SERULING GADING : JILID-47


Maya Dewi membenci Mintarsih karena gadis itu berani mencinta Satyabrata, maka dalam anggapannya puteri senopati itu harus dibunuh dan menurut pendapatnya hal ini sudah adil dan benar. Satyabrata juga menganggap rencana pembunuhan itu sudah benar karena hal itu dilakukan untuk meyakinkan Maya Dewi akan cintanya. Selain itu, sebagai akibat dari apa yang sudah terjadi antara dia dan Mintarsih semalam, maka tentu akan menimbulkan akibat. Setidaknya Mintarsih tentu akan terus mengejarnya untuk menuntut pertangungan jawabnya. Maka sudah tepat dan baik sekali kalau gadis itu dibunuh!

Sesudah mengatur siasat, Satyabrata menghampiri Maya Dewi dan hendak memeluknya. Akan tetapi Maya Dewi menghindar sambil berkata, “Jangan tergesa-gesa, akang Satya. Laksanakan dulu permintaanku sebagai bukti cintamu!” Sesudah berkata demikian dia lalu keluar dari dalam kamar pemuda itu.

Mintarsih baru bangun setelah matahari naik tinggi. Setelah bangun dia bangkit duduk dan termenung. Timbul rasa gelisah dan penyesalan di dalam hatinya. Dia teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Biar pun hal itu terjadi seperti dalam mimpi yang indah, namun dia tahu dan merasa bahwa semua itu bukan mimpi!

Tadi malam dia sudah pergi ke kamar Satyabrata dan dia telah membiarkan dirinya digauli pemuda itu. Sekarang dia sudah ternoda!

Dia menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya. Kenapa dia melakukan hal yang sehina itu? Belum menikah telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki yang baru saja dikenalnya?

Akan tetapi semua itu sudah terjadi! Dan dia mencinta Satyabrata. Pemuda itu tentu juga mencintanya. Jika tidak, tentu tidak terjadi hal semalam. Dia harus menghubungi pemuda itu. Dia harus menuntut agar Satyabrata menikahinya! Akan tetapi hal itu harus dilakukan secara diam-diam agar tidak ada seorang pun yang tahu bahwa dia sudah digauli pemuda itu.

Mintarsih segera mandi dan berdandan. Tapi dia tidak melihat Maya Dewi di dalam kamar. Timbullah rasa khawatirnya. Jangan-jangan mereka, Maya Dewi dan Satyabrata, sekarang sudah pergi meninggalkan gedung keluarganya! Celaka kalau begitu!

Dia bergegas, berdandan rapi lalu keluar. Dan hatinya merasa lega. Dilihatnya Satyabrata dan Maya Dewi sedang duduk bercakap-cakap dengan ayah dan ibunya di ruang tengah.

“Wah, engkau baru bangun, Tarsih?” tegur Senopati Poncosakti kepada puterinya.

“Hemm, sungguh tidak semestinya seorang gadis bangun begini siang!” Isteri senopati itu menegur.

Dia adalah seorang wanita yang jauh lebih muda dari suaminya, baru berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Dia memang isteri baru sang senopati, atau ibu tiri Mintarsih.

Senopati Poncosakti datang ke Surabaya hanya bersama anaknya, yaitu Mintarsih, karena isterinya sudah meninggal dunia pada saat terjadi perang antara Pasuruan dan Mataram. Setelah menjadi senopati di Kadipaten Surabaya, baru dia menikah lagi dengan Kartinah. Wanita ini cantik dan biar pun lahirnya dia tidak berani bersikap kasar terhadap Mintarsih, anak tirinya, akan tetapi dalam batinnya tentu saja dia merasa tidak begitu suka, apa lagi Mintarsih yang kenes dan lincah itu memang tidak begitu taat kepadanya.

Maya Dewi tertawa kemudian berkata, “Aku lihat tidurmu nyenyak sekali, maka aku tidak menggugahmu, adik Mintarsih. Mari, duduklah.”

