SERULING GADING : JILID-46


Taman itu agaknya memang dibangun sebagai pelengkap Loji Tamu, sebuah taman yang cukup indah dan penuh dengan tanaman bunga serta pohon cemara. Di tengah taman itu terdapat sebuah bangku panjang dan Maya Dewi melihat dua orang duduk di bangku itu.

Ia menyelinap mendekati dan mengintai dari balik semak. Alisnya berkerut, hatinya panas melihat bahwa yang duduk di situ adalah Satyabrata dan Elsye. Agaknya Elsye baru saja datang dan mereka langsung berangkulan, berciuman sambil duduk di atas bangku itu.

“Marilah, Elsye, mari ke kamarku...!” Satyabrata membujuk.

Hati Maya Dewi terasa makin panas ketika Satyabrata bicara dalam bahasa Belanda yang tidak dimengertinya. Dia hanya melihat Satyabrata bangkit dan mencoba untuk menyeret tangan Elsye, mengajaknya pergi. Elsye juga menjawab dalam bahasa Belanda.

“Jangan, Jan, jangan begitu... kita tidak boleh melakukan itu...”

“Akan tetapi, kita saling mencinta Elsye. Aku cinta padamu.”

“Aku pun cinta kepadamu, Jan. Akan tetapi, seperti sudah kuceritakan tadi, kini aku sudah bertunangan dengan seorang lain, sudah menjadi calon isteri Piet...”

Satyabrata menghentikan kata-kata gadis Belanda itu dengan sebuah ciuman yang penuh nafsu. Akan tetapi, sesudah membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam kemesraan itu, Elsye lalu meronta dan melepaskan dirinya.

“Jan, aku tidak mau. Kalau engkau memaksa, aku akan melapor kepada papa!”

Satyabrata tidak berani memaksa. Elsye bukanlah sembarang gadis yang dapat dijadikan pemuas nafsunya seperti para gadis yang pernah menjadi korbannya. Tetapi secara diam-diam dia lalu mengerahkan aji pengasihan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang pernah dipelajarinya di dalam sumur tua.

“Elsye, kekasihku...” Dia berbisik.

“Jan... ohh... Jantje...!” Elsye terkulai dalam rangkulan Satyabrata, sepenuhnya terbuai aji pengasihan Mimi-mintuna yang dikerahkan Satyabrata.

Memang pada dasarnya kedua orang muda itu saling mencinta. Semenjak remaja mereka sudah bergaul dekat dan cinta dalam hati mereka yang mula-mula merupakan cinta antara saudara, walau pun hanya saudara angkat tetapi setelah menjelang dewasa mereka saling tertarik dan cinta itu menjadi cinta antara pria dan wanita.

Namun Satyabrata kemudian pergi mengembara sampai lima tahun lebih lamanya. Ketika ditinggal pergi Satyabrata, usia Elsye Van Huisen baru tujuh belas tahun. Tetapi sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun lebih, sudah dewasa. Oleh karena itu perpisahannya dengan Satyabrata membuka kesempatan baginya untuk berkenalan dan saling jatuh cinta dengan seorang pemuda lain, yaitu seorang pemuda Belanda yang berpangkat letnan dan menjadi pembantu ayahnya, bernama Piet Meijer.

Willem Van Huisen menyetujui pilihan puterinya dan mereka telah ditunangkan. Karena itu tadinya Elsye menolak saat diajak bercumbu oleh Satyabrata. Akan tetapi setelah pemuda itu menggunakan Aji Pengasihan Mimi-mintuna yang ampuh, Elsye tak berdaya menolak. Mereka saling berangkulan dan berciuman, dan gadis Belanda itu pun mandah saja ketika Satyabrata memondongnya dan hendak membawanya pergi dari taman.

Sepasang mata Maya Dewi mengeluarkan sinar berapi ketika dia melihat semua ini. Dapat dibayangkan betapa marah rasa hatinya saat melihat Satyabrata bercumbu dengan gadis Belanda itu. Hatinya dibakar cemburu!

Bukankah pemuda itu mengaku jatuh cinta kepadanya? Secara diam-diam dia pun mulai tertarik dan mencintai pemuda yang sakti mandraguna dan tampan lembut itu. Akan tetapi sekarang dia melihat Satyabrata berangkulan dan berciuman dengan Elsye! Dia tidak bisa lagi menahan kemarahan dan cemburunya.

