SERULING GADING : JILID-48
“Nimas ayu, aku minta bagianku sekarang saja!” katanya. kemudian dengan mendadak dia menangkap lengan kanan Muryani dan hendak menarik serta merangkulnya.
Muryani mengayun tangan kirinya ke arah sisi leher si brewok itu. Demikian cepat gerakan tangannya sehingga si brewok tidak sempat mengelak atau menangkis.
“Wuuuttt...! Kekkk!”
Seketika si brewok menekuk tubuhnya yang tinggi besar berotot itu. Sepasang tangannya memegangi lehernya yang terasa patah-patah, panas dan nyeri bagaikan ditusuki ratusan batang jarum..
“Aduh... aduhh...! Tobaat... aduhhh...! Tobaaat...!” Si brewok merintih kesakitan, tubuhnya rnenggeliat-geliat dan kedua tangannya menekan bagian leher yang terpukul tangan miring Muryani tadi.
Melihat keadaan temannya, si muka hitam yang duduk di belakang Muryani menjadi amat terkejut dan juga marah sekali. Dia mengangkat dayungnya dan menghantamkan dayung itu ke arah kepala Muryani!
“Wuuuttt...! Plakk...! Dukkk!”
Tanpa mengubah duduknya, Muryani hanya memutar tubuh atasnya, menyambut dayung itu dengan kedua tangannya dan sekali mengerahkan tenaga dia telah mendorong dayung itu sehingga gagang dayung terdorong dan menghantam ulu hati si muka hitarn.
“Hekkkk...!” Si muka hitam juga melipat tubuhnya, membungkuk dan menggunakan kedua tangan memegang dan menekan ulu hatinya yang terasa nyeri sekali hingga sukar dipakai bernapas! Dua orang itu mengaduh-aduh dan menyatakan bertobat.
Karena tidak ada yang mendayung lagi, kini perahu itu hanyut terbawa air dan berputar. Melihat ini, Muryani menggerakkan tangan, menepuk tengkuk si brewok lantas menampar punggung si muka hitam sehingga mereka tidak tersiksa rasa nyeri yang hebat lagi, hanya tinggal sedikit rasa nyeri yang dapat mereka tahan.
“Nah, cepat dayung perahu sampai ke seberang kalau kalian tidak ingin mampus!” bentak Muryani.
Sekarang dua orang kasar itu merasa kecelik. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sangat sakti. Mereka tidak berani main-main lagi. Mereka lalu menggunakan dua buah dayung untuk mendayung perahu ke seberang.
“Maafkan kami den ajeng...?” kata brewok. “Tentu andika adalah seorang puteri pendekar dari Mataram.”
Muryani tersenyum mengejek ketika melihat sikap si brewok yang kini amat menghormat. “Kalau sudah tahu, jangan banyak cerewet lagi dan cepat dayung ke seberang.”
Kedua orang itu tidak berani bicara lagi, namun dengan diam-diam mereka saling bertukar isyarat dengan pandang mata. Muryani tidak tahu bahwa mereka mendayung perahu agak menuju ke hilir, mendekati muara di bagian tepi laut.
Setelah tiba di seberang, di tepi laut, Muryani meloncat ke darat lalu berpaling kepada dua orang itu dan berkata, “Aku berterima kasih kepada kalian yang sudah menyeberangkan aku ke sini. Akan tetapi aku pun hendak memperingatkan kalian agar kalian bertobat dan jangan lagi bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita. Kalau kelak kita berjumpa lagi dan aku masih melihat kalian bersikap kurang ajar terhadap wanita, aku pasti tidak akan mengampuni kalian lagi!”
Sesudah berkata demikian, Muryani melanjutkan perjalanannya ke timur. Dia sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya dua orang itu dan menganggap mereka itu hanyalah nelayan-nelayan yang berwatak kasar. Sama sekali dia tidak menyangka betapa setelah dia pergi, kedua orang itu cepat memberi isyarat ke arah lautan di mana terdapat sebuah kapal. Dua orang itu ternyata adalah dua orang anak buah mata-mata Kumpeni Belanda!
Seperti diketahui, Satyabrata sudah berunding dengan Komandan Willem Van Huisen dan perwira kumpeni itu telah berjanji hendak mengirim sebuah kapal perang untuk membantu dengan diam-diam pihak Madura yang akan diserang oleh pasukan Mataram. Inilah kapal yang dijanjikan itu, sudah siap di lautan, siap untuk menuju ke Madura kalau saat perang tiba.
