SERULING GADING : JILID-49
Orang itu tersenyum mengejek, kemudian dia berkata, “Kumpeni Belanda suka membantu kami untuk menghadapi Mataram, maka kami bekerja sama dengan mereka. Kalian boleh membunuhku, akan tetapi kalian tidak akan terlepas dari mereka!” Orang itu menunjuk ke arah lautan di mana terdapat sebuah kapal. Tiba-tiba orang itu mengambil golok yang tadi dilontarkan Muryani dan menggeletak di situ, lalu menyerang gadis itu dengan nekat.
“Hyaaaaaehhhhh...!” Orang itu mendadak membacokkan goloknya ke arah kepala Muryani dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Golok itu menyambar dengan suara berdesing.
Akan tetapi dengan mudah saja Muryani dapat menghindarkan diri dari bacokan golok itu dengan elakan ke samping dan sekali kakinya mencuat ke arah pergelangan tangan kanan penyerangnya, orang itu mengeluh dan golok itu pun terlepas lalu terpental dari tangannya.
“Cukup, Muryani. Jangan bunuh dia.” kata Parmadi.
Muryani merasa heran sendiri kenapa dia begitu mentaati seruan Parmadi ini. Dia merasa ada sesuatu yang sangat kuat dan berwibawa sehingga secara otomatis dia melompat ke belakang.
“Ki-sanak, kami tidak akan membunuhmu. Kalau engkau memang seorang pejuang yang membela Arisbaya, engkau tentu memiliki kesetia-kawanan untuk mengubur jenazah para kawanmu itu. Mari adi, kita pergi,” kata Parmadi dan
Muryani menurut saja pada saat Parmadi menghampiri perahu kecil milik dua orang mata-mata Arisbaya yang menyamar sebagai nelayan tadi. Muryani merasa semakin heran. Dia seperti berubah menjadi seorang anak kecil yang menurut saja dituntun seorang dewasa! Tanpa bicara Parmadi mengajak dia naik perahu kecil yang didayung oleh Parmadi menuju ke muara!
Sesudah mereka jauh meninggalkan tempat pertempuran tadi dan tidak tampak dari sana karena terhalang batu-batu karang dan bukit pasir, barulah Muryani dapat berbicara. Dia bertanya dengan suara keheranan.
“Kakang Parmadi, apa artinya semua ini? Mengapa aku... aku menurut saja apa yang kau katakan?”
Parmadi tersenyum dan mendayung perahunya ke tepi muara, lalu mendarat dan menarik perahu itu ke darat. Sesudah itu barulah dia duduk di atas batu karang dan mempersilakan gadis itu duduk di depannya.
“Engkau menuruti kata-kataku berarti bahwa engkau percaya kepadaku, adikku, dan aku girang sekali.”
“Ya, akan tetapi mengapa, kakang? Kenapa engkau melarang aku membunuh orang tadi? Bukankah dia adalah musuh dan dia pun berniat membunuh aku?”
“Betul katamu, Muryani. Akan tetapi ingat, dia hendak membunuhmu karena menganggap engkau telik-sandi Mataram dan dia berjuang untuk membela Madura. Dia juga seorang pejuang, seorang gagah, sungguh pun sayang sekali kerajaan masing-masing bermusuhan sehingga membuat dua pihak yang sama-sama patriot, sama-sama pejuang, sama-sama orang gagah yang berjuang sebagai seorang kawula membela negaranya, terpaksa harus saling berhadapan sebagai musuh. Aku tidak tega melihat dia terbunuh. Lagi pula, jika dia terbunuh, lalu siapa yang akan menguburkan semua jenazah itu?”
“Kakang Parmadi, sungguh aku tak mengerti. Kenapa engkau mempedulikan mayat-mayat para musuh itu? Kalau kita yang kalah dan mati, belum tentu mereka mau mempedulikan jenazah kita.”