Mintarsih segera duduk dan untuk sejenak dia menatap wajah Satyabrata. Pemuda itu pun memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandang matanya. Maya Dewi yang diam-diam terus memperhatikan Mintarsih, menjadi makin panas dan benci melihat betapa Mintarsih memandang Satyabrata dengan sinar mata penuh kagum dan mesra.

Senopati Poncosakti merasa sangat gembira ketika mendengar kesanggupan Satyabrata dan Maya Dewi untuk menginap satu malam lagi di gedungnya. Maka malam itu kembali dia menjamu kedua orang muda itu dengan pesta makan minum.

Akhirnya Mintarsih mendapat kesempatan untuk bicara berdua dengan Satyabrata. Tetapi sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Satyabrata sudah berbisik kepadanya, “Malam nanti kutunggu engkau di kamarku. Kita dapat bicara dengan panjang lebar dan leluasa.”

Mintarsih merasa girang dan dia pun mengangguk sambil tersenyum. Memang agak sukar membicarakan rahasia mereka berdua di tempat terbuka, di mana besar sekali bahayanya percakapan mereka didengar orang lain. Kalau di kamar pemuda itu tentu dia dapat bicara secara terbuka mengajukan tuntutan agar pemuda itu segera meminang dan menikahinya, di samping itu mereka dapat mengulang kemesraan yang mereka nikmati malam tadi.

Malam itu tidak seperti biasa, hawanya dingin menusuk tulang. Sejak sore Mintarsih sudah menunggu datangnya malam dengan jantung berdebar-debar. Ketika makan malam tadi dia menangkap isyarat pandang mata Satyabrata seakan mengingatkan janji mereka dan tanpa diketahui orang lain dia mengangguk.

Mintarsih menanti sampai Maya Dewi tertidur. Setelah memanggil-manggilnya akan tetapi Maya Dewi tidak bangun, yang berarti Maya Dewi sudah tidur pulas, Mintarsih lantas turun dari pembaringan, mematikan lampu dan membuka daun pintu kamar, lalu berindap-indap menuju ke bangunan samping, ke kamar Satyabrata! Jantungnya berdebar tegang, seperti jantung setiap orang yang akan melakukan perbuatan yang tidak benar.

“Tok-tok-tok...!”

Ia mengetuk perlahan daun pintu kamar Satyabrata tiga kali. Pintu terbuka dan Satyabrata menarik tangan gadis itu ke dalam kamar.

Mintarsih menurut saja, tersipu malu ketika Satyabrata menutup kembali daun pintu kamar itu. Tapi seperti yang telah direncanakan sebelumnya, sekali ini kedua lengan Satyabrata bergerak untuk melakukan pelukan maut itu. Kedua lengannya merangkul namun jari-jari tangannya mengetuk tengkuk Mintarsih dengan kuatnya sehingga seketika itu juga gadis puteri senopati itu terkulai dalam rangkulan Satyabrata dan pingsan.

Satyabrata memondong tubuh gadis itu keluar dari kamar, menengok ke kanan kiri. Malam itu sunyi dan dingin. Tidak tampak sesuatu yang mencurigakan dan Satyabrata membawa tubuh Mintarsih ke dalam taman. Tidak seperti orang yang baru saja melakukan kejahatan, sikap Satyabrata tenang-tenang saja. Bulan sepotong yang berada di langit menjadi saksi bisu ketika dia merebahkan tubuh Mintarsih ke atas sebuah bangku di dekat kolam ikan di tengah taman itu. Satyabrata lalu menanti sebentar.

Seperti yang sudah diatur dan dijanjikan sebelumnya, pada saat itu terdengar suara orang dan muncullah Maya Dewi bersama seorang penjaga keamanan yang biasanya menjadi prajurit pengawal dan bertugas jaga di depan gedung sang senopati. Prajurit ini bertubuh tinggi besar, usianya sekitar tiga puluh tahun.

