosakti pergi, empat orang itu duduk melingkari meja dan kedua ayah dan anak itu seperti berlomba hendak menghujankan pertanyaan kepada Satyabrata. Akan tetapi sebelum mereka mulai, Satyabrata menoleh kepada Maya Dewi lalu berkata kepada ayah angkatnya. “Ayah dan Elsye, karena di sini ada Maya Dewi dan dia bukan orang lain, melainkan golongan sendiri, maka kuharap ayah dan Elsye bicara menggunakan bahasa daerah sehingga dia dapat mengerti dan ikut dalam percakapan.”

Melihat sikap Satyabrata yang amat serius ketika mengucapkan kata-kata ini, Willem Van Huisen mengangguk dan berkata, “Baiklah, akan tetapi katakan dahulu mengapa engkau menganggap Maya Dewi ini sebagai orang yang segolongan dengan kita.”

“Begini, ayah. Maya Dewi adalah puteri Resi Koloyitmo dari Parahyangan dan dia adalah seorang yang menerima tugas dari ayahnya untuk memusuhi Mataram dan membantu siapa saja yang menjadi musuh Mataram. Dia sakti mandraguna dan pandai, ayah, maka akan sangat menguntungkan kita kalau dia diberi kepercayaan sebagai seorang telik-sandi kumpeni.”

Willem Van Huisen mengangguk-angguk dan tersenyum senang. “Baiklah, akan kuusulkan kepada Gubernur Jenderal agar dia dapat diangkat menjadi seorang pimpinan telik-sandi kumpeni. Bagaimana, Maya Dewi, maukah engkau menjadi seorang mata-mata kumpeni?”

Maya Dewi tersenyum manis. Dia mengangguk dan berkata, “Tentu saja saya mau.”

“Nah, anakku Jan, sekarang ceritakanlah, apa saja yang kau alami dan ke mana saja kau pergi selama lima tahun ini,” kata Willem.

“Ya, ceritakanlah, Jan. Sampai setengah mati aku menunggu dan merindukanmu. Engkau menghilang selama lima tahun, tanpa kabar sama sekali walau pun ayah telah mendengar bahwa engkau sudah menghubungi beberapa orang telik sandi. Kami hanya tahu bahwa engkau masih hidup. Ceritakanlah,” kata Elsye.

Satyabrata lalu bercerita. Akan tetapi dia tak ingin menceritakan yang sebenarnya tentang ilmu yang ditemukannya dalam sumur tua di belakang perguruan Jatikusumo di tepi laut Pacitan.

“Ketika mendengar bahwa perguruan Jatikusumo adalah pusat dari para jagoan yang setia kepada Mataram, aku segera pergi ke sana untuk melakukan penyelidikan. Aku berhasil menyusup menjadi seorang murid Jatikusumo dan pada suatu hari kebetulan sekali aku menemukan kitab-kitab kuno di goa tepi lautan. Kitab-kitab itu ternyata adalah peninggalan milik Sunan Gunung Jati yang entah bagaimana dapat berada di sana. Selama bertahun-tahun aku mempelajari semua ilmu itu tanpa diketahui orang lain.”

“Dia menjadi sakti mandraguna karena mempelajari ilmu-ilmu itu!” tambah Maya Dewi.

“Bagus sekali!” puji Willem Van Huisen.

“Kemudian dalam perantauan untuk menyelidiki keadaan Mataram dan memusuhi mereka yang setia kepada Mataram, aku bertemu dengan Maya Dewi dan kami menjadi sahabat.”

“Ya, kulihat kalian menjadi sahabat yang baik sekali, dan serasi, dan kalian dapat menjadi jodoh yang tepat sekali!” kata Elsye.

Maya Dewi terkejut juga mendengar ucapan yang blak-blakan itu, seperti juga Satyabrata. “Elsye, jangan goda mereka!” kata Willem dan dia berkata kepada putera angkatnya. “Jan, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau dan Maya Dewi dapat tiba-tiba berada di Kadipaten Surabaya ini?”

“Kami berdua mengambil keputusan untuk pergi ke Madura sesudah mendengar bahwa Mataram sudah siap menggempur Madura. Kami hendak membantu Madura. Akan tetapi dalam perjalanan kami bertemu dengan Senopati Poncosakati tadi yang sedang berusaha mengadu domba antara Surabaya dan Mataram.”

“Eh, menarik sekali itu! Bagairnana caranya?” tanya Willem. Satyabrata lalu menceritakan tentang pengubahan pada surat Pangeran Pekik yang ditujukan kepada Sultan Agung dan mendengar ini, Willem van Huisen menjadi senang sekali dan tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang berbahaya kalau Mataram bersatu dengan Surabaya.”

“Demikianlah, pertemuan dengan Poncosakti sudah menimbulkan keinginan dalam hatiku untuk berkunjung kepada Pangeran Pekik dan menawarkan kerja sama. Sama sekali tidak pernah kusangka bahwa di sini aku dapat bertemu dengan ayah dan Elsye,” Satyabrata mengakhiri ceritanya.

Seharian itu mereka bercakap-cakap. Willem Van Huisen menceritakan keadaan kumpeni kepada Satyabrata dan bahwa kunjungannya ke Surabaya juga dalam rangka memantau keadaan Surabaya dan pergolakan yang terjadi sehubungan dengan niat Mataram untuk menyerbu Madura dan Surabaya.

Malam itu Satyabrata dan Maya Dewi bermalam di Loji Tamu, mereka berdua masing-masing memperoleh sebuah kamar. Ketika hendak berpisah, Elsye berkata dalam bahasa Belanda kepada Satyabrata, “Malam ini aku menantimu di dalam taman.”

Sesudah mereka berpisah dari gadis Belanda itu, Maya Dewi yang selalu curiga segera bertanya. “Apa yang dia katakan tadi, akang Satya?”

“Ahh, dia hanya mengatakan selamat malam dan sampai jumpa pula besok pagi,” jawab pemuda itu.

Biar pun Maya Dewi tidak membantah lagi, namun dia tetap curiga dan setelah memasuki kamar tidurnya dan merebahkan diri, dia tidak dapat segera pulas. Pendengarannya terus dicurahkan untuk memperhatikan suara dari kamar di sebelah, kamar Satyabrata.

Tidak lama kemudian dia mendengar suara gerakan orang. Biar pun langkah itu perlahan, tetapi pendengarannya yang tajam terlatih dapat menangkapnya. Suara itu datangnya dari samping kamarnya, dari arah taman.

Ia cepat menghampiri jendela kamarnya kemudian dengan hati-hati membuka sedikit daun jendela kamar setelah meniup padam lampu dalam kamarnya. Dan di bawah sinar lampu gantung yang berada dalam taman, ia melihat bayangan orang berjalan memasuki taman. Bayangan Elsye.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)