SERULING GADING : JILID-50
“Saya adalah murid dari Eyang Guru Tejo Wening.”
“Ahh, maksudmu Sang Resi Tejo Wening, datuk yang sakti mandraguna dan arif bijaksana yang dulu bertapa di Gunung Sanggabuwana itu?” seru Sutejo heran dan kagum.
“Wah, kangmas Sutejo sudah mengenal eyang resi?”
“Belum pernah jumpa, akan tetapi sejak dulu aku sudah mendengar nama besarnya. Dan kalian, sepagi ini datang berperahu, dari manakah kalian?”
Muryani tersenyum. Karena ingin sekali memamerkan apa yang dia dan Parmadi lakukan kepada mbakayu seperguruannya, maka dia segera mendahului Parmadi menjawab, “Ahh, tadi malam kami berdua mengacau. Kami melempar-lemparkan meriam-meriam dari kapal lalu melakukan pembakaran pada kapal itu dan juga merobohkan beberapa orang serdadu kumpeni!”
“Wah, hebat! Jadi kiranya kalian yang membuat keributan dan pembakaran kapal kumpeni itu? Bagus, tadi kami juga melihatnya dari sini, ada api berkobar di kapal itu,” kata Retno Susilo sambil menuding ke arah kapal yang kini nampak bergerak ke arah barat, agaknya hendak meninggalkan tempat yang mereka anggap berbahaya itu.
“Aih, sayang pertemuan kita terlambat,” kata Muryani: “Kalau saja sejak tadi kami bertemu dengan mbakayu Retno Susilo dan kakangmas Sutejo, tentu kita berempat bisa membuat kapal itu menderita lebih parah lagi! Dan kalau boleh kami ketahui, andika berdua hendak ke manakah dan siapa mereka yang tadi mengeroyok andika?”
“Sama seperti kalian, kami juga hendak membela Mataram menghadapi para musuhnya. Karena kami mendengar bahwa Mataram hendak berperang melawan Madura, maka kami bermaksud untuk membantu pasukan Mataram,” kata Sutejo terus terang karena dia tidak merasa ragu lagi terhadap gadis dan pemuda itu.
“Aku sudah tahu siapa guru mbakayu Retno Susilo karena dia satu perguruan denganku. Akan tetapi aku ingin tahu siapakah guru kakangmas Sutejo? Tentu seorang yang sangat bijaksana dan sakti mandraguna,” kata Muryani.
Sutejo tersenyum. Sikap gadis ini mengingatkan dia akan sikap isterinya, Retno Susilo, di waktu masih gadis. “Guruku tidak terkenal. Beliau adalah mendiang Resi Limut Manik.”
“Wah, dulu saya pernah mendengar dari eyang Resi Tejo Wening bahwa Resi Limut Manik adalah seorang pertapa bijaksana yang mengasingkan diri!” seru Parmadi dengan kagum.
“O ya, siapa tahu kalian berdua pernah melihat anak kami!” tiba-tiba Retno Susilo berseru penuh harapan.
“Ya, benar! Apakah kalian pernah melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun dibawa orang yang mempunyai sebatang pedang berbentuk seperti seekor naga dan berwarna kehijauan?” tanya pula Sutejo.
Parmadi dan Muryani saling pandang lalu keduanya menggeleng kepala. “Kami tak pernah melihatnya,” kata mereka hampir berbareng, lalu Muryani bertanya, “Apa yang telah terjadi dengan putera andika, mbakayu?”
Retno Susilo menghela napas, kecewa mendengar bahwa dua orang muda itu tidak pernah melihat anaknya yang diculik orang. “Peristiwa ini terjadi setahun lebih yang lalu. Ketika itu putera kami yang bernama Bagus Sajiwo lenyap diculik orang bersama pedang pusakaku Naga Wilis. Sejak hari itu kami berdua meninggalkan rumah untuk berkelana mencari jejak anak kami, tapi sampai sekarang belum menemukan jejaknya. Kami tidak tahu siapa yang melakukan hal securang dan sekejam itu, tidak dapat menduga apakah orang itu laki-laki atau perempuan, tua atau muda.” Retno Susilo mengusap dua titik air mata dari pipinya.
Muryani merangkul mbakayu seperguruannya. “Aku pasti akan membantumu mencarinya, mbakayu! Akan kucari sampai dapat dan akan kuhajar orang yang berani menculiknya!”