Kapal itu sudah dilengkapi dengan meriam-meriam besar dan senjata-senjata api lainnya, dipimpin oleh seorang kapten kapal bernama Kapten Johan Van Dalen. Begitu isyarat dua orang mata-mata itu terlihat dari kapal, oleh sang kapten yang mempergunakan teropong, sebuah perahu diturunkan dan dua belas orang yang menumpang perahu itu berlayar cepat ke pantai.....
********************
Muryani sedang berjalan menyusuri pantai. Tiba-tiba dia melihat sebuah perahu meluncur cepat dan mendarat di pantai sebelah depan. Tadinya dia tak begitu memperhatikan, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara orang berteriak dari arah belakangnya.
“Perempuan itu seorang telik-sandi (mata-mata) Mataram...!”
Muryani segera menengok dan mukanya berubah kemerahan karena marah. Kiranya yang berteriak adalah dua orang laki-laki yang kurang ajar tadi, yang sudah dihajarnya dan yang menyeberangkannya di muara Bengawan Solo! Agaknya mereka berdua mengikuti dirinya dengan berperahu di laut dan kini memberi peringatan kepada belasan orang yang sedang berlompatan keluar dari perahu di depannya.
Muryani berhenti melangkah dan berdiri dengan sikap tenang walau pun dia bisa menduga bahwa belasan orang itu tentu tidak berniat baik, apa lagi dilihatnya tiga orang di antara mereka adalah orang-orang kulit putih yang memegang senapan. Dari Satyabrata dia telah banyak mendengar keterangan tentang ampuhnya senjata api.
Menurut Satyabrata, peluru senjata api itu amat cepat dan hanya mungkin dapat dielakkan dengan merebahkan diri. Apa bila hanya peluru biasa, mungkin dapat disambut dengan aji kekebalan, akan tetapi kalau pelurunya dari perak apa lagi emas, aji kekebalan tidak dapat diandalkan.
Meski pun maklum bahwa dirinya terancam, Muryani bersikap tenang saja melihat bahwa dari dua belas orang itu hanya ada tiga orang yang berkulit putih dan memegang senapan. Kalau dilihat dari pakaian dan ikat kepalanya, sembilan orang lainnya agaknya orang-orang Madura. Sembilan orang ini membawa senjata golok atau clurit di pinggangnya dan sikap mereka tampak mengancam.
Akan tetapi mereka semua segera tersenyum dan memandang ringan ketika orang yang diisyaratkan sebagai mata-mata Mataram oleh dua kawannya itu, ternyata hanya seorang gadis cantik!
Yang menjadi pimpinan dua belas orang ini adalah seorang Madura berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan terlihat kokoh kuat. Dia berkumis melintang sekepal sebelah dengan mata lebar dan bengis, bernama Sumbaga. Dia adalah seorang jagoan dari Arisbaya yang menjadi seorang senopati anak buah Ki Harya Baka Wulung. Dialah yang kini melangkah maju menghadapi Muryani, memandang gadis itu penuh selidik.
“Gadis muda dan cantik ini seorang telik-sandi Mataram yang berbahaya?” Dia bertanya seperti kepada diri sendiri dan nada suaranya tidak percaya.
Dua orang anak buahnya yang menyamar sebagai nelayan, sudah berada di situ pula, ikut mengepung Muryani. Si brewok segera berkata, “Harap jangan memandang ringan. Gadis ini sungguh sakti dan tangguh sekali!”
Dengan pandang mata masih tidak percaya Sumbaga mengamati Muryani. Kemudian dia bertanya dengan suaranya yang nyaring. “Heh, nona muda. Siapakah engkau dan kenapa engkau berada di sini seorang diri?”
Muryani tersenyum. “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka aku pun tak perlu memperkenalkan namaku. Aku berada di sini adalah urusanku sendiri. Ini tempat umum, tak seorang pun boleh melarangku!”
“Waduh sombongnya!” Sumbaga berseru penasaran. “Hei, dengarlah gadis sombong. Aku adalah Sumbaga, seorang senopati Arisbaya. Apakah benar engkau adalah seorang telik-sandi Mataram?”
Muryani tersenyum mengejek. “Kalau benar, kalian mau apa?”