“Hal itu hanya membuktikan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang tidak memiliki peri kemanusiaan, adi Muryani. Pada waktu hidup, nafsu dan keadaan mungkin memaksa kita untuk bermusuhan dengan mereka. Tetapi setelah mereka mati, permusuhan apa lagi yang ada? Mereka sudah menjadi jenazah! Dan jangan lupa, itu adalah jenazah manusia. Tidak mungkin kita biarkan terlantar begitu saja.”
“Aduh, bicaramu mengingatkan aku kepada mendiang ayahku, kakang Parmadi.”
“Tentu saja. Bukankah beliau adalah guruku yang pertama?”
“Akan tetapi mengapa pula engkau mengajakku ke sini, kakang? Agaknya engkau seperti sedang merencanakan sesuatu.”
“Engkau masih tetap cerdik seperti dahulu, Muryani. Sesungguhnyalah. Melihat tiga orang serdadu Belanda yang membantu orang-orang Madura itu, aku menjadi amat curiga. Kapal Belanda di sana itu pasti bermaksud hendak membantu Madura. Hal itu akan berbahaya sekali. Kalau kita ingin membantu Mataram, inilah kesempatan yang sangat baik.”
“Apa maksudmu?”
“Kita harus dapat naik ke kapal itu, kemudian melumpuhkan kekuatannya. Ketahuilah, adi Muryani. Dari percakapanku dengan beberapa orang bijaksana yang setia pada Mataram, aku mengetahui bahwa musuh utama kita adalah Kumpeni Belanda yang ingin menguasai bumi Nusantara. Gusti Sultan Agung tidak memusuhi daerah-daerah, melainkan hendak mempersatukan seantero kekuatan di nusantara untuk bersatu padu menyusun kekuatan menghadapi Kumpeni Belanda. Yang menolak persatuan terpaksa ditundukkan. Dan pihak Belanda tentu saja tidak senang melihat persatuan semua daerah dengan Mataram, maka mereka selalu berusaha untuk memecah belah agar kekuatan kita menjadi lemah. Kapal itu pun tentu ingin membantu Madura supaya jangan sampai bersatu dengan Mataram. Karena itu, kalau kita ingin membantu Mataram, kita harus berusaha untuk melumpuhkan kapal itu.”
“Wah, itu sukar dan berbahaya sekali, kakang Parmadi!” seru Muryani sambil memandang ke arah kapal besar itu. Moncong beberapa buah meriam tampak dari situ. “Dan mengapa pula engkau bersembunyi di antara batu karang ini?”
“Aku pernah mendengar bahwa kumpeni memiliki alat-alat yang ampuh. Selain senjata api panjang dan pendek, juga meriam-meriam. Dan aku mendengar mereka memiliki alat yang disebut teropong yang membuat mereka bisa melihat dari jauh sehingga dengan teropong itu, mungkin dari kapal mereka dapat melihat kita di sini. Maka sebaiknya kita berhati-hati dan bersembunyi di antara batu-batu karang sehingga kita bisa mengintai kapal sebaliknya mereka tidak dapat melihat klta.”
“Akan tetapi bagaimana kita dapat naik ke kapal mereka? Bukankah hal itu sangat sukar dan berbahaya sekali?”
“Tidak ada perjuangan tanpa menghadapi kesukaran dan bahaya, Muryani. Nanti malam akan kucoba untuk menggunakan perahu mendekati kapal mereka kemudian mencari jalan bagaimana aku dapat menyelundup naik ke kapal itu.”
“Kalau begitu aku ikut, kakang!” kata Muryani penuh semangat.
“Lebih baik jangan, Muryani. Pekerjaan ini sungguh berbahaya dan aku tidak ingin engkau terancam bahaya. Apa lagi kita berada di atas lautan.”
Muryani mengerutkan alisnya. “Kakang Parmadi! Bila engkau berani menghadapi bahaya, apa kaukira aku tidak berani? Kita hadapi bahaya bersama. Dengan kita berdua bekerja sama, tentu kedudukan kita lebih kuat!”
Parmadi tersenyum sambil menatap wajah gadis itu dengan kagum. “Ahh, engkau masih pemberani dan pantang mundur, gagah perkasa seperti dulu, Muryani.”