Tadi dia sedang bertugas jaga seorang diri ketika mendadak Maya Dewi menghampirinya kemudian mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang amat penting untuk diketahui dia sebagai penjaga keamanan. Sebagai seorang petugas yang bertanggung jawab, prajurit ini tentu saja tertarik dan dia mengikuti tamu yang dihomati itu memasuki taman di belakang gedung.

Setelah tiba di dalam taman, prajurit itu bertanya, “Ada terjadi apakah den-ajeng?”

“Mari kita lihat di sana, dekat kolam ikan itu!” jawab Maya Dewi.

Ketika mereka tiba dekat kolam, prajurit itu melihat tubuh Mintarsih yang rebah telentang di atas bangku, seperti orang tidur atau mati.

“Den-ajeng Mintarsih... kenapa ?” Penjaga itu menghampiri kemudian membungkuk untuk melihat keadaan Mintarsih.

Pada saat itu pula Maya Dewi menggerakkan tangannya menghantam kepala prajurit itu.

“Prakk...!”

Prajurit itu terjungkal dan roboh, tewas seketika karena kepalanya telah retak oleh pukulan tangan miring Maya Dewi yang ampuh itu.

“Akang Satya, sekarang lakukanlah!” kata Maya Dewi.

Satyabrata tidak meragu lagi. Dia menghampiri mayat prajurit itu, mencabut kerisnya, lalu mendekati tubuh Mintarsih yang masih rebah pingsan di atas bangku. Sekali tangannya mengayun, keris itu pun menancap di dada Mintarsih, menembus jantungnya.

Gadis yang dalam keadaan pingsan itu tak bergerak lagi dan darah muncrat dari dadanya ketika keris dicabut. Satyabrata lalu menaruh gagang keris ke dalam genggaman tangan kanan prajurit yang sudah mati.

“Sekarang cepat bangunkan mereka!” kata lagi Maya Dewi yang merasa sangat gembira karena Satyabrata benar-benar tega membunuh Mintarsih untuk membuktikan cintanya kepadanya!

Satyabrata segera berlari ke arah gedung dan dia memukul kentungan yang tergantung di sudut bangunan. Bunyi kentungan yang dipukul bertalu itu tentu saja mengejutkan semua orang. Beberapa orang prajurit pengawal yang bertugas jaga di depan gedung lantas saja datang berlarian dan bertanya kepada Satyabrata apa yang terjadi.

“Pembunuhan, nimas Mintarsih dibunuh orang! Cepat laporkan kepada Paman Senopati Poncosakti! Dan seorang dari kalian lanjutkan pukul kentungan ini!” Para prajurit pengawal lalu mengikuti Satyabrata berlari memasuki taman.

Di tepi kolam mereka melihat Jalu, seorang prajurit rekan mereka telah menggeletak tewas dengan darah mengalir dari telinga, hidung serta mulutnya, sementara itu mayatnya masih memegang sebatang keris. Sedangkan di atas bangku menggeletak mayat Mintarsih yang letak pakaiannya tak karuan, kembennya hampir lepas, kainnya tersingkap hingga tampak pahanya yang putih mulus, dan bajunya berlepotan darah yang masih mengalir keluar dari dadanya.

Melihat ini Satyabrata melirik ke arah Maya Dewi, maklum bahwa gadis itu sudah sengaja membuat pakaian Mintarsih seperti itu sehingga siapa saja yang melihatnya akan mudah menduga bahwa gadis itu hendak diperkosa orang!

Tak lama kemudian muncul Senopati Poncosakti dan isterinya. Kartinah, isteri Poncosakti, menjerit dan menangisi anak tirinya. Maya Dewi langsung maklum bahwa tangis itu terlalu dibuat-buat.