Sumbaga menjadi sangat marah. “Kalau engkau seorang laki-laki, tentu akan kami bunuh! Akan tetapi karena engkau seorang perempuan, engkau harus kami tangkap!”
“Begitukah? Hemm, coba tangkap aku kalau mampu!” Muryani menantang dan dia segera memasang kuda-kuda atau jurus pembukaan dari ilmu silat Bromo Dadali, yaitu dengan Jurus Dadali Anglayang. Dia berdiri berjingkat, tubuhnya agak ditundukkan, dua lengannya dikembangkan seperti seekor burung hendak terbang.
Sumbaga yang masih memandang rendah sudah menubruk sambil mengeluarkan seruan panjang.
“Haiiiiiiiitt...!”
Dua lengannya yang panjang itu sudah menerkam dari kanan dan kiri, tidak memberi jalan bagi gadis itu untuk mengelak. Dia yakin bahwa sekali terkam gadis itu sudah akan dapat ditangkapnya dengan mudah.
Akan tetapi diam-diam Muryani mengerahkan Aji Kluwung Sakti yang membuat tubuhnya menjadi amat ringan sehingga dia dapat bergerak cepat laksana seekor burung walet saja. Ketika kedua tangan Sumbaga menerkam dari kanan dan kiri, tubuh gadis itu berkelebat ke atas sehingga tubrukan itu luput.
Tapi yang diserang oleh Muryani ternyata adalah dua orang yang tadi menyamar sebagai nelayan. Dari atas tubuhnya meluncur ke arah dua orang itu dan sekali kedua tangannya bergerak, dua orang itu berteriak dan roboh, tidak mampu bangkit kembali karena kepala mereka sudah terkena tamparan Muryani yang mempergunakan Aji Pukulan Gelap Sewu yang amat ampuh. Isi kepala dua orang itu terguncang hebat sehingga mereka roboh dan tewas seketika.
Matinya dua orang ini membikin semua pengepung menjadi terkejut dan marah. Serentak mereka mencabut golok dan clurit, lalu menyerang dan mengeroyok Muryani dari berbagai jurusan.
Muryani menunjukkan kegesitannya. Dia lalu mengamuk, dikeroyok sembilan orang yang menggenggam senjata tajam. Pengeroyokan yang kacau-balau ini malah menguntungkan Muryani karena tiga orang anak buah kumpeni yang memegang bedil itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan senjata api mereka. Kalau mereka menembak dalam keadaan seperti itu, besar kemungkinannya peluru mereka akan mengenai kawan sendiri.
Muryani mengandalkan Aji Kluwung Sakti untuk bergerak cepat. Tubuhnya berkelebatan dan dapat menghindarkan diri dari semua serangan golok dan clurit. Lewat belasan jurus kemudian dia sudah mampu merobohkan dua orang pengeroyok lagi. Tamparan Aji Gelap Sewu membuat yang tertampar roboh tidak mampu bangkit kembali.
“Dorrr...! Dorrrrr...!”
Dua kali letusan ditembakkan oleh dua orang serdadu Belanda.
Seorang di antara tiga serdadu Belanda yang sudah pandai berbahasa pribumi berteriak, “Menyerah atau kami tembak!”
Tetapi Muryani yang berkelebat di antara para pengeroyoknya yang tinggal tujuh orang itu sukar untuk dijadikan sasaran. Dia mengerti bahwa di antara mereka semua, yang paling berbahaya adalah tiga orang serdadu Belanda itu. Dia tidak tahu peluru apa yang mereka pergunakan dan dia harus berhati-hati sekali. Maka dia terus bergerak cepat di antara para pengeroyoknya dan ketika mendapat kesempatan, dia segera menyambar sebatang golok yang terlepas dari tangan seorang di antara para pengeroyok yang sudah dirobohkannya, lalu secepat kilat dia melontarkan golok itu ke arah seorang serdadu Belanda yang berada paling dekat dengannya.
Serdadu itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia akan diserang dengan lemparan golok dan tahu-tahu golok itu sudah menyambar lalu menancap di perutnya. Dia berteriak keras, senapannya terlepas dan tubuhnya roboh lalu berkelojotan dan mati!
“Semuanya mundur, biar kami menembaknya!” seru seorang serdadu Belanda yang sudah siap dengan bedilnya.