“Hemm, aku bukan hendak menyombongkan diri, kakang. Akan tetapi aku bukan Muryani yang dulu. Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari mendiang Nyi Rukmo Petak!”
Parmadi mengangguk. “Aku telah melihatnya tadi. Gerakanmu amat ringan dan cepat dan aji pukulan yang kau pergunakan tadi dahsyat bukan main.”
“Selain itu, aku juga pernah belajar dan pandai berenang,” kata Muryani bangga.
“Baiklah, kita tunggu sampai malam tiba. Mudah-mudahan saja kapal itu belum pergi dan menyalakan lampu sehingga kita dapat menghampirinya dengan perahu.”
Sambil menanti datangnya malam, dua orang muda itu meninggalkan pantai dan mereka menemukan tanaman ketela di sebuah tegalan. Karena perutnya lapar, Muryani hendak mencabut dan mengambil beberapa pohon ketela.
Akan tetapi Parmadi berkata, “Adi Muryani, walau pun kita hanya membutuhkan beberapa potong dan aku yakin pemiliknya akan rela bila melihat kita mengambil untuk kita makan, namun sungguh akan terasa tidak enak di mulut dan perut kalau kita mengambil tanpa ijin pemiliknya. Coba bayangkan, kalau selagi kita makan pemiliknya muncul dan melihat kita, apakah kita tidak akan malu sekali?”
Muryani tertawa. “Wah, engkau semakin mirip ayah dahulu! Baiklah, mari kita cari pemilik tegalan (ladang) ini, itu rumahnya tidak jauh dari sini. Kita beli saja beberapa potong ketela darinya.“
Mereka lalu mencari dan tidak lama kemudian berhasil menemukan rumah pondok bambu sederhana. Penghuninya adalah seorang petani yang berusia kurang lebih lima puluh tahun bersama isterinya yang juga sudah setengah tua. Mereka hanya berdua di pondok yang tidak mempunyai tetangga itu dan petani itu mengerjakan ladang, terkadang dia pergi pula menjala ikan di muara sungai. Hidup mereka sederhana tapi serba cukup dan tampaknya mereka hidup berbahagia.
Kedua orang suami isteri itu menyambut kedatangan Parmadi dan Muryani dengan hormat dan ramah sekali.
“Wah, mbok-ne! Kita kedatangan tamu-tamu priyayi!” seru lelaki itu kepada isterinya yang berada di belakang.
Sang isteri datang berlari-lari dan keduanya menyambut dua orang muda itu dengan wajah riang gembira, seperti penduduk dusun yang pada umumnya lugu bila kedatangan priyayi atau orang kota.
“Mari, den-mas dan den-roro, silakan masuk, silakan duduk!” dengan ramah pemilik rumah itu mempersilakan sedangkan isterinya memandang dengan tersenyum dan membungkuk-bungkukkan tubuh sebagai tanda hormat.
“Terima kasih, paman. Kami tidak akan mengganggu, kami hanya ingin bertanya. Apakah ladang di sana itu, yang ditanami ketela, milik paman?” kata Parmadi sambil menunjuk ke arah ladang itu.
“Ohh, tegalan itu? Benar, den-mas. Kami yang menanami ketela di sana.”
“Nah, begini, paman. Kami berdua sedang membutuhkan beberapa potong ketela, maka kami datang untuk membelinya dari andika.”
Suami isteri itu saling pandang sejenak, lalu sang isteri bertanya heran, “Den-mas, untuk apakah andika berdua membutuhkan beberapa potong ketela?”
Muryani tersenyum dan dia pun menjawab, “Untuk apa, bibi? Tentu saja untuk dibakar dan dimakan! Kami lapar sekali.”
Kini suami isteri itu saling pandang dengan mata terbelalak, kemudian si suami berseru, “Ahh, den-mas! Masa untuk beberapa potong ketela saja harus membeli? Silakan ambil secukupnya, kami berdua rela dan senang sekali, den-mas!”
“Benar, den-mas dan den-roro!” kata pula sang isteri. “Bahkan, kalau andika berdua sudi, silakan makan di sini bersama kami. Kami punya nasi dengan lauk sayur lodeh terong dan sambal!”