“Terima kasih, Muryani. Engkau amat baik, tidak rugi mempunyai adik seperguruan seperti engkau.”
“Sudahlah,” kata Sutejo. “Sekarang yang terpenting kita memikirkan persiapan kita dalam membantu pasukan Mataram.”
“Kakangmas Sutejo memang benar, mari kita pusatkan perhatian kepada tugas membantu Mataram. Akan tetapi saya rasa pada saat ini seluruh Madura sudah bersiap siaga untuk menghadapi serangan Mataram, karena itu tidak akan leluasa kalau kita menyeberang dan menanti di sana, tentu akan muncul banyak gangguan. Sebaiknya kalau kita menunggu di pantai kemudian menggabungkan diri bila pasukan Mataram lewat. Kita dengar-dengarkan melalui mana pasukan Mataram akan lewat dan kita menunggu mereka di sana.”
Mereka semua setuju dan demikianlah, mereka berempat lalu mencari keterangan tentang kemungkinan lewat mana pasukan Mataram akan melakukan penyeberangan dan sambil menanti itu mereka berempat bercakap-cakap menceritakan tentang pengalaman masing-masing.....
********************
Sultan Agung benar-benar marah sesudah menerima surat balasan Pangeran Pekik dari Surabaya yang isinya amat memanaskan hati dan penuh teguran. Setelah mengharapkan semua senopati, adipati dan bupati, Sultan Agung lantas mengangkat Adipati Sujanapura yang sebelum dinaikkan pangkatnya bernama Arya Jaya Puspita, untuk menjadi panglima bala tentara yang akan menyerang Madura. Sebagai wakilnya adalah Adipati Pragola dari Pati, dibantu oleh Pangeran Sumedang dan pengawasnya adalah Pangeran Silarong, adik Sultan Agung sendiri.
Patih Tumenggung Singaranu bertugas mengerahkan pasukan. Pasukan yang dipimpin panglima Adipati Sujanapura dibantu oleh Tumenggung Jagabaya, Panji Wirabumi, Ngabei Patrabangsa, Demang Suradeksa, Rangga Ngawu-awu, Ki Panji Singajaya, dan banyak lagi. Pasukan ini melakukan perjalanan melalui Majaranu.
Wakil panglima, Adipati Pragola dari Pati, memimpin pasukan kedua dibantu para senopati dari Pati, yaitu antara lain Patih Harya Mangunjaya, Patih Harya Sindureja, dibantu oleh Harya Sawunggaling, Ki Demang Prawiratanu, Rangga Penantangyuda, Rajamenggala, Ngabel Wirasraya, dan banyak lagi. Mereka ini melalui Juwana dan menuju ke Sedayu di mana mereka lalu bergabung dengan pasukan pertama yang dipimpin Adipati Sujanapura. Kemudian mereka lewat tengah malam menyeberang ke Pulau Madura.
Kesalahan Adipati Sujanapura adalah dia terlalu mengandalkan kekuatan pasukannya. Hal ini mungkin dipengaruhi kemenangan demi kemenangan yang dicapai Mataram pada saat menundukkan semua daerah di Jawa Timur, termasuk beberapa bagian di Jawa Barat dan seluruh Jawa Tengah. Dia terlampau memandang rendah lawan dan hal ini membuat dia lengah.
Beberapa orang senopati yang berpengalaman mencoba mengingatkannya supaya lebih berhati-hati, tapi senopati yang merasa menjadi panglima tertinggi itu justru mengabaikan mereka. Dia memerintahkan pasukan supaya terus maju, mendarat pada waktu fajar dan langsung menyerang ke darat.
Tetapi pasukan Mataram yang terdepan langsung disambut oleh pasukan yang berjumlah besar, gabungan dari pasukan Kadipaten Arisbaya, Pamekasan, Sampang, Sumenep dan Balige, juga dari para kabupaten-kabupaten yang lebih kecil. Senopati-senopati di seluruh Madura memimpin semua pasukan ini, di antaranya Senopati Jayenghadra, Mangundaka, Jagapati, Rangga Gobag-gabig, Demang Rujakbeling dan masih banyak lagi. Perlawanan dan sambutan hebat ini amat mengejutkan pasukan Mataram yang sebagian besar masih berada di perahu-perahu mereka.