Pada saat itu Muryani sudah kembali merobohkan seorang pengeroyok dengan tendangan kakinya yang mengenai dada. Beberapa tulang iga orang itu patah dan dia pun roboh tak mampu bergerak lagi. Enam orang itu terkejut dan mendengar teriakan serdadu Belanda tadi, Sumbaga lalu berseru kepada anak buahnya.
“Munduurrr...!”
Enam orang itu berlompatan ke belakang sehingga kini Muryani ditinggal sendirian. Pada saat itu pula seorang serdadu Belanda menembakkan senapannya. Pada detik itu, dengan kepekaannya Muryani cepat sekali merebahkan dirinya ke atas tanah dan pada saat yang bersamaan terdengarlah ledakan dari tembakan itu.
“Darrrr...!”
Muryani menggulingkan tubuhnya dengan cepat. Sebelum serdadu itu sempat menembak lagi, gadis ini sudah rnelompat dan sebuah pukulan Gelap Musti menghantam kepalanya. Serdadu itu tidak sempat mengeluh, segera terpelanting roboh dan tewas seketika. Tetapi pada saat itu pula serdadu yang ketiga sudah membidikkan senapannya ke arah Muryani dari jarak paling jauh tiga meter.
“Dorrrr...!”
Api muncrat, asap mengepul, akan tetapi tembakan itu meleset jauh karena pada saat dia menarik pelatuk senapan, tiba-tiba ada sebuah batu menyambar dan mengenai tangannya sehingga senapan itu miring dan kehilangan arah.
Serdadu itu terkejut, tetapi pada saat berikutnya sebuah tangan terbuka telah menghantam pelipisnya. Pukulan itu perlahan saja, tetapi akibatnya tubuh serdadu Belanda itu langsung terpelanting dan dia tidak dapat bangkit atau bergerak lagi.
Sumbaga berikut lima orang pembantunya menjadi marah dan terkejut melihat betapa tiga orang serdadu Kumpeni Belanda itu roboh dan tiga orang anak buahnya juga sudah roboh. Mereka melihat bahwa yang merobohkan serdadu terakhir tadi adalah seorang pemuda.
Kini Muryani mengamuk lagi. Dia hanya melihat ada seorang pemuda yang membantunya, akan tetapi dia tidak mengenal siapa pemuda itu.
Sumbaga dibantu seorang anak buahnya sekarang mengeroyok pemuda yang bertangan kosong itu, sedangkan empat orang anak buahnya yang lain mengeroyok Muryani dengan senjata mereka. Tiga orang memegang golok dan seorang lagi bersenjata sebatang clurit panjang.
Sambil melayani pengeroyokan empat orang yang sangat marah dan nekat itu, beberapa kali Muryani mempergunakan kesempatan untuk menoleh dan memandang pemuda yang menolongnya. Di antara para pengeroyok, Sumbaga yang berkumis melintang mempunyai kepandaian yang paling tinggi, maka Muryani merasa khawatir kalau-kalau pemuda yang membantunya itu akan kalah.
Akan tetapi dia melihat sesuatu yang aneh terjadi. Pemuda itu tampaknya bergerak lambat saja untuk menghindarkan diri dari golok besar di tangan Sumpaga dan clurit panjang pada tangan anak buahnya, tapi anehnya, kedua senjata itu tidak pernah dapat menyentuhnya!
Yang lebih terkejut dan heran adalah Sumbaga serta pembantunya. Pemuda itu bergerak lambat dan senjata tajam mereka begitu tepat menyambar tubuh pemuda itu, akan tetapi sesudah dekat, senjata mereka itu tiba-tiba saja melenceng dan menyimpang ke samping sehingga tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.
Meski pun demikian, melihat gerakan pemuda itu sangat lambat, Muryani menjadi khawatir kalau-kalau orang yang telah membantunya itu akan celaka. Maka dia pun mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring dan satu demi satu para pengeroyoknya itu terkena sambaran kedua tangannya yang memukul dengan Aji Gelap Musti!
Setelah merobohkan empat orang pengeroyoknya, Muryani memutar tubuh dan terbelalak heran melihat betapa pemuda itu kini sedang berdiri memandangnya. Dua orang yang tadi mengeroyok pemuda itu, Sumbaga dan seorang anak buahnya, sudah menggeletak tidak dapat bergerak lagi dengan tubuh tanpa luka.