Senopati Poncosakti sendiri berdiri dengan muka merah karena marah sehingga beberapa saat lamanya dia tak mampu mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia memandang kepada Satyabrata. Suaranya menggetar penuh kesedihan dan kemarahan ketika dia bertanya.

“Anak-mas Satyabrata, andika yang memukul kentungan, berarti andika yang mengetahui apa yang terjadi. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan anakku.”

“Maaf, paman. Terpaksa saya mengabarkan peristiwa buruk yang amat menyedihkan. Tadi ketika tidur, saya dikejutkan suara jeritan. Saya segera membereskan pakaian lalu berlari keluar, memasuki taman dari mana suara jeritan itu terdengar. Sesudah tiba di sini, saya melihat Maya Dewi sedang berkelahi melawan laki-laki ini dan masih sempat melihat Maya Dewi merobohkannya dengan sebuah pukulan di kepalanya, dan saya juga melihat nimas Mintarsih sudah rebah mandi darah dan tewas di atas bangku itu.”

Senopati Poncosakti lalu menoleh kepada Maya Dewi. “Nini Maya Dewi, jika begitu andika yang datang lebih dulu. Apa yang terjadi di sini?”

“Saya juga terkejut mendengar jeritan, maka saya segera berlari ke sini. Mungkin karena letak kamar adik Mintarsih di mana saya tinggal lebih dekat, maka saya lebih cepat tiba di sini. Juga karena ketika terbangun saya tidak melihat adik Mintarsih, saya merasa sangat khawatir lantas berlari secepatnya memasuki taman. Dan di sini dengan kaget sekali saya melihat orang ini...” dia menuding ke arah mayat prajurit pengawal itu, “...dia... dia sedang bergulat dengan adik Mintarsih. Tiba-tiba tubuh adik Mintarsih terkulai dan darah muncrat dari dadanya. Agaknya dalam pergumulan di atas bangku itu, jahanam itu menggunakan kerisnya untuk mengancam dan keris itu dipergunakan untuk menusuk dada. Saya marah sekali, akan tetapi jahanam ini melawan dengan keris di tangan, maka saya menggunakan pukulan maut untuk menghantam kepalanya. Pada saat itu akang Satya datang dan saya minta agar dia melapor dan membangunkan semua orang. Demikianlah, paman senopati, apa yang saya lihat dan alami tadi.”

Senopati Poncosakti menjadi marah, mengepal tinju dan tiba-tiba dia menghampiri mayat prajurit itu dengan langkah lebar.

“Jahanam busuk, keparat tidak mengenal budi! Berani kau hendak memperkosa anakku?” Dan senopati itu lalu mengamuk, menendangi kepala serta tubuh mayat itu berulang-ulang sampai kepala itu menjadi pecah dan remuk!

Untuk menghormati keluarga Senopati Poncosakti, Satyabrata dan Maya Dewi menginap satu malam lagi di gedung itu. Malam itu juga Satyabrata menagih janjinya dan Maya Dewi yang kini sudah yakin sepenuhnya akan cinta pemuda itu, dengan senang hati dan suka rela menyerahkan diri kepada Satyabrata!

Kalau keluarga Senopati Poncosakti tengah berkabung dan berduka, malam itu Satyabrata dan Maya Dewi justru berpesta-pora, bersenang-senang dan berenang dalam lautan nafsu berahi mereka, seolah mereka menjadi sepasang pengantin baru yang sedang menjalani bulan madu!

Semenjak malam itu nafsu berahi di dalam diri Maya Dewi bagaikan seekor kuda liar yang terlepas dari kendalinya! Nafsunya mengamuk, merajalela dan menguasai diri Maya Dewi sepenuhnya sehingga sejak saat itu Maya Dewi sudah menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri.

Pada keesokan harinya kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Madura dengan berperahu. Keduanya langsung pergi menghadap Sang Adipati Pangeran Mas di Arisbaya yang ketika itu sedang mengadakan perundingan dengan para menteri dan para senopatinya.