“Ahh, terima kasih sekali, bibi. Kami tidak ingin menyusahkan andika. Kalau begitu, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas pemberian ketelanya dan kami mohon pamit,” kata Parmadi.
“Silakan, den-mas. Silakan...!” kata suami isteri itu sambil membungkuk-bungkuk.
Parmadi lalu pergi bersama Muryani, menuju ladang tadi dan tidak lama kemudian mereka sudah mengambil delapan potong ketela ubi sebesar kepalan tangan pria. Mereka segera membuat api dengan kayu-kayu kering, lalu membakar ubi itu. Tercium bau sedap bukan main, apa lagi karena perut mereka sudah lapar sekali.
Setelah ketela ubi itu masak, mereka duduk dekat api dan mulai makan. Gurih dan manis sekali rasanya. Akan tetapi Muryani mengomel.
“Hemm, kalau saja kita menerima tawaran suami isteri yang ramah itu, tentu sekarang kita makan nasi dan sayur lodeh terong. Dengan sambal pula. Hemm, alangkah sedapnya!”
Parmadi tertawa. “Adi Muryani, coba buang pikiranmu membayangkan makanan lain yang kau anggap lebih enak dan curahkan seluruh perhatianmu kepada makanan yang sedang kau hadapi dan makan, dengan rasa penuh syukur kepada Gusti Allah yang telah memberi berkah, maka makanan itu akan terasa lezat dan nikmat luar biasa!”
Muryani tersenyum. “Aku masih ingat akan wejangan mendiang bapak tentang hal itu dan aku memang bukan orang murka yang suka mengharapkan sesuatu yang lebih dari pada yang kumiliki, kakang. Akan tetapi bagaimana pun juga, kalau dibuat perbandingan, tentu makan nasi dengan sayur lodeh terong lebih lezat dibandingkan sekedar ketela ubi bakar, bukan?”
“Kalau engkau menghadapi dua, tiga atau lebih macam makanan, tentu saja engkau bebas untuk memilih mana yang lebih kau inginkan dan sukai. Akan tetapi kalau hanya ada satu macam makanan, apa pun juga makanan itu, baik yang sederhana seperti ubi bakar ini atau yang mewah mahal, maka membandingkannya dengan makanan lain yang tidak ada, hanya akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kelezatan makanan yang tengah kau hadapi.”
“Kenapa begitu, kakang?”
“Begitulah ulah nafsu angkara murka, selalu saja mendorong kita untuk mendapatkan atau menginginkan yang tidak ada pada kita. Biasanya yang kita inginkan itu tentu kita anggap lebih baik dan lebih enak dari pada apa yang kita miliki dan hadapi. Karena itu maka yang kita hadapi menjadi tampak tidak enak dan tidak menyenangkan.”
“Hemm, engkau benar, kakang. Lalu apa yang harus kita perbuat kalau nafsu mendorong kita untuk menginginkan segala yang tidak ada pada kita?”
“Dengan cara menerima segala sesuatu yang kita dapatkan sebagai anugerah Gusti Allah, sebagai berkah dan bukti cinta kasihNya kepada kita sehingga kita selalu menerimanya dengan puji syukur yang tulus. Bila sudah begitu, mendapatkan sepotong ketela ubi bakar atau pun sepiring nasi dengan lauk pauk mewah, akan sama saja merupakan berkah gusti Allah dan kita akan selalu menikmatinya.”
“Wah, kalau begitu kita tidak akan memperoleh kemajuan dalam hidup ini, kakang. Kalau setiap hari kita hanya bisa makan ubi dan menerima begitu saja, dan sudah puas, maka selama hidup kita hanya akan makan ubi terus! Sebaliknya kalau kita tidak puas dan ingin mencari yang lebih dari pada ubi, maka akan timbul keinginan untuk maju, untuk mencari agar mendapatkan yang lebih. Bukankah begitu?”