Sambutan bala tentara Madura demikian hebat dan sengitnya sehingga pasukan Mataram menjadi kewalahan. Mereka terpaksa mundur ke perahu mereka kemudian pergi ke pantai lain yang lebih aman. Setelah berperahu selama setengah hari lebih, akhirnya mereka bisa menyelamatkan diri. Para senopati lalu mengadakan perundingan.
Adipati Pragola mencela tindakan Adipati Sujanapura yang amat gegabah. Apa lagi kalau mengingat betapa ketika mereka hendak meninggalkan pantai Pulau Jawa, kemunculan pendekar-pendekar yang terkenal, yaitu Sutejo beserta isterinya Retno Susilo dan Parmadi bersama teman wanitanya, yang hendak membantu pasukan Mataram, sudah ditolak oleh Adipati Sujanapura.
“Pendekar Sutejo adalah seorang sakti yang berjuluk Pecut Bajrakirana dan menjadi kakak seperguruan dari Gusti Puteri Wandansari, sedangkan Pendekar Parmadi tekenal dengan julukan Seruling Gading. Keduanya sudah berjasa besar kepada Mataram, kenapa andika menolak bantuan mereka?” demikian antara lain Adipati Pragola rnenegur atasannya.
“Hemm, adi Pragola, kalau kita menerima bantuan mereka, lalu muka kita akan disimpan di mana? Masa untuk menundukkan Madura saja kita harus minta bantuan mereka? Kalau Gusti Sultan mendengar tentang hal ini, biar pun kelak kita memperoleh kemenangan, kita akan mendapat malu. Gusti Sultan akan mencela kita dan yang mendapat pahala adalah mereka berempat itu. Jangan bodoh, adi Pragola dan jangan sampai kekalahan pertama ini membuat kita berkecil hati. Memang aku agak tergesa-gesa melakukan penyerangan. Seharusnya penyerangan dilakukan tiba-tiba, kita mendarat pada saat gelombang pasang sehingga perahu-perahu kita dapat mendarat dengan cepat, dan kita langsung melakukan penyerangan ketika cuaca masih gelap, sebelum fajar menyingsing. Malam nanti kita akan membuat perhitungan dan aku yakin kita akan berhasil!”
Sebagai seorang bawahan, hanya wakil panglima, adipati Pragola tidak berani membantah lagi. Mereka menanti sampai malam tiba dan ketika air di selat itu mulai pasang, mereka lalu melakukan penyerbuan yang kedua kalinya seperti diperintahkan Adipati Sujanapura. Sekitar jam tiga, sebelum fajar, barisan Mataram menyerang untuk yang kedua kalinya.
Pasukan Mataram dibagi menjadi empat bagian. Pangeran Sumedang memimpin pasukan sayap kiri, ada pun pasukan sayap kanan dipimpin oleh Adipati Pragola dari Pati. Pasukan yang bergerak di tengah, yang merupakan pasukan inti dipimpin oleh Adipati Sujanapura sendiri, sedangkan di bagian belakang terdapat pasukan lain yang dipimpin oleh Pangeran Silarong. Sekali ini pendaratan pasukan Mataram dilakukan di Pantai Kisik.
Sekali ini perhitungan serta siasat Adipati Sujanapura berhasil baik. Bala tentara Madura amat terkejut dan setelah mereka melakukan perlawanan selama sehari penuh, dari fajar hingga sore, akhirnya pasukan gabungan dari Madura terpaksa melarikan diri dan mundur.
Walau pun kemenangan dalam pertempuran ini belum berarti Mataram sudah menduduki Madura, akan tetapi cukup membanggakan hati Adipati Sujanapura. Dia yang tadinya agak tersinggung karena kekalahan pertamanya sempat dikecam para pembantunya, kini dapat menyombongkan hasil kemenangannya, bahkan dia merayakan kemenangan itu dengan berpesta pora bersama pasukan yang dipimpinnya!
Para adipati dan senopati sudah mencoba untuk memperingatkannya dengan mengatakan bahwa kemenangan mereka itu belum merupakan kemenangan mutlak dan terakhir, baru kemenangan sementara saja karena pihak musuh belum menakluk. Akan tetapi Adipati Sujanapura bahkan menjadi marah kepada para senopati yang membantunya.