Tentu saja di sana hadir pula dua orang pembantu terpenting dari Arisbaya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang menjadi penasihat berikut puteranya, Raden Dibyasakti yang menjadi senopati muda. Di sana hadir pula para pembantu yang didatangkan oleh Ki Harya Baka Wulung, dan di antara mereka terdapat pula Sang Wiku Menak Koncar datuk Blambangan dan juga Kyai Sidhi Kawasa datuk dari Banten. Mereka sedang merundingkan mengenai ancaman bala tentara Mataram yang hendak menyerbu Madura.

Ketika seorang pengawal melapor bahwa ada seorang pemuda dan seorang gadis mohon menghadap, Adipati Pangeran Mas mengerutkan alisnya lalu membentak. “Apakah engkau tidak tahu jika kami sedang mengadakan perundingan yang amat penting? Jangan ganggu kami, hai pengawal bodoh dan katakan kepada mereka untuk menghadap lain kali saja.”

“Ampunkan hamba, gusti. Hamba sudah mengatakan hal itu, tapi pemuda yang mengaku utusan kumpeni...”

“Cukup! Cepat usir mereka atau engkaulah yang akan dijatuhi hukuman!” Adipati Arisbaya membentak marah. Hatinya sedang risau oleh ancaman pasukan Mataram yang kabarnya sudah bergerak untuk menyerbu Madura, maka gangguan itu membuatnya marah sekali.

Akan tetapi mendengar laporan itu, Dibyasakti teringat sesuatu dan dia cepat menyembah sambil berkata, “Kanjeng adipati, hamba mengenal pemuda itu!”

“Hamba juga mengenalnya!” kata pula Wiku Menak Koncar, kemudian dia bertanya kepada pengawal.

“Bukankah dia pemuda tampan yang matanya agak kebiruan?”

Dengan takut-takut pengawal itu berkata, “Benar, dia juga mengatakan bahwa dia sudah mengenal Raden Dibyasakti dan Sang Wiku Menak Koncar.”

“Tidak salah lagi. Dialah yang pernah hamba ceritakan kepada paduka, kanjeng. Pemuda utusan kumpeni yang sakti mandraguna. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan ancaman penyerbuan pasukan Mataram. Karena itu, hamba kira sebaiknya kalau paduka mengijinkan mereka masuk,” kata Dibyasakti.

“Hm, begitukah? Hai, pengawal, siapakah nama dua orang yang hendak menghadap itu?”

“Menurut pengakuan mereka, pemuda itu bernama Satyabrata ada pun gadis itu bernama Maya Dewi, gusti.”

“Maya Dewi?” seru Ki Harya Baka Wulung. “Kanjeng adipati, gadis itu adalah puterinya Adi Resi Koloyitmo yang hamba undang dan dia sudah sanggup untuk membantu kita!”

Adipati Pangeran Mas mengangguk-angguk senang. “Jika begitu cepat persilakan mereka masuk, pengawal!”

Pengawal itu pun merasa lega karena tidak jadi mendapat marah. Dia menyembah lantas mengundurkan diri untuk mengantar Satyabrata dan Maya Dewi datang menghadap.

Sepasang orang muda itu diterima dengan ramah oleh Adipati Pangeran Mas setelah tahu bahwa kedatangan mereka berdua adalah untuk membantu Madura. Satyabrata memberi tahu bahwa Willern Van Huisen sudah siap membantu dengan kapal perangnya, juga dia siap membantu untuk menghadapi para ksatria gagah dan sakti yang membantu pasukan Mataram. Maya Dewi juga menceritakan bahwa dia telah diutus ayahnya untuk membantu Madura dan ayahnya akan segera menyusul ke Madura.

Persidangan dilanjutkan dan tidak lama kemudian para adipati lain yang diundang untuk bermusyawarah berdatangan. Mereka adalah para bupati di seluruh Madura yang datang bersama pasukan mereka sehingga tergabunglah pasukan mereka menjadi pasukan besar yang siap menghadapi penyerbuan bala tentara Mataram.