Sekali melompat Maya Dewi sudah berdiri menghadang di depan Satyabrata yang berjalan sambil memondong Elsye yang memejamkan kedua matanya sambil lengannya merangkul leher pemuda itu.

Melihat bayangan berkelebat dan tiba-tiba Maya Dewi sudah berdiri di hadapannya dengan sepasang mata mencorong marah tu, Satyabrata menjadi terkejut setengah mati. Saking kagetnya dia segera melepaskan pondongannya sehingga Elsye jatuh bedebuk dan gadis ini menjadi sadar, terbebas dari pengaruh aji pengasihan yang tadi menguasai dirinya.

Sejenak dia menjadi bingung, lalu teringat akan apa yang dia lakukan bersama Satyabrata. Kini melihat Maya Dewi berdiri di situ, Elsye menjadi malu dan dia pun bangkit berdiri lalu berlari ke gedung Loji Tamu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Kini Maya Dewi tinggal berdua saja dengan Satyabrata di tengah taman itu. Mereka berdiri saling berhadapan dan dengan cepat Satyabrata sudah dapat menguasai hatinya. Dia lalu tersenyum dan dengan wajah polos dan bersih seolah-olah tak pernah melakukan sesuatu yang salah, dia pun menegur. “Maya Dewi! Engkau belum tidur? Kebetulan sekali engkau datang. Aku pun tidak dapat tidur, maka kita dapat bercakap-cakap di sini. Duduklah,” kata Satyabrata sambil menunjuk ke arah bangku.

“Akang Satya! Jangan berpura-pura. Apa yang kau lakukan tadi bersama gadis Belanda itu?”

“Ehh...?” Satyabrata mengembangkan kedua lengannya sambil wajahnya membayangkan keheranan dari seorang yang tidak mempunyai kesalahan apa pun. “Apa maksudmu? Apa yang kami lakukan?”

“Ehh...! Masih bertanya lagi? Aku melihat jelas kalian saling berangkulan, berciuman, dan engkau memondongnya...!”

Tiba-tiba saja Satyabrata tertawa. “Ha-ha-ha! Engkau cemburu, Maya? Engkau cemburu terhadap adikku sendiri? Ha-ha-ha-ha, bukankah tadi sudah kukatakan bahwa peluk cium bagi bangsa Belanda adalah hal yang biasa dilakukan kakak beradik? Engkau tahu, aku berpisah dengan adikku itu selama lima tahun lebih. Setelah sekarang kami bertemu, kami menumpahkan kerinduan kami. Peluk-cium itu adalah tanda cinta kami, Maya, tetapi cinta antara kakak dan adiknya. Bagi bangsa Belanda, hal itu adalah biasa dan tidak melanggar kesusilaan karena peluk cium itu pun bersih dari perasaan yang tidak-tidak. Percayalah, Maya, memang Elsye mencintaku dan aku mencintanya, tetapi cintaku terhadap dirinya sungguh berbeda sekali dengan cintaku terhadap dirimu!”

Kata-kata penuh semangat menggebu yang terdengar penuh kesungguhan itu menyiram padam api kemarahan dan kecemburuan di hati Maya Dewi yang meski pun sakti namun sama sekali belum berpengalaman dalam soal cinta mencinta. Tentu saja dia sama sekali tidak mengira bahwa alasan yang dikemukakan Satyabrata tadi adalah bohong belaka.

Biar pun bangsa Belanda memang lebih terbuka dalam memperlihatkan kasih sayangnya, namun tentu saja cumbuan seorang kakak terhadap adiknya sama sekali berbeda dengan cumbuan seorang pria terhadap kekasihnya! Akan tetapi ia tidak mengerti akan hal itu dan ia percaya kepada Satyabrata sehingga Maya Dewi mulai tersenyum, sinar matanya tidak mencorong lagi seperti tadi melainkan bening dan lembut.

Sebagai pengganti perasaan cemburunya, kini dia merasa iri membayangkan kemesraan yang tadi dilihatnya antara Satyabrata dan Elsye.

“Hemm, begitukah? Apa sih bedanya antara cinta saudara dan cinta kekasih itu, akang?” tanyanya ingin tahu.

Melihat perubahan sikap gadis itu, Satyabrata mendekat lantas memegang kedua tangan Maya Dewi. “Kalau engkau ingin merasakannya, bolehkan aku membuktikan rasa kasihku kepadamu, Maya?” Kedua tangannya menggenggam erat tangan gadis itu.