“Hemm, kalian ini tahu apa? Kemenangan pertama inilah yang menentukan! Orang-orang Madura sudah kabur ketakutan. Dan aku berani memastikan bahwa besok kita akan dapat memaksa mereka tunduk. Sudah sepatutnya kalau kita merayakan kemenangan ini! Kalau kalian tak mau ikut pesta, sudahlah, tinggalkan kami dan jangan mengganggu kesenangan kami!”
Sebagian besar para senopati, dipimpin oleh Adipati Pragola lalu menjauhkan diri tidak ikut dalam perayaan itu, bahkan mereka pergi agak jauh untuk mengatur siasat pertempuran selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa ada gerakan tersembunyi yang sangat membahayakan keamanan pasukan Mataram yang sedang berpesta pora sambil mabok-mabokan!
Ada sepasukan orang Madura mendekati pesanggrahan, tempat Adipati Sujanapura dan anak buahnya berpesta pora. Mereka itu bukan merupakan pasukan besar, hanya kira-kira lima ratus orang saja. Tetapi mereka adalah para senopati pilihan yang sakti mandraguna, dipimpin sendiri oleh Adipati Pamekasan yang juga merupakan seorang tokoh Madura yang sakti.
Dan yang lebih hebat lagi, pasukan ini menjadi sangat kuat karena di situ terdapat tokoh-tokoh besar yang sakti mandraguna, yaitu Ki Harya Baka Wulung datuk Madura, Sang Wiku Menak Koncar datuk Blambangan, Kyai Sidhi Kawasa datuk Banten, Aki Somad datuk Nusakambangan, Raden Dibyasakti putera Ki Harya Baka Wulung, Resi Koloyitmo datuk Pasundan dan puterinya yang cantik jelita dan sakti Nyi Maya Dewi, dan Satyabrata, mata-mata Kumpeni Belanda yang memiliki kesaktian.
Hampir semua orang sakti mandraguna yang berjumlah delapan orang ini rata-rata memiliki bukan saja aji kanuragan yang sangat tangguh, akan tetapi juga menguasai ilmu sihir dan ilmu hitam yang amat menyeramkan. Berkat ilmu sihir merekalah maka gerakan pasukan mendekati perkemahan atau pesanggrahan Adipati Sujanapura itu seperti diselimuti kabut dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Ini berkat Aji Palimutan mereka.
Adipati Sujanapura minum tuak sambil tertawa-tawa gembira karena dia merasa menang atas para senopati yang berani mencelanya. Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika panglima ini berikut para pembantu yang mendukungnya dalam keadaan setengah mabok, tiba-tiba terdengar sorak-sorai kemudian tempat mereka berpesta itu diserbu orang-orang Madura yang menyerang dengan penuh dendam atas kekalahan mereka.
Terjadilah pembantaian karena perlawanan para prajurit yang sudah teler itu tidak mampu membendung serbuan dan amukan para penyerbu. Apa lagi amukan para datuk dan tokoh besar yang menggunakan kesaktian mereka.
Adipati Sujanapura menjadi marah sekali. Ketika melihat bahwa yang memimpin serbuan itu adalah Adipati Pamekasan, dengan trengginas adipati yang juga digdaya ini melompat ke depan Adipati Pamekasan sambil mencabut pedangnya. Dengan pedang diacungkan dan telunjuk kiri menuding ke arah muka Adipati Pamekasan, dia membentak, mukanya merah karena minuman keras ditambah kemarahan.
“Jahanam busuk! Pengecut kau! Menyerang dengan cara curang!”
Adipati Pamekasan tertawa bergelak. Ia juga mencabut klewang (golok) dari pinggangnya. “Ha-ha-ha-ha! Babo-babo, Sujanapura. Kau jangan asal membuka mulut! Kemenanganmu kemarin juga hasil penyerangan yang curang! Bersiaplah engkau untuk mampus malam ini!”
Dua orang panglima ini lalu bertanding dengan mati-matian. Keduanya merupakan adipati yang sakti dan tangguh, dan mereka bertanding satu lawan satu karena para pembantu dan prajurit sudah sibuk sendiri bertanding. Akan tetapi karena tentara Mataram diserang secara tiba-tiba dan mereka dalam keadaan setengah mabok, sedangkan para penyerbu adalah pasukan istimewa, prajurit-prajurit pilihan dan mereka didukung delapan orang yang sakti mandraguna, maka banyak prajurit Mataram yang roboh dan tewas.
“Hyaaaaatttt...! Mampus kau!” Adipati Sujanapura membentak marah melihat betapa anak buahnya banyak yang roboh. Kini dia menyerang lawan dengan pedangnya, mengerahkan seluruh tenaganya. Perhatiannya terpecah dan serangannya itu merupakan gerakan yang nekat.
Adipati Pamekasan terkejut. Sejak tadi pun dia sudah merasakan betapa hebat permainan pedang panglima pasukan Mataram itu, juga tenaganya sangat kuat. Kini melihat pedang menyambar dahsyat ke arah lehernya, dia pun cepat menjatuhkan diri berjongkok dan dari bawah goloknya meluncur ke depan.
“Singgg...! Cappp...! Dessss...!”
Adipati Sujanapura dan Adipati Pamekasan lantas saja roboh terjengkang, yang pertama karena perutnya tertembus golok dan yang kedua kepalanya retak oleh pukulan tangan kiri panglima Mataram.
Akhirnya pasukan Mataram terpaksa mundur melarikan diri meninggalkan banyak prajurit yang tewas. Ketika pasukan yang dipimpin Adipati Pragola dan para senopati lain datang membantu, dengan terkejut mereka mendapat kenyataan bahwa panglima mereka sudah tewas sampyuh dengan Adipati Pamekasan.
Adipati Pragola maklum bahwa pada pihak musuh terdapat orang-orang sakti mandraguna dan mereka mempergunakan ilmu sihir. Buktinya para prajurit Madura itu seperti diselimuti kabut tebal. Untuk mencegah agar pihaknya tidak jatuh lebih banyak korban, maka Adipati Pragola memerintahkan semua pembantunya untuk cepat menarik pasukan ke pesisir dan membuat kubu pertahanan yang kuat.
Kini pimpinan dipegang oleh Adipati Pragola yang tadinya adalah wakil panglima,. Serbuan tengah malam yang menewaskan banyak prajurit itu benar-benar mengejutkan sekali dan membuat Adipati Pragola berhati-hati dan menunda gerakan. Melihat banyaknya tokoh dan datuk sakti mandraguna yang berada di pihak Madura, Adipati Pragola merasa ragu-ragu dan berhati-hati sekali.
Dia lalu mengirim utusan untuk melaporkan mala petaka yang menimpa pasukan Mataram akibat kecerobohan mendiang Adipati Sujanapura. Sambil menanti petunjuk Sultan Agung, Adipati Pragola tidak membuat gerakan melainkan hanya memperkuat pertahanan.
Bukan main girang rasa hati Adipati Pragola ketika pada keesokan harinya para pendekar sakti bermunculan di situ. Mereka adalah Parmadi, Muryani, Sutejo dan Retno Susilo yang melakukan penyeberangan dengan sebuah perahu. Biar pun tadinya tawaran bantuan dari keempat orang pendekar ini sudah ditolak oleh Adipati Sujanapura, tapi setelah berunding mereka memutuskan untuk menyusul ke Madura.
“Ingat, bukan Adipati Sujanapura yang kita bantu, tetapi Mataram,” kata Sutejo, terutama kepada Retno Susilo dan Muryani yang merasa mendongkol karena panglima Mataram itu menolak mereka.
Akhirnya berangkatlah mereka menggunakan sebuah perahu yang agak besar. Dan kali ini mereka disambut dengan gembira oleh panglima yang baru, yakni Adipati Pragola. Selain mereka berempat, datang pula Ki Cangak Awu, Ketua Perguruan Jatikusumo, dan Kyai Jayawijaya, pertapa kakek Ayu Puspa yang pernah bertemu dengan Parmadi.
Ketika Parmadi ikut menyambut kedatangan Kyai Jayawijaya, mereka saling pandang dan Parmadi cepat memberi hormat. Kyai Jayawijaya menghela napas panjang. Diam-diam dia rnerasa kecewa mengapa pemuda sebaik ini tidak bisa menjadi suami cucunya yang amat disayangnya.
“Anak-mas Parmadi, sungguh menggembirakan bisa bertemu dengan andika di sini. Lebih menyenangkan lagi karena kita dapat membantu Mataram bersama.”
“Saya juga merasa senang sakali, eyang. Tetapi kenapa nimas Ayu Puspa tidak ikut?”
Kakek itu senang bahwa pemuda itu masih menanyakan cucunya, ini menunjukkan bahwa Parmadi benar-benar seorang pemuda yang baik hati dan sopun santun.
“Tidak, aku yang melarang dia ikut.”
Sementara itu, begitu bertemu lagi dengan Ki Cangak Awu yang kini sudah menjadi Ketua Jatikusumo, tentu saja Sutejo menjadi girang sekali.
“Bagus sekali andika ikut datang membantu Mataram, kakang Cangak Awu. Kita berjuang lagi seperti dulu membantu Mataram. Akan tetapi mana adikku Pusposari?”
“Aihh, engkau ini bagaimana sih?” kata Retno Susilo kepada suaminya sambil tersenyum. “Bukankah mbakayu Pusposari tengah mengandung? Bagaimana dia bisa ikut berperang?”
Sutejo menepuk dahinya sambil tertawa. “Ha-ha-ha. aku sudah pikun! Sampai lupa bahwa adikku itu sudah hampir mempunyai anak...” Mendadak dia teringat akan puteranya yang terculik dan sampai saat itu belum juga ditemukan. Melihat perubahan pada muka Sutejo, Cangak Awu segera tanggap.
“Adi Sutejo, apakah kalian berdua belum berhasil menemukan jejak puteramu?” tanyanya lirih.
Sutejo menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. Melihat ini, Retno Susilo menghampiri suaminya dan menyentuh pundaknya sambil berkata, “Sudahlah, kita semua kelak akan berusaha mencari dan akhirnya pasti berhasil juga.”
Mereka semua lalu dipersilakan duduk oleh Adipati Pragola dan para pembantunya. Para pendekar itu mendengar tentang pembantaian yang terjadi pada tengah malam tadi.
“Pihak Madura mendapat bantuan dari banyak datuk yang sakti mandraguna, sebab itulah maka kami tidak berani gegabah menggerakkan pasukan. Kami telah mengirimkan laporan kepada Gusti Sultan dan kini menunggu petunjuk beliau. Sungguh menggembirakan sekali andika sekalian datang sebab kami sedang bingung bagaimana harus menanggulangi para datuk itu kalau mereka melakukan penyerbuan lagi.”
“Hemm, siapakah para datuk yang membantu Madura itu, anak-mas adipati?” tanya Kyai Jayawijaya.
Mendengar kakek itu menyebutnya dengan ‘anak-mas’ saja, Adipati Pragola tidak menjadi tersinggung. Dia maklum bahwa para pendeta dan pertapa adalah orang-orang sederhana yang tidak terikat oleh segala peraturan.
“Bapa kyai, mereka adalah orang-orang yang amat terkenal. Menurut para penyelidik kami, di antara mereka terdapat Ki Harya Baka Wulung datuk Madura yang tentu saja membela Madura. Akan tetapi ada pula Wiku Menak Koncar datuk Blambangan, Kyai Sidhi Kawasa datuk dari Banten, Aki Somad, Nyi Maya Dewi, Raden Dibyasakti, Resi Koloyitmo serta seorang pemuda sakti bernama Satyabrata.”
“Bukan main! Tiga yang pertama adalah datuk-datuk terkenal yang sesat, dan pemuda itu, hemmm, Satyabrata! Kakang Cangak Awu, bukankah dia itu si Satya yang berkhianat dan yang menjadi mata-mata kumpeni itu?”
“Siapa lagi kalau bukan dia, si keparat busuk!” kata Cangak Awu gemas.
“Aku juga mengenal orang yang namanya Satyabrata itu, juga Dibyasakti,” kata Muryani. Akan tetapi dia termenung. Bagaimana mungkin sekarang Satyabrata membantu Madura? Dan kenapa mereka agaknya membenci Satyabrata? “Mbakayu Retno Susilo, sebetulnya orang macam apakah yang bernama Satyabrata itu?” tanyanya penasaran.
“Ahh, dia itu adalah seorang yang berotak miring!” Retno Susilo berseru marah. Dia sudah mendengar semuanya tentang pemuda itu dari Ki Cangak Awu. “Dia mata-mata Belanda, menyelundup ke perguruan Jatikusumo, mencuri pelajaran kesaktian yang sangat keji dari manusia iblis, kemudian membunuh murid Jatikusumo, bahkan hampir membunuh kakang Cangak Awu. Dia gila dan jahat... benar-benar jahat sekali, tetapi dia memang tampan dan bersikap halus seperti orang yang baik budi. Dia adalah manusia iblis yang harus dibasmi dari permukaan bumi.”
Mendengar ini wajah Muryani menjadi pucat dan dia termenung. Pria yang begitu baik, pria yang mencintanya dan yang sangat menarik hatinya, yang dianggapnya seorang ksatria sakti mandraguna yang gagah perkasa, ternyata dicaci-maki sebagai manusia iblis yang amat jahat!
“Menurut hasil penyelidikan para penyelidik kami, agaknya ada hubungan mesra di antara Satyabrata dengan Nyi Maya Dewi, seperti suami isteri, tunangan atau kekasih,” kata pula Adipati Pragola.
“Ahh, aku ingat. Aku pernah bentrok dengan Maya Dewi dan ayahnya yang bernama Resi Koloyitmo yang cabul dan jahat. Kalau Satyabrata sejahat dan segila itu, dia merupakan pasangan yang benar-benar cocok buat Nyi Maya Dewi,” kata Parmadi. “Juga aku pernah bentrok dengan datuk dari Banten Kyai Sidhi Kawasa itu.”
Mendengar semua ucapan itu, Sutejo lalu berkata kepada Adipati Pragola. “Gusti adipati, ternyata mereka adalah musuh-musuh besar yang hampir semua pernah kita lawan. Kami rasa akan mampu menanggulangi mereka.”
Adipati Pragola mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Kami percaya bahwa anak-mas sekalian dan paman pendeta akan sanggup menanggulangi para datuk itu. Akan tetapi untuk menggerakkan pasukan melakukan penyerangan, kami akan tetap menanti petunjuk Gusti Sultan Agung.”
Kyai Jayawijaya tersenyum dan mengangguk. “Tepat sekali pendapat anak-mas adipati. Mengingat kesalahan yang pernah dilakukan Adipati Sujanapura sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban dalam pasukan Mataram karena tindakannya yang grusah-grusuh (gegabah dan tergesa-gesa), memang sebaiknya kalau andika menanti petunjuk dari Gusti Sultan.”
Demikianlah, seluruh pasukan Mataram tidak mengadakan gerakan serangan, tapi hanya berjaga-jaga dengan ketat. Pagi itu tidak terjadi sesuatu. Akan tetapi ketika matahari mulai condong ke barat, ada angin bertiup kencang melanda perkemahan yang menjadi benteng pasukan Mataram.
Semua prajurit Mataram kaget dan merasa heran sekali, apa lagi ketika tampak ada kabut hitam melayang datang bersama angin itu. Keadaan menjadi gelap dan dalam kegelapan disertai angin yang menerpa dan menyelimuti seluruh perkemahan mulai terdengar suara-suara mengerikan. Ada suara seperti tangisan menggerung-gerung, ada tawa cekakakan seperti tawa setan, ada suara menggereng-gereng, ada yang memaki-maki, seakan-akan semua iblis dan setan berebut lolos dari neraka dan sekarang berada dalam kegelapan itu, mendatangkan angin ribut dan suara yang menyeramkan. Para prajurit menjadi ketakutan.
Para ksatria yang paham bahwa semua itu adalah pengaruh santet, guna-guna dan ilmu sihir yang kesemuanya merupakan ilmu hitam yang berasal dari kekuasaan iblis, segera duduk bersila sambil menyerahkan diri sepenuhnya kepada Gusti Allah, berlindung di balik Kekusaaan Gusti Allah yang Maha Kuasa.
Menghadapi kekuatan gaib ini, kegelapan itu seperti tak berpengaruh lagi dan suara-suara itu kini mengeluh dan merintih menangis. Angin ribut pun menjadi lemah. Akan tetapi para ahli sihir seperti Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Resi Koloyitmo, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad dan terutama Satyabrata agaknya telah mengerahkan seluruh tenaga mereka sehingga terjadi adu kesaktian batin yang saling berlawanan, dorong-mendorong, dari pihak Madura berusaha mendobrak dan menggempur, sementara dari pihak Mataram berusaha mempertahankan diri dan menolak.
Karena pihak musuh tidak tampak, semua terbungkus kegelapan embun hitam, maka para senopati dan prajurit Mataram juga tak berani sembarangan bergerak. Hendak menyerang siapa dan di mana? Seperti menghadapi lawan iblis yang bisa menghilang. Jangan-jangan mereka hanya akan menjadi korban mati konyol, diserang oleh musuh yang tidak terlihat!
Tiba-tiba terdengar bunyi suling yang melengking-lengking, suara yang amat merdu tetapi mengandung getaran hebat, begitu halus, terkadang seperti suara angin mempermainkan daun-daun pohon, kadang-kadang mirip suara ombak mengalun, gemercik suara air anak sungai bergurau manja dengan batu-batu kali, lalu suara kutu-kutu walang atogo di tengah malam.
Kalau diperhatikan, itulah suara alam jagat raya, mendayu-dayu mengandung puji-pujian kepada Gusti Allah Yang Maha Agung dalam laksaan macam bahasa namun dalam satu arti yang tidak berbeda! Itulah suara Aji Sunyatmaka (Jiwa Bebas) yang berbunyi melalui seruling gading yang dimainkan oleh Kekuasaan Tuhan melalui Parmadi.
Suara-suara dalam gelap itu kini menjerit-jerit, mengeluh seperti dibakar, kemudian lambat laun mereda dan lenyap seperti menipisnya kabut hitam yang kemudian berangsur hilang sehingga cuaca berubah terang kembali, terangnya waktu menjelang sore.
Kini nampaklah delapan orang sakti yang membantu Madura itu! Mereka berdiri berjajar, berdampingan dan agaknya Ki Harya Baka Wulung yang menjadi pemimpin mereka. Para datuk ini tadi terkejut sekali melihat kenyataan betapa sihir mereka yang digabungkan dan amat kuat itu ternyata dapat dimusnahkan lawan. Akan tetapi sesudah melihat siapa yang berdiri di depan mereka, Ki Harya Baka Wulung menjadi terkejut dan cepat-cepat menutupi kekagetannya dengan tawa besar.
“Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini orang-orang muda yang sudah bosan hidup dan mencari mampus! Mundurlah sebelum kalian terlanjur menjadi mayat di tangan kami!”
“Hmm, kalau aku tidak keliru, tentu andika yang bernama Ki Harya Baka Wulung, bukan?” tanya Sutejo.
“Benar, dan aku tahu bahwa engkau bernama Sutejo yang disebut Si Pecut Bajrakirana!” jawab Harya Baka Wulung. “Kenapa kalian orang-orang muda ini nekat membela Mataram yang pasukannya sudah akan kalah dan hancur? Pergilah kalau ingin selamat!”
“Ki Harya Baka Wulung, kami adalah kawula Mataram, tentu saja kami membela Mataram karena lawan Mataram didukung orang-orang seperti kalian. Jika andika membela Madura, hal itu sudah wajar dan semestinya. Tetapi orang-orang ini bukan kawula Madura, kenapa ikut-ikutan membela Madura? Mataram berperang melawan Madura, itu urusan kerajaan. Orang-orang seperti kalian ini sesungguhnya tidak berhak mencampuri!”
“Keparat, jangan banyak cakap? Kalau memang ada kesaktian, mari lawan kami!” bentak Ki Harya Baka Wulung dan delapan orang sakti pembela Madura itu saling merenggang untuk memberi tempat longgar kepada kawan-kawan mereka agar leluasa bertanding.
Melihat ini Sutejo dan Retno Susilo segera maju menghadapi Ki Harya Baka Wulung. Akan tetapi, seperti sudah diatur lebih dulu, Wiku Menak Koncar dan Kyai Sidhi Kawasa sudah bergerak mendampingi Ki Harya Baka Wulung sehingga ketiga orang datuk itu sekarang menghadapi suami isteri dari Gunung Kawi itu.
Akan tetapi Sutejo dan isterinya tak menjadi gentar. Karena maklum bahwa yang dihadapi bersama isterinya adalah tiga datuk besar yang sakti mandraguna dari Madura, Banten, dan Blambangan, maka Sutejo cepat mencabut pecut sakti Bajrakirana dari punggungnya dan Retno Susilo mencabut sebatang pedang yang dibuatkan oleh seorang empu.
Pedang itu bentuknya sama benar dengan pedang Naga Wilis yang hilang dicuri bersama lenyapnya puteranya. Dia membuat sebatang pedang Naga Wilis tiruan yang bentuknya persis seperti naga dengan pamor kehijauan. Pedang ini cukup baik walau pun tentu saja tidak sehebat aslinya yang telah hilang.....
Komentar
Posting Komentar