Parmadi tersenyum. “Bagus, Muryani. Engkau sudah dapat menggunakan pikiranmu untuk bernalar. Ketahuilah, adikku, dalam kehidupan ini, Gusti Allah telah memberi kita hati akal pikiran, juga memberi nafsu dan semua itu harus kita pergunakan! Kita gunakan hati akal pikiran, didorong oleh semangat nafsu, untuk berusaha memenuhi segala kebuluhan kita di dalam kehidupan ini. Kita tidak dapat meninggalkan nafsu yang menjadi pendorong bagi kita untuk melaksanakan segala sesuatu demi kepentingan dalam hidup ini. Hidup berarti gerak, dan setiap gerakan merupakan usaha, ikhtiar, setiap gerakan bekerja. Seluruh alam maya-pada ini bergerak dan bekerja. Kekuasaan Gusti Allah tidak pernah berhenti bekerja, sedetik pun! Lihat tubuh kita ini. Setiap bagian tubuh kita terus bergerak dan bekerja. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, semua bergerak dan bekerja. Semuanya hidup, maka hidup itu gerak dan gerak itu kerja! Bayangkan kalau jantung kita berhenti berdetak, kalau darah kita berhenti mengalir, jika pernapasan kita berhenti, jika otak kita berhenti. Semua itu, termasuk seluruh bagian anggota tubuh kita, semuanya itu mempunyai tugas masing-masing dan bekerja yang berarti berikhtiar!”
“Nanti dulu, kakang, jangan terlampau cepat. Aku menjadi bingung. Bukankah semua itu digerakkan oleh kekuasaan Gusti Allah?”
“Benar, segala sesuatu memang terjadi menurut kehendakNya. Akan tetapi Gusti Allah tidak akan menolong rnanusia kalau manusia itu sendiri tidak mau berusaha, bergerak dan bekerja. Contohnya, adi Muryani yang manis, siapa yang menyediakan tanah, air, udara, sinar matahari dan bibit padi?”
“Hemm, tentu saja Gusti Allah, kakang.”
“Tepat, karena manusia tidak dapat membuat semua itu. Nah, walau pun Gusti Allah telah menyediakan semua itu dengan lengkap, untuk kepentingan dan kebutuhan manusia, tapi manusia tidak akan dapat menikmati nasi apa bila dia tidak mau bekerja atau berusaha. Manusia harus mengolah semua yang telah disediakan Gusti Allah itu, rnencangkul tanah, mengairinya, menanam benih padinya, merawat dan sebagainya. Bahkan setelah menjadi padi, dia harus melanjutkan pekerjaannya untuk menuai, menumbuk, lalu memasak beras menjadi nasi. Semua itu adalah ikhtiar, adikku. Bahkan setelah menjadi nasi di depan kita, Gusti Allah tidak menyuapi kita. Kita sendiri dengan tangan dan mulut harus makan nasi itu. Apakah semua ikhtiar itu sudah cukup untuk membuat kita hidup dan tidak kelaparan? Masih belum. Di dalam perut kita, bagian pencernaan dan perut kita masih harus bekerja lagi agar sari makanan nasi itu dapat menyehatkan dan mempertahankan hidup kita. Nah, jelas bahwa berkah dari Gusti Allah harus kita imbangi dengan ikhtiar, dengan usaha atau bekerja. Kita bekerja sekuat tenaga sebagai kewajiban, tetapi kita harus menerima segala hasilnya, besar atau kecil, sebagai berkahNya dan selalu memuji syukur kepadaNya.”
Muryani mengangguk-angguk. “Aku mulai mengerti, kakang. Akan tetapi cukuplah dahulu, jangan banyak-banyak, aku menjadi pusing.” Setelah selesai makan ubi bakar, mereka lalu minum dari sumber air yang terdapat di antara bukit karang. Mereka menanti datangnya malam sambil bersembunyi di antara batu-batu karang.
Setelah malam tiba, mereka amat girang karena melihat kapal itu masih berada di situ dan nampak lampu-lampu penerangan di kapal itu. Malam itu tidak gelap benar. Langit cerah dan penuh bintang.