Kini mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak lima meter, saling memandang dengan bengong, bagaikan dalam mimpi dan hampir tidak mempercayai pandangan mata mereka sendiri. Tadinya mereka merasa asing satu sama lain, tapi setelah sepasang mata mereka bertemu, bertaut dan seakan saling menyelami, mereka seperti terpesona karena masing-masing mengenal pandang mata itu dengan baik sekali.
“An... andika...?” pemuda itu berkata gagap.
“Andika...?!” Muryani juga berseru dengan sangsi dan ragu.
Walau pun pandang mata itu menerangi semua ingatannya, mengembalikan kenangannya sehingga mengenal pemuda itu sebagai Parmadi, namun hal yang meragukannya adalah melihat Parmadi begitu mudahnya dapat merobohkan seorang serdadu Belanda, Sumbaga senopati Arosbaya dan seorang pembantunya! Padahal dia tahu benar bahwa sekitar lima enam tahun yang lampau, Parmadi adalah seorang pemuda remaja yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kesaktian. Sekarang dia telah nampak dewasa dan agaknya memiliki kesaktian, menjadi seorang pemuda yang digdaya!
Karena merasa ragu-ragu, Muryani mengamati dengan penuh perhatian. Pemuda itu telah matang, tubuhnya sedang namun tegap dan dia bisa melihat bahwa tubuh itu menyimpan tenaga sakti yang sangat kuat. Wajahnya tampan walau pun pakaian dan sikapnya masih sederhana seperti dulu, sikap seorang pemuda dusun tetapi wajahnya anggun berwibawa seperti wajah seorang pemuda priyayi.
Mata yang lembut itu kadang kala mencorong penuh kekuatan batin, hidungnya mancung, mulutnya selalu membayangkan senyum sehingga kelihatan cerah dan ramah. Sebatang seruling putih kekuningan terselip pada ikat pinggangnya sebelah kiri dan gagang sebatang patrem terselip di pinggangnya sebelah kanan.
Gagang patrem itu! Tidak salah lagi. Dia masih ingat benar. Itu patrem miliknya! Tidak ada patrem lain di dunia ini yang gagangnya berbentuk kepala burung seperti patremnya. Tidak salah lagi!
“Kakang Parmadi...!”
“Adi Muryani...!”
Entah siapa yang lari lebih dulu, namun keduanya merasa demikian gembira dan bahagia, merasa seperti berjumpa dengan kakak dan adik yang sudah sangat lama dirindukannya, bertemu dengan orang yang selama ini menjadi bayangan yang tak pernah meninggalkan hatinya, orang yang dicintanya. Hanya pengertian cinta itu masih kabur dalam perasaan mereka, cinta di antara remaja. Karena perasaan cinta remaja yang lebih condong kepada cinta antara saudara inilah yang membuat Muryani bingung dan ragu pada saat Satyabrata menyatakan cintanya kepadanya!
Dua orang muda itu berlari saling menghampiri dan tahu-tahu mereka telah saling rangkul, persis seperti ketika mereka akan berpisah dulu. Tanpa dapat ditahan saking terharunya, Muryani segera menangis di dada Parmadi.
“Aduh, kakang Parmadi... ke mana saja engkau selama ini...?” kata Muryani sambil terisak dalam rangkulan pemuda itu.
“Adi Muryani, aku juga sangat gelisah ketiika mendapatkan engkau tidak ada di Pakis lagi, apa lagi ketika aku mendengar bahwa paman Ronggo Bangak terbunuh orang dan engkau terluka parah. Kemudian Ki Demang Warutomo menceritakan bahwa engkau pergi tanpa pamit. Ahh, aku jadi khawatir sekali. Puji syukur kepada Gusti Allah bahwa engkau dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, Muryani.”
Muryani menarik napas panjang, kemudian menghapus air matanya. Dia merenggangkan diri dan memandang kepada Parmadi dengan dua pipi masih basah, akan tetapi mulutnya tersenyum. “Maaf, kakang, aku menjadi anak yang cengeng. Aku terharu dan girang sekali bertemu denganmu, maka aku menangis. Ketahuilah, sesudah ayahku dibunuh orang, aku lalu pergi mencari pembunuhnya yang didalangi oleh Ki Demang Wiroboyo.”
“Hemm, orang itu belum juga bertobat? Betapa jahatnya.”
“Aku berjumpa dengan seseorang. Dalam keadaan terancam bahaya di tangan Wiroboyo dan temannya, aku ditolongnya kemudian menjadi muridnya. Sesudah guruku meninggal, aku lalu melanjutkan usahaku mencari musuh besarku sehingga aku berhasil menemukan dan membunuh Wiroboyo beserta kawannya, pembunuh ayahku. Kawannya itu bernama Darsikun.”