Mereka yang berdatangan itu adalah para bupati dari Aribanggi, Sumenep, Pamekasan, Bali, Pekacangan, dan juga Raden Prasena, keponakan Sang Adipati Pangeran Mas dari Arisbaya yang berusia sembilan belas tahun itu datang memenuhi undangan. Akan tetapi karena Raden Prasena ini memang disingkirkan pamannya dan di Sarnpang hanya diberi kekuasaan kecil dan hanya mempunyai pasukan kecil, maka pasukan yang dibawanya tak ada artinya.

Dalam pertemuan itu diadakan perundingan untuk merencanakan cara pertahanan untuk menyambut serbuan pasukan Mataram. Mereka semua bertekad untuk mempertahankan Madura. Akan tetapi Raden Prasena yang masih muda itu diam-diam tidak setuju dengan mereka semua. Hal ini adalah karena dia menaruh dendam kepada Adipati Arisbaya yang menyerobot kedudukan adipati di Arisbaya.

Sebetulnya dialah yang berhak menggantikan kedudukan adipati setelah ayahnya, Adipati Teguh Arisbaya wafat. Akan tetapi karena ketika itu dia dianggap masih terlampau muda, baru berusia sekitar empat belas tahun, maka kedudukannya diambil alih oleh pamannya yang kini menjadi Adipati Arisbaya dan dia sendiri disingkirkan ke Sampang. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak membantu pamannya melawan Mataram!

Para senopati yang gagah perkasa dari daerah-daerah itu dikumpulkan untuk memimpin pasukan gabungan. Di antara mereka terdapat Dibyasakti, Jayengbadra, Jagapati, Rangga Gobag-gabig Mangundaka, Tumenggung Surobayu, Demang Rujak-beling dan pembantu-pembantu mereka yang merupakan perwira-perwira yang gagah. Selain itu masih ada para datuk yang membantu mereka, yaitu Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa, Satyabrata dan Maya Dewi yang untuk sementara menggantikan ayahnya karena Resi Koloyitmo belum datang. Mereka semua telah siap siaga menanti datangnya pasukan musuh.....

********************

Sementara itu Muryani yang ditinggalkan Satyabrata di rumah perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria, setelah lewat beberapa hari sudah menjadi gelisah. Apa lagi dia mendengar bahwa pasukan Mataram akan berperang melawan Madura dan Surabaya.

Mendiang ayahnya, Ki Ronggo Bangak adalah seorang yang amat setia kepada Mataram dan selalu bercerita kepada puterinya itu mengenai kebijaksanaan Sultan Agung, seorang raja yang agung binathara dan sakti mandraguna, bahkan dianggap sebagai wali, seorang manusia pilihan Gusti Allah. Hebatnya lagi, menurut cerita ayahnya, Sultan Agung bahkan sudah memperisteri Kanjeng Ratu Kidul, yaitu ratu kerajaan siluman yang menguasai Laut Selatan!

Meski pun belum pernah melihat sang prabu yang kabarnya amat arif bijaksana dan sakti mandraguna itu, tetapi ada yang mengabarkan bahwa beliau adalah seorang yang pernah berguru kepada seorang Wali yang sangat terkenal dan sangat dihormati, baik oleh umat agama baru, Islam, mau pun oleh umat agama lama Hindu dan Buddha.

Kanjeng Sultan Agung itu pandai menyesuaikan agama Islam dengan dua agama itu yang telah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Jawa. Dengan cara ini maka rakyat yang menjadi umat agama Hindu dan Buddha melihat persamaan atau ada yang sejalan antara agama Islam dengan agama mereka. Dengan begitu mereka tidak memusuhi agama baru itu, malah banyak yang mau menerima agama Islam. Bahkan Sultan Agung menulis kitab Sastra Gending yang berisi pelajaran Aliran Tashawuf yang bercampur dengan pelajaran dari kitab Weda yang intinya ajaran Manunggali Kawula Gusti atau yang disebut Kejawen.