Parmadi mendayung perahu kecil itu menuju ke kapal yang lampunya hanya terlihat kelap-kelip dari situ. Untung bahwa malam itu laut tidak berombak besar. Air tenang dan perahu meluncur cepat ke arah kapal. Dengan hati-hati Parmadi mendayung perahu menghampiri kapal. Terdengar suara orang-orang di atas kapal.
Parmadi mendekatkan perahu sehingga menempel pada rantai jangkar yang dilepas dari bagian buritan kapal. Dia memegangi rantai itu dan berbisik kepada Muryani.
“Ikatkan tali perahu ke rantai ini.”
Muryani segera melakukannya sehingga sekarang perahu tertahan di dekat rantai jangkar. Parmadi lalu berbisik lagi. “Sekarang aku hendak melihat keadaan di atas kapal. Engkau tunggu saja dulu di sini, dik.”
“Aku juga ikut ke atas, kang!” kata Muryani.
“Tunggu dulu. Kulihat ada sebuah lampu tepat di atas bagian ini. Tentu keadaan di sana sangat terang dan berbahaya bagi kita. Kalau aku sudah berhasil memadamkan lampu itu sehingga keadaan bagian itu menjadi gelap, barulah engkau menyusul naik.”
“Baiklah,” kata Muryani dan Parmadl lalu memanjat naik melalui rantai besar itu. Sebentar saja dia sudah tiba di atas.
Dia tidak langsung naik ke atas geladak kapal, melainkan bergantung di pinggir permukaan geladak, di bawah pagar pengaman. Dilihatnya sekitar tiga puluh orang Belanda di bagian tengah kapal yang diterangi banyak lampu. Akan tetapi pada bagian buritan nampak sepi. Melihat kesempatan ini Parmadi cepat melompati pagar besi pengaman hingga berada di atas dek buritan, di bawah lampu gantung. Dia cepat-cepat menurunkan lampu itu lantas memadamkannya, lalu dia berlutut, sembunyi di balik besi tempat gulungan rantai jangkar, memperhatikan keadaan di atas kapal besar itu.
Dia melihat ada empat buah meriam besar, dua di sebelah kanan dan dua di kiri. Ada pula beberapa buah meriam-meriam kecil.
Tidak lama kemudian Muryani yang sudah melihat lampu padam dan cepat memanjat naik melalui tali jangkar, sudah berlutut pula di sisinya. Mereka berdua mengintai dan melihat betapa orang-orang Belanda itu bersenang-senang, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa. Ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka minum-minum dengan gembira. Seorang memetik gitar mengiringi nyanyian beberapa orang. Ada pula yang bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama sambil menari-nari.
Sambil berbisik-bisik Parmadi dan Muryani mengatur siasat. Kemudian mereka berpencar, Muryani ke kiri dan Parmadi ke kanan, maju berindap-indap. Biar pun sangat berhati-hati, namun mereka dapat menyelinap maju dengan cepat sekali dan berturut-turut dua lampu di kanan kiri kapal itu menjadi padam. Muryani dan Parmadi mengerahkan seluruh tenaga dan berhasil mendorong meriam-meriam besar itu meluncur jatuh ke laut.
Agaknya ada yang mendengar suara itu. Dua orang serdadu berlari ke arah Muryani yang sudah bersembunyi dan ketika dua orang prajurit kumpeni itu lewat, dua kali sinar senjata patremnya yang sudah dikembalikan Parmadi kepadanya itu menyambar.
Dua orang serdadu itu berseru keras, terhuyung. Akan tetapi dua kali tendangan membuat mereka terlempar melewati pagar besi pengaman kemudian tercebur ke laut.
Tiga orang serdadu yang lain juga memeriksa pada bagian kanan. Akan tetapi dari dalam kegelapan menyambar sinar putih kekuningan, tiga kali sinar itu berkelebat dan tiga orang serdadu itu roboh tanpa mengeluarkan suara lagi.
Parmadi melempar-lemparkan tiga orang serdadu itu keluar dari kapal sehingga mereka tercebur ke dalam laut. Akan tetapi seorang serdadu yang lain datang berlari-lari ke arah Parmadi. Tangan kirinya membawa sebuah lampu gantung, tangan kanannya memegang sebuah pistol.
“Dar-darrr...!”
Pistol di tangan kanannya meledak dua kali. Akan tetapi karena tempat itu gelap, dengan mudah Parmadi bersembunyi, kemudian secepat kilat dia melompat ke depan dan sekali seruling gadingnya bergerak, robohlah serdadu itu.
Parmadi cepat-cepat menangkap lampu gantung yang terlepas dari tangan serdadu itu. Ia melihat bayangan Muryani berkelebat ke arah buritan mendekati tali jangkar, maka dia pun cepat melempar lampu ke arah bilik yang berada di tengah kapal. Terdengar ledakan dan bilik itu pun terbakar.
“Dar-dar-darr...!”
Terdengar tembakan berulang-ulang diiringi suara orang ramai dan tampak mereka berlari-lari kalang kabut dan panik, ada pula yang berusaha memadamkan kebakaran. Melihat ini Parmadi segera melompat ke arah tali jangkar dan menyusul Muryani yang sudah turun ke perahu kecil mereka.
Begitu Parmadi turun ke perahu kecil, Muryani yang tadi sudah melepaskan tali perahunya dari tali jangkar, cepat mendayung perahu itu dibantu oleh Parmadi. Para serdadu sedang panik dan menyangka bahwa kapal itu diserang banyak orang, maka sebagian ada yang memadamkan kebakaran, sebagian lainnya berindap-indap mencari musuh sambil bersiap-siap dengan senjata api mereka sehingga tidak ada yang sempat menjenguk keluar kapal.
Dengan berselimutkan kegelapan Parmadi dan Muryani berhasil menjauhkan diri dari kapal dan lolos, kembali ke pantai. Setelah perahu mereka tiba di pantai, ternyata cuaca sudah mulai terang, malam telah berganti pagi.
“Lihat itu !” Muryani menunjuk ke arah pantai.
Parmadi mengangguk, tanda bahwa dia juga sudah melihatnya.
Di atas pasir pantai itu tampak dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang dikeroyok sekitar dua puluh orang yang bersenjata golok dan tombak. Akan tetapi gerakan dua orang itu, terutama yang pria, amat cepat dan hebat. Walau pun dua puluh orang itu bergerak menyerang dan mengeroyok secara ganas dan buas, namun sudah ada empat orang di antara mereka yang roboh.
“Kakang Parmadi, wanita itu...!”
“Kenapa? Engkau mengenalnya?”
“Tidak, tapi aku mengenal gerakan silatnya! Kecepatan gerakannya itu tentu berdasarkan Aji Kluwung Sakti dan pukulan itu! Lihat, dia merobohkan lawan dengan pukulan Aji Gelap Sewu! Ilmu-ilmunya sama dengan ilmuku! Ah, tidak salah lagi, dia tentulah Mbakayu Retno Susilo seperti yang pernah diceritakan mendiang guruku, Nyi Rukmo Petak!”
“Hemm, kalau begitu mari kita bantu mereka! Para pengeroyok itu tampak buas dan ganas sekali!” kata Parmadi dan mereka mendayung perahu lebih cepat lagi.
Begitu tiba di tepi pantai, Muryani sudah cepat melompat sambil berseru, “Mbakayu Retno Susilo! Kakangmas Sutejo! Jangan khawatir, aku Muryani datang membantu andika!”
Setelah berkata demikian Muryani lalu menerjang maju dengan menggunakan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya seperti gerakan seekor burung srikatan saja cepatnya dan begitu dia memukul beruntun dengan Aji Gelap Sewu, dua orang pengeroyok roboh terguling.
Sepasang suami isteri yang mengamuk itu memang benar Sutejo beserta isterinya, Retno Susilo. Seperti kita ketahui, suami istri perkasa ini sedang mencari putera mereka, Bagus Sajiwo yang hilang diculik orang setahun lebih yang lalu.
Selain mencoba mencari jejak puteranya yang hilang, juga suami isteri yang setia kepada Mataram ini mendengar bahwa Mataram akan menggerakkan pasukan guna menundukkan Madura yang tidak mau diajak bersatu, maka mereka segera berusaha untuk membantu Mataram.
Ketika mereka tiba di pantai itu, mereka berusaha mencari perahu untuk menyeberang ke Pulau Madura yang sudah tampak dari pantai itu. Akan tetapi bukan perahu yang datang dan dapat mereka sewa, melainkan dua puluh orang perampok atau bajak laut.
Orang-orang kasar ini sedang mempergunakan kesempatan selagi rakyat dalam keadaan panik dan suasananya keruh, untuk berbuat jahat, merampok siapa saja yang kiranya bisa dirampok dan menguntungkan mereka.
Melihat suami isteri yang pakaiannya tampak pantas itu, mereka mengira mungkin sudah mendapatkan mangsa yang empuk, namun tidak tahunya mereka bertemu dengan suami isteri pendekar yang sakti. Tetapi robohnya beberapa orang kawan tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka menjadi semakin penasaran dan mengeroyok suami isteri itu dengan ganas dan buas.
Akan tetapi begitu melihat Muryani muncul bersama Parmadi, dan sekali serang Muryani sudah merobohkan dua orang, demikian pula Parmadi, mereka mulai menjadi ketakutan. Dua orang yang mereka keroyok tadi sudah hebat sekali, kini datang lagi dua orang lain yang juga sakti, maka belasan orang sisa mereka yang roboh itu melarikan diri cerai berai meninggalkan tempat itu.
Sementara itu Retno Susilo dan Sutejo yang tidak mengejar mereka yang melarikan diri, namun mengamati Muryani dengan heran. Juga Sutejo memandang Muryani dan Parmadi yang baru datang itu dengan hati heran karena seperti juga isterinya, rasanya dia belum pernah bertemu dengan dua orang ini.
“Adik, siapakah andika?” tanya Retno Susilo sesudah menghampiri dan kini berhadapan dengan gadis itu sambil mengamati wajah yang ayu manis itu.
“Namaku Muryani dan ini kakang Parmadi,” jawab Muryani memperkenalkan diri.
Kedua nama ini juga asing bagi suami isteri itu.
“Kami tidak mengenal kalian. Bagaimana engkau bisa mengenal nama kami?” tanya pula Retno Susilo, agak meragu dan curiga karena dia tidak tahu berhadapan dengan siapa dan dari golongan rnana.
“Apakah mbakayu tidak melihat ketika tadi aku mempergunakan Aji Kluwung Sakti dan Aji Gelap Sewu untuk merobohkan dua orang pengeroyok?”
Retno Susilo mengangguk. “Justru itulah yang membuatku heran. Bagaimana engkau bisa memiliki aji-aji itu dan mengenal kami?”
“Mbakayu, aku mengenalmu seketika ketika melihat engkau mempergunakan dua macam aji kesaktian itu. Ketahuilah, mbakayu, aku adalah murid guru kita, Nyi Rukmo Petak, dan beliau meninggalkan pesan bahwa kalau aku bertemu dengan mbakayu Retno Susilo dan suaminya yang bernama Sutejo, aku harus membantu kalian berdua.”
“Ahh, begitukah?” Retno Susilo gembira. “Di manakah beliau sekarang?”
“Beliau sudah meninggal dunia, mbakayu.”
“Ahhh...!” Meski pun dia pernah membenci Nyi Rukmo Petak, akan tetapi mengingat akan budi kebaikan gurunya itu, Retno Susilo merasa sedih sekali dan dia menghapus beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
“Bagaimana beliau meninggal? Ahh, marilah kita menjauhi mereka yang terluka ini supaya dapat bicara dengan leluasa.”
Mereka berempat menjauhi tempat itu dan Parmadi menyeret perahunya sampai mereka tiba di pantai yang agak jauh dan tidak lagi melihat delapan orang anggota perampok yang terluka berat itu. Di tempat sunyi ini, Muryani menceritakan tentang kematian Nyi Rukmo Petak. Mereka duduk di atas pasir pantai yang bersih.....
Komentar
Posting Komentar