“Siapa gurumu yang baru itu, adi Muryani?”
“Mendiang guruku bernama Nyi Rukmo Petak yang bertapa di Bukit Ular, di Pegunungan Anjasmoro.”
“Pantas saja engkau menjadi begini sakti mandraguna! Aku pernah mendengar nama Nyi Rukmo Petak itu. Lalu bagaimana engkau dapat berada di sini dan dikeroyok orang-orang ini?”
“Setelah berhasil membalas dendam atas kematian ayah, aku segera pergi ke Muria untuk mengunjungi guru pertamaku, yaitu Ki Ageng Branjang ketua Perguruan Bromo Dadali dan sempat membantu perguruan kami yang sedang diserang musuh.”
“Siapakah musuh itu?”
“Dia bernama Dibyasakti, katanya seorang senopati dari Arisbaya Madura yang membujuk agar Perguruan Bromo Dadali berpihak kepada Madura dan menentang Mataram. Karena bapa guru tidak mau maka terjadilah perkelahian. Sesudah tinggal beberapa hari di Muria, akhirnya aku tidak betah dan mendengar bahwa akan ada perang antara Mataram dengan Madura, maka aku segera melakukan perjalanan ke sini. Tadi ketika menyeberangi muara, aku diserang dua orang tukang perahu. Aku mengalahkan mereka, tetapi ketika sampai di sini, aku langsung dikepung banyak orang dan engkau datang membantuku. Sama sekali aku tidak menyangka bahwa engkaulah yang membantuku, kakang. Tadi aku sama sekali tidak mengenalimu!”
Parmadi tersenyum. “Aku pun hampir tidak mengenalimu, adi Muryani. Engkau berubah, bukan lagi seorang gadis remaja seperti ketika berpisah dahulu. Sekarang engkau seorang gadis dewasa yang sakti mandraguna dan... cantik jelita!”
Mendapat pujian yang dia tahu keluar dari hati yang tulus, Muryani jadi tersipu-sipu. Tadi dia sengaja tidak bercerita tentang Satyabrata. “Apa lagi engkau, kakang! Engkau berubah sekali. Siapa sangka engkau yang dulu adalah seorang pemuda yang biar pun pemberani namun lemah, sekarang berubah menjadi seorang pemuda yang digdaya! Aku benar-benar merasa terkejut, heran dan kagum sekali.”
Kembali Parmadi tersenyum. “Lalu bagaimana engkau dapat mengenali aku kembali?”
Muryani juga tersenyum lantas menudingkan telunjuk kanannya ke arah pinggang Parmadi sebelah kanan. “Melihat patrem itu, aku tidak ragu lagi dengan siapa aku berhadapan! Dan engkau sendiri, bagaimana engkau dapat mengenaliku, kakang?”
“Sinar matamu, adi Muryani. Pandang matamu itu sangat kukenal, maka segera aku dapat menduga siapa gadis cantik sakti mandraguna yang berdiri di depanku.”
“Ahh, kakang Parmadi, betapa bahagia hatiku dapat bertemu denganmu. Hayo, sekarang giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah dulu, sejak engkau meninggalkan aku, kakang.”
“Mari kita duduk, Muryani. Tidak enak bicara sambil berdiri saja.” Parmadi mengajak gadis itu duduk dan mereka pun duduk di atas pasir yang putih dan bersih. “Engkau tentu masih ingat, pada saat meninggalkan dusun Pakis dulu itu, aku berpamit dan mengatakan bahwa aku hendak merantau untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Sesungguhnya aku pergi mengikuti seorang kakek yang sakti mandraguna dan bijaksana, yang mengangkat aku sebagai murid. Ketika itu aku tidak berani bercerita mengenai beliau karena memang beliau tidak ingin keadaannya diketahui oleh orang banyak. Beliau adalah Eyang Resi Tejo Wening. Aku diberi pelajaran mengenai kehidupan dan diberi ilmu-ilmu untuk bekal hidup, dan selama kurang lebih lima tahun kami berdua tinggal di puncak Gunung Lawu.”