Selain keterangan yang diperoleh dari mendiang ayahnya dahulu, guru Muryani, Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali, juga berpihak kepada Mataram. Oleh karena itulah Muryani menjadi tidak betah tinggal diam di Muria dan pada suatu hari ia pun berpamit dari gurunya untuk pergi ke Madura membantu pasukan Mataram.

“Muryani, kalau engkau pergi membantu Mataram, hal itu baik sekali dan aku amat setuju. Tetapi kalau engkau pergi untuk menyusul atau mencari pemuda bernama Satyabrata itu dan melakukan perjalanan bersamanya, sungguh hal itu membuat hatiku merasa resah.”

Baru sekali ini ucapan gurunya terdengar sebagai pernyataan tidak suka pada Satyabrata. Biar pun sejak semula Ki Ageng Branjang merasa tidak suka kepada pemuda itu, namun dia tidak pernah menyatakannya kepada Muryani. Maka, mendengar ada nada yang tidak suka dalam ucapan gurunya itu, Muryani merasa heran.

“Kenapa begitu, bapa guru? Kenapa bapa merasa resah kalau saya melakukan perjalanan bersama kakangmas Satyabrata?”

“Entahlah, Muryani. Ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu yang mendatangkan kecurigaan dalam hatiku. Dia memang tampan, tetapi ketampanannya itu aneh. Matanya agak kebiruan dan... dan sikapnya terlampau lembut dan sopan santun sehingga seperti dibuat-buat. Selain itu, tentang kesaktiannya. Dia mengaku bahwa dia menemukan kitab-kitab berisi aji-aji kesaktian peninggalan mendiang Sunan Gunung Jati yang selain terkenal sakti, juga terkenal sebagai seorang yang arif bijaksana dan tingkat rohaninya tinggi. Akan tetapi aku dapat melihat sinar sesat dalam pandangan mata pemuda itu. Ada hal lain lagi yang mencurigakan hatiku. Mengapa dia mengajak kau menonton perang antara Mataram dan Madura kemudian baru akan memilih pihak mana yang harus dibantu? Kenapa tidak langsung membantu Mataram? Nah, itulah yang meresahkan hatiku, Muryani. Karena itu, kalau engkau bertemu dengan dia, berhati-hatilah dan jangan mudah terbujuk oleh rayuan manis.”

Muryani menundukkan mukanya karena dia merasa bahwa memang Satyabrata sudah merayunya, bahkan menyatakan cintanya kepadanya.

“Baiklah, bapa, akan saya perhatikan nasihat bapa dan saya akan waspada.”

Setelah berkemas dan berpamit, berangkatlah Muryani meninggalkan Gunung Muria dan melakukan perjalanan cepat menuju ke timur. Di sepanjang perjalanannya Muryani sudah mendengar akan berita bahwa Mataram sudah siap untuk menyerbu Madura. Di daerah Tuban yang sudah ditundukkan Mataram beberapa tahun yang lalu, dia mendengar bahwa pasukan daerah-daerah pesisir utara juga sudah siap sedia untuk diperbantukan kepada pasukan besar Mataram.

Dari Kadipaten Tuban Muryani melakukan perjalanan cepat menyusuri pantai utara menuju ke timur. Pada suatu pagi tibalah dia di dusun Pangkah, di mana terdapat muara Kali Solo. Di sinilah Bengawan Solo yang sudah melakukan perjalanan amat panjang itu mengakhiri alirannya dan semua air bengawan itu terjun ke laut yang menjadi tempat asalnya.

Muryani berhenti di tepi muara sungai yang lebar. Ia menjadi bingung dan memandang ke kanan kiri. Bagaimana ia harus menyeberangi muara sungai yang lebar ini?

Tiba-tiba wajahnya berseri gembira, ia melihat sebuah perahu di tengah muara. Perahu itu meluncur dari seberang dan baru saja tiba, maka ia tadi tidak melihatnya. Agaknya sebuah perahu nelayan karena penumpangnya yang dua orang laki-laki itu kini bersiap-siap untuk menebarkan jala. Melihat mereka, Muryani segera berseru memanggil.

“Heiii! Ki-sanak tukang perahu! Tolong seberangkan aku, berapa upahnya akan kubayar!”

Karena Muryani mengerahkan tenaga saktinya, maka teriakannya kuat sekali hingga dapat terdengar oleh dua orang itu dengan jelas. Mereka segera memandang ke arah Muryani.

Walau pun jarak di antara perahu dan gadis itu tidak dekat, namun mudah kelihatan oleh mereka bahwa yang memanggil adalah seorang wanita muda yang cantik sekali. Mereka saling berbisik, lalu mendayung perahu menghampiri tepi di mana gadis itu berdiri. Setelah tiba di tepi sungai, mereka lalu mendarat dan seorang dari mereka memegangi tali perahu agar tidak hanyut dibawa air sungai.

Muryani memandang dan melihat bahwa dua orang itu adalah laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun. Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah penuh brewok dan yang kedua bermuka hitam. Dua muka pria yang sama sekali tidak menarik hatinya. Tapi karena ia membutuhkan bantuan mereka, maka ia tersenyum manis.

“Ki-sanak, aku ingin menyeberang. Tolong seberangkan aku dengan perahu kalian dan aku akan memberi upah secukupnya,” kata Muryani kepada si muka brewok yang berdiri di depannya.

Si brewok menoleh dan memandang kepada kawannya, si muka hitam yang memegangi tali perahu, lalu sambil tersenyum lebar menyeringai sehingga tampak deretan gigi yang besar-besar, dia bertanya, “Mas ayu, kalau kami mau meyeberangkan, apakah upahnya?” Suaranya dibuat-buat seperti seorang pemain ketoprak sedang bergaya di atas panggung, jelas sekali dia menirukan gaya Yuyu Kangkang pada saat hendak menyeberangkan para gadis keluarga Kleting dan minta upah ciuman!

Muryani juga merasakan hal ini dan diam-diam ia merasa amat gemas, akan tetapi masih ditahannya. Dari pandang mata, senyuman serta gerak gerik mereka, ia tahu bahwa dua orang ini bukanlah orang-orang yang berwatak sopan dan baik. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menjawab tenang.

“Berapa upah yang kalian minta akan kubayar.”

“Benarkah? Wah, kalau begitu kami minta upah ciuman saja, tiga kali untuk kami masing-masing. Ha-ha-ha! Bagaimana, mas ayu?”

Kini dua orang lelaki kasar itu tertawa-tawa. Akan tetapi sungguh di luar dugaan mereka, gadis itu tidak marah atau tersipu malu mendengar tuntutan upah mereka, sebaliknya dia mengangguk dan berkata tenang. “Mari kita berangkat!” dan Muryani segera melangkah memasuki perahu kecil itu!

Dua orang laki-laki yang tadinya hanya hendak menggoda secara kurang ajar, tentu saja menjadi heran dan juga girang sekali. Bagaimana tidak akan girang kalau dijanjikan akan menerima hadiah ciuman tiga kali dari seorang gadis secantik ini?

Mereka bisa merasakan kesenangan seperti yang dialami oleh Yuyu Kangkang pada saat menyeberangkan para gadis Kleting Abang, Kleting Biru dan Kleting Ungu dalam dongeng ‘Si Kleting Kuning’ itu.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERULING GADING (BAGIAN KE-02 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

ALAP-ALAP LAUT KIDUL (BAGIAN KE-03 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)

PECUT SAKTI BAJRAKIRANA (BAGIAN KE-01 SERIAL PECUT SAKTI BAJRAKIRANA)