Dengan muka berubah kemerahan dan senyum menantang namun malu-malu, Maya Dewi mengangguk. Kini jantungnya berdebar kencang karena selama hidupnya ia belum pernah merasa begini dekat dengan seorang pria. Dekat lahir batin yang menimbulkan perasaan mesra. Dia pun menengadahkan mukanya, siap menerima perlakuan mesra seperti yang dilihatnya tadi didapatkan gadis Belanda itu dari Satyabrata.

Satyabrata tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dipeluknya Maya Dewi dengan lembut, lalu diciuminya bibir gadis itu dengan sepenuh perasaan cintanya, dengan mesra namun lembut karena dia tidak ingin mengejutkan gadis itu.

Pada dasarnya Maya Dewi adalah seorang gadis yang semenjak kecil terdidik dan berada dalam lingkungan para hamba nafsu, adalah seorang yang lemah terhadap nafsu-nafsunya sendiri. Karena itu, bagaikan daun kering yang tersentuh api yang dinyalakan Satyabrata, ia segera terbakar dan berkobar diamuk api nafsu berahinya sendiri. Ia terkulai dan terlena oleh kenikmatan yang baru saja dikenalnya. Namun, sesudah beberapa saat membiarkan dirinya hanyut, gadis yang cerdik ini lalu meronta dan melepaskan diri dari dekapan.

“Hemm... mengapa, Maya? Engkau baru mengenal apa artinya cinta. Marilah, kekasihku, kita pindah ke kamar di Loji. Di sana kita aman, tidak khawatir akan terlihat orang lain...” Satyabrata yang sudah merasa menang segera menggandeng tangan gadis itu.

Akan tetapi Maya Dewi melepaskan tangannya dan menggeleng kepalanya. “Tidak, belum lagi, akang! Aku masih belum yakin betul dengan cintamu. Engkau harus membuktikan itu secara nyata, barulah aku akan percaya dan mau menyerahkan jiwa ragaku kepadamu.”

“Membuktikan cintaku? Ah, adindaku yang tersayang, bukti apa lagi yang harus kulakukan untuk meyakinkan hatimu? Katakanlah, semua kehendakmu tentu akan aku penuhi untuk membuktikan cintaku.”

Maya Dewi tersenyum dan sekarang dialah yang memegang tangan Satyabrata. “Tenang dan sabarlah, akang. Beri aku waktu untuk memikirkan apa yang harus kau lakukan untuk membuktikan cintamu yang tulus padaku. Sekarang aku ingin tidur. Lihat, tubuhku masih gemetar akibat perbuatanmu yang nakal tadi!” Gadis itu melepaskan tangannya, kemudian membalikkan tubuh dan berlari pergi ke bangunan loji sambil tertawa kecil.

Satyabrata berdiri tertegun. Rasa kecewa dan kesal memenuhi hatinya. Dia merasa seolah buah segar yang sudah menempel di bibir luput termakan olehnya. Dan itu terjadi dua kali pada malam ini. Pertama Elsye yang gagal didapatkannya akibat kemunculan Maya Dewi. Kemudian Maya Dewi sendiri, padahal tadi sudah jelas terasa olehnya betapa Maya Dewi membalas belaian dan cumbuannya, yang berarti bahwa gadis itu pun membalas cintanya. Jika tadi dia mau menggunakan aji pengasihannya, alangkah akan mudahnya Maya Dewi terjatuh ke dalam dekapannya.

Akan tetapi berbeda dengan terhadap Elsye, dia tidak mau menggunakan aji pengasihan terhadap Maya Dewi. Dia menginginkan cinta kasih murni gadis itu, ingin supaya gadis itu menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, tanpa paksaan dan tanpa pengaruh luar. Dia ingin mendapatkan Maya Dewi yang diharapkan menjadi isterinya.

Kalau Elsye, gadis Belanda itu tak mungkin bisa menjadi isterinya karena pertama, Willem Van Huisen tidak mungkin menyetujui puterinya menjadi isteri seorang blasteran, seorang peranakan, seorang Indo, bukan Belanda tulen yang totok. Kedua, sekarang Elsye sudah bertunangan dengan lelaki lain, seorang pemuda Belanda totok. Ketiga, dia sendiri hanya suka dengan kecantikan gadis itu, tidak mencintanya dan tidak mengharapkannya menjadi isterinya. Dia hanya ingin menggauli Elsye sebagai kekasihnya dan untuk sementara saja.

Dengan hati kecewa Satyabrata kembali ke kamarnya. Diam-diam dia merasa amat heran dan bertanya-tanya, bukti apa yang dikehendaki Maya Dewi nanti untuk bisa membuktikan cintanya?

Pada keesokan harinya Satyabrata dan Maya Dewi berpamit kepada Willem Van Huisen yang masih berada di Loji Tamu sebagai tamu kehormatan Pangeran Pekik. Mereka akan memenuhi undangan Senopati Poncosakti yang mengundang mereka untuk bermalarn di rumahnya.

Ketika berpamit ini Satyabrata berunding dengan ayah angkatnya. Dia mengatakan bahwa dia hendak pergi ke Madura untuk membantu Madura menghadapi penyerbuan pasukan Mataram.

Willem Van Huisen segera berjanji untuk mengatur bantuan kepada Madura melalui kapal perang, juga berjanji akan mengusulkan kepada atasannya di Batavia untuk mengangkat Maya Dewi menjadi mata-mata kumpeni tingkat tinggi yang dipercaya.

Sesudah berpamit, di mana Elsye hadir dengan sepasang alis berkerut dan tidak banyak cakap, Satyabrata dan Maya Dewi lalu mengikuti Senopati Poncosakti yang sudah datang menyambut mereka. Kemudian mereka mohon diri dari Pangeran Pekik.

Rumah tinggal Senopati Poncosakti cukup besar dan mewah sungguh pun tentu saja tidak sebesar dan semewah istana Sang Adipati. Akan tetapi Senopati Poncosakti menyambut dua orang tamunya itu dengan penuh keramahan dan penghormatan. Ia bahkan mengajak isterinya dan puterinya yang bernama Mintarsih untuk menyambut. Keramahan keluarga senopati itu membuat Satyabrata dan Maya Dewi merasa lebih senang dan leluasa tinggal di rumah gedung sang senopati.

Mintarsih adalah seorang gadis yang ramah dan lincah, juga wajahnya ayu manis. Dalam waktu sebentar saja dia sudah akrab dengan Maya Dewi dan mengajak Maya Dewi tinggal bersama di kamarnya.

Satyabrata mendapatkan sebuah kamar di bagian bangunan samping, sebuah kamar yang cukup indah karena kamar itu memang diperuntukkan bagi para tamu yang dihormati.

Maya Dewi juga merasa suka kepada Mintarsih yang amat kenes dan ramah. Tentu saja kecantikan wajah Mintarsih dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar itu tak luput dari incaran pandang mata Satyabrata!

Melihat pandang mata Mintarsih yang menyinarkan kekaguman, senyum yang malu-malu namun ada daya tarik yang menantang itu, timbullah gairah Satyabrata dan dia mengambil keputusan untuk mendekati puteri senopati itu. Dia tak akan melewatkan kesempatan baik itu!

Ketika sore hari itu keluarga senopati menjamu pesta makan, mereka berlima makan pada satu meja. Kebetulan Satyabrata duduk tepat berhadapan dengan Mintarsih. Pada waktu pandang mata Mintarsih bertemu dengan panidang matanya, diam-diam dia mengerahkan aji pengasihannya sambil membaca mantera.

Tiba-tiba saja kedua pipi Mintarsih menjadi kemerahan, matanya meredup dan dia menjadi salah tingkah. Tetapi Satyabrata tidak melanjutkan ajinya karena maksudnya hanya untuk menarik perhatian gadis itu dan membuatnya tidak bisa lagi melupakannya. Bahkan diam-diam kakinya dijulurkan ke depan dan dia berhasil menyentuh kaki Mintarsih dengan ujung jari kakinya.

Gadis itu tersenyum malu-malu sambil menarik kakinya. Akan tetapi Satyabrata merasa sangat yakin bahwa gadis itu tentu tidak akan melupakan semua kejadian kecil ini.

Malam itu Mintarsih bercakap-cakap dengan Maya Dewi sambil rebah di atas pembaringan di dalam kamar puteri senopati itu. Mintarsih yang ramah dan lincah itu menghujani Maya Dewi dengan pertanyaan.

“Benarkah engkau bukan adik dari kakangmas Satyabrata, mbakayu Maya Dewi?” tanya Mintarsih dengan suara penuh keinginan tahu.

“Bukan, sama sekali bukan. Tadi hal itu sudah kukatakan, untuk apa aku bohong?” jawab Maya Dewi.

“Lalu bagaimana kalian dapat bertemu dan melakukan perjalanan bersama?”

Sebetulnya Maya Dewi merasa tidak senang juga didesak seperti itu tentang hubungannya dengan Satyabrata, akan tetapi karena sikap Mintarsih demikian ramah dan terbuka, maka dia pun merasa tidak enak kalau tidak menjawab. Dia pun menjawab dengan singkat.

“Kami saling bertemu di jalan dan karena mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu Madura dan Surabaya menentang Mataram, maka kami pun lantas melakukan perjalanan bersama dan kebetulan bertemu dengan ayahmu.”

“Ohh, begitukah? Kalian tampak serasi sekali, mbakayu. Kakangmas Satyabrata demikian ganteng dan engkau begini cantik. Kukira kalau bukan kakak dan adik kalian tentu suami isteri, tunangan atau setidaknya kekasih!” Setelah berkata demikian Mintarsih memandang wajah Maya Dewi penuh selidik.

Maya Dewi mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya tersenyum. Tentu saja dia tak mau membuka rahasia hatinya kepada setiap orang.

“Ahh, kami hanya bersahabat,” katanya singkat.

Akan tetapi jawaban ini agaknya amat menggirangkan hati puteri senopati itu. Maya Dewi sama sekali tidak menduga bahwa Mintarsih masih terpengaruh sekali oleh aji pengasihan yang diarahkan kepadanya oleh Satyabrata ketika makan bersama sore tadi dan sentuhan kaki itu pun tak pernah lepas dari kenangannya.

Mintarsih memegang lengan Maya Dewi. “Betulkah itu, mbakayu? Ah, girang sekali hatiku. Aku ingin mengenal dia lebih dekat lagi! Mau engkau membantu mbakayu?”

Maya Dewi merasa sebal dan kesal. Ingin dia menghardik, akan tetapi karena ingat bahwa dia adalah seorang tamu, maka ditahannya kemarahannya. Dia tidak menjawab melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi Mintarsih dan menghadap ke dinding, lalu berkata lirih. “Ahh, aku lelah sekali, sekarang aku ingin tidur...”

Mintarsih tidak berani mengganggu lagi. Akan tetapi gadis ini gelisah di atas pembaringan, tidak dapat tidur. Dia merasa betapa suara Satyabrata memanggil-manggilnya. Telinganya tidak mendengar suara itu, namun dia merasa sekali tarikan panggilan itu yang membuat hatinya semakin gelisah.

Dia tidak berani turun, takut kalau diketahui Maya Dewi. Dia menunggu dengan tidak sabar dan akhirnya dia merasa yakin bahwa Maya Dewi sudah tidur pulas. Pernapasan gadis itu nampak panjang-panjang teratur. Mintarsih memadamkan lampu, lalu memanggil-manggil nama Maya Dewi.

Akan tetapi Maya Dewi benar-benar telah pulas. Jika tubuhnya disentuh sedikit saja, pasti dia akan terbangun. Tetapi karena hanya dipanggil, dia tidak dapat terjaga dan terus tidur nyenyak.

Sementara itu Mintarsih merasa betapa suara panggilan Satyabrata makin lama semakin kuat berdengung dalam hatinya, seolah menariknya dan membayangkan kemesraan yang rnembuatnya seperti mabok. Akhirnya Mintarsih tidak kuat bertahan lebih lama lagi dan dia pun keluar dari kamarnya. Seperti orang bermimpi dia berjalan dengan mata terpejam.

Sesungguhnya itulah pengaruh ilmu santet yang dilakukan Satyabrata, semacam ilmu sihir pemanggil semangat yang membuat gadis itu berjalan bagaikan di dalam mimpi dan tidak sadar.

Mintarsih berjalan perlahan-lahan menuju ke sebuah kamar di bangunan samping, kamar di mana Satyabrata tidur! Biar pun langkah gadis itu hampir tidak menimbulkan suara, namun begitu tiba di depan pintu kamar itu, daun pintu terbuka dari dalam dan Satyabrata sudah berdiri menyambut di ambang pintu sambil tersenyum.

“Kakangmas... aku... datang memenuhi panggilanmu...” Mintarsih berbisik seperti di dalam mimpi, lalu dia melangkah masuk mengikuti Satyabrata yang melangkah mundur ke dalam kamar. Satyabrata mengembangkan kedua lengannya, merangkulnya dan menutup daun pintu kamar itu.

Di antara nafsu-nafsu daya rendah, kemurkaan akan harta benda dan gairah nafsu berahi adalah nafsu yang amat berbahaya bagi manusia. Betapa banyaknya orang-orang cerdik pandai, orang-orang gagah perkasa, yang jatuh akibat pengaruh kedua macam nafsu ini. Oleh karena itu, setiap manusia harus berhati-hati sekali menghadapi godaan iblis berupa nafsu materi dan nafsu berahi ini.

Setiap saat iblis menggoda kita dengan pameran kesenangan dan kenikmatan yang bisa dirasakan melalui harta benda dan pemuasan berahi sehingga kita sering kali lupa bahwa kita tengah diperbudak oleh nafsu dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran.

Kita tidak perlu bicara lagi mengenai Satyabrata. Dia adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah terdidik menjadi hamba nafsunya sendiri. Ia gila kedudukan, gila kekayaan dan mata keranjang, menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sehingga tidak pantang melakukan kejahatan apa pun juga untuk mencapai apa yang diinginkannya.

Akan tetapi Mintarsih sebetulnya adalah seorang gadis baik-baik. Sayang dia terlalu centil, juga hatinya mudah jatuh dan tertarik bila melihat pemuda tampan. Penampilan Satyabrata yang pantas disebut seorang ksatria muda yang halus budi, ramah, sopan, dan juga sakti mandraguna itu sudah membuat dia tertarik sekali. Andai kata tidak demikian, andai kata dia tidak terpikat, kiranya tak akan mudah bagi Satyabrata untuk menyihirnya dengan ilmu pelet atau aji pengasih. Hati yang bersih selalu mempunyai daya tolak yang kuat terhadap serangan tenaga sihir yang kotor.....

********************

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Maya Dewi terbangun dari tidurnya. Dia merasa tubuhnya segar karena tidurnya cukup dan semua kelelahannya lenyap. Dia bangkit duduk lalu menggelinjang seperti seekor kucing.

Kamar itu cukup terang. Dia menoleh dan melihat lampu di meja telah padam, akan tetapi ada seberkas sinar memasuki kamar lewat lubang hawa di atas jendela.

“Kakangmas... kakangmas Satya...”

Maya Dewi cepat memandang ke arah tubuh yang rebah telentang di sampingnya. Tubuh Mintarsih. Maya Dewi mengerutkan alisnya melihat keadaan gadis puteri senopati itu.

Pakaian gadis itu awut-awutan. Kembennya terlepas dan hanya dilibatkan lalu diselipkan sembarangan pada pinggangnya. Gelung rambutnya terlepas sehingga rambut itu terurai di atas bantal. Muka gadis itu pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum dalam tidurnya.

Bagaimana mungkin ini, pikir Maya Dewi. Tadi malam dia melihat sendiri bahwa pakaian gadis itu dalam keadaan rapi, rambutnya juga digelung rapi, wajahnya dibedaki, bibirnya juga memakai gincu. Namun kini mukanya pucat, tidak ada lagi bekas bedak dan gincu, rambutnya acak-acakan dan pakaiannya awut-awutan! Apa yang terjadi?

Kalau gadis itu banyak bergerak di waktu tidur, sungguh tidak mungkin, karena tentu dia akan tersentuh dan hal ini akan membuat dia terbangun dari tidurnya. Dan gadis ini tadi menyebut nama Satyabrata, dengan suara yang berdesah manja!

Api cemburu membakar hati Maya Dewi. Sekali ini dia benar-benar marah. Apa lagi yang terjadi kepada puteri senopati ini kalau bukan seperti yang dia bayangkan?

Tadi malam, ketika dia sedang tidur, pasti gadis ini sudah keluar kamar dan mengadakan pertemuan dengan Satyabrata! Keadaan diri berikut pakaiannya menunjukkan hal itu. Lagi pula sebelum tidur semalam gadis ini jelas-jelas telah menyatakan kekagumannya kepada Satyabrata, ingin mengenal pemuda itu lebih dekat!

“Mintarsih ! Mintarsih...!” Dengan hati gemas Maya Dewi mengguncang pundak gadis yang sedang tidur nyenyak itu.

Mintarsih terbangun lantas membuka matanya. Ketika dalam kagetnya dia melihat bahwa yang menggugahnya adalah Maya Dewi, dia berkata setengah sadar karena masih digeluti rasa kantuk yang berat.

“Aih... saya mimpi.., wah, kakangmas Satyabrata amat mencintaku, mbakayu Maya Dewi. Dia... dia amat mencintaku... aah...” gadis itu rebah miring dan segera pulas lagi.

Maya Dewi mengepalkan tinjunya. Kini dia tidak ragu-ragu lagi. Satyabrata mengkhianati cintanya! Tadi malam pemuda itu pasti mengadakan hubungan dengan Mintarsih. Entah dengan jalan bagaimana dia dapat membujuk Mintarsih yang agaknya memang telah jatuh cinta kepadanya.

Tiba-tiba saja Maya Dewi teringat bahwa Satyabrata adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna. Bukan tidak mungkin pemuda itu sudah mempergunakan aji pameletan atau aji pengasihan yang amat kuat sehingga membuat wanita yang dipeletnya menjadi tergila-gila!

Makin dipikir semakin panas hatinya dan akhirnya dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melompat turun dari atas pembaringan lalu keluar dari kamar itu. Ternyata sinar yang masuk ke kamar melalui lubang di atas jendela adalah sinar lampu penerangan yang digantung di luar kamar.

Keadaan dalam gedung masih sunyi sekali. Waktu masih terlampau pagi, fajar belum lagi menyingsing dan orang-orang belum bangun dari tidurnya. Dia langsung menuju bangunan samping, kamar Satyabrata. Diketuknya daun pintu itu, cukup kuat sehingga mengejutkan Satyabrata.

Pemuda itu bangkit duduk lantas memandang ke arah daun pintu. Baru saja dia menyuruh Mintarsih kembali ke kamarnya karena ayam jantan sudah mulai berkeruyuk, tanda bahwa fajar akan segera menyingsing. Dan dia baru saja tertidur melepaskan lelah ketika pintu itu diketuk orang. Mintarsih datang kembali? Gila! Ini berbahaya, bisa ketahuan orang.

“Siapa?” tanyanya ketika ketukan itu berhenti.

“Aku! Bukalah pintunya!” terdengar suara Maya Dewi.

Satyabrata bernapas lega. Ternyata Maya Dewi yang datang. Mau apa gadis itu datang mengetuk daun pintu kamarnya sepagi itu? Satyabrata menggosok kedua matanya untuk mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti matanya, kemudian turun dari pembaringan dan menghampiri daun pintu yang segera dibukanya. Maya Dewi berdiri di luar pintu sambil memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong marah.

Berdebar jantung Satyabrata. Dia merasa tidak enak, teringat akan apa yang terjadi dalam kamarnya semalam. Jangan-jangan gadis ini mengetahuinya! Akan tetapi tidak mungkin. Kalau dia mengetahuinya, tentu tadi malam dia sudah mendobrak pintu kamarnya!

“Aih, Maya, engkau mengejutkan aku! Sepagi ini mengetuk pintu. Ada apa, nimas?” tanya Satyabrata sambil tersenyum manis.

“Apa yang kau lakukan dengan Mintarsih?” Maya Dewi bertanya dengan sikap menuduh, suaranya amat ketus.

Diam-diam Satyabrata terkejut. Akan tetapi dia segera dapat menduga bahwa Maya Dewi belum mengetahui akan peristiwa itu tapi hanya baru curiga saja. Untung tadi dia bersikap hati-hati dan sesudah Mintarsih meninggalkan kamarnya, dia langsung saja membereskan pembaringannya sehingga tidak tampak tanda-tanda hadirnya orang lain di situ.

Dia mengerutkan alisnya dan mundur lagi, memasuki kamarnya.

“Sstt... Maya, jangan ribut-ribut. Engkau dapat membuat semua orang menjadi terbangun. Sebetulnya ada apakah? Mari kita bicarakan di dalam dan jangan ribut-ribut.”

Diperingatkan begitu, Maya Dewi teringat bahwa mereka sedang berada di rumah senopati Poncosakti sebagai tamu, maka dia pun segera memasuki kamar Satyabrata.

Pemuda itu lalu menutupkan daun pintu dan berkata, “Maya, duduklah dan ceritakan apa yang terjadi.”

“Tidak perlu duduk!” jawab Maya Dewi sengit. “Dan bukan aku yang harus bercerita, tetapi engkau! Katakan apa yang kau lakukan dengan Mintarsih malam tadi! Hayo mengaku saja bahwa engkau melakukan hubungan gelap dengan Mintarsih. Engkau sudah mengkhianati pengakuanmu sendiri bahwa engkau cinta kepadaku!”

Satyabrata mengembangkan kedua tangannya, membelalakkan kedua mata seperti orang terheran-heran dan kaget. Dia lalu berkata, “Aihh, Maya. Apa, engkau mimpi? Apa artinya semua tuduhan gila ini? Semalam aku tidur, tidak pergi ke mana-mana.” Dia menoleh ke arah pembaringan dan Maya Dewi juga memandang ke sana. Pembaringan itu beres saja, tidak acak-acakan.

“Bagaimana engkau begitu tega menuduh aku melakukan hubungan dengan puteri paman senopati yang baru saja kita kenal? Ah, Maya Dewi, engkau tahu bahwa hanya engkaulah satu-satunya wanita yang kucintai. Bagaimana aku dapat mengadakan hubungan dengan wanita lain? Aku bersumpah bahwa semalam aku tidak meninggalkan kamar ini dan aku tidur pulas karena merasa lelah.”

Maya Dewi menjadi ragu. Pembaringan pemuda itu kelihatan beres, tidak ada tanda-tanda kusut atau tanda-tanda ditiduri berdua. Akan tetapi dia belum percaya sepenuhnya.

Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik menurut penilaiannya. Mintarsih jelas jatuh cinta pada Satyabrata sehingga hal ini menimbulkan kebencian dalam hatinya. Ia harus mendapatkan bukti nyata agar yakin akan cinta Satyabrata kepadanya, dan inilah cara yang amat baik untuk membuktikannya!

“Mengapa engkau diam saja, Maya? Apakah engkau masih tidak percaya kepadaku? Aku sanggup membuktikan bahwa hanya engkaulah satu-satunya wanita yang aku cintai. Apa saja permintaanmu akan kulaksanakan untuk membuktikan cintaku seperti yang pernah kukatakan padamu.”

Inilah saatnya, pikir Maya Dewi.

“Hemm, benarkah itu? Nah, aku mempunyai satu permintaan, kalau engkau tidak sanggup dan tidak mau melaksanakan, jangan lagi bicara tentang cinta dengan aku. Sebaliknya jika engkau mau melasanakannya sampai berhasil, barulah aku yakin akan cintamu dan aku...” Maya Dewi tersipu.

“Dan engkau dengan rela bersedia menyerahkan diri kepadaku, menyerahkan jiwa ragamu kepadaku, Maya?”

Dengan kedua pipi berubah kemerahan Maya Dewi mengangguk.

“Kalau begitu katakan sekarang, apa yang harus kulakukan? Biar pun harus menyeberangi lautan api, akan kulaksanakan.” kata Satyabrata penuh semangat.

“Tidak sedemikian sulitnya, akang. Permintaanku hanya sederhana saja, yaitu kalau benar engkau tidak berhubungan dan tidak mencinta Mintarsih, kalau engkau benar-benar hanya mencinta aku seorang, nah, kau bunuhlah Mintarsih!”

Mendengar ini, Satyabrata terbelalak dan merasa seolah disambar petir. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Maya Dewi akan mempunyai permintaan segila itu!

“Hemm, engkau terkejut dan tidak sanggup melakukannya, bukan? Hal itu karena engkau mencintanya dan pernyataan cintamu kepadaku hanya gombal belaka!”

“Ehh, tidak, Maya! Sama sekali bukan begitu. Hanya... bagaimana aku dapat membunuh dia? Dia adalah puteri Paman Senopati Poncosakti yang merupakan sekutu kita!”

“Huh, katakan saja engkau sayang kepada Mintarsih. Nah, kalau begitu, kawini Mintarsih dan jangan sekali-sekali berani bicara tentang cinta lagi dengan aku!” Maya Dewi nampak marah sekali.

“Ah, baiklah, Maya Dewi. Demi cintaku kepadamu, aku akan melaksanakan permintaanmu itu. Kita tunggu saat terbaik. Tetapi untuk itu terpaksa kita harus tinggal di sini lebih lama. Dan engkau harus membantuku. Kita rencanakan siasat agar paman senopati tidak tahu bahwa aku yang melakukan itu.”

Maya Dewi tersenyum dan wajahnya berubah cerah gembira.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)