“Wah, kalau begitu tidak terlampau jauh! Jika tahu begitu, tentu aku sudah mencarimu ke sana!” seru Muryani terheran-heran, sama sekali tidak mengira bahwa selama ini Parmadi berada di puncak Gunung Lawu yang tidak begitu jauh dari Pakis, hanya membutuhkan pendakian beberapa jam saja!
“Sesudah Eyang Resi Tejo Wening memerintahkan agar aku turun gunung, aku langsung kembali ke Pakis dan di sana aku mendengar tentang engkau dan ayahrnu. Aku lalu turun gunung dan berusaha mencari jejakmu, namun tidak berhasil. Kemudian aku mendengar juga tentang akan terjadinya perang antara Mataram dengan Madura, maka aku lalu pergi ke timur dengan maksud untuk menyumbangkan tenagaku membantu Mataram. Tadi aku melihat engkau terancam bahaya kelika serdadu Belanda itu hendak menembakmu, maka biar pun tadi aku belum mengenalimu, tetapi aku cepat membantumu.” Parmadi juga tidak menceritakan pengalamannya bertanding melawan orang lain yang tak ada hubungannya dengan Muryani.
Tiba-tiba saja Muryani berseru, “Ahh, dia belum mati!” Dan cepat dia mengambil sebatang golok yang menggeletak di dekatnya, lalu dia menyambitkan golok itu ke arah anak buah Senopati Sumbaga yang tadi dirobohkan Parmadi.
“Syuuuuttt...!”
Golok itu meluncur dengan cepat ke arah tubuh orang yang sudah bangkit duduk sambil memegang kepalanya yang pening dengan kedua tangan, sama sekali tidak menyadari bahwa ada sebatang golok meluncur ke arahnya bagaikan tangan maut.
“Wuuuutt...! Plakkk!”
Golok yang sedang meluncur itu tiba-tiba saja runtuh seperti tertolak sesuatu yang sangat kuat.
“Ehh...?” Muryani terbelalak kaget.
Tadi dia melihat Parmadi menggerakkan tangan ke arah golok yang meluncur itu dan ada hawa pukulan yang kuat menyambar ke depan, ke arah golok dan meruntuhkan golok itu.
“Kenapa engkau lakukan itu, kakang?”
“Maaf, adi Muryani, tadi aku memang sengaja tidak membunuh orang itu, hanya membuat dia roboh pingsan. Kurasa kita membutuhkan orang itu.”
“Mengapa? Untuk apa? Mereka adalah orang-orang dari Arisbaya Madura yang agaknya bergabung dengan kumpeni!”
“Justru karena itulah. Kita hendak membantu Mataram, bukan? Nah, mari kita tanya dia.”
Parmadi bangkit bediri kemudian menghampiri orang itu, diikuti oleh Muryani yang belum mengerti benar apa yang dikehendaki pemuda itu.
Orang itu agaknya sudah tidak pening lagi dan kini dia mengangkat muka memandang dua orang muda yang datang menghampirinya. Ia terbelalak, lalu bangkit berdiri, agaknya siap untuk membela diri!
“Tenanglah, ki-sanak!” kata Parmadi dengan dengan suara halus. “Kami memang sengaja membiarkan engkau hidup. Sebaliknya kami harap agar engkau suka memberi keterangan sejujurnya kepada kami.”
“Hemm, aku sudah kalah. Kalau kalian hendak membunuhku, lakukanlah. Aku tidak takut mati untuk membela Madura!” kata orang itu dengan sikap gagah.
Parmadi menarik napas panjang. Dia tahu bahwa sukar untuk berdebat tentang kebenaran dengan seorang musuh dalam perang. Semua orang tentu mempertahankan kebenaran masing-masing yang menganggap dirinya benar karena membela pihaknya sendiri sebagai sebuah perjuangan yang suci dan benar.
“Akan tetapi kenapa kalian mengeroyok seorang wanita?” dia memancing sambil menoleh kepada Muryani.
Orang Madura itu memandang Muryani dengan sinar mata penuh kebencian “Karena dia adalah seorang telik-sandi Mataram yang harus dibunuh!”
Diam-diam Parmadi mengakui bahwa orang ini, dan mungkin demikian pula dengan semua temannya yang sudah tewas, adalah orang-orang gagah yang membela tanah air mereka dengan gigih sebagai seorang pejuang yang mencinta tanah air dan bangsa. Ahh, betapa menyedihkan kalau bangsa di Nusantara itu terpecah belah seperti ini.....
Komentar
Posting